Dua kali sudah Tiara tak sengaja melakukan kontak fisik dengan Rafka. Sumpah, ia benar-benar tak sengaja. Bisa jadi tanpa disadarinya, ia selalu melangkah terlalu dekat dengan Rafka. Maklum, sejak sekolah menengah pertama ia sudah menyukai laki-laki super tampan itu.
“Ada CD yang lain gak sih, Cha?” Rafka sudah melesat dan duduk menghalangi layar televisi.
“Cha?” Tiara bertanya, ia tak tahu siapa yang di maksudkan Rafka. Tapi semestinya itu untuk Vita, mengingat ini adalah rumah sepupunya itu.
“Siapa ‘Cha’?”
“Vita.”
“Oh,” suara Tiara menurun. Ia tetap saja merasa kecewa walau sudah menduga sebelumnya. Ia merasa iri pada Vita, gadis itu mendapat nama panggilan tersendiri dari Rafka. Ia cukup yakin bahwa Rafkalah yang pertama kali memanggil Vita dengan panggilan itu.
Sesegera mungkin Tiara mengembalikan suara dan air mukanya yang baru disadarinya tidak sama lagi seperti sebelumnya. Semoga saja tak ada yang menayadari hal itu. Ia sudah berusaha susah payah agar terlihat bersikap biasa saja pada Rafka, karena laki-laki itu terus menjauhinya. Setidaknya ia cukup peka jika hal itu terjadi karena Rafka tak nyaman atas sesuatu yang pernah diakuinya di masa lalu. Mungkin, bila ia bersikap biasa, orang yang disukainya itu tak akan menjauhinya lagi.
“CD film banyak di kamar Vita. Ambil aja.” Tiara mengerling Vita, “Ya, ‘kan, Ta?” Ia ingin memastikan bagaimana reaksi Vita akan hal itu. Biasanya Vita tak suka ada orang asing masuk ke kamarnya.
“Aku gak suka orang lain masuk kamarku.”
Benar ‘kan.
“I’m your friend, bukan orang lain,” Rafka menanggapi ucapan Vita dengan santai. Ia harap Rafka akan sesantai itu juga menghadapinya.
“Ini, ‘kan kamarnya?” Rafka bertanya ketika sampai di depan pintu kamar Vita.
“Iya,” jawabnya.
Rafka telah menghilang dari pandangan. Tiara melirik Andra yang sejak tadi hanya berbicara sekali. Ada apa dengan temannya itu? Apa dia dan Rafka masih belum berbaikkan? Lama sekali mereka bertengkar. Ia belum pernah bermusuhan dengan seseorang selama bertahun-tahun. Bagaimana rasanya?
“Mau minum, Ndra?” Vita yang berbicara.
Andra mengangguk. “Boleh.”
Sebelum Vita sempat untuk berdiri, telebih dahulu Tiara beranjak dan melesat melewati pintu dapur. Ia ini adalah sepupu yang pengertian.
Tiara membawa tiga gelas sirup jeruk yang dingin menyegarkan sekembalinya dari dapur. Saat ia sampai, Rafka sudah menggati film Despicable Me dengan film Cars yang juga sangat disukai Vita. Percayalah, jika para gadis lain akan memilih Frozen atau Snow White, Vita akan memilih film mobil-mobilan itu sebagai temannya melewati malam Minggu.
Tiara duduk di tempat yang sempat ditinggalkannya. Ia menggambil salah satu gelas yang dibawanya. Sembari meminumnya, Tiara memandangi televisi dan beberapa kali bagian belakang kepala Rafka. Sebuah pikiran yang ia harap tak akan terjadi melintasi benaknya: bagaimana jika Rafka menyukai Vita?
“Kamu udah makan siang, Vit?” tanya Andra.
“Belum.”
Semua laki-laki di ruangan itu menoleh. Tiara sendiri tidak, bukan karena dia perempuan, hanya saja ia tahu Vita suka terlupa atau memang sengaja melupakan makan siang. Lagi pula, jika tidak makan siang ini, Vita sudah punya cukup banyak cadangan makanan dalam lambung untuk diolah. Sebab hanya tertinggal satu roti tawar yang tersisa di atas meja. Belum lagi banyaknya buah apel yang sudah dimakan gadis itu, melihat bagian tengahnya menumpuk di atas piring. Sepupunya itu ‘kan memang banyak makan ketika sedang sakit. Selain makan, Vita juga banyak membaca buku atau menonton film, atau keduanya untuk melupakan rasa sakitnya. Begitulah Vita, sudah terlalu ahli mengatasi rasa sakit karena masa kecilnya yang banyak dihabiskan untuk keluar-masuk rumah sakit.
