Hampir semua kepala tergeletak di atas meja, termasuk Vita. Atmosfer pluto pekat terasa mencekat semangat, mengaburkan antusias, pada siang hari pelajaran sejarah yang membosankan.
Guru di depan tampaknya sama sekali tak perduli jika semua murid tak menikmati dan tak mendengarkan apapun yang dibicarakan dan dijelaskannya. Yang ia pentingkan hanya kenyataan bahwa tak ada murid yang membuat gaduh kelasnya.
Tok, tok, tok!
Vita langsung nenegakkan kepalanya mendengar suara ketukan meja. Yang pertama menjadi sasaran matanya adalah guru yang sejak tadi berdiri membelakangi sisiwanya, bukan sumber suara.
Mendengar suara itu, bapak guru di depan pun menoleh, melemparkan tatapan membunuh yang lebih berbahaya dari tatapan Basilisk kepada Rafka. Tapi hanya itu, tak ada keluhan verbal. Sungguh luar biasa kekuasaan yang menyelubungi Rafka di sekolah ini.
Setelah semua kepala kembali ke posisi awal, termasuk Vita. Kemudian ia memandang Rafka yang tersenyum sambil merentangkan buku menutupi wajahnya. Di sana tertulis: bosen gak?
Vita mengangkat tangan, memperlihatkan sedikit jarak antara jari telunjuk dan jempolnya. Sedikit.
Bohong sebenarnya, ia merasa sangat bosan. Sampai sasanya ia ingin terbang menerobos atap, mencoba menangkap udara dengan tangan kosong daripada duduk diam di sini.
Rafka mengangkat lagi bukunya. Sudah ada pertanyaan lain.
Masa?
Vita membentuk huruf ‘v’ dengan dua jarinya.
Rafka tersenyum mengejek. Vita dapat membayangkan apa yang ada di benak laki-laki itu. Ia pasti tak mempercayai Vita.
Si Buncit di depan itu muridnya di mana, ya? Rafka bertanya, masih lewat kata tanpa suara. Mengajak Vita bergabung menjelek-jelekkan guru di depan.
Vita menunjuk ke atas sebagai balasannya atas komentar Rafka.
Dengan sangat tampan, Rafka tersenyum lebar, menampakkan jajaran giginya yang tertata rapi. Tampan sekali.
Tak habis-habis yang ingin Rafka bicarakan padanya, pikir Vita. Ada saja yang ingin ditanyakan, di komentari dan di cela oleh Rafka. Sesekali laki-laki itu tak menggunakan bukunya lagi, tapi berbicara tanpa suara. Semakin banyak Rafka ‘berucap’, rasanya seperti Vita punya saingan dalam menggerutu dan mencela.
Kelas makin hening, orang-orang kian terbang tinggi kesadarannya. Sedang Vita dan Rafka makin hidup mata dan pikirannya. Terkadang bahkan mereka susah payah menahan tawa. Hanya dengusan-dengusan samar yang terdengar. Beberapa kali Vita melirik kursi depannya yang berderit tak nyaman, seakan-akan penduduknya berusaha keras agar tak menoleh. Barangkali karena mendengar suara Vita.
Menjelang penghujung acara tidur-siang-bersama-sejarah, Rafka mengangkat bukunya yang bertuliskan, besok ada acara, gak?
Enggak, Vita melafalkan tanpa suara.
Mau nonton? Rafka ikut melafalkan ucapannya tanpa suara.
Nonton apa?
Apa aja.
Serius?
Rafka mengangguk.
***
Matahari telah sepenuhnya hilang. Meninggalkan bercak jingga keemasan di kaki langit. Vita duduk di muka cermin, menggerak-gerakkan lehernya yang terasa pegal. Rambutnya yang basah masih tergulung handuk putih. Lambat-lambat diuntainya gulungan handuk di kepalanya, membebaskan rambutnya untuk tergerai.
Dari sudut mata, Vita melihat ayahnya bersandar pada kusen pintu dengan pundaknya. Beliau memerhatikannya.
Vita menoleh, dan ayahnya bertanya, “Boleh Ayah masuk?”
Vita tersenyum malu mendengar pertanyaan ayahnya itu. Seperti ia sudah benar-benar dewasa. Rasanya baru kemarin ayahnya menggendongnya untuk melihat komodo lebih dekat. Sebentar lagi ia akan berusia delapan belas tahun.
Ayahnya melangkah masuk, mendekati Vita. “Sini Ayah sisirin.”
Vita turun dari kursi, duduk di atas karpet bulu. Ia membiarkan ayahnya duduk di kursi. Ketika ia masih kecil, ayahnya sering sekali menyisirkan rambutnya. Jika dibandingkan dengan ibunya, perbandingannya mungkin sepuluh banding satu. Bukan hanya perbandingan itu ayahnya mendapat poin yang lebih besar tapi masih banyak lagi. Bahkan ketika ia sakit atau terluka, ayahnyalah yang lebih sering menangis, Vita bahkan tak yakin apakah ibunya pernah menangis untuknya.
“Ayah!” teriak Vhindy. Adiknya itu masuk ke dalam kamar Vita. Berlari mendekat melihat Ayah menyisiri Vita.
“Aku juga mau,” ucap Vhindy, segera ia duduk di depan Vita.
Sebelum Vita meminta sisir pada Ayah, beliau telah lebih dahulu menyuluhkannya pada Vita. Vifa menerimanya dan mulai menyisiri rambut adiknya yang panjang dan hitam. Cocok sekali untuk iklan sampo anak-anak.
Jadi sekarang mereka saling menyisiri. Menyenangkan sekali rasanya.
Di saat seperti ini, Vita bahagia sekali memiliki memori yang bagus, jadi ia bisa mengingat momen ini selamanya dengan baik. Mengingat bagimana ia, adiknya, dan ayahnya saling menyisiri di kamar Vita di senja hari. Diiringin malam yang jatuh perlahan.
Vhindy berceloteh tentang sekolahnya padanya dan ayah mereka. Menceritakan bagaimana anak yang bernama Andien terus memanggilnya Vinny bukan Vhindy. Dan bagaimana Vhindy jadi berpikir bahwa anak itu punya masalah pendengaran. Karena Vhindy sudah berulang kali mengatakan bahwa namanya adalah Vhindy, bukan Vinny.
Vita dan ayahnya tertawa mendengar cerita Vhindy. Mendengar cara Vhindy menceritakannya, Vita dapat menyimpulkan bahwa anak bernama Andien itu adalah anak yang aktif dan sedikit centil, seperti Tiara saat masih SD.
“Udah, yuk, makan malam dulu,” ajak ayahnya.
Vita membiarkan Vhindy lebih dahulu bangkit berdiri lalu melesat keluar kamar. Adiknya itu memang cenderung mirip dengan Tiara daripada dirinya. Aktif dan mudah bergaul dan memiliki penampilan menawan. Gen dari ayahnya. Seandainya saja ia seberuntung Vhindy mendapatkan gen seperti itu juga.
“Yah,” panggil Vita, yang melangkah di sisi ayahnya.
“Mm?” Ayahnya mengangkat alisnya.
“Besok, aku boleh keluar, enggak?”
“Ke mana?” tanya ayahnya santai.
“Nonton.”
“Sama siapa?”
“Rafka.”
“Anak yang kamu ajarin itu?”
Vita mengangguk, “Iya.”
“Boleh. Dia keliatannya baik. Buktinya kamu gak pernah ngeluh.”
Gak pernah ngeluh sama Ayah, pikir Vita. Ia selalu mengeluh dalam hati. Betapa menyebalkan dan konyolnya Rafka itu terkadang. Dia memang anak yang baik, tapi tetap saja menyebalkan.
“Kamu mau kado apa?” Ayah bertanya ketika mereka sudah dekat meja makan.
Sejak ia masuk sekolah menengah pertama, ayahnya mulai bertanya apa yang diinginkannya sebagai hadiah ulang tahun. Biasanya Vita selalu tahu apa yang diinginkannya bahkan jauh sebelum tanggal ulang tahunnya. Namun tahun ini berbeda, ulang tahunnya dua hari lagi, dan ia sama sekali tak tahu apa yang diinginkannya.
“Apa aja.” Vita duduk di kursinya yang biasa. Ia membuka piring dan mengisinya dengan nasi.
“Apa aja?” tanya ayahnya, meraih sendok.
“Aku lagi gak pengen apa-apa.”
“Kamu gak pengen HP baru? Laptop baru?”
Vita menggeleng setelah menambahkan sepotong sayap ayam ke dalam piringnya. Ia betul-betul tak dapat memikirkan apapun untuk ulang tahunnya ini.
“Bagus kalo dia gak pengen apa-apa,” ibunya nimbrung.
Sesuatu melintas di pikiran Vita. Ia tahu apa yang ia inginkan untuk ulang tahunnya. Tapi ia tak yakin akan mendapatkannya. Bukan barang mewah yang diingkan Vita, hanya sesuatu yang selalu hadir di ulang tahu Vhindy tapi tak pernah hadir di ulang tahunya: kue tar buatan ibunya. Ia menginkannya. Sangat-sangat menginginkannya.
“Apa?”
Vita mengerjap. Ayahnya pasti dapat menerka jika Vita baru saja terpikir apa yang diinginkannya. Namun Vita segera menggelang. Ia mengerling ibunya, kemudian berkata, “Terserah Ayah aja.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments