"Ndra?"
Rafka tak suka mendengar Vita memanggil nama Andra. Untuk pertama kalinya ia merasa tak suka pada Andra. Sebelumnya ia biasa saja walau laki-laki itu tidak mengacuhkannya. Ia tak membencinya atau memusuhinya. Biasa saja. Namun saat ini ia merasakan luapan rasa tak suka pada laki-laki sok pintar itu.
Suara tawa Vita membuat Rafka menajamkan telinganya. Apa yang baru saja dikatakan oleh Andra hingga Vita tertawa? Ia saja kesulitan membuat gadis itu tertawa. Lelucon macam apa yang Andra lemparkan pada Vita. Ia penasaran sekali.
"Pertanyaan kamu banyak banget, sih, Ndra," ucap Vita. "Aku lagi naik motor. Di jalan. Sama Rafka," tambahnya untuk menjawab pertanyaan Andra. Jawabannya tak hanya satu, menjelaskan kenapa Vita berkata jika pertanyaan Andra begitu banyak.
Andra itu polisi atau apa? Pikir Rafka. Bisa-biasanya ia mengajukan banyak pertanyaan pada Vita. Memang apa pedulinya pada Vita. Dia siapanya Vita hingga harus banyak bertanya?
"Ndra?"
Rafka memacu kendaraannya lebih cepat. Pemandangan di kiri dan kanan berlari menggalkannya. Begitupun dengan suara Vita. Itu bagus. Lebih baik baginya kalau suara Vita tak terdengar olehnya untuk saat ini. Tidak seperti yang seharusnya terjadi, ia merasa tak nyaman mendengar seseorang gadis menyebut nama laki-laki lain saat sedang bersamanya. Ketika ia masih memiliki pacar saja ia tak peduli jika pacarnya memanggil laki-laki lain 'sayang' di depannya. Tapi, kenapa ia jadi tak suka bila Vita yang hanya berstatus sebagai temannya saja, memanggil nama Andra?
Semakin lama kecepatan Rafka semakin menurun, sampai akhirnya mereda di depan toko bunga yang sepi. Hening. Tak ada pelanggan. Itulah alasan ia menjadi langganan tempat ini. Asas kasihan. Ia memang sangat baik.
Rafka membiarkan Vita terlebih dahulu turun dari motor. Ia lega gadis itu telah menyudahi teleponnya. Setelah Vita turun dan melepaskan helmnya, Rafka baru memisahkan diri dari kendaraan yang semakin jarang dimanfaatkannya itu.
"Cha," Rafka memulai, "Soal yang tadi, lupain aja. Aku tadi tiba-tiba aja kepikiran itu. Jadi, aku tanyain. Situasainya jadi gak nyaman sekarang."
"Aku udah lupa, kok." Vita menyisir rambunya ke belakang.
"Bagus," sahut Rafka. Sejenak ia hanya bergeming, melirik Vita dan tanah bergantian dalam interval teratur.
"Kamu mau nunggu di sini apa ikut aku masuk?"
"Di sini aja, deh," pilih Vita. Ia bergeser lebih dekat dengan badan motor.
Rafka mendorong pintu kaca di depannya. Seorang wanita berwajah penuh senyum datang menghampiri. Wanita itu masih tetap sama dengan terakhir kali ia melihatnya. Sama ramahnya, sama berisinya, sama tingginya, sama semuanya, kecuali bajunya.
"Mawar putih?" tanya wanita itu.
Dengan anggukkan ringan dari Rafka, Andrea-wanita itu-berbalik menyiapkan pesanan Rafka. Biasanya Rafka akan mengekori wanita itu, tapi kali ini ia berjalan melihat-lihat bunga siap rangkai dan yang di jual dalam pot. Sebelumnya ia tak melirik bunga lain. Ia hanya fokus pada apa yang akan dibelinya. Jika terus dipikirkan ia memang semakin tak biasa makin ke sini. Entah apa yang mengubahnya, mengubah kebiasaannya.
Langkah Rafka terhenti saat ia melihat bunga ungu kecil-kecil di dalam pot. Amaranth. Sudah lama ia tak melihat bunga itu. Diambilnya salah satu pot. Ini bagus untuk Vita. Supaya gadis itu tidak membaca buku terus-menerus dan membuatnya bertambah pintar yang akan menjadikannya sok, lebih baik gadis itu menyirami bunga ini sembari memerhatikan seberapa besar pertumbuhannya setiap hari. Lebih berguna.
Kali ini Rafka menuju kasir. Ia meletakkan pot kecil itu di atas meja.
"Amaranth?" tanya wanita itu. Ia baru saja berputar dan meletakkan buket bunga mawar putih pesan Rafka ke atas meja. "Kamu tahu artinya apa?"
Artinya? Ya, Rafka tahu. Dan baru ingat. Membuatnya jadi ragu untuk memberikan ini pada Vita. Bagaimana jika gadis itu juga tahu artinya? Lebih baik ia tak usah membelinya.
