The Sketchbook

The Sketchbook

Bab 1

Vita Anastasya, seorang gadis tinggi, dengan rambut panjang coklat gelap, iris mata sewarna dengan karamel, berjalan di sepanjang jalan sepi menuju rumahnya. Ini adalah lingkungan barunya. Baru dua hari yang lalu ia tiba di sini. Jakarta. Sebelumnya ia tinggal di Surabaya bersama neneknya, sedang orang tua dan adiknya tinggal di Bandung. Ia pindah ke sini karena ayahnya di pindah tugaskan ke sini, dan ia sudah bosan tinggal jauh dari orang tuanya.

Dulu, ia pernah tinggal di sini. Dari usianya baru tiga tahun hingga ia berusia 10 tahun. Sebentar lagi usianya akan genap delapan belas tahun. Jadi, sudah delapan tahun ia meninggalkan tempat ini. Sudah lama sekali. Tapi jujur saja, ia tak begitu senang kembali ke sini. Ia lebih suka tinggal di tempat yang lebih tenang dan damai. Mungkin seperti pedesaan di negara subtropis seperti Inggris. Ia suka sekali negara itu.

Vita memindahkan plastik berisi semangka yang dibawanya ke tangan kiri. Kenapa semangka harus seberat ini?  Pikirnya. Lagi pula kenapa adiknya ingin makan semangka hari ini? Kenapa tidak besok saja saat ibunya akan pergi belanja? Menyebalkan sekali. Padahal rencananya sore ini adalah menonton drama Korea.

Tangan Vita merogoh tas coklat cukup besar yang disandangnya. Dikeluarkannya sebuah ponsel pintar. Tanpa memandang jalan, Vita memerhatikan ponsel sembari melangkah. Setiap detiknya, langkahnya semakin kecil dan kecepatannya kian rendah.

Keningnya langsung berkerut ketika satu titik air jatuh di atas layar ponselnya. Ia menurunkan ponsel dari depan wajah, lalu kepalanya mendongak. Nah, kenapa hujan harus turun sekarang?

Cepat-cepat Vita memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, lalu ganti ia mengeluarkan sebuah payung berwarna merah muda. Untung ia ingat untuk membawa payung saat pergi tadi. Ia ini ‘kan selalu update, jadi ia tahu jika akhir September adalah awal musim hujan untuk tahun ini. Ia memang menghabiskan banyak waktunya untuk menonton drama Korea, menggambar sketsa, dan menguntit Justin Bieber melalui media sosial, tapi ia tetap tahu info BMKG yang mengatakan jika akhir September tahun ini adalah awal musim hujan. Dan menurut prakiraan cuaca, sore ini akan turun hujan.

Vita membentangkan payungnya. Tepat pada saat itu, seseorang berlari dari jalan di seberang sisi Vita menuju ke arahnya, dan ikut berteduh bersama di bawah payung yang ia bentangkan.

“Boleh gabung, kan?” tanya laki-laki itu, usianya mungkin tak jauh dari Vita sendiri. “Tasku gak tahan air, nanti buku-bukuku jadi basah kalo aku gak neduh.” Senyumnya mengembang saat ia berbicara pada Vita. Ramah.

Selama laki-laki itu berbicara Vita hanya memandangi laki-laki itu. Ia masih terkejut karena laki-laki itu tiba-tiba berada di bawah payung yang sama dengannya. Jika orang itu adalah orang yang dikenalnya ia tak akan merasa aneh. Tapi orang ini benar-benar tak dikenalnya. Membuatnya canggung. Apalagi dia bukan perempuan.

“Gak masalah, ‘kan?” tanya laki-laki itu, senyumnya mulai memudar.

Vita menggelang. Ia baru menyadari jika laki-laki itu memakai seragam SMA.

