Vita memandang layar laptop-nya dengan fokus. Tangan kanannya ia gunakan untuk memegang apel yang digerogotinya bagian kulit luarnya. Sedang tangan kirinya menggerakkan kursor yang mengarah pada link website yang akan dibukanya. Dalam satu kali klik website itu langsung terbuka. Sebuah gambar sekolah yang pertama kali menampakkan diri. Itu adalah gambar sekolah barunya.
Apel yang telah bersih dari kulit, Vita simpan kembali dalam piring yang berisi beberapa apel yang sudah ‘bersih’ dan masih ‘kotor’. Ia mengambil lagi apel yang masih berkulit dan mulai mengupasnya secara manual. Sambil melakukan hal itu Vita terus menggulung layar laptop-nya ke bawah, hingga sampai pada gambar pria yang mungkin sedikit lebih tua dari ayahnya, yang merupakan pemilik sekolahnya sekarang. Pria itu mirip seseorang, tapi ia tidak ingat siapa.
Lama Vita membaca hal-hal yang bisa di baca di laman website sekolahnya. Apel-apel yang dikulitinya semuanya telah bersih sama sekali, tak ada bekas kulitnya yang hijau satu titik pun lagi.
Sekarang, setelah memakan kulitnya, ia akan memakan dagingnya. Ia sendiri heran kenapa suka memakan apel dengan cara begini. Entah dari mana ia mendapatkan insprasi menikmani buah apel seperti ini.
Baru saja Vita akan melakukan gigitan pertama pada apel ‘bersih’ nya, ibunya sudah berteriak memanggilnya.
“Vita!”
Vita menjauhkan sedikit apel dari mulutnya, lalu menjawab sambil berteriak, “Iya!”
“Susunin buku-buku kamu dalam kardus itu, kalo gak Mama buang!”
“Astaga,” ucap Vita, ia langsung berdiri dan meletakkan kembali apel dari tangannya. “Aku udah ngumpulin novel-novel itu dari SD, masa mau di buang.”
Sembari menggerutu Vita mengambil gunting dari dalam laci meja belajarnya. Ia akan menggunakannya untuk membuka lakban yang melekat pada kardus yang diisi novel-novelnya.
Apa yang ibunya pikirkan hingga mau membuang novel-novelnya? Ia sudah menghabiskan uang banyak untuk membeli semua novel ini. Setengah uang sakunya sejak SD hingga kini terinvestasi pada novel-novel ini. Ia bahkan lebih menyayangi novel-novel ini daripada semua buku pelajarannya.
Untuknya, semua novel ini adalah teman-temannya yang paling setia, yang tidak pernah berubah, dan tak akan pergi meninggalkannya saat ia tak ingin mereka pergi. Saat ia butuh penghiburan, novel-novel ini yang selalu ada untuknya. Terutama Harry Potter. Novel itu sudah seperti pacarnya, yang selalu dicarinya bila sedang butuh teman dan penghiburan.
Asal tahu saja, Vita tak pernah punya teman sejak ia SD. Dulu ia sedih sekali karena tak ada yang dapat di ajak bermain, sehingga ia hanya bisa membaca buku yang ia bawa, atau menggambar sesuatu di kelas saat semua orang bermain di luar ruangan. Sampai ia tumbuh semakin besar semuanya masih tetap seperti itu, tapi ia tak pernah bersedih lagi. Jika orang-orang memang tak ingin berteman dengannya, ia tak akan memaksa, ia akan menciptakan sendiri suasana yang membuatnya nyaman dan tetap bahagia walau tanpa teman. Ketika dalam suasana hati yang buruk ia hanya akan berpikir kalau ia ini mengeluarkan aura kebencian yang membuat orang-orang disekitarnya menolaknya, atau setidaknya bersikap seolah ia adalah makhluk transparan.
Atau jangan-jangan ia ini memang trasparan?
Vita mengelompokkan buku di lantai sesuai abjad inisial judul novel. Karena ia punya ratusan novel, pekerjaan ini akan memakan waktu sangat lama. Bisa-bisa saat ia selesai apelnya sudah membusuk di dalam piring sama.
Cahaya matahari di dalam kamar Vita semakin redup. Gelap du luar kian pekat. Vita sudah membuka kardus terakhirnya. Ia bekerja sangat cepat. Tumpukan novel-novel meninggi di masing-masing abjad.
Saat selesai Vita menyapukan rambutnya yang sudah bebas dari ikatan ke belakang. Ia baru sadar jika buku-buku sketsa lama dan celengannya tidak ada. Hanya ada beberapa buku sketsa lama yang tercampur dalam kardus-kardus novel. Ia ingat jika ada kardus yang lumayan besar yang isinya hanya buku sketsa lama dan celengan. Nah, masalahnya sekarang di mana keberadaan kardus itu. Apa ibunya sudah membuangnya diam-diam? Atau kardus itu tertinggal?
Vita berdiri. Kepalanya pusing sekali. Ia sudah terlalu lama menunduk. Dengan langkah gontai ia mendekati meja belajarnya dan menghempaskan dirinya pada kursi belajar yang empuk dan dapat berputar. Tangannya menghela piring buah lebih dekat, kemudian mengambil satu buah apel yang sudah menguning secara keseluruhan.
