Bab 4

Vita berbelok masuk ke dalam pelataran rumahnya. Sembari berjalan ia melepaskan earphone-nya. Memang sudah menjadi kebiasannya berjalan pulang sambil mengenakan earphone. Ia sudah melakukannya sejak awal ia masuk Sekolah Menengah Atas. Ia terbiasa melakukan itu karena tak ada teman yang dapat di ajak mengobrol menuju rumah. Hanya ponsel teman menuju rumah. Semua temannya benda mati.

Dengan santai Vita mengetuk pintu rumahnya yang tertutup rapat seraya menyerukan salam. Pintu tertutup rapat berarti ibunya sedang tidur siang.

Seharusnya ia tadi membawa kunci cadangan, agar ia tak perlu membangunkan ibunya. Ibunya tak suka tidur siangnya diganggu. Lain kali ia akan ingat untuk membawa kunci.

Terdengar langkah mendekat dari balik pintu, Vita menurunkan tangannya. Menunggu. Begitu pintu terbuka Vita langsung melangkah masuk dan membiarkan ibunya kembali menutup pintu.

“Bawa kunci besok! Jangan ganggu orang kalo lagi tidur!”

“Iya, Ma.”

Setelah tiga langkah, Vita berbalik. Ia teringat sesuatu. Sejak semalam ia belum sempat menanyakannya.

“Oh, iya. Mama tahu kardus yang isinya buku sketsaku, enggak? Kardusnya gak ada di kamarku.”

Helena, ibu Vita, menguap sebelum menjawab, “Ada di gudang. Lagian itu kan cuma buku yang udah gak ke pakek. Buang-buang uang aja bawanya ke sini.”  Wajahnya merengut saat melangkah menjauh.

Vita membiarkan ibu mendahuluinya. Kemudian ia langsung menuju kamar yang tak jauh dari ruang tamu. Ia ‘kan penghuni kamar utama, maka dari itulah kamarnya sangat dekat dengan ruang tamu. Dan hal itu sungguh menyenangkan. Kamarnya saat tinggal di rumah nenek sangat sempit, tapi sekarang kamarnyalah yang paling luas di rumah ini. Ia doakan ayahnya akan selalu bahagia.

Dengan sembarangan Vita menghempaskan tasnya ke atas tempat tidur, lalu menanggalkan sepatunya dengan tergesa. Setelah itu ia duduk di kursi belajar dengan punggung yang tersandar santai, kepalanya jatuh ke belakang. Ia lelah sekali. Cuaca di luar sana sedang gila panasnya. Dan lagi, sejak dari sekolah tadi kepalnya terus saja berdenyut menyakitkan. Ia perlu obat sakit kepala.

“Nanti aja, deh, ngambil kardus yang di gudang,” gumam Vita sangat pelan, “capek banget.”

Vita melepaskan punggungnya dari punggung kursi yang empuk, lalu menelungkupkan wajahnya dalam lipatan lengan di atas meja. Ia benar-benar kegerahan. Dan beginilah caranya menurunkan suhu tubuh, diam tak bergerak, sembari mencoba memikirkan hal yang baik-baik saja, jangan terfokus pada suhu yang panas.

Lama Vita berada dalam posisi itu. Nyaris saja ia terlelap jika bukan karena suara knalpot motor butut yang meraung dengan kencang melintasi jalan di depan rumah.

Tak bisakah orang itu mendorong saja motornya jika akan melewati rumahnya? Sungguh tidak enak saat tersetak dalam kondisi setengah tidur setengah terjaga.

Vita menyapukan rambutnya yang gelap panjang ke belakang. Kedua tangannya menangkup wajah ketika ia menguap. Ia mengantuk sekali. Lebih baik ia berganti pakaian dan pergi istirahat.

Baru saja Vita beranjak dari tempat duduknya, ponsel yang berada di sakunya bergetar. Dengan malas diambilnya ponsel tersebut, dan dilihatnya ada pesan yang masuk dari nomor tak di kenal. 

