"Kita mau nonton di mana, sih, Raf?" tanya Vita dengan suara sedikit dikeraskan. Ia saat ini tengah duduk di belakang Rafka yang mengandarai motor yang hampir tak pernah dilihat Vita. "Kita nonton film, kan?"
"Iyalah. Apa lagi?"
Vita membuka kaca helmnya, membiarkan udara segar menerpa wajahnya. Sudah lama mereka berkendara, tapi tampaknya Rafka belum menunjukan tanda akan berhenti. Jangan-jangan Rafka ingin mengajaknya nonton film di luar kota lagi. Siapa yang tahu apa yang ada di dalam pikiran Rafka.
"Kenapa gak sampe-sampe?"
"Sebentar lagi sampe."
Vita mendesis. Sudah empat kali Rafka mengatakan sebentar lagi sampai, tapi tak sampai-sampai juga. Mungkin selepas magrib nanti mereka akan sampai. Baru tiba di depan bioskop mereka sudah berputar lagi untuk pulang, dan tiba di rumah saat fajar. Luar biasa, bukan?
Lagi pula kenapa Rafka membawa tas penuh sesak yang mengurangi jatah tempat duduk Vita. Laki-laki ini akan pergi nonton atau akan melakukan bom bunuh diri. Bioskop mungkin dianggapnya tempat yang tepat. Tempat itu 'kan ramai, apalagi jika sedang ada pemutaran premier film.
Ah. Kambuh lagi hobinya menggerutu.
"Sampe."
Rafka menghentikan kendaraannya. Vita pun turun. Ia melepaskan helmnya, kemudian memandang berkeliling.
Apa ini? Hutan?
"Hutan mangrove. Di sini bagus buat nonton."
Kening Vita mengernyit. "Nonton..." Vita melirik tas Rafka. Di luar ekspetasi. Mereka akan streaming film. Hemat sekali.
"Ayo!" ajak Rafka.
Vita mengikuti Rafka yang melangkah dengan riang gembira.
Di sini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang berfoto-foto ria. Atau sekedar menikmati udara yang sejuk dan bersih dengan berpiknik. Jika di taman kota, pasti sangat padat di akhir pekan seperti ini. Padahal di sini cukup bagus dan bersih. Kenapa orang-orang tak mau pergi ke sini?
"Vita," panggil Rafka, "sini!"
Vita menoleh, mendapati Rafka telah berbelok. Ke mana matanya pergi? Siapa yang sebenarnya diikutinya? Bisa-bisanya ia tak sadar orang yang melangkah tepat di hadapannya berbelok. Barangkali mulai besok ia harus menggunakan kacamata secara permanen, bukan hanya ketika ia diperlukan untuk melihat jarak jauh dengan jelas.
Berputar Vita, mengekori Rafka. Mereka terus berjalan di atas jembatan-jembatan kayu yang membelah hutan. Hingga jauh kemudian-mungkin di tengah hutan-Rafka berhenti. Laki-laki itu duduk, Vita pun ikut. Rafka menggelar segala perlengkapan nonton, mulai dari laptop sampai camilannya yang berupa beberapa apple pie dan susu kotak coklat-sesuatu yang antimainstream sebagai teman nonton.
"Emang di sini gak ganggu orang jalan, ya, Raf?"
"Enggaklah. Penghuninya 'kan cuma sedikit." Rafka mulai sibuk membuka akun salah satu aplikasi streaming film berbayar.
"Bukan berarti mereka gak bakalan lewat, 'kan?"
"Kalo mau lewat ya tinggal lewat," ujar Rafka santai. "Bilang permisi, melipir-melipir dikit jalannya. Gitu aja kok bingung."
"Kamu itu mengganggu kenyamanan publik tahu."
"Udahlah gak usah dipikirin. Mau nonton apa?"
Vita mencebik"Apa aja."
"Horor, ya? Suasananya 'kan cocok."
"Terserah kamulah." Vita sendiri tak yakin jika ia benar-benar memilih, Rafka akan memutarkannya untuknya. Laki-laki itu akan mencari alasan apa saja agar dapat memutar film yang ingin ditontonnya. Vita yakin.
"Allright..."
***
Tiara keluar dari taksi yang di tumpanginya. Ia tak sendiri, Reina bersamanya. Rencananya hari ini ia akan mengajak kedua temannya untuk pergi belanja bersama. Reina awalnya tak setuju mengajak Vita, namun setelah diyakinkan, gadis itu akhirnya menyetujui keputusannya. Bagus sekali. Ini akan jadi akhir pekan yang menyenangkan.
"Ayo, Rein," ajak Tiara.
Dengan enggan, Reina menghampiri Tiara. Ditatapnya rumah yang berdiri di depannya. Rumah bercat putih dua lantai.
"Jadi ini rumah Vita?"
"Iya. Ayo masuk."
Reina tetap bergeming di tempatnya. Tak memindahkan satu langkah pun kakinya. Seakan-akan terpaku ke tanah.
"Ayo, Rein..." Tiara menarik tangan Reina yang mau tak mau mengikutinya masuk ke pelataran rumah Vita.
"Memang harus banget ya, kita ngajak Vita?" tanya Reina. Ia dan Tiara sudah berdiri di depan pintu.
"Iya."
Setelah empat ketukan dan menunggu dua menit, pintu terbuka. Tante Helena tersenyum pada Tiara dan Reina. Ipar ibunya ini memang baik sekali padanya. Sering ia merasa kalau wanita di hadapannya ini lebih menyayanginya dari putri sulungnya sendiri, Vita.
"Tiara," ucap Tante Helena, "Ayo masuk," ajaknya, ia juga tersenyum ramah pada Reina yang sudah tak segan lagi untuk berpijak di lingkungan rumah ini.
Tiara dan Reina mengikuti Tante Helena ke dalam. "Vita mana, Tante?"
"Oh, Vita pergi nonton sama temennya."
"Siang-siang gini? Memangnya ada bioskop buka? Terus dia pergi sama siapa?" tanya Tiara penasaran. Menurut cerita dua versi, Vita sendiri dan Reina, sepupunya itu hanya berteman dengan Rafka dan Andra. Ia sungguh berharap bukan Rafka.
"Rafka namanya, kata Om kamu."
***
Seorang gadis duduk bersandar nyaman di sofa, menghadap televisi yang menyala. Ia menggapai remote lalu memindahkan salurannya ke acara komedi. Setelah itu meletakkan kembali remote di sisinya. Sejenak kemudian, saluran televisi berganti sendiri. Ia menegakkan punggungnya, mencari remote yang entah hilang ke mana. Gadis itu turun dari sofa, mengintip ke bawah benda berwarna coklat yang empuk itu. Tidak ada apapun. Ia bangun, memandang ke sekeliling ruangan. Tiba-