Dalam temaram senja dalam kamarnya, Vita mengunyah dengan lahap buah apelnya yang sejak tadi sudah menunggu untuk dinikmati. Ia sungguh lapar. Saat seperti ini, ia jadi ingat satu hal yang sering sekali dilupakannya, makan siang. Dan ia melupakannya lagi hari ini. Hal ini sangat aneh mengingat ia ini sangat suka mengunyah, tapi ia hampir selalu lupa untuk makan siang.
***
Hari kedua di sekolah tidak buruk. Ini bahkan bisa di bilang cukup baik. Setidaknya ada dua murid yang sudah mengajaknya mengobrol. Kemarin Rafka, sekarang Andra.
Hal pertama yang Andra tanyakan padanya adalah: Kamu yang minjemin payung waktu itu, ‘kan?
Ia mendapat kesan jika pertanyaan itu sudah dihafalkan. Andra cukup cepat saat menanyakan hal itu dan tak ada kata yang meleset sama sekali. Itu memang hanya teorinya, tapi biasanya lidahnya sering terpeleset saat mengatakan hal yang belum direncanakannya dengan cepat. Bisa saja itu hanya terjadi padanya, tidak pada Andra. Entahlah.
Jawabannya hanya ‘ya’, tak ada tambahan lainnya, kemudian guru datang. Percakapan selesai.
Sejak pertama masuk ke kelas ini, ada satu dari beberapa hal yang Vita perhatikan tentang Andra. Bahwa laki-laki itu terus didekati oleh gadis bernama Reina yang duduk di baris sebelah laki-laki itu.
Pikiran tentang Andra langsung tersapu dari otaknya ketika ia menoleh, mendapati bangku Rafka kosong.
Apa laki-laki itu tidak masuk? Apa laki-laki itu sudah biasa seperti ini? Tidak ada orang yang bisa ditanyainya, hanya dirinya sendiri. Lagi pula kenapa ia terus memikirkan laki-laki itu. Sepertinya sejak kemarin ia sama sekali tak bisa meletakkan Rafka sedikit jauh dari pikirannya. Hampir hanya laki-laki itu yang terus-menerus berputar di kepalanya. Apa Rafka semenarik itu?
Vita tersenyum kecil. Lucu sekali. Sejak kapan ia mulai tertarik pada seseorang yang ada disekitarnya? Selama ini ia hanya tertarik pada Justin Bieber, Harry Potter, dan beberapa aktor drama Korea. Semuanya adalah orang-orang yang tak ada di sekitarnya, beberapa bahkan fiktif belakang. Hanya orang-orang itu yang hidupnya cukup menarik baginya, tidak pernah ada yang lain sebelumnya.
Suasana begitu hening di dalam kelas selama jam pelajaran. Berbeda sekali jika yang mengajar adalah guru Matematika kemarin siang. Pagi ini ia bahkan bisa mendengar suara langkah yang mendekat ke kelasnya. Jadilah ia berkali-kali menoleh ke pintu, sembari samar-samar berharap Rafka akan datang. Vita tidak menyadari hal itu.
Tanpa membereskan buku-buku yang ada di mejanya, Vita beranjak dan menghela novel dari dalam lacinya begitu guru yang mengisi kelasnya keluar. Tak ada yang bisa dikerjakannya, lebih baik ia mencari tempat yang tenang dan melanjutkan bacaannya. Dan itu lebih baik daripada ia terus-menerus menoleh ke pintu. Lehernya akan sakit nanti.
Vita menaiki anak-anak tangga di setiap lantai hingga ia tiba di lantai yang paling sepi dari lantai-lantai sebelumnya. Ia kira ini adalah lantai terakhir. Ruangan di sini kelihatannya tidak terlalu banyak digunakan. Dan yang ada di hadapannya ini adalah jajaran anak tangga terakhir. Sedangkan yang ada di atas sana adalah atap. Itu pasti.
Vita duduk di anak tangga kelima dari bawah. Dibukanya halaman terakhir yang di bacanya, dan ia mulai tertunduk senyap. Sangat senyap. Hanya hembusan napasnya yang pelan dan teratur yang terdengar.
Beberapa saat kemudian...
“Mau dengerin?”
Vita langsung menoleh dengan spontan. Astaga. Ia benar-benar terkejut. Rafka sudah duduk di sisinya sembari mengulurkan sebelah earphone. Ia tidak menyadari saat Rafka melangkah mendekat. Ia yang terlalu fokus membacakah atau Rafka yang melangkah tanpa suara seperti ulat bulu?
“Sejak kapan kamu di sini?”
“Lima detik yang lalu,” jawab Rafka, disertai senyum menyenangkan.
“Dari?”
Rafka menunjuk ke atas. Vita mengikuti arah tunjuknya.
Tiba-tiba Rafka memasangkan sebelah earphone ke telinga Vita. Sesuatu yang tak pernah Vita alami sebelumnya. Terkejut pasti, tapi melihat Rafka yang sudah kembali fokus pada ponselnya, ia pun ikut kembali fokus pada novelnya.
Laki-laki itu bersenandung kecil mengikuti lagu yang terputar.
“Kita beneran gak kenal sebelumnya?”
Tanpa menoleh Vita menjawab, “Aku gak tahu.” Jawabannya masih sama seperti kemarin.
Tak lama kemudian Rafka berkata pada Vita, “Boleh liat playlist lo gak?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Biruuuu
hadir kak
2021-04-15
1
Tita Dewahasta
like 3.
kutunggu feedback nya di karyaku "emak, aku pengen kawin" ya
2021-04-11
0
BELVA
mampir jg di novelku
#gadis imut diantara dua raja
mksh ya ka
2021-01-22
0