Bab 18

Sepulang sekolah, Rafka habiskan waktunya berbaring di tengah tempat tidur. Memandangi langit-langit kamarnya hingga jatuh tertidur dan terjaga lagi di senja hari. Berjam-jam ia tak kunjung beranjak. Karena tingkat kecerdasaannya rendah, ia harus menghentikan kegiatan lain untuk fokus berpikir.

Sebenarnya ia sudah terus-menerus memikirkan hal yang sedang dipikirkannya saat ini sejak pulang dari rumah Vita kemarin sore. Setiap kali ia mengalihkan pikirannya, pikiran mengenai Vita ini kembali lagi dan lagi. Mengusirnya hampir lebih sulit dari mengusir penyakit kronis dari dalam tubuh. Seharusnya para peracik obat mulai berpikir untuk menemukan obat guna memusnahkan hal seperti ini dari otak manusia.

Rafka berbalik, ia merayap sedikit untuk menggapai ponselnya yang membeku di atas nakas.

Gue sebenernya dari kapan, sih, gue suka sama Vita? pikir Rafka, sedang jari-jarinya sibuk mengotak-atik ponsel. Kenapa makin ke sini gue ngerasa kalo gue udah suka sama dia dari lama? Rafka berbalik lagi, kepalanya sudah terjurai melewati bibir tempat tidur. Kalo di pikir-pikir, gue, tuh, memang baik banget sama dia. Tapi yang jadi masalahnya, ‘gimana kalo di gak suka sama gue? Emang gue udah siap patah hati?

Rafka membuka pesan-pesan yang belum sempat di bacanya. Banyak sekali. Dari Genta, teman-temannya yang lain, dan tak ketinggalan, operator. Untuk memenuhi kotak pesannya saja, Genta mengirimkan huruf-huruf namanya satu-persatu di setiap pesan. Tak punya pacar memang membuat Genta ini sangat menganggu. Perlukah ia mencarikan pacar untuk temannya yang satu itu? Setidaknya agar laki-laki itu berhenti mengotori kotak pesannya.

Lo sama Vita, ya, Raf? baca Rafka pada pesan yang baru saja masuk, dari Genta.

Jika ia tidak sedang eror, mungkin ia akan bersama Vita di lapangan basket. Melihat gadis itu merengut padanya, tersenyum padanya, menatap matanya, mengejeknya, apapun yang biasa dilakukan Vita kepadanya. Ah! Ia tidak bisa menghindar lagi bahwa perasaannya lebih dalam dari yang ia bayangkan. Vita sudah masuk terlalu jauh tanpa diketahuinya. Gadis itu diam-diam sudah membuat tempat yang sangat besar dan nyaman dihatinya sejak lama... sekali. Begitu nyamannya hingga ia tak sama sekali menyadarinya.

Sama Vita, enggak, Raf?

Tangan Rafka sama sekali tak ada niat akan menanggapi pesan Genta. Tangan itu tetap diam menjaga ponsel dalam jarak yang tepat dengan matanya.

Ia menjatuhkan ponselnya. Dengan frustrasi, diacak-acaknya rambut hitamnya yang indah. Yang justru  membuatnya tampak semakin keren.

“Gue harus ‘gimana sekarang?”

“Cha...” Rafka mengerang frustasi, seakan memanggil nama Vita akan ada gunanya. Nyatanya, itu tak terjadi sama sekali.

“Aduh, gue gila, nih,” rengeknya.

***

Daun-daun bergemerisik saat dihembus angin. Menggesek dinding luar kamar Tiara yang tengah memangku wajahnya dengan kedua belah tangan. Wajah cantiknya muram membayang di muka cermin.

Bertahun-tahun berlalu, perasaannya masih sama, ia masih begitu menyukai Rafka. Menyakitkan sekali mengetahui orang yang disukainya itu mulai menunjukan ketertarikan yang kuat pada seorang gadis. Terlebih lagi saudaranya sendiri.

Tiara melepaskan satu tangannya dari dagu untuk memukul-mukulkannya di dada sebelah kiri yang nyeri. Satu bulir air mata mengalir pelan di pipinya yang mulus. Meluncur jatuh ke atas meja. Ia menangkupkan tangannya menutupi wajah. Menangis.

“Kenapa harus Vita, sih, Raf?” isaknya.

Ia tak tahu harus bersikap apa pada gadis itu. Ia tak bisa membenci dan mengoloknya karena Vita adalah sepupu sekaligus sahabatnya. Namun, juga sulit baginya untuk bersikap biasa saja. Kenyataan bahwa Rafka menyukai Vita, tak bisa diabaikan begitu saja.

Kenapa bukan orang lain? Ia tidak akan ragu-ragu untuk membencinya kalau orang itu bukan Vita.

Air mata Tiara merembes dari sela antara pangkal telapak tangannya. Jatuh satu-persatu. Orang lain mungkin menganggapnya berlebihan, tetapi jika mereka tahu bagaimana rasanya menjadi dia, mereka pasti akan melakukan hal yang sama dengannya. Menangis adalah peluapan emosi yang tak tersalurkan. Menangis adalah cara terbaik yang ditemukannya untuk saat ini.

Ponsel Tiara berdering. Ia mengangkat tangannya dari wajah yang basah. Dihapusnya aliran air mata di pipinya dengan lengan baju. Tapi satu-dua bulir mengalir kembali.

Andra.

Tiara menerima sambungan itu. Di dekatkannya ponsel ke telinganya. “Kenapa, Ndra?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Besok ulang tahun Vita, ‘kan?”

“Iya. Kenapa memang?”

“Enggak pa-pa. Cuma pengen mastiin aja. Lo gak nginep di sana?”

“Enggak. Besok ‘kan sekolah. Lagian gue ada ulangan.”

“Oh. Gue ganggu lo belajar, ya?”

“Iya.”

“Sorry-sorry. Good luck ulangannya. Bye.”

“Mm.”

Tiara memandangi ponselnya. Orang yang dulu menyukainya saja sekarang mengejar-ngejar Vita. Apa yang membuat Andra dan Rafka begitu tertarik pada Vita?

***

Denting halus ponselnya menyadarkan Vita dari mimpi. Matanya mengerjap menyesuaikan cahaya minim di kamarnya.

Pukul berapa sekarang? Siapa yang mengirim pesan yang membuatnya terjaga? Semoga bukan operator.

Dengan meraba-raba, Vita menemukan ponselnya. Pupilnya mengecil saat suplay cahaya yang lebih besar menyiramnya. Di antara kelopak matanya yang tersibak tak lebih dari sepertiga senti, Vita membaca nama pengirim pesan. Andra. Menggangu sekali.

HAPPY BIRTHDAY

VITA ANASTASYA!!!

Vita tersenyum membaca pesan itu. Ah. Sudah tengah malam. Delapan belas tahun. Benar-benar di luar dugaan bahwa Andralah yang pertama kali mengucapkan selamat padanya, mengalahkan rekor ayahnya yang belum terkalahkan selama bertahun-tahun. Jauh di dalam hatinya, tanpa Vita sadari, ia berharap Rafkalah yang lebih dulu mengucapkan selamat ulang tahun padanya, bukan Andra.

Rafka, entah Vita memang tak sadar, atau pura-pura tak sadar, semakin dekat dengan hatinya. Lebih dekat dari laki-laki manapun yang dikenalnya, kecuali ayahnya. Hanya saja, kedekatan itu tak pasti kedekatan jenis apa. Seorang perempuan dan laki-laki, hanya teman, sebagai saudara, atau yang lain.

Rafka itu begitu perhatian seperti pacar, begitu bisa di percaya seperti teman, begitu sering membuatnya jengkel seperti saudara. Rafka hampir memenuhi semua jenis hubungan baik yang Vita tahu. Bahkan, mereka memiliki hubungan guru dan murid. Jadi, jenis perasaan apa yang Vita punya untuk Rafka?

Terdengar bunyi langkah-langkah halus di balik pintu kamar Vita. Segera Vita mematikan ponselnya dan meletakkannya kembali ke tempat asalnya. Ia juga kembali merosot ke bantalnya sembari memejamkan matanya. Dengan aktingnya yang memang bagus, Vita nampak telelap dengan sempurna.

Langkah-langkah itu semakin dekat. Vita dapat mendengar pintu di dorong terbuka. Ia tersenyum dalam keremangan. Bisik-bisik hitungan mundur tertangkap oleh telingannya. Setiap tahun keluarganya melakukan ini, ia tak pernah terkejut karena selalu terjaga sebelum mereka memberikan kejutan. Ia selalu berpura-pura sedang terlelap tiap kali hal seperti ini terjadi. Ia tak ingin membuat ayahnya merasa telah gagal memberinya kejutan.

Vita meluruskan ekspresinya. Ia dapat merasakan bahwa ayah dan yang lain sudah sangat dekat dengannya, nyaris di sisinya.

“HAPPY BIRTHDAY!!” Suara teriakan itu merobek udara.

Vita membuka matanya sempurna, berpura-pura terkejut dengan baik. Ia tersenyum melihat kue coklat yang dibawa ayahnya, lengkap dengan lilin angka delapan belas menancap di atasnya.

Vita meneggakan punggungnya. Ia bersandar pada kepala tempat tidur. Ayahnya datang mendekat. Vita memejamkan matanya, memanjatkan doa yang selalu sama yang diucapkannya setiap tahun. Kemudian, kedua api itu padam dengan satu tiupan.

Ayahnya meletakkan kue di sebelah Vita. “Selamat ulang tahun, ya, Sayang,” ucap beliau, diikuti kecupan di kening. Tradisi selamat ulang tahun dalam keluarganya dari ayahnya.

“Makasih, Yah.”

“Nih, kado dari Ayah.” Pria yang masih mengenakan kemeja itu memberikan dua bungkus hadiah. Tak biasanya terjadi. Selain itu, sejak pulang terlambat dari kantornya tadi, ayahnya itu terus mengurung diri di dalam ruang kerjanya. Ia bahkan meminta makanannya untuk di antar ke ruang kerja. Katanya, ia sedang sibuk dan tak ingin diganggu siapa pun.

“Dua?”

“Mm.”

“Makasih lagi, Yah. Memang ayah bingung banget sampe beliin dua?”

“Iya.” Ayahnya tersenyum. Senyumnya nampak berbeda.

Vhindy merayap dari kaki tempat tidur menghampiri Vita. Ia memeluk celengan ****.

“Selamat ulang tahun, ya, Kak.” Ia mengecup pipi Vita. Kemudian disuluhkannya celengan **** dengan dua tangan. “Ini buat Kakak.” Vita menerimanya. “Aku tadinya mau beliin yang sama kayak punya Kakak, Kakak ‘kan suka banget sama celengan yang masih di gudang itu.”

Oh, iya, ia belum sempat mengambil sisa barangnya di gudang. Sudah berbulan-bulan di sana.

“Tapi kata Ayah, celengan Kakak yang lama masih bagus, jadi mendingan beli yang bentuknya lain. Lagian, kata Ayah, Kak Vita gak bakal masukin uang ke dalam celengan. Kakak cuma buat koleksi doang.”

“Makasih, ya, Dek.”

Vhindy nyengir lebar.

“Nih,” ucap ibunya singkat, sembari meletakkan paper bag ke pangkuan Vita. Vita menariknya mendekat, lalu mengelurkan sebelah sepatu bertumit rendah. “Enggak tahu itu pas atau enggak.”

“Makasih, Ma,” ucap Vita sepenuh hati.

“Mm,” ibunya menanggapi tak acuh. Pandangannya tak menyentuh bagian dari Vita sedikit pun.

Untuk anak lain, cara ibunya mungkin menyakitkan. Dulu ia merasakan itu. Saat ia tumbuh kian dewasa, ia sudah tak terlalu memusingkannya lagi. Biarkan ibunya bersikap tak menyenangkan padanya, yang terpenting ia masih boleh memanggil ibunya dengan panggilan ‘Mama’, yang berarti ia masih memiliki ibu. Itu lebih baik dari anak-anak yang tak memiliki ibu.

“Bisa tinggalin Ayah sama Kak Vita dulu,” pinta ayahnya.

Vita memandang ayahnya. Apa yang ingin ayahnya bicarakan?

Tak perlu diminta dua kali, ibunya segera menyingkir. Ia sama sekali tak ingin tahu apa yang akan dibincangkan suaminya dan putri sulungnya. Berbeda dengan Vhindy yang hanya turun dari tempat tidur Vita, dan tetap berdiri di sisi ayahnya.

“Kenapa, Dek?” Ayahnya beranya.

“Kuenya boleh di bawa keluar?”

Ayahnya mengangkat kue dari sisinya. “Awas jatoh, ya.” Ia meletakknya ke dua tangan Vhindy yang menengadah. Setelah Vhidy berlalu, ia bangkit menutup pintu dan menyalakan lampu utama.

Ruang kamar Vita terang-benderang. Ia melihat ayahnya menarik kursi belajar Vita untuk diduduki.

“Nak,” bukanya.

Dengan awalan ‘nak’, Vita tahu ini sesuatu yang serius. Ia menarik punggungnya dari sandaran, dan menyilakan kakinya. Ia juga harus terlihat serius. Jarang-jarang ayahnya membicarakan sesuatu yang nampaknya begitu serius begini padanya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!