Hai. Bisa keluar sebentar?

Vita memasukkan kembali ponselnya kembali ke dalam saku, lalu mengenakan sandal rumah. Niatnya untuk berganti pakaian urung. Ia akan keluar sebentar untuk melihat siapa yang mengirim pesan. Walau sesungguhnya ia punya dugaan yang bagus.

Sembari berjalan menuju pintu utama, Vita mengumpulkan rambutnya dan menggulungnya dengan asal. Di luar sana pasti masih sangat panas.

Dengan satu tangan, Vita menghela pintu hingga terbuka. Ia melangkah ke luar dan menutup kembali pintu dengan pelan, ia tak ingin siapapun di rumahnya bangun.

Saat Vita berbalik, ia langsung melihat sosok laki-laki berdiri membelakanginya di jalan masuk ke pelataran rumahnya yang tak begitu luas. Dugaannya benar. Memang sejak kapan pula ia pernah salah menduga?

Langkah-langkah Vita membawanya semakin dekat dengan laki-laki itu. Jarak tiga langkah di antara mereka sudah cukup membuat Vita menghentikan langkahnya.

“Mau ngapain, sih, Raf?”

Rafka berputar, lalu melangkah lebih dekat pada Vita. Seragam sekolahnya masih sama seperti Vita, belum di ganti dengan pakaiannya santai.

“Aku mau nanya.”

“Nanya apa?” tanya Vita datar, alisnya terangkat.

“Kita ini memang gak kenal, ya, sebelumnya?”

Ingin sekali rasanya Vita tersenyum mendengar pertanyaan Rafka. Ini kedua kalinya laki-laki itu menanyakan hal yang sama hari ini. Ia kira Rafka sedikit lebih terpengaruh dengan perasaan tak asing yang mereka rasakan satu sama lain daripada dirinya. Itu fakta yang cukup menggembirakan. Setidaknya bukan hanya dirinya yang merasa frustrasi ingin mengingat sesuatu yang terasa tak asing, tapi nyatanya terlihat begitu asing.

“Aku gak tahu. Kenapa memangnya?”

“Aku gak bisa berhenti mikir aku kenal kamu di mana, kapan.”

Dengan santai Vita menanggapi, “Ya, kalo memang gak bisa inget, ya, gak usah coba diinget.”

“Iya, kalo bisa.”

Rafka menghembuskan napasnya. Vita memerhatikan hal itu, dan teringat sesuatunya yang harus ditanyakannya.

“Oh, iya, Raf, dari mana kamu dapet nomor HP-ku?”

Wajah frustasi Rafka hilang digantikan dengan cengiran khasnya yang konyol namun tetap tampan, jangan salah.

“Oh, itu.”

“Apa?”

“Di tangga tadi...”

“Kamu gak ngeliatku, tapi malah ngehafalin nomor HP-ku?” tebak Vita langsung.

Rafka hanya tersenyum, tanpa mengatakan apapun.

“Kenapa gak bilang, sih, kalo memang mau minta nomor HP?”

“Eh?” senyum Rafka langsung menghilang.

“Kamu gak ngira aku gak bakalan ngasih, kan?”

“Ya....”

“Kalo kamu minta, aku bakalan ngasih.”

Alis Rafka terangkat sangsi.

“Serius,” Vita meyakinkan Rafka, “Lagi pula ‘kan udah biasa murid yang satu kelas itu punya nomor temen sekelasnya.” Vita mengeluarkan ponselnya, dan menyimpan nomor Rafka ke dalam kontaknya dengan nama ‘RA’.

“Kalo alamat rumah, tahu dari mana?”

“Guru.”

***

Vita bangun kesiangan hari ini. Membuatnya tak bisa makan banyak saat sarapan. Ia hanya bisa mengambil dua buah apel untuk di makan menuju sekolah. Padahal ia sangat lapar saat terbangun dari tidur, sampai mual rasanya. Pagi yang tidak beruntung.

