Dua hari Vita tak masuk sekolah dengan alasan sakit. Walau ia tak memiliki banyak teman, ia tetap merindukan sekolahnya, kelasnya.
Kurang satu langkah lagi ia dari pintu kelasnya, tiba-tiba ia di tarik mundur, menjauh dari kelas, kembali ke jalur yang telah di lewatinya. Siapa yang menarik? Tentu saja Rafka. Memang siapa lagi orang tak punya sopan santun yang main tarik-tarik.
“Rafka!” protes Vita. Ia segera berbalik agar dapat berjalan dengan benar. Langsung ia menghela lepas tangannya dari tangan Rafka yang dingin dan lembap.
“Mau ke mana, sih?” tanya Vita begitu tangannya sudah bebas.
“Dipanggil Bu Kanya.”
Vita melongok wajah Rafka yang berkeringat saat mendengar suaranya yang tak seperti biasa. Ada apa dengan laki-laki itu? Apa dia sakit?
“Kamu kenapa, Raf?”
“Mules.” Dan tanpa permisi Rafka yang tampan langsung berputar menuju kamar mandi.
Bisa-bisanya Rafka mempertimbangkan menahan hajat hanya untuk mengantarnya ke kantor.
Vita melewati ambang pintu kantor yang ternganga lebar. Ia berdiri di depan meja Kanya Widyawati, tak jauh dari pintu. Dengan sopan ia menyapa guru wanita itu, lalu menanyakan perihal apa yang mengharuskannya untuk datang ke sini.
“Kamu temenan sama Rafka ‘kan, Vita?" adalah kalimat pertama yang di lontarkan guru itu. Sungguh pertanyaan di luar dugaan.
“Iya.”
“Kamu mau bantuin Rafka?”
Masalahnya apa bantuan yang dibutuhkan Rafka? Menurutnya, seseorang boleh meminta bantuan atau izin dari seseorang jika telah menyatakan apa yang harus dibantu. Seandainya tidak seperti itu, bagaimana jika si pemberi izin atau bantuan tak suka dan ingin menolak permintaan tersebut tapi sudah terlanjur berkata ‘ya’?
“Bantuan apa, ya, Bu?”
“Ibu lihat nilai sekolah kamu sebelumnya, dan luar biasa. Semuanya nyaris sempurna,” Ibu Kanya membuka. “Sebelumnya ibu mau minta Andra, tapi dia nolak. Meskipun kamu baru di sini, kamu pasti tahu ‘kan ‘gimana hubungan Andra sama Rafka?”
Vita mengangguk sopan. Ia sudah tahu apa yang diinginkan ibu guru itu darinya. Ia hanya berharap mengajari Rafka tak sesulit mengajari dirinya berenang.
“Kamu mau ‘kan ngajarin Rafka pelajaran Matematika, Fisika sama Kimia? Nilainya yang paling rendah di kelas. Dan nilai kamu yang paling tinggi, di atas Andra bahkan.”
“Saya mau, tapi saya gak bisa janji bikin nilai Rafka naik.”
“Ibu cuma minta kamu berusaha sebisa kamu.”
Ia tak masalah berusaha sebisanya, tapi ia tak tahu sebisa apa ia mengajari Rafka. Apalagi dengan sikap menyebalkan Rafka. Kadang ia terpikir untuk menyempalkan sepatunya ke mulut laki-laki yang semua skrupnya sudah kendor itu. Atau setidak-tidaknya, berteriak keras di muka telinga si Menyebalkan hingga telinganya berdengung.
“Kalo ‘gitu saya permisi, Bu.”
Kanya mengangguk sekali, “Makasih, Vita.”
Vita melesat meninggalkan ruang guru yang semakin ramai. Ia butuh sedikit udara segar dan sekurang-kurangnya sebotol air mineral dingin.
Vita melangkah ke area belakang sekolah yang lengang. Masih ada 10 menit lagi sebelum bel masuk. Ia akan memikirkan jadwal dan cara untuk mengajari Rafka.
Melihat bangku-bangku kosong yang tersiram cahaya matahari, Vita memilih duduk di rerumputan yang diteduhi sebatang pohon mahoni yang lumayan besar. Diameternya mungkin tak kurang dari tiga puluh sentimeter. Tempat sempurna untuk berpikir. Penuh dengan oksigen.
Sembari menyandarkan punggungnya pada batang kayu yang keras, Vita mengeluarkan ponsel dan earphone-nya dari dalam tas. Ia menghubungkan kedua benda tersebut, lalu memasangkan ke telinganya sendiri.
Ia haus. Tapi ia malas ke kantin.
Vita melihat Rafka mengambil tempat di sisinya. Ia sendiri tak melakukan apapun, ia membiarkanya saja. Ketika laki-laki itu melepas sebelah earphone-nya, Vita bergeming.
“Mau yang mana?” Rafka menunjukkan sebotol air mineral dan susu kotak coklat dingin.
Tangan Vita meraih susu kotak. Ia suka ini. Dan susu ini dingin. Sempurna sudah.