"Jadi bunga mawarnya berapa, Mbak?"
"Kayak biasa."
Rafka menyodorkan sejumlah uang kepada Andrea, yang langsung di terimanya dengan sopan. Rafka hanya membeli bunga mawar saja. Batal membelikan Vita bunga.
"Amaranth-nya gak jadi?"
"Besok aja."
"Ambil aja. Gratis buat kamu," jawab Andrea tersenyum.
Rafka menaikkan alisnya sangsi. Selama bertahun-tahun langganan baru sekali ini diberi gratis.
"Ini buat temen kamu di depan, kan? Ini perama kalinya kamu ngajak temen, biasanya sendiri."
"Oh..." Ragu-ragu Rafka, ia tak tahu harus menjawab apa. Diambilnya bunga pot itu. "Makasih, Mbak."
"Sama-sama."
Bunga amaranth itu terasa sangat berat di tangan Rafka saat ia berjalan keluar, menghampiri Vita. Ia berdebar. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kenapa ia jadi merasakan hal seperti ini pada Vita? Sejak awal bertemu Vita, ia merasa bahwa gadis akan menjadi teman yang menyenangkan. Sama seperti Tiara pada awalnya. Tidak bersikap berlebihan karena tampangnya. Namun, pada akhirnya Tiara tetap memiliki perasaan lebih padanya. Dan kini ia yang mulai merasakan itu terjadi padanya. Sial.
Rafka berdehem. "Nih, bunga dari yang punya toko."
"Eh?"
"Ambil aja," ucap Rafka semakin mendekatkan pot itu kepada Vita. Gadis itu mengambilnya dengan bingung.
Rafka mengulurkan buket bunga di tangannya pada Vita, "Tolong pengangin, dong."
Dua detik Rafka membiarkan tangannya di udara, tapi Vita sama sekali tak menyambut bunganya. Ia mengangkat matanya sejajar dengan mata Vita, dan menemukan pandangan gadis itu melesat melewati telinganya. Setelah menurunkan tangannya, Rafka berbalik, mendapati pemilik toko bunga menatap mereka berdua. Rafka tesenyum sopan.
"Vita," tegur Rafka, "Tolong." Kembali mengulurkan bunganya. Vita menerimanya, namun dengan wajah yang sendikit aneh.
"Ayo cepetan!"
***
"Raf," Vita menahan tangan Rafka. Ini taman pemakaman. "Kita mau..."
"Ke makam Mamaku," Rafka meneruskannya. Ia tersenyum. Di tengah-tengah keraguan Vita, dilepasnya tangannya dan ganti dirinya menarik pergelangan tangan Vita. Menarik gadis itu dengan pelan untuk terus melangkah ke depan.
Vita melirik pergelangan tangannya dalam gengaman Rafka. Hangat. Dengan perlahan, diikutinya langkah-langkah Rafka, melalui nisan-nisan lama sepanjang jalan yang-percaya atau tidak-terasa sangat, sangat singkat. Sesingkat kedipan mata.
"Ini dia," lirih Rafka.
Mereka menjulang di sisi makam lama bernisan hitam. Tertulis nama 'Anastasya' diikuti tanggal lahir dan berakhir. Inilah dia, tempat peristirahan ibu Rafka. Wanita yang mungkin sudah lelah menghadapi sulitnya hidup, tapi barangkali belum juga bisa tenang mengetahui bagaimana hubungan anaknya dengan keluarga suami-bukan, Vita tak tahu apa istilahnya.
Vita lebih dahulu berlutut. Dipungutinya daun-daun kering yang jatuh ke atas makan itu. Sementara diletakkannya dulu pot bunga dari pemilik toko tadi ke sisinya.
"Dia di panggil 'Acha'?"
"Mm." Rafka ikut berlutut di samping Vita. Ia meletakkan buket mawar putih bersandar pada nisan ibunya. Ibu, yang jenazahnya entah berupa apa saat ini. Wajah raganya yang Rafka kenal mungkin sudah hilang. Lenyap bersatu dengan bumi.
Vita mengerling Rafka. Pandangan laki-laki tanpa ibu ini kosong. Tak jelas titik mana yang dituju korneanya.
"Kamu pasti kangen banget sama Mama kamu, ya, Raf." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
Walau ia belum pernah jadi Rafka, sedikitnya ia tahu rasa sakit dan rindu yang tak akan pernah hilang dari hati Rafka.
"Lebih dari apapun."
Tangan Vita terangkat perlahan mendekati pundak Rafka. Dengan sedikit tarikan napas, ditepukkannya tangannya pada pundak Rafka dengan pelan dan kaku. Ini terasa asing baginya. Namun terasa benar. Seperti ia bisa mengurangi sedikit kesedihan temannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
yul,🙋🍌💥💥💥
pelan pelan....di hayati...
😍😍
2021-04-16
1