“Kamu mau makan apa, Vit?” dan “Kamu mau makan apa, Cha?” menggema bersamaan.
Di sini Tiara baru memberikan perhatiannya. Dan perasaannya menjadi tak enak. Ia belum pernah tahu ada orang yang begitu perhatian pada Vita sebelum ini di luar keluarga. Andra tak masalah, tapi Rafka...
Dari duduknya di samping Vita itu, Tiara memerhatikan wajah-wajah yang memandangi Vita. Ia menahan godaan lebih lama untuk memandangi wajah Rafka, dan langsung mengalihkannya pada ponsel Vita yang tergeletak bawah meja.
“Lo mau bubur ayam, Ta?”
Alih-alih mengambil ponsel Vita, Tiara mengambil ponselnya sendiri dari dalam saku. Bersiap memesan.
“Aku mau pempek asli dari Palembang.”
“Eh?” Tiara menoleh pada Vita.
Pandangan Vita tercurah pada televisi.
“Aku gak sesakit itu sampe harus terpaksa makan bubur yang menjijikan itu.”
“Sorry, sorry.” Tiara langsung mencari layanan pesan antar yang lainnya, ia akan memesan paket makan siang yang biasa. Ia lupa jika Vita membenci bubur ayam. Sedang ia ingin memesan itu karena ia sangat menyukainya. Bubur ayam ‘kan enak.
***
Setalah makan siang yang menyenangkan, suasana lebih hening.Suara televisi telah direndahkan oleh Rafka kerena Vita telah terlelap di atas sofa. Jadi, hanya ada dua orang lagi di ruangan ini, Tiara sendiri, dan Rafka, sedangkan Andra sudah pulang seperempat jam yang lalu. Alasan Andra datang ke sini hanya Vita—itu dapat dipastikan, dan karena sepupunya itu sudah terlelap, ia pun pulang.
“Lo siapanya Vita, Ra?” Rafka akhirnya bersuara setelah keheningan yang sangat lama di antara keduanya.
“Gue sama Vita sepupuan,” jelas Tiara. “Gue kira lo udah tahu makanya gak nanya.”
Sungguh, ia memang menduga jika Rafka sudah tahu mengingat tadi Andra langsung menanyakan itu ketika mereka berjumpa di depan. Tapi tak apa, ia senang Rafka bertanya. Sejak tadi ia sudah berharap Rafka akan menanyakan atau mengatakan sesuatu padanya. Ketika mereka makan tadi saja, Rafka hanya fokus pada Vita, seolah-olah tak ada orang dalam ruangan itu kecuali mereka berdua.
Ada jeda beberapa menit hingga akhirnya Rafka berdehem. Rafka berputar, mengarah pada Tiara yang menahan senyum lebar. Ia senang tak terkira.
“Ra,” panggil Rafka, “lo udah gak suka sama gue lagi, kan?” ia bertanya, tanpa perbukaan sama sekali.
Tiara membeku. Apa ini? Ia belum pernah ditanyai hal seperti itu. Apa yang harus dijawabnya. Jika mengatakan ia masih menyukai Rafka, delapan puluh lima persen kemungkinanya laki-laki itu akan terus menjauhi dirinya. Sedangkan jika ia mengatakan tidak, itu pasti akan sangat menyakitkan dan menganggunya.
“Ra,” desak Rafka.
“Enggak,” jawab Tiara cepat, dan satu nanodetik kemudian ia menyesal mengatakan itu. Bodohnya....
Rafka tersenyum. “Seneng dengernya.”
Tapi gue enggak.
“Kita bisa temenan kayak dulu lagi, ‘kan?”
Dengan lemah Tiara mengangguk. Sisi baiknya Rafka tak akan menghindarinya lagi. Setidakkan mereka akan akrab seperti dulu lagi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Ochi_Ara Alleta
next karya ke-2 dr kak Uci yg aq baca❣️❣️❣️
2023-07-05
0