Omong-omong dari mana Rafka tahu dia ada di sini? Apa tadi laki-laki itu melihat ia menuju tempat ini? Dan omong-omong lagi, dari mana Rafka tahu ia butuh minum? Sungguh luar biasa intuisi laki-laki ini. Atau jangan-jangan Rafka bisa membaca pikiran orang seperti Edward Cullen?
“Kamu mau ngajarin aku, Cha?” tanya Rafka. “Kalo kamu mau ngajarin pelajaran sial itu, aku mau ngajarin kamu main—”
“Basket?” Vita tahu Rafka akan mengatakan basket. Dia mengolok-oloknya beberapa hari yang lalu saat pelajaran olahraga.
***
Sun-day.
Munggu ini benar-benar hari matahari. Cerah sekali. Langit biru membentang sejauh pandangan. Awan-awan yang seperti kapas nampak lembut menggelayut memberi hiasan pada langit siang yang lebih biru dari lautan, membuatnya tampak lebih cantik. Langit yang indah.
Vita berbaring di atas karpet, di bawah rindang pohon mangga di belakang rumahnya. Matanya terkatup. Tangannya mengelus rambut coklat gelapnya yang tergerai di atas bantal, di sisi buku tebal yang terbuka. Musik klasik yang lembut berdengung halus dari ponsel yang tergeletak sejauh jangkauan lengannya. Menenangkan.
“Es krim, Ta.”
Vita merasakan benda dingin menyentuh keningnya yang terbuka. Namun segera berlalu. Membuat Vita terduduk seketika.
“Kamu bikin menditasiku rusak tahu,” keluh Vita.
Ia mengambil sendok yang diulurkan Tiara. Dan mulai membenamkan sendoknya dalam-dalam untuk mendapatkan lebih banyak es krim. Ia senang jika Tiara datang kemari membawa makanan. Dulu, ketika ia masih tinggal di rumah neneknya, Tiara pernah membawakan Vita sepuluh kotak telur asin, khusus untuk dirinya sendiri. Tiara adalah contoh baik seorang tamu yang sesungguhnya.
“Kapan kamu sampe?” tanya Vita, sendok menunggu di depan mulutnya.
“Barusan," jawab Tiara. "Ke mana orang rumah?”
“Vhindy les berenang ditemenin Mama, Ayah ada di ruang kerjanya,” jelas Vita. Sungguh hanya dirinya yang tak punya kesibukakan. Haruskah ia ikut les berenang lagi agar ia memiliki kesibukan? Tapi ia tak berbakat sama sekali. Sudah sering ia ikut les renang dulu, tapi ia tak pernah sampai bisa mengapung. Ia seperti anak kucing yang baru melihat dunia dan langsung di lemparkan ke kolam. Parah.
“Kamu, kok, gak bimbel, Ra?”
“Sore,”balas Tiara sambil lalu.
“Oh.”
“Di dalam ada roti, enggak, Ta?”
“Ada. Di dalam kabinet samping kulkas.”
Tiara beranjak membawa kotak es krim bersamanya, meninggalkan Vita menggigit sendoknya. Gadis itu repot sekali memboyong kotak es krim itu masuk kembali ke dalam rumah hanya supaya Vita tak mencuri start.
Sembari menunggu Tiara kembali, Vita mengambil ponselnya dan mengganti lagu yang sedang terputar dengan lagu yang lebih memberikan semangat hidup dari lagu sebelumnya.
Tiara kembali tak hanya membawa kotak es krim dan roti bersamanya, sepupunya itu juga membawa sepotong puding yang dibuat ibunya tadi pagi. Puding buah yang dingin menyegarkan di cuaca super cerah Minggu ini.
Ketika Vita ingin menyendok puding yang di bawa Tiara dari dalam rumahnya, gadis itu menangkis sendoknya.
“Ambil sendiri.”
Memang dasar pelit, gerutu Vita dalam hati.
“Gak usah voice over.” Tiara menjauhkan pudingnya dari Vita.
Dengan kesal Vita mengeruk lebih dalam lagi es krim dari sebelumnya. Sekali kerukkan hingga dasar. Lima kali suap satu kotak ini pasti akan kosong.
Setelah es krim dan puding habis, juga roti tersisa tiga lembar, Vita duduk bersandar pada pohon, sedang Tiara berbaring seraya memandangi ponsel dalam genggamannya.
Sebuah pertanyaan melintas di benak Vita.
“Ra?” panggil Vita.
“Mm?”
“Kamu bilang, kamu pernah satu sekolahan ‘kan sama Rafka sama Andra?”
“He-eh,” Tiara menanggapi ringan, namun terkesan defensif. “Kenapa?”
“Mereka berdua dari dulu udah diem-dieman kayak ‘gitu, atau ‘gimana?”
Tiara bergeser, berbaring pada punggungnya. Gadis itu tampak sedikit terganggu.
“Dari awal masuk SMP, mereka berdua itu memang gak pernah temenan, tapi juga gak musuhan. Biasa aja. Tapi munurutku, Andra memang gak terlalu suka Rafka,” jelas Tiara. Sejenak hening, Vita membiarkan Tiara berpikir. “Oh, iya” sambungnya, “kamu tahu Genta, ‘kan? Genta bilang satu sekolah sama Rafka.”