Kembali ia mengarahkan wajahnya ke muka. Semua gerutuannya dalam hati tadi telah lenyap tanpa sisa. Ia hanya diam. Otaknya pun lebih hening dari sebelumnya. Tak tahu harus memikirkan apa.

Selama jangka waktu lima belas menit itu, hingga ia mendapatkan taksi dan meminjamkan payungnya pada laki-laki itu, ia sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun selain ‘bawa aja payungnya’ sebelum naik taksi. Ia juga tak mengerti kenapa ia meminjamkan payung pada orang asing, padahal belum tentu mereka akan bertemu lagi. ‘Kan lumayan harga payung.

***

Ramai sekali suara hujan yang terdengar oleh Rafka Anggara yang tengah duduk di birai jendela kamarnya dengan punggung tersandar santai. Jendela yang hanya boleh di buka oleh dirinya sendiri, tidak dengan orang lain. Karena ia tak suka orang lain memasuki kamarnya.

Wajahnya yang begitu tampan, datar tanpa ekspresi. Dengan mata berwarna hitam kelamnya, ia memandangi setiap bulir air yang jatuh menimpa halaman depan. Sesekali ia menyeka rambutnya ke belakang. Ia pikir musim hujan akan mulai pada bulan depan, seperti tahun kemarin.

Rafka mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana abu-abunya. Sebentar saja ia menarikan jari-jarinya dengan lincah di atas layar ponsel, lalu kembali memasukannya ke dalam saku. Setelah itu Rafka beranjak dari jendela. Ia berjalan mendekati lemari pakaian, dan menarik salah satu kaus lengan panjang dari antara lipatan pakaian.

Rafka melirik jam yang tergantung di salah satu sisi dinding kamarnya sembari mengenakan sepatu yang sudah  diambilnya dari rak. Ia akan pergi sebelum ayahnya tiba ke rumah. Ia tak ingin bertemu dengan ayahnya terlalu sering, itu membuat tekanan darannya naik. Jadi, lebih baik ia pergi. Terlalu lama di rumah ia bisa stroke.

Dalam beberapa langkah Rafka telah menggapai gagang pintu kamarnya. Begitu ia menariknya, seorang wanita paruh baya dengan satu tangan memegang nampan susah payah dan tangan lainnya berhenti di depan wajahnya dalam posisi akan mengetuk.

“Maaf, Den.” Cepat-cepat wanita itu menurunkan tangannya.

“Gak pa-pa, Bi.”

“Den Rafka mau ke mana?” tanya asisten rumah tangga itu. “Udah Bibi bawain makan.”

“Saya mau keluar sebentar,” jawab Rafka, “Bibi taro’ makanannya di dalem aja.”

“Tapi ‘kan, Den...”

Rafka langsung melesat pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Langkahnya terkesan panjang-panjang. Ketika menuruni tangga, Rafka bahkan seperti berlari.

Ia punya banyak alasan untuk menghindari ayahnya. Ia punya banyak alasan untuk pergi ketika tahu ayahnya akan datang. Orang-orang yang tak tahu mungkin akan mengatakan jika ia adalah anak yang kurang ajar, tapi jika mereka tahu, tak akan ada yang mau memiliki ayah seperti ayahnya, apalagi mengatakan ia kurang ajar.

“Anterin saya, Pak,” kata Rafka, pada supir yang sedang duduk santai menikmati kopi panasnya.

“Ke mana, Den?” Supir itu langsung berdiri. Kopi panasnya telah menyingkir dari tangannya dengan berat.

“Cepetan aja.” Ia berkata seperti itu karena ia sebenarnya tak punya tujuan. Jadi, ia akan memikirkannya di jalan nanti. Kalau memang tak menemukan tujuan juga, mungkin ia akan pergi ke rumah teman Genta.

Rafka menyandarkan punggung pada sandaran kursi mobil selesai pintu mobil  tertutup. Tangannya menghela ponsel dari saku celananya. Setelah itu ia hanya diam memandangi ponselnya, membiarkan supirnya menyetir tanpa tujuan.

