Hening. Sama sekali tak ada suara yang terdengar di ruang perpustakaan ini, hanya suara Rafka yang bergerak sesekali di tempat duduknya. Laki-laki itu duduk di salah satu dari keseluruhan kursi perpustakaan yang kosong. Tangannya sibuk di layar ponselnya yang menyala. Ia sedang melihat-lihat kalung di sebuah situs belanja sambil menanti Vita yang katanya harus mampir sebentar ke toilet. Entah apa yang para gadis lakukan di toilet hingga begitu lama.
Rafka mendengar Vita memasuki ruangan. Ia tak menoleh sedikit pun, hanya menunggu. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada gadis itu, tentang pendapatnya akan sesuatu.
“Mana buku paketnya, Raf?” tanya Vita melihat meja yang masih kosong. Ia mengambil tempat di hadapan Rafka.
“Menurut kamu ini bagus, enggak?” Bukannya menjawab pertanyaan Vita, Rafka malah menunjukan gambar yang membentang di layar ponselnya.
“Bagus. Tapi kenapa kamu gak nyari bukunya?”
“Kamu suka, enggak?”
“Mm.” Vita mengeluarkan sebuah buku paket dan buku tulis juga sebatang pulpen dari dalam tasnya.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Rafka mengembalikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia memandangi Vita, mengamati gadis itu menyiapkan sesi pertama bimbingan belajar privat mereka. Jika di lihat lagi, Vita ini cantik, pikir Rafka. Ia memiliki iris mata berwarna karamel, hidung yang cukup mancung, bibir lumayan penuh dan rambut coklat gelap yang nampak lembut. Bukan saja tampak lembut, rambut Vita juga menguarkan aroma apel yang manis dan menyenangkan, juga menenangkan.
“Tolong ambilin buku Fisika kelas tiga di ujung rak sana, Raf,” pinta Vita.
Tanpa berkata apapun Rafka langsung melaksanakan permintaan Vita itu.
Hanya butuh waktu satu menit bagi Rafka untuk mengambil buku yang di pinta Vita lalu pulang kembali ke kursinya sendiri. Dan pelajaran bersama ‘Ibu Vita Anastasya’ pun di mulai.
Selama Vita menerangkan materi mereka hari ini, Rafka mendengarkan dengan hikmat. Ia berusaha semampunya untuk bisa mengerti apa yang gadis itu coba jelaskan. Tapi sumpah, ini sulit. Karena ia sama sekali tak menguasai dasarnya. Jika saja orang lain yang menjelaskannya, mungkin ia tak akan menunggu sedetik lagi untuk keluar atau menyumpal telinganya dengan earphone. Ia tetap bertahan hanya karena gadis ini adalah Vita.
Siapa yang mau sedikit saja mempertimbangkan mengajari orang sepertinya, yang terlihat seperti orang yang tak punya keinginan sama sekali untuk bersekolah. Guru saja sudah banyak yang menyerah dan membiarkan nilainya tetap berada di peringkat terendah.
“Ngerti, enggak?” tanya Vita pada akhirnya.
Rafka mengangkat matanya, dengan wajah tanpa dosa ia berkata, “Enggak.”
Sungguh ia merasa sedikit berdosa melihat bagaimana tampang Vita saat ini. Campuran antara putus asa dan kebulatan tekat ingin membantu.
Bagaimana ini?
Vita menghela napas panjang. “Bagian mana yang gak ngerti?” tanyanya, setelah melepaskan napas.
“Semua.”
Spontan Vita menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dengan gumaman kecil ia berkata, “Aku kira otak kamu gak sekosong ini.”
“Sorry, sorry. Tapi aku memang gak ngerti sama sekali. Aku ‘kan memang gak pernah dengerin apa yang Bu Kanya omongin di depan. Jadi, semua rumus ini belum pernah mampir sama sekali ke otakku.”
Sejenak tak ada percakapan sama sekali di antara dua murid itu. Rafka telah menarik buku paket Vita lebih dekat kepadanya, sedang Vita masih bersandar di tempat semula. Terkadang ia melirik Rafka yang dapat merasakannya. Sampai akhirnya ia menegakkan punggung dan melepaskan napas berat yang dipendamnya sejak tadi.
“Aku itu gak sabaran,” jelas Vita, “Makanya aku gak pernah kepikiran buat jadi guru.” Ia berhenti sejenak, berkedip saat Rafka mengangkat matanya, memandang balik padanya.
Cepat-cepat Vita mengalihkan pandangannya. “Tiara bilang, kata-kataku kadang agak kasar walaupun kedengerannya enggak. Maaf, ya, Raf.”
Rafka nyengir. Ia sama sekali tak tersinggung akan ucapan Vita yang mengatakan jika otaknya kosong. Jujur saja, apa yang dikatakan gadis itu memang benar. Otaknya kosong. Dan ia butuh seseorang untuk mengisinya dengan sesuatu yang berguna. Dan Vita orang yang layak untuk itu. Dia gadis yang pintar, sangat pintar bahkan, begitu yang dikatakan wali kelasnya. Dan ia percaya itu.
“Gak pa-apa, lagi, Cha. Otakku ‘kan emang kosong. Gak pernah diisi soalnya,” Rafka berkata. “Makanya Bu Kanya nyuruh kamu buat ngisinya.”
Vita tersenyum kecil. Ia mengambil buku tulis di dekatnya, dan menulis sesuatu. Sembari menulis ia berkata, “Ayahku bilang, kalo mau nguasai sesuatu, harus ada niat dulu biar gak gampang nyerah.” Vita masih terus menulis. “Dan menurutku sendiri, keinginan buat bisa itu lebih kuat kalo kita punya tujuan yang bener-bener pengen di capai. Kayak pengen banggain seseorang. Anything.”
“Kamu pernah males belajar?”
Vita mengangguk. “Sebelum masuk sekolah SD, aku sama sekali gak mau belajar baca, aku cuma mau gambar doang. Pas TK aku juga gak mau belajar. Terus ayahku bilang kalo aku bisa baca, nanti aku diajak ke Ujung Kulon buat liat komodo asli. Dulu aku pengen banget ngeliat komodo asli. Jadi, aku belajar keras supaya bisa baca. Ternyata gak susah.”
“Kamu masih suka komodo?”
“Enggak. Semejak ngeliat komodo yang asli, aku udah enggak suka lagi.” Vita berhenti menulis, mengangsurkan buku yang ada di bawah tangannya ke hadapan Rafka. “Lihat contoh ini...”
***
Hembusan angin menuip poni Tiara, menampakkan keningnya yang berkeringat. Ia duduk sendirian di depan gedung bimbingan belajarnya. Memandang teman-temannya yang berlarian dan tertawa. Ia biasanya juga melakukan hal itu (ikut berlarian bersama teman-temannya), namun hari ini ia sedang malas. Ia tadi menelepon Vita, dan sepupunya ia berkata masih berada di sekolah untuk membantu Rafka belajar. Sekeras-kerasnya ia berusaha bersikap biasa saja menanggapi hal itu, tetap saja ia tak bisa. Ia tetap merasa tak nyaman mengetahui Vita terus-menerus bersama Rafka. Dan yang membuatnya lebih tak nyaman, Rafka menyukai hal itu. Walau laki-laki itu tak mengatakannya, ia tahu pasti akan hal itu. Rafka itu tak suka belajar, tapi dia mau meluangkan waktu untuk diajari Vita.
Bayangkan, bagaimana perasaan kalian melihat sepupu sekaligus sahabat terkarib kalian begitu dekat dengan orang yang sudah kalian sukai selama bertahun-tahun? Kalau kalian mengerti, kalian pasti dapat merasakan bagaimana perasaannya. Seandainya saja Rafka dengan gadis lain, mungkin rasanya tak akan separah ini. Tapi karena gadis itu Vita, ia merasa begitu... entahlah. Ia bingung kata apa yang cukup tepat mendeskripsikannya.
Apa yang kurang darinya dibandingkan dengan Vita? Semua yang memiliki mata yang dapat melihat akan tahu jika ia jauh lebih cantik dari Vita. Ia lebih populer. Lebih menyenangkan di ajak berbicara dan bergaul. Ia juga jago dalam bidang olahraga. Dan Vita? Hal yang Vita lebih unggul darinya hanyalah otak gadis itu. Vita memiliki IQ 190, sedangkan ia memiliki IQ rata-rata seperti orang kebanyakan. Tapi ia kira, laki-laki biasanya lebih tertarik pada wajah daripada otak.
“Ayo, Ra!”
Tiara menengadahkan wajahnya. Ia melihat seorang teman laki-laki yang dikenalnya, yang bahkan ia tahu menyukainya, mengulurkan tangan.
Tiara menyambut tangan itu, beranjak dari duduk lalu melangkah di sisi temannya.
“Ga, lo lebih milih cewek kayak gue, atau cewek yang penampilannya biasa aja tapi otaknya pinter banget?”
“Eh?”
“Pilih aja.”
“Elo lah,” Aga menjawab pasti. “Kenapa? Cowok yang lo suka itu suka sama cewek kayak ‘gitu?”
Gue harap enggak. Tapi ia berkata, “Maybe.”
Tiara mengait lengan Aga, mengajaknya lebih cepat. “Ayo!”
***
“‘Gimana kemaren?”
“Lumayan.” Vita mengangkat bahu.k
“Ada yang dia ngerti?”
Vita melirik Andra yang melangah di sisinya. Ia kira orang yang sesungguhnya pintar tak memandang rendah kemampuan orang lain.
“Mm. Dia sebenernya cepet nangkap apa yang diajarin, cuma dia belum ngerti dasarnya sama sekali.”
“Baguslah,” Andra menanggapi tak acuh.
Ah. Laki-laki ini terkadang agak lebih menyebalkan daripada Rafka. Ia tahu Andra orang baik dan menyenangkan, bisa jadi ia bersikap seperti ini karena begitu tak menyukai Rafka. Tak bisa ia melarang orang membenci orang lain. Ia saja terkadang suka membenci sesuatu yang tak memiliki salah padanya.
“Kamu udah tahu belum, abis ujian akhir semester ini anak-anak kelas 12 bakalan liburan bareng? Camping.”
“Enggak. Aku mungkin juga gak bakal ikut. Keluargaku udah punya rencana liburan akhir tahun ini.”
“Oh. Aku harap kamu bakal ikut.”
Vita tersenyum kecil. Tapi ia berharap tak usah ikut. Ia lebih suka menghabiskan waktu bersama keluarganya daripada pergi bersama orang-orang yang tak menganggapnya teman. Pilihannya itu begitu masuk akal, bukan?
“Kamu duluan aja, Ndra, aku mau ke toilet dulu,” ucap Vita, ia kemudian berbelok. Ia butuh sedikit waktu di muka cermin. Ia juga ingin cuci tangan. Terkadang ia agak obsesif pada kebersihan. Dan ia merasa ada banyak bakteri di telapak tangannya saat ini gara-gara memungut sampah di jalan tadi.
Tangan Vita terangkat, menggapai kenop pintu di hadapannya. Ia melangkah ke dalam, berhenti di depan cermin. Sejenak Vita memandangi bayangan di cermin.
Ini perasaannya saja atau berat badannya memang berkurang? Sepertinya ia sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Apa karena ia tak mengkonsumsi vitamin lagi?
Kurusan sedikit gak masalah, kata Vita menenangkan diri.
Vita membuka keran, membiarkan air mengalir pelan ke tangannya. Ia mengambil sedikit sabun. Ini akan membuat tangannya lebih bersih. Membuatnya lebih tenang.
Saat membuang tisu bekasnya, Vita mendengar pintu terbuka. Ia berbalik bersiap-siap untuk pergi, tapi Reina dan kedua teman setianya menghadang jalan. Menutup pintu.
Astaga, mereka tak berniat melakukan bullying, ‘kan? Sungguh kuno jika begitu adanya.
“Eh Vita!” Reina mendekat. “Jangan sok kecantikan lo.”
Vita bergeming di posisinya. Ia penasaran apa yang akan dikatakan ketiga gadis ini selanjutnya. Ia juga ingin tahu seberapa parah overdose sinetron ketiga gadis malang ini. Sepertinya menjadi orang yang berasal dari keluarga terpandang dan selalu bersekolah di tempat yang baik tak selalu meluaskan pola pikir seseorang. Contohnya ketiga orang ini. Sungguh sia-sia semua uang dan kemudahan yang mereka miliki.
Bila semua orang di Indonesia seperti Reina dan teman-temannya ini, akan jadi apa Indonesia?
“Pakek sok-sok-an ngedeketin Andra sama Rafka. Lo kira lo itu cantik?!” nada suara Reina meninggi, tangannya mencoba mendorong dirinya.
Vita menepis tangan Reina dengan kencang. Ia tak suka ada orang yang menaikkan nada jika sedang berbicara dengannya. Ia bukan hewan yang tak akan perduli. Ia manusia, ia akan merasa tersinggung.
“Beraninya lo!” Reina berkata, tak percaya pada apa yang Vita lakukan.
“Jangan naikin nada suara kamu.” Vita menatap lurus ke mata Reina. Tatapan super dinginnya muncul tanpa perlu di atur. “Aku gak budek. Dan jangan coba-coba nge-bully aku, gak mempan. Aku gak sebaik kelihatannya.”
Reina tersenyum remeh. “Memang apa yang bisa lo lakuin? Temen aja gak punya.”
“Aku gak butuh temen,” Vita memadang kedua teman Reina yang berdiri satu langkah di belakang gadis itu bergantian, “buat ngebales kamu, kalo kamu bikin masalah sama aku.”
Reina mengangkat alisnya sangsi. Vita mengambil langkah ke depan, tepat sejajar dengan Reina, ia berkata dengan tenang, “Nonton sinetron apaan, sih, kamu sama dua teman kamu ini?”
Begitu Vita menutup pintu di belakangnya, ia dapat mendengar Reina menjeritkan namanya. Tetapi suara itu segera dikalahkan oleh suara membahana bel yang meraung-raung.
Sudah saatnya masuk kelas. Ia membenarkan tali tasnya.
Aku kira adegan kayak ‘gitu cuma ada di sinetron doang.
Vita melangkah meninggalkan toilet jauh di belakangnya, berbelok menuju kelas. Diaturnya ponsel menggunakan mode diam.
Ia merasa lucu sekarang mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Apa dirinya ini terlihat seperti orang yang mudah ditekan? Jika ia adalah orang yang mudah ditekan dan selalu menciut ketakutan, ia tak akan berada di sini saat ini. Tapi lihatlah dirinya sekarang, ia masih berdiri tegak. Tak mudah diterpa rasa takut.
Ia nyaris tak memiliki teman sejak SD, tapi ia tetap rajin berangkat sekolah. Ia menghargai pertemanan, tapi ia yakin walau tanpa teman ia masih tetap bisa bertahan. Meski manusia makhluk soosial, bukan berarti semua manusia akan begitu tergantung pada manusia lainnya. Setidaknya ia tak begitu. Yang benar-benar dibutuhkannya adalah keluarga, dan syukurlah ia memiliki itu.
Vita melihat Rafka berandar di dinding luar kelas. Tak jauh dari pintu.
“Lama banget, sih,” omel Rafka.
“Kenapa?”
“Latihan basketnya malem aja, ya?” q
Vita mengangguk. “Terserahlah. Kenapa memangnya?”
“Aku ada acara sama temen-temenku nanti sore,” Rafka berhenti, “Tapi kamu dibolehin keluar malem, ‘kan?”
“Di lapangan yang di taman dekat rumahku itu ‘kan latihannya?”
“Iya.” Rafka mengangguk.
“Boleh.”
Vita bergeser sedikit, mengintip keadaan kelas. Belum ada guru.
“Kamu enggak masuk?”
“Duluan aja, aku mau ke kantin sebentar.”
Rafka melangkah pergi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments