Bab 5

Handsome Boy?

Apa yang dipikirkan Rafka sehigga ia begitu percaya diri? Mengganti nama kontaknya menjadi laki-laki tampan. Wah, ia belum pernah bertemu dengan orang seperti ini. Menyebalkan, seenaknya, dan... benar-benar percaya diri (dibaca: tidak tahu malu). Sepertinya Rafka ibarat paket komplet.

Laki-laki jenis apa Rafka ini?

Setelah menyorongkan suapan terakhir ke dalam mulut, Vita mengangkat piringnya dan meneguk air secukupnya. Tadi ia sangat lapar, tapi saat Rafka terlintas dipikirannya ia menjadi kenyang.

Vita mengikat rambutnya dengan sembarang dalam perjalanan ke luar dapur. Ia berpikir apa yang dapat dilakukannya sekarang. Ia sedang malas membaca, ia tak punya semangat menonton, dan ia sedang tak ingin online. Jadi, apa yang harus dilakukannya?

Vita menghempaskan tubuhnya di sofa ruang TV. Ia memiringkan tubuhnya ke arah punggung sofa.

Di saat-saat seperti inilah ia paling merasa sedih tak memiliki teman. Seandainya, ia punya satu saja teman, pasti hidupnya akan terasa sangat lengkap. Atau setidaknya kakak. Kakak laki-laki yang dapat di percaya dan pengertian. Pasti sangat menyenangkan.

Vita bangun dari sofa dengan mendadak. Ia berdiri, lalu berjalan gontai melewati ruang tamu dan muncul di teras rumahnya. Ia terus berjalan hingga sampai di garasi. Diambilnya sepeda berwarna hitam miliknya.

Dengan mengendarai sepedanya, Vita meluncur melewati jalan yang di siram panas cahaya matahari pada pukul sebelas siang. Ia mengendari sepedanya dengan santai, seolah-seolah tak merasakan teriknya matahari tersebut. Matanya menyipit memandang ke depan. Melakukan hal ini, Vita merasa otaknya tak berfungsi.

Kenapa ia malah bersepeda di siang hari yang kelewat cerah seperti ini?

Keringat mengucur dari kening Vita yang terpampang jelas. Ia memarkirkan sepedanya di depan minimarket.

Aku ini memang kurang kerjaan.

Udara dingin langsung menerpa tubuh Vita ketika ia melangkahkan kakinya melewati ambang pintu kaca minimarket. Ia langsung menuju lemari pendingin dan mengambil dua botol minuman bercampur yogurt dengan rasa stroberi dan jeruk dan beberapa buah apel.

Vita meletakkannya di atas meja kasir dan menunggu wanita penjaganya menghitung jumlah belanjaannya. Setelah wanita itu menyebutkan uang yang harus di bayarkannya, Vita memberikan uang dan menunggu kembalian.

Vita tak langsung membuka minumannya, ia kembali mengayuh sepeda ke arah ia datang dan masuk ke taman. Ia mengambil tempat di kursi bawah pohon rindang yang kosong.

Dilihat dari tempatnya sekarang, taman ini sepi. Tak ada penghuninya. Mungkin karena cuaca yang sangat panas, orang-orang mengundurkan di ke lindungan rumah yang berpendingin udara. Jauh lebih sejuk dari semilir angin di bawah pohon. Hanya ia yang berpikiran sebaliknya.

Punggung Vita tersandar santai. Tangannya bergerak membutar tutup botol minumannya dan meneguknya perlahan. Ia menghela ponsel dari dalam saku celana training yang longgar. Dalam waktu beberapa detik suara lagu yang lembut telah mengalun dari ponsel Vita. Seperti biasa, untuk menurunkan suhu tubuhnya ia perlu ketenangan hati dan pikiran.

Dari ekor matanya Vita melihat seseorang datang dari arah belakang dan mengambil tempat di sebelahnya. Mencium aroma parfumnya, Vita tahu siapa yang datang.

Vita langsung menoleh saat Rafka─seperti dugaannya─yang masih mengenakan seragam sekolah, menghela botol yang sudah dibukanya lalu meminum isinya.

Vita menghembuskan napas sebal. Memang laki-laki itu tak melihat jika ada minuman yang masih belum di buka, kenapa ia harus meminum minuman bekasnya? Rafka ini memang terlalu menyebalkan. Dia membuat suhu tubuhnya meningkat lagi. Sudah susah payah ia menurunkan suhu tubuhnya. Caranya tak mempan jika ada Rafka. Laki-laki itu sudah seperti pemanas.

Dengan cepat Vita merenggut botol minuman yang masih tersegel. Begitu tutupnya terbuka, ia  menegakkan punggungnya, lalu mendekatkan botol itu pada mulutnya. Tapi sebelum ia sempat menumpahkan isinya, Rafka lebih dulu merampasnya.

“Yang jeruk tadi gak terlalu enak,” komentar Rafka.

Vita menghela napas dalam-dalam. “Kalo kamu cuma mau bikin kesel panas-panas kayak gini, mendingan kamu pergi,” ucap Vita pelan. Ia mudah sekali stres dan emosi jika cuaca sepanas ini. Pengendalian supernya pun akan melemah dengan suhu setinggi ini.

“Ah! Ngebosenin.” Rafka meletakkan minuman milik Vita. “Kamu terlalu tenang.”

Vita menoleh, menatap Rafka datar. Ia berpikir Rafka sungguh tak tahu apa-apa mengenai dirinya. Laki-laki tak tahu apa yang akan terjadi jika ia sampai marah dan tak dapat mengotrol dirinya. Ia tak akan menangis apalagi berteriak-teriak. Ia sedikit terlalu kasar untuk melakukan tindakan seperti itu.

Rafka ikut menoleh. Ia memerhatikan Vita dengan saksama. Dengan santai ia bertanya, “Apa gue gak keliatan gak asing?”

Mendengar kata-kata Rafka, Vita langsung mengembalikan wajahnya ke muka. Jika ia mulai berpikir tentang siapa Rafka lagi, kepalanya akan di perban besok pagi sebab ia terus membenturkannya. Memang hanya benturan yang pelan, tapi jika terus-menerus akibatnya tetap tak akan baik untuk keningnya. Lagi pula ia heran kenapa ia selalu membenturkan kepalanya saat ia berpikir keras.

“Cha?”

“Kita ‘kan gak seakrab itu.”

“Eh?” tanya Rafka bingung.

“‘Cha’, kamu gak perlu bikin nama panggilan baru buat aku.”

“Memangnya gak boleh?”

“Enggak,” jawab Vita dengan sederhana.

Rafka membuang pandangannya dari wajah Vita. Ia menempelkan punggungnya dengan punggung kursi yang keras. Ada senyum di sudut bibirnya saat ia bicara.

“Sebenernya, gue kenal sama orang yang namanya Anastasya. Teman-temennya biasa manggil dia Acha.”

Tak ada tanggapan apapun dari Vita.

“Jadi, gue udah kebiasaan manggil orang yang namanya Anastasya itu ‘Acha’.”

Vita berdehem. “Terserahlah.”

Lama Rafka tak berbicara lagi. Dalam waktu yang kosong dari pembicaraan itu suhu tubuh Vita semakin menurun, pikirannya semakin tenang. Ia merasa tak enak setelah menyadari bahwa ia sudah bersikap tak baik pada Rafka. Di dalam hati ia juga sudah mengatakan bahwa laki-laki itu pemanas.

Tapi sebenarnya─Vita mencoba membela dirinya─ia tak begitu salah, siapa yang tahan dengan Rafka yang sangat menyebalkan itu? Orang tuanya saja pasti kewalahan menghadapi anak seperti dia. Apalagi dirinya?

“Cha,” Rafka memecah keheningan.

“Mm?”

“Kamu beneran gak inget siapa aku?”

“Daripada kamu sibuk mikirin apa aku inget sama kamu atau enggak, apa kamu kenal sama aku atau enggak, mendingan kamu mikirin mau pakek lo-gue atau aku-kamu.”

“Eh?”

“Kamu, tuh, labil banget tahu.”

“Masa?”

“Aku mau pulang dulu, deh.” Vita beranjak dari tempat duduknya, menghampiri sepedanya.

***

Pagi hari yang cerah bertolak belakang dengan suasana hati Andra saat ini. Suasana hatinya sudah buruk sekali sejak kemarin. Itu karena ia melihat sesuatu yang tak menyenangkan di siang bolong kemarin. Entah kenapa ia merasa mengulangi sesuatu yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Ia tak mau ceritanya kali ini berakhir menyedihkan seperti dulu. Setidaknya ia ingin mendapatkan cerita yang bahagia saat di SMA untuk di kenang suatu hari nanti.

Andra melewati pintu kelasnya yang sudah terbuka. Dilihatnya Vita sedang duduk di kursi dengan wajah tertunduk. Rambut panjang kecoklatannya diselipkan agar tak mengganggu pandangan ke arah buku tebal yang sedang dibaca.

Ia kira Vita itu sangat suka membaca. Di hari kedua Vita pindah ke sini, gadis itu melewatinya untuk keluar kelas tanpa ragu sembari menenteng bukunya. Ia senang mengatahui jika Vita suka membaca, sama sepertinya. Selain itu, ia juga senang mengetahui bahwa Vita bukanlah gadis yang selalu membutuhkan orang lain dan merasa canggung di tempat yang baru.

“Pagi,” sapa Andra. Ia meletakkan tasnya, dan duduk membelakangi mejanya.

Vita menenggakkan kepalanya. Ia hanya tersenyum tipis basa-basi membalas sapaan Andra. Kemudian kembali menundukan kepala dan melanjutkan bacaannya.

Dengan pandangan menilai Andra memerhatikan Vita lekat-lekat. Ia melihat jika tak ada yang spesial dari penampilan Vita. Gadis itu cantik, tentu. Tapi, ada banyak gadis yang jauh lebih cantik dari dia. Menurutnya, Vita itu memiliki sesuatu yang tak dimiliki gadis lain yang dikenalnya. Hanya saja ia tak mengerti itu apa.

“Tumben berangkat pagi-pagi,” Andra berkomentar.

“Soalnya semalam gak nonton film.”

“Mm.”

Andra tak tahu film apa yang Vita tonton, namun ia tak bertanya karena memang ia tak terlalu ingin tahu. Ia cukup tahu jika Vita suka menonton, sedangkan ia tak suka menonton film. Sekarang ia punya satu kesamaan dan ketidaksamaan dengan Vita.

“Kamu laper, enggak?”

Vita menggeleng tanpa mengalihkan fokusnya. “Aku udah sarapan.”

Sejenak hening sama sekali. Andra menunduk memandang pada buku yang terhampar di atas meja Vita. Ia jadi ingat bahwa ia memiliki tugas yang belum diselesaikan. Lebih baik ia bertanya pada Vita, mungkin saja gadis ini tahu. Walau sebenarnya ia tak begitu yakin, karena setahunya, selama beberapa hari Vita bersekolah di sini, gadis itu nyaris tak pernah menulis apapun yang diterangkan dan dituliskan di depan sana. Vita nampak seperti siswi pemalas dan tak bersemangat dalam pelajaran.

Andra langsung membuka tasnya dan mengambil buku Fisika. Dilihatnya dulu soal yang belum dikerjakan. Ia menjadi sedikit ragu. Apa ada kemungkinan Vita bisa mengerjakan soal itu sedangkan ia sendiri kesulitan? Seandainya Vita memang tak tahu, bukankah ia terlihat seperti mengejek Vita?

Andra menutup kembali bukunya, dan bersiap untuk memasukkannya kembali ke dalam tas, tapi kemudian suara Vita menghentikannya.

“Kenapa, Ndra?”

“Mmm... kamu udah ngerjain tugas dari Bu Kanya, belum?”

“Udah,” jawab Vita enteng. Ia sudah tak menundukan wajahnya lagi.

“Nomor empat?”

Sembari menutup novelnya Vita mengangguk santai.

Andra mengurungkan niatnya. Ia membuka kembali bukunya dan meletakknya ke atas meja Vita.

“Aku gak nemu hasilnya.”

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku Andra, Vita merogoh lacinya dan mengeluarkan sebatang pensil yang masih sangat runcing. Tak perlu ia mengintip buku catatan, tak perlu ia mencoret-coret di bagian belakang buku untuk mengalikan bilangan desimal, ia sudah dapat menyelesaikan soal yang tak bisa Andra pecahkan dengan begitu cepat sembari menjelaskannya pada Andra.

Cukup lama Andra menatap bukunya. Ia sepertinya sudah meremehkan Vita. Mungkin Vita memang tampak tak perduli pada pelajaran di kelas, tapi banyak mengambil kelas tambahan di luar. Ah, sepertinya ia sudah terlalu sombong tanpa ia sadari.

“Sorry, ya, Vit, tapi aku gak pernah ngeliat kamu serius belajar di kelas.”

“Memang enggak.”

“Kamu bimbel diluar?” tanya Andra, ia menutup bukunya dan menghelanya dari meja Vita.

“Enggak.”

“Terus?”

“Ya... aku lumayan,” Vita berdehem, “sering belajar di rumah.”

***

Terpopuler

Comments

yul,🙋🍌💥💥💥

yul,🙋🍌💥💥💥

seperti aq itu lumayan.....

2021-04-14

1

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

like + rate bintang ⭐⭐⭐⭐⭐

2020-12-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!