Bab 14

"Bener, enggak?" Rafka mendorong buku tulisnya lebih dekat pada Vita.

Vita mengangkat matanya dari pasta yang sedang dihadapinya. Diletakkannya sendok untuk menghela buku Rafka.

Entah bagaimana membuat keajaiban atas kemampuan Rafka yang masih begitu dasar ini. Laki-laki itu memang sudah lebih baik dari pertemuan pertama mereka. Tapi itu belum cukup untuk memperbaiki nilai.

"Kamu itu kalo ngerjain soal kayak gini, harus lebih teliti," Vita menurunkan buku Rafka, "Lihat, cuma gara-gara salah ngasih tanda, semuanya jadi salah."

"Ah," Rafka mengerang, "Siapa, sih yang bikin rumus sepanjang ini."

"Ulangin," tanpa dosa Vita memerintah Rafka yang bersungut-sungut. "Fighting," tambah Vita datar, dan ia kembali memamah.

Sesekali Vita melirik pekerjaan Rafka atau orangnya sendiri. Lagi-lagi Rafka masih memakai seragamnya. Apa Rafka memang tak pernah pulang ke rumah begitu keluar dari gerbang sekolah? Jika memang iya, itu berarti Rafka tak pernah makan siang di rumah.

Kenapa Rafka tak mau langsung pulang ke rumah seusai sekolah?

"Kamu gak pernah pulang dulu ke rumah, ya, Raf, kalo pulang sekolah?"

Rafka meneguk sedikit susu kocok coklatnya sebelum menjawab, "Jarang. Lagian," Rafka mengumpulkan lagi bukunya untuk diperiksa Vita, "kalo aku gak pulang juga gak akan ada yang perduli."

Vita mengerling Rafka yang menatap penuh harap pada latihan yang dikerjakannya. Cepat-cepat Vita mengoreksi pekerjaan Rafka. Kali ini laki-laki itu mengerjakan dengan betul.

Ia tersenyum membaca tulisan paling bawah yang ditulis Rafka dengan tulisan cakar ayamnya. Tulisan itu berbunyi: Abis belajar langsung pulang? Dan dibubuhi gambar wajah tersenyum.

Vita menunduk hikmat, meluruskan wajahnya. "Kenapa?" tanyanya. Senyum telah lenyap dari wajahnya.

Rafka tersenyum lebar. "Jawabanya bener, enggak?"

"Bener."

"Kalo gitu mau lihat aku main basket, enggak?"

"Dimana?"

"Sekolah."

"Lama?" Vita khawatir dimarahi ibunya jika ia pulang terlalu sore. Ia sudah amat bosan mendengar segala keluhan ibunya. Ingin sekali ia tampak sedikit baik di mata ibunya. Meski ia tak yakin apa itu akan pernah terjadi.

Masalahnya ibunya-mungkin juga seperti ibu-ibu yang lain-lebih suka memiliki anak seperti Tiara yang cantik, pintar, mudah membaur, ceria, punya banyak teman. Dan ia hanya punya satu hal yang dimiliki Tiara, pintar. Jadi jika ia mau disayabg ibunya, ia harus jadi Tiara dulu, yangana itu sesuatu yang mustahil.

"Enggak juga. Kalo kamu bosen kamu boleh pulang duluan. Mau?"

Vita mengangguk.

Rafka mengumpulkan buku-bukunya yang terhampar di atas meja. Ia memasukkan semuanya dengan cepat ke dalam tas.

"Sekarang?"

"Iya."

Rafka menandaskan minumannya. "Materi kita hari ini udah selesai, 'kan?"

Memang sudah selesai. Tapi makannya belum selesai. Tak peka makhluk satu ini.

Dengan sedikit kesal Vita memasukkan bukunya ke dalam tas, lalu bangkit menggendongnya.

Sesampainya di dekat kasir, Rafka mendekati Vita, berbicara pelan padanya, "Dompetku ketinggalan, bayarin, ya, Cha." Rafka mengambil langkah menjauh.

"Aku tunggu di luar," tambahnya. Dan ia pun berlalu.

Dasar. Tak mau rugi rupanya Rafka karena sudah membayar makanannya di kantin sekolah tadi. Ia sama sekali tak tahu jika Rafka begitu perhitungan.

