Bab 7

“Vita!”

Mendengar namanya diserukan, Vita langsung menoleh. Ia berhenti melangkah menampak Andra berjalan cepat menghampirinya. Ini sudah jam pulang, dan koridor ramai oleh murid-murid yang menuju gerbang. Dengung obrolan mereka riuh rendah menggambarkan kegembiraan pulang ke rumah. Vita sendiri bahagia.

“Kenapa?” tanya Vita.

“Kamu mau ikut aku nyari buku soal-soal SBM, enggak?”

“Oh,” ucap Vita, ia dan Andra sudah kembali melangkah. “Ayahku udah ngebeliin buku-buku kayak gitu dari semester empat kemaren.”

“Mmm...”

“Ngomong-ngomong, kamu mau kuliah di mana?”

Untuk pertama kalinya Vita melihat Andra tidak percaya diri. Laki-laki itu menunduk dengan kedua tangannya menggenggam kiri-kanan tali tasnya. Vita jadi berpikir, kampus mana yang dingin dimasuki oleh laki-laki itu? MIT, Harvard, Oxford, Yale?

“Aku pengen coba daftar di Harvard atau Oxford.” Ucap Andra. “Tapi seeenggaknya harus lulus SNMPTN UI atau enggak UGM.”

Vita tersenyum. Ia senang pada orang-orang yang sudah punya visi ke depan. Bukan karena apa-apa, tapi karena ia sendiri tak punya hal itu. Ia bahkan belum terpikir untuk kuliah di mana. Ayahnya menyarankannya untuk kuliah di Oxford, dan ayahnya juga yakin jika ia pasti akan lulus tes masuk kampus bergengsi itu. Tapi ia masih tak yakin. Ah, sudahlah. Pikirkan dulu ia mau jadi apa. Novelis atau yang lain.

“Aku yakin kamu bakalan lulus SNMPTN dan lulus tes masuk Harvard, kok.”

“Semoga.” Andra menoleh pada Vita, “Kamu sendiri mau kuliah di mana?”

Vita mengangkat bahunya. “Enggak tahu.”

“Mau ke toko bukunya jam berapa, Ndra?”

“Kamu mau ikut?”

“Iya,” Vita mengangguk. “Aku tadi ‘kan gak bilang kalo aku gak mau. Jadi, jam berapa?”

“Jam empat, ya?”

“Aku gak mau nunggu, loh, kalo kamu telat,” Vita memperingatkan Andra.

Ia memang tak suka menunggu. Ia tak pernah menimbun PR-nya dan menunggu mendekati waktu mengumpul untuk mengerjakannya. Bahkan, ia pernah meninggalkan sepupunya, dan pulang lebih dulu dari sekolah karena sepupunya itu terlalu lama menulis materi dari papan tulis. Dan lagi, sebelumnya ia tak pernah punya teman, yang membuatnya tak perlu menunggu untuk pergi bersama atau pulang bersama dari suatu tempat seperti kembar dempet.

“Kamu mau nyari buku apa?”

Entahlah. Vita tak tahu buku apa yang ingin dibelinya di toko buku. Ia masih punya novel-novel yang belum dibaca. Jadi, apa yang akan ia beli?

“Novel, komik... Apa ajalah yang bagus.”

“Oh, iya, Vit, kenapa kamu pindah pas tengah semester, udah kelas dua belas lagi? Aku kira sekolah gak bakalan ngijinin karena ribet kan ngurusinnya.”

“Biasanya memang gak diijinin. Tapi karena sekolah kita satu yayasan, lebih gampang buat ngurusin masalah nilai. Dan ada bantuan sedikit koneksi,” jawab Vita jujur. Toh, ini bukan sesuatu yang merugikan orang lain.

Andra mengangguk-angguk mengerti. “Tapi kenapa mau pindah sekarang?”

“Soalnya aku udah gak betah tinggal di rumah Nenekku,” Vita menjawab pertanyaan Andra.

“Memangnya Nenek kamu kenapa?”

Vita tersenyum. “Cerewet banget.”

Andra tersenyum.

***

Di siang hari yang panas, paling cocok makan sesuatu yang dingin, benar? Tapi Vita malah memakan bubur kacang hijau yang hangat. Gadis itu duduk santai di salah satu kursi makan dengan mangkuk di hadapannya, berdampingan dengan ponsel. Ruangan sunyi sepi. Bukan hanya ruangan ini, tapi semua ruangan di rumahnya sepi. Adik dan ibunya tidur, ayahnya bekerja. Hanya ia yang ada dan terjaga.

“Woi, sepupu!”

Uhuk! Vita tersedak. Biji kacang hijau terasa tersangkut di kerongkongannya. Tangannya yang panjang dengan cepat meraih teko dan menungkan airnya ke dalam gelas. Ia langsung menghembuskan napas lega begitu air mengalir ke kerongkongannya dan menghanyutkan biji kacang hijau hingga ke lambung.