“Temannya Rafka?”
Tiara mengangguk tanpa menoleh.
“Dulu dia itu sahabatnya Andra.”
“Oh, ya?”
“Mm. Andra sama Genta itu udah sahabatan dari TK. Terus waktu masuk SMP, dia temanan sama Rafka, mereka berdua juga jadi sahabat.” Tiara berhenti beberapa waktu. “Eh... Andra, suka cerita sama Genta kalo dia lagi naksir cewek, terus Genta ceritain sama Rafka. Rafka gak minta, tapi Genta suka nyeritain tentang satu sahabat ke sahabat yang lain. Bukan maksudnya ‘gimana-mana, loh, ya.” Tiara menghentikan prasangka buruk Vita pada Genta. Diliriknya sepupunya itu, ia berbalik, masih setia pada ponselnya. “Genta itu, suka seolah-olah kalo dua temennya itu temenan.”
“Terus?”
“Waktu kelas tiga, Andra suka sama cewek, temen sekelasnya, tapi cewek ini nolak dia, soalnya dia suka sama Rafka.”
Sekilas barangkali Tiara masih tampak setia pada ponselnya, namun faktanya, tatapan gadis itu tak fokus. Tak pernah sepupunya bersikap seperti itu. Tak nyaman sejak membicarakan hubungan Andra-Rafka, dan semakin lama tatapannya semakin tak fokus. Ia kira ia tahu kenapa. Sangat mudah. Tak akan bisa menutupi hal itu darinya.
“Jadi, Andra nyalahin Rafka, seakan-akan Rafka yang sengaja ngedeketin cewek yang ditaksir, dan dia yakin Rafka pasti tahu kalo dia suka sama cewek itu dari Genta.”
Berkedip-kedip mata Tiara. Ia kemudian bangun dan duduk bersila di hadapan Vita. Dengan gumam pelan ia berkata, “ Padahal Rafkanya aja gak suka sama cewek itu. Menyedihkan banget.”
Sejenak Vita terdiam. Otaknya bekerja. Selama beberapa waktu ini, ia mengira Andra adalah laki-laki yang berpikiran luas dan dewasa, nyatanya tak begitu—tapi itu juga sudah lama sih, ketika SMP. Tapi tetap saja, bagaimana mungkin masalah kecil seperti itu bisa membuatnya mendiamkan seseorang selama bertahun-tahun. Alangkah kekanak-kanakannya.
“Rafka udah ngejelasin, Ra?”
“Udah. Tapi Andra malah nyolot.” Tiara menghela buku Vita ke pangkuannya. “Menurut gue, ya, sebenarnya Andra mungkin udah ngelupain masalah itu. Kayak yang gue bilang tadi, emang dasarnya Andra gak suka sama Rafka, tapi karena ada masalah itu dia jadi punya alasan buat nunjukin rasa gak sukanya.”
“Apa alasan Andra gak suka sama Rafka?”
Tiara tersenyum. “Rafka itu gak baik sama semua orang, cuma beberapa. Dia itu juga agak kasar. Sering bikin ulah, kayak berantem sama kakak kelas. Tiap bulan pasti angka bolosnya bisa sampe sepuluh kali. Gak cuma bolos, alpa juga. Singkatnya, Rafka itu kayak orang yang gak niat sekolah. Gak ada yang tahu kenapa dia kayak gitu. Tapi buat Andra...”
“Yang rajin dan gak pernah nyia-nyiain waktunya buat sesuatu yang menurutnya gak penting, semua hal itu udah cukup buat dia gak suka banget sama Rafka,” Vita menyelesaikan ucapan Tiara yang sudah terduga olehnya. Alasan itu cukup masuk akal.
“Rafka pernah nge-bully orang, enggak?”
“Gak benar-benar nge-bully sebenarnya, cuma kadang dia suka agak ketelaluan kalo bercanda. Dia juga gak masalah kalo orang ngebercandain dia kayak dia bercandain orang lain. Dia cuma gak suka kalo ada yang bercanda bawa-bawa Mamanya, apalagi ngejek. Mamanya ‘kan udah meninggal.”
“Oh.” Vita tertegun. Ia baru mengetahui itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Ochi_Ara Alleta
kak Uci ini pindah lapak berbayar???apa emang udah gak nulis cerita lagi ???
lihat dr profil nya kak Uci banyak cerita gak sampai ending.
padahal bagus banget lho karya2 dari kak Uci ini....pemilihan katanya oke,penataan kosakata-good,sama perbendaharaan katanya tuh banyak,ceritanya tuh jadi kaya karya penulis2 profesional tau gak.berkelas gitu.
wajib dicetak kedalam buku kak....kaya karya2 kak shephinasera bagus2 semua.
sayang ya q baru sekarang nemu karya sebagus ini....telat banget
2023-07-05
0
yul,🙋🍌💥💥💥
keren
2021-04-16
1