Vita membayar makanannya dan Rafka, lalu melangkah keluar, menghampiri Rafka yang berdiri di dekat pintu masuk. Laki-laki itu tersenyum. Sungguh tak tahu malu. Ia menyangka, seorang laki-laki akan malu meminta wanita membayari makanannya. Ah, Rafka memang tak punya malu, 'kan?

"Uang jajanku bulan ini udah habis," terang Rafka.

"Mm." Vita melenggang mendahului Rafka. Ia tak masalah membayari makanan Rafka, namun rasanya begitu aneh. Kalau pergi bersama Andra, laki-laki itu akan membayari apa saja yang Vita beli, bukannya ia suka. Sedangkan Rafka?

"Kamu mau tahu rahasiaku, enggak?" Rafka menjajari sisi Vita. Mereka melangkah bersama di trotoar.

"Enggak."

"Tapi aku pengen cerita."

"Terserahlah." Vita mangambil tempat di bangku halte yang kosong melompong.

Rafka memberi ruang satu meter dengan Vita. Diliriknya Vita sejenak.

"Sebenarnya aku anak pemilik sekolahan kita, loh."

Vita terdiam. Gerakkannya untuk mengambil ponsel terhenti. Rafka ini sedang bergurau atau bagaimana....

Sebuah ingatan melintas di benak Vita. Ia pernah melihat foto pemilik sekolah di website resmi sekolah. Ya... itu mungkin saja. Baru ia sadar mirip dengan siapa foto itu. Rafka. Sudah lama sekali, dan ia baru menyadarinya.

"Kamu beneran anak Pak Adi Anggara?" Vita memastikan. Anggara? Subahanallah, ia baru sadar.

Rafka menyisir rambutnya ke belakang, lalu mendongak, memandangi atap halte yang tak seberapa.

"Iyalah. Memangnya siapa yang mau pura-pura punya ayah kayak dia. Kalo bisa, aku pengen ganti ayah yang lain."

Lebih dari satu menit keheningan membungkam Vita dan Rafka. Bus berhenti di depan keduanya. Dengan diam keduanya masuk, duduk di kursi yang kosong di bagian belakang. Hingga akhirnya Rafka memecah keheningan lebih dahulu.

"Sekarang kamu yang harus ngasih tahu satu rahasia kamu, supaya adil."

"Aku gak punya rahasia apa-apa."

"Masa?"

"Iya," sahut Vita kesal. "Lagian kenapa aku harus ceritain rahasia aku sama kamu?"

"Karena aku udah cerita," ujar Rafka.

"Padahal aku kira kamu itu pinter banget bohong. Orang yang sering bohong, pasti punya banyak rahasia."

"Enggak, ya."

"Kamu kira aku percaya, Cha, Cha."

Rafka memandangi Vita terang-terangan, menunggu gadis itu mengatakan sesuatu. Satu menit tak ada yang keluar dari mulut Vita. Tiga menit Vita membuang pandangan ke luar jendela. Lima menit Rafka yang berdehem, "Aku aja percaya sama kamu, Cha, kenapa kamu gak percaya juga sama aku?"

"Aku percaya. Tapi aku beneran gak punya rahasia."

"Aku ini gak bocor tahu."

Vita merenung, mencari-cari apa sekiranya rahasia yang dimilikinya. Tapi ia memang tak punya rahasia. Kecuali...

"Mmm... sebenernya aku gak pernah ngerahasiain ini, tapi karena gak ada yang pernah nanya... jadi gak ada yang tahu."

"Apa?"

***

Berminggu-minggu telah berlalu. Vita masih sulit percaya pada semua yang Rafka ceritakan padanya. Tentang siapa ayahnya, tentang dirinya yang merupakan anak di luar penikahan, dan tentang Reina... Sepupunya! Bayangkan! Rafka menyiram sepupunya di depan umum! Luar biasa.

Vita mengangkat kepalanya sedikit saat mendengar pintu kamarnya berderit terbuka. Tiara masuk masih dengan seragamnya. Sepupunya itu mulai seperti Rafka.

Tiara ikut berbaring di sisi Vita. Ia mengeluh, "Gue males bimbel..."

"Sabar, udah dibayar," Vita menanggapi.