Saat akan menoleh, seseorang menepuk-nepuk kepala Vita dengan cukup kuat sembari berkata, “Udah gede ya, sekarang Ta, Ta, Vita.”

Vita menyapukan rambutnya ke belakang begitu kepalanya sudah bebas. Ia melihat orang yang seenaknya memukul kepalanya sudah mengambil tempat di kursi sebelah sembari menghela mangkuk bubur kacang hijaunya.

“Sakit tahu enggak, Ra,” respon Vita atas tepukan di kepalanya, pada gadis bernama Tiara yang berstatus sebagi sepupunya yang sangat cantik. “Lagian kita ‘kan baru gak ketemu sebulan, gak usah lebay,” komentar Vita dengan alis mndekat.

“Tiap bulan lo nambah sinis aja, Ta.” Tiara menyendokkan bubur kacang hijau ke dalam mulutnya.

“Padahal aku udah dua minggu di sini, kenapa kamu baru ke sini sekarang?” tanya Vita, ia menyandarkan punggungnya ke punggung kursi. Ia dan Tiara memang seperti ini. Entah apa pembukaannya, entah apa topiknya, yang penting tidak ada jeda kosong.

“Nenek sihir,” Tiara memulai curahan hatinya, “nyuruh gue bimbel sana sini. Dia sama sekali gak perduli adiknya baru pindahan. Gak ada mau silaturahmi sambil bawain apa ‘gitu.” Tiara berdecak, “Om Herry memang gak beruntung punya kakak kayak Mama gue.”

Memang benar, Tiara memanggil ibunya ‘Nenek sihir’. Tahu darimana Tiara mendapatkan ide untuk memanggi ibunya seperti itu? Dari dirinya, Vita Anastasya, keponakan yang durhaka.

Sebenarnya Vita tak bermaksud memanggil tantenya seperti itu. Dulu, ketika ia dan Tiara masih kecil, mereka sering menonton film yang memiliki tokoh penyihir tua jelek yang jahat. Dan perlu kalian tahu, ibu dari sepupunya ini adalah wanita antagonis yang jarang tersenyum dan selalu melotot padanya, mirip sekali nenek sihir. Jadilah ia keceplosan mengatakan pada Tiara jika ibunya mirip sekali dengan tokoh penyihir tua jahat yang mereka tonton. Awalnya ia kira Tiara akan marah, tetapi ternyata gadis itu malah tertawa dan terus menyebut ibunya dengan panggilan ‘Nenek sihir’ jika sedang mengeluhkan ibunya itu padanya—Vita.

“Tante ke sini, kok, waktu itu.”

“Oh, ya? Kok, dia gak ngajak gue, sih,” gerutu Tiara.

“Kalo sibuk bimbel, kenapa kamu bisa ke sini?”

Tiara tersenyum. “Gue bilang kalo hari ini jam bimbelnya di tambah, soalnya sebentar lagi mau ujian semester. Lagian Nenek sihir itu gak tahu kenapa jadi berambisi banget bikin nilai akhir gue bisa nyaingin lo.”

“Kenapa gak dari kemaren-kemaren bohongnya?” Vita menegakkan kembali punggungnya.

“Hari ini Mama lagi sibuk banget di kantor, jadi gue kira dia gak bakalan sempet buat nanya ke tutor di tempat bimbel-an gue ada jam tambahan enggak.”

Vita melirik mangkuk kosong yang di dorong Tiara kembali ke padanya.

“Oh, iya, Ta, lo bilang lo sekolah di mana?”

Vita menyebutkan nama sekolahnya seraya beranjak dari kursi dan mengangkat mangkuk kosong bekas bubur ke tempat cuci piring.

“Temen SMP gue banyak yang sekolah di sana tahu.”

“Siapa?” Vita menyalakan keran air.

“Reina...”

Cewek yang nempelin Andra terus.

“...Andra...”

Yang tadi siang ngajakin beli buku contoh soal dan penyelesaian SBM-PTN.

“...Rafka...”

Yang tingkahnya gak ketolongan.

“Dan masih banyak lagi. Rata-rata ‘kan yang barengan sama gue sekolah di sana,” jelas Tiara. “Lo kenal sama mereka?”

“Mm. Aku malah satu kelas sama mereka bertiga.” Vita mematikan air keran.

***

Vita berjalan di sepanjang lorong-lorong yang terbentuk karena jajaran rak-rak buku. Ia berjalan diiringi oleh Andra yang ia kira terus berusaha mempertahankan obrolan mereka. Walau sebenarnya Vita tak yakin Andra tertarik denga hal yang mereka obrolkan. Karena ia tahu, tak banyak laki-laki seumurnya yang suka membaca novel bergenre romantis. Apalagi laki-laki seperti Andra, pecinta buku Fisika.

Vita menarik salah satu novel yang sekiranya cukup menarik bagian sampulnya, tidak tahu isinya. Ia berbalik dan melihat Andra yang langsung membuang pandangannya ke rak buku di sisi kirinya. Apa yang dilakukan laki-laki itu?

“Kamu udah pernah baca novel A Walk To Remember belum, Ndra?”

Andra mengembalikan arah pandangannya pada Vita yang berjalan mundur dengan perlahan. Kemudian ia menjawab, “Belum.”

“Kalo The Davinci Code?”

“Udah kalo itu.”

Itu artinya Andra lebih tertarik pada novel-novel misteri, tapi kenapa laki-laki itu pura-pura tertarik pada genre romantis. Apa Andra kira ia tak akan tahu bahwa dirinya—Andra—tak tertarik pada genre romantis? Sepertinya Andra terlalu meremehkannya. Tidak mungkin ia dapat di tipu mengenai hal-hal seperti ini. Ia ini ‘kan bukan gadis yang kurang pintar dan tidak peka.

“Kamu mau nyari buku lagi, enggak?” tanya Vita demi kesopanan. Ia tahu jika yang dibutuhkan oleh Andra hanya buku pelajaran.

“Enggak. Kamu?”

“Aku udah,” Vita mengangkat novel yang telah diambilnya, “Ini aja.”

“Ya, udah. Ayo!” ajak Andra. Sekarang ia yang berjalan di depan, dan Vita sudah kembali menormalkan cara berjalannya.

Ketika ia dan Andra telah keluar dari toko buku, Vita baru mengetahuinya jika di luar sini  hujan. Kalau seperti ini, ia tak bisa langsung pulang dengan naik motor. Ia kan tidak boleh hujan-hujanan oleh ayahnya, karena ayahnya berkata ia akan sakit. Dan walau ayahnya belum tiba di rumah, ibunya pasti tak akan melewatkan kesempatan untuk memberi tahu ayahnya tentang hal yang ia langgar.

“Mau langsung pulang?”

“Nunggu reda dulu, deh.”

“Mau nunggu di sini aja?”

Vita melihat ke sekitar, mencari tempat makan paling dekat yang enak. Ia baru makan beberapa sendok bubur tadi siang karena sepupunya yang tak tahu diri. Imbasnya, sekarang ia merasa sangat lapar, apalagi hujan seperti ini. Ia benar-benar butuh asupan makanan sekarang.

“Di deket sini ada toko kue,” Andra menunjuk kiri jalan. “Kamu mau ke sana dulu, enggak?”

Vita mengangguk, “Enggak jauh, ‘kan?”

“Gak sampe seratus meter.”

Andra menaiki motornya, diiringi Vita kemudian setelah motor tersebut menyala. Motor itu melaju lebih cepat daripada saat mereka pergi tadi. Melaju membelah jalanan yang lengang di timpa hujan yang kuotanya semakin bertambah setiap waktunya. Dan... stop! Mereka sampai di depan sebuah toko kue yang nampak hangat. Pasti lezat sekali makan sepotong blackforest ditemani segelas hot coklat.

Dengung obrolan langsung terdengar begitu Vita memasuki toko. Banyak meja yang sudah terisi, mungkin karena hari hujan. Sama sepertinya, bisa saja orang-orang itu singgah untuk berteduh sekaligus mengisi perut yang kosong.

Vita dan Andra mengambil tempat di dekat jendela yang masih kosong. Vita memesan kue dan minuman yang sudah dipikirkannya tadi. Hingga makanan datang, obrolan tercipta antara dirinya dan Andra. Ia senang Andra sudah berhenti sok tahu tentang novel-novel romantis. Ia lebih suka Andra membicarakan sesuatu yang memang disukainya, bukan disukai dirinya—Vita.

Lama Vita dan Andra mengobrol. Makanan mereka pun hampir terlupakan. Mereka terus membicarakan segala hal yang muncul di kepala masing-masing. Ini untuk pertama kalinya bagi Vita berbicara begitu banyak dengan orang lain. Sampai akhirnya hujan mereda mereka masih tetap tinggal untuk beberapa waktu, dan memutuskan untuk pulang setelah Vita melihat arloji yang melingkari pergelangan tangannya menunjukkan waktu yang sudah tidak siang lagi. Sore bersama Andra pun berakhir.

*** 

Terpopuler

Comments

yul,🙋🍌💥💥💥

yul,🙋🍌💥💥💥

keren

2021-04-14

1

Aktivis

Aktivis

bener deh ni novel bahasanya tinggi menurut ku, walau ku suka ni novel

2021-04-06

2

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

❤️❤️❤️❤️

2020-12-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!