“Anterin saya ke rumah Genta aja, Pak,” Rafka akhirnya memutuskan tujuannya.

***

Pintu terbuka. Wajah gadis kecil muncul dari balik pintu. Umurnya mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun. Ia cantik. Terlihat aktif dan talkactive. Rambutnya di ikat dua dengan rapi, dihiasi pita kecil berwarna merah muda.

“Kok, pulangnya sore banget, Kak?” tanya gadis itu pada laki-laki yang baru saja menutup payung.

Ekspresinya terlihat lebih lega daripada sebelumnya mengetahui jika kakaknyalah yang mengetuk pintu.

Gadis kecil itu, Andien, menyingkir membiarkan kakaknya, Andra Hermawan—sebagaimana yang tertulis di bedge seragamnya—masuk ke dalam rumah. Ia baru sadar jika kakaknya itu membawa payung berwarna merah muda. Dari mana kakaknya mendapatkan itu? Tidak mungkin dari rumah ini, karena ia tahu tak ada payung berwarna merah muda seperti itu di rumah ini. Lagi pula, kakaknya ‘kan tak pernah mau membawa payung ke sekolah.

“Dari mana Kakak dapet payung itu?” tanya Andien tepat ketika Andra meletakan payung yang dibawanya ke tempat payung di dekat pintu.

“Nemu di jalan.”

Andien mendengus. Sangat sedikit kemungkinannya jika kakaknya menemukan payung itu. Ia kecil, tapi ia tidak bodoh.

Ia jadi benar-benar penasaran dari mana kakaknya mendapatkan benda itu? Tak mungkin kakaknya itu mendapatkan payung dari pacarnya. Ia begitu tahu jika kakaknya itu tidak punya pacar. Heran juga kenapa. Padahal kakaknya itu cukup tampan menurutnya, juga tinggi, dan putih. Selain itu kakaknya selalu menjadi juara umum di sekolah, seperti kata ibunya. Tetapi kenapa kakaknya tidak laku?

“Mama mana, Ndien?” tanya Andra, melangkah medahului adiknya.

“Ke rumah Bu RT sebentar.”

“Kenapa kamu gak ikut?”

“Males. Banyak ibu-ibu. Mereka itu sering gemes sama Andien, sering dicubit-cubitin.”

Andra, mendengus.

Andien terus mengikuti Andra hingga ke kamar. Ia harus mengejar jawaban yang layak untuk pertanyaannya tadi. Tidak bisa ia menyerah begitu saja. Seandainya payung itu memang milik pacar kakaknya, atau setidaknya milik perempuan yang dekat dengan kakaknya, ia dan ibunya akan punya bahan untuk menggoda kakaknya.

“Kakak mau ganti baju, Ndien,” ujar Andra, yang baru menyadari jika Andien terus mengikutinya.

“Kasih tahu dulu.”

“Apaan?”

“Dapet payungnya dari mana?” tanya Andien keras kepala. Wajah mungilnya nampak lucu sekali.

Dengan sabar Andra menghembuskan napas perlahan. “Kamu tahu tante-tante yang di kompleks sebelah, yang suka pake lipstik warna ijo?”

Andien mengangguk.

“Kakak ketemu dia di jalan mau pulang,” ucap Andra sembari menggaruk kepalanya, “terus dia minjemin payungnya, karena dia mau naik taksi. Udah?”

Aneh, ada sedikit senyum di sudut bibir Andra saat mengungkapkan penjelasannya.

“Udah.”

“Cepetan keluar.”

Andien langsung berbalik meninggalkan kakaknya sendiri.

***

Terpopuler

Comments

maria sutriyana

maria sutriyana

ceritanya menarik

2021-04-14

1

MWi

MWi

like

2021-04-13

0

Tita Dewahasta

Tita Dewahasta

like 1

2021-04-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!