“Aku berangkat,” teriak Vita seraya membuka pintu utama, kemudian berlalu melewatinya.

Vita mengusap bintik-bintik keringat yang bermunculan di kening dan hidungnya. Walaupun ia jadi kegerahan, setidaknya ia tak terlambat. Jika ia terlambat hari ini, itu akan jadi pertama kalinya. Meski terkadang ia terlihat seperti tak ada niat untuk sekolah, ia tak pernah terlambat ataupun bolos. Ia ini murid baik, tapi bukan teladan.

Sekolah sudah sangat ramai. Namun tak ada seorang pun yang menyadari kehadirannya. Sebetulnya itu bagus. Siapa juga yang ingin di perhatikan oleh murid-murid yang berdiri di bibir koridor sibuk membicarakan kehidupan orang lain. Ia ini ‘kan bukan orang sabar yang akan diam saja jika ada orang yang menjelek-jelekkannya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi jika orang-orang itu benar-benar menjelek-jelekkannya, tapi pasti akan ada masalah yang timbul. Sedangkan ia tak mau menimbulkan masalah apapun, ia tak mau membuat ayahnya malu.

“Vita!”

Vita menoleh mendengar namanya diteriakkan. Berhenti ia, melihat Andra berjalan cepat menghampirinya.

“Pagi,” sapa Andra begitu ia berdiri tepat si sisi Vita, lalu mereka melangkah bersama.

“Pagi,” balas Vita dua detik setelah sapaan Andra datang.

“Siang banget berangkatnya.”

“Kamu sendiri?” Vita menoleh pada Andra sembari menaikkan alisnya. Wajahnya datar.

“Aku dari kantor.”

“Oh,” ucap Vita. Alis sudah kembali ke tempat semula. Seharusnya ia tahu jika murid teladan seperti Andra tak mungkin berangkat sesiang ini. Bila Rafka pasti sangat wajar. Kemarin saja laki-laki itu tidak masuk jam pelajaran satu dan dua, dan hanya duduk-duduk di atap.

“Vit,” panggil Andra.

“Mm?”

“Pinjem HP kamu sebentar.”

Vita mengambil ponselnya dari dalam saku lalu memberikannya pada Andra.  Ia tidak mengunci ponselnya dengan pola atau kata sandi.

“Buat apa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Vita, Andra malah mengabil gambar barcode yang tampil di layar ponsel Vita. Melihat Andra melakukan hal itu, Vita sudah mengerti apa yang dilakukan laki-laki itu.

Memangnya orang-orang di sekolah ini tidak dapat meminta secara langsung apa yang mereka inginkan? Kemarin Rafka mencuri nomor ponselnya, sekarang Andra.

“Nih,” Andra mengulurkan kembali ponsel milik Vita. Sebelum ia menyambutnya, sesuatu yang berkelebat melewati celah sempit antara dirinya dan Andra lalu merenggut dengan cepat ponsel yang Andra ulurkan.

Hampir saja Vita terjatuh kalau ia tidak cepat-cepat menyeimbangkan tubuhnya. Ia langsung melihat ke depan dan mendapati Rafka yang melangkah mundur menjauhinya. Dan yang paling menyebalkan, laki-laki itu menunjukkan cengiran tak berdosanya itu.

“Pinjem dulu, ya!” Rafka mengoyang-goyangkan ponsel Vita pada sebelah tangannya, kemudian berbalik dan berlalu.

Astagfirullah. Rafka ‘kan baru mengenalnya tiga hari dengan hari ini, tapi laki-laki itu sudah bersikap seenaknya, seakan-akan mereka sudah berteman lama. Apa Rafka selalu bersikap seperti ini?

Vita menoleh pada Andra dan berkata, “Rafka itu selalu nyebelin kayak gini, ya?”

***

Tahu apa yang lebih menyebalkan daripada Rafka? Rapat guru. Tahu kenapa menyebalkan? Karena guru-guru itu tidak memberitahukan jika akan rapat hari ini. Sia-sia saja ia berangkat sekolah jika begini. Sampai di kelas, guru masuk memberitahukan jika mereka akan rapat dan murid-murid akan belajar di rumah. Benar-benar menyebalkan. Kau tahu ‘kan rasanya?

Dengan kesal Vita menyandang kembali tas punggung yang baru diletakkannya lima menit yang lalu. Ia kemudian beranjak dengan wajah yang tertekuk. Selain rapat guru, ia juga kesal tak tahu harus mencari keberadaan Rafka ke mana. Laki-laki itu sungguh tak tahu diri untuk mengembalikan ponselnya.

“Kamu mau langsung pulang, Vit?” tanya Andra, melihat Vita yang hendak melangkah pergi.

“Enggak. Mau nyariin Rafka dulu.”

“Oh.”

“Kamu tahu dia biasanya ke mana?”

Andra menggeleng. “Enggak.”

“Aku duluan, ya,” pamit Vita, meninggalkan Andra yang masih sibuk menulis sesuatu dalam bukunya. Entah apa saja yang ditulis laki-laki itu mengingat belum ada apapun yang pelajaran yang diulas hari ini.

Pertama, pikir Vita, ia akan mencari Rafka di tempat kemarin, mungkin saja laki-laki itu ada di sana. Kalau Rafka tak ada di sana, ia akan pergi ke kantin. Jika masih tidak ada, ia akan pulang saja. Ponselnya bisa diambil besok, atau Rafka saja yang mengantarkannya ke rumah.

Baru saja Vita ingin menapakkan kakinya diundakan pertama menuju lantai atas, seseorang sudah menyodorkan ponsel dari arah belakangnya. Ia segera mengambil ponselnya dan berbalik.

Ia kira akan mendapati Rafkalah yang mengembalikan ponselnya, tapi ternyata orang lain, ia tak mengenalnya, jelas bukan dari kelasnya. Laki-laki itu tersenyum padanya dengan ramah, dan bertanya, “Lo Vita ‘kan?”

Vita mengangguk, tanpa membalas senyum laki-laki itu.

“Gue Genta, temennya Rafka. Dia tadi mita tolong gue balikin HP lo.”

“Rafkanya ke mana?”

“Di panggil Bu Kanya.”

“Mm,” Vita menanggapi. “Makasih, ya,” ucapnya, sembari mengaenggakat tangannya yang menggenggam ponsel.

“Lo mau nungguin Rafka atau mau langsung pulang?”

Untuk apa ia menunggu Rafka? Seperti ia tak punya kegiatan lain saja. Lebih baik ia pulang dan melakukan hal yang paling tak berguna daripada menunggu Rafka dan melihat lagi laki-laki itu melakukan hal-hal yang menyebalkan.

“Mau langsung pulang.”

Genta tersenyum kecil mendengar jawaban Vita yang seketika. Mungkin laki-laki itu tahu apa yang dipikirkan Vita. Semestinya ia tahu, mengingat Rafka adalah temannya.

“Sebenarnya Rafka nyuruh gue bilang ke lo buat nungguin dia,” Genta berusaha menahan senyumnya yang nampaknya ingin bertambah lebar, “tapi gue pengen lo pulang aja.”

Heran Vita kenapa teman Rafka ini malah menyuruhnya pulang bukannya melaksanakan keinginan temannya dengan baik dan benar.

“Kenapa memangnya?”

“Karena gue tahu kalo lo bakalan bikin latihan basket kita jadi batal.”

***

Terpopuler

Comments

yul,🙋🍌💥💥💥

yul,🙋🍌💥💥💥

bacanya tu harus pelan2 dan di hayati bangettt... keren

2021-04-14

2

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

lanjut 👍🏻❤️❤️❤️

2020-12-17

0

Sindi Paulia

Sindi Paulia

semangat 😘
salam manis dari JUST TO MET😘

2020-11-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!