"Oh, iya, Ra." Vita mengubah posisinya. Ia jadi tidur miring, mengahadap Tiara yang masih pada posisi awalnya. "Rafka sama Reina itu sepupuan, ya?"

"Mm."

"Dia anak pemilik sekolah?"

"Mm." Tiara menguap.

"Kok aku baru tahu."

Tiara menggeliat. "Orang-orang yang udah bertahun-tahun temenan sama dia aja belum tentu tahu. Dia 'kan gak pernah ngajakin temennya main ke rumah. Dia juga gak akur sama Reina. Jadi, siapa yang bakalan ngira Rafka anak pemilik sekolah?"

"Gue rasa keluarga mereka itu punya banyak masalah internal," Tiara melanjutlan setelah lama kemudian, "Gue, sih gak tahu apaan. Seingat gue, Mamanya Reina itu gak suka sama Rafka. Di rumah mereka yang segede stadion sepak bola itu, gak ada satu pun foto keluarga yang ada Rafkanya. Mungkin di kamar Rafka ada. Gue gak tahu. Kamarnya selalu tutup setiap gue ke rumah Reina. Dianya juga gak pernah ada di rumah."

Vita menghela napas, ia kembali ke posisi awalnya yang terlentang. Di pandanginya langit-langit kamar. Pantas saja Rafka bersikap seperti itu. Mendengar cerita Rafka dan Tiara, Vita dapat menyipulkan bahwa bukan Rafkalah yang jadi masalah, tapi keluarganya. Kedengarannya bukan keluarga baik yang mengasuh Rafka itu.

"Sedih, ya?" Tiara bersuara.

"Mm. Kalo Mamanya? Kamu tahu sesuatu?"

Sejenak Tiara tak mengatakan apapun, namun kemudian, "Gue cuma tahu Mamanya Rafka udah meninggal. Gue pernah bilang, 'kan?"

"Iya. Selain itu?"

"Oh gue baru inget! Foto Mamanya Rafka juga gak ada di rumah itu. Mungkin pernikahan orang tua Rafka itu gak direstuin sama neneknya. Kayak di sinetron-sinetron gitu."

Itu artinya Tiara tak tahu. Syukurlah ia tak terlanjur mengatakan hal itu.

"Lo tahu, Ta?" sekarang Tiara yang berbalik, menghadap Vita. "Neneknya mereka itu lebih serem dari Nenek Sihir."

"Serius?"

"Iya." Tiara menghempaskan kembali punggungnya. "Gue pernah sekali ketemu waktu merekanlagi reuni family."

Senyap.

"Tapi soal ini lo tahu darimana, Ta? Rafka?"

Vita mengangguk. Siapa saja yang diberitahu oleh Rafka atau tahu sendiri hal ini selain dirinya dan Tiara? Siapa orang lain yang di percayai Rafka? Genta? Mereka layaknya teman yang dekat.

"Siapa aja yang tahu?"

"Gue, Genta, dan sekarang elo. Yang gue tahu cuma itu. Gue juga tahu dari Reina, bukan dari Rafka sendiri. Jadi, Rafka gak tahu kalo gue tahu."

"Terus darimana kamu tahu kalo Genta..."

"Tahu?" ucap Tiara setelah menguap, lagi. "Rafka itu cerita apa aja sama Genta. Semua hal yang orang lain gak tahu tentang dia. Termasuk orang yang dia suka. Seeeeemuanya."

Vita menarik bantal ke bawah kepalanya. Genta. Teringat tentang laki-laki itu, ingat juga ia saat pertama kali bertemu dengannya. Sahabat Rafka itu mengembalikan ponselnya, mengatakan padanya bahwa Rafka menyuruhnya-Vita-untuk menunggu sebentar, tapi laki-laki itu malah menyarankannya untuk pulang. Omong-omong, kenapa Rafka waktu itu menyuruhnya menunggu? Rafka tak mengatakan apapun padanya keesokan hari itu.

***

Terpopuler

Comments

Biruuuu

Biruuuu

14 like dariku thor..
jangan lupa mampir ya😊

Semangat berkarya

2021-04-15

1

listiSabran

listiSabran

hadir boomlike kak ☺️

2020-11-25

0

sekar 29

sekar 29

semangat thor boom like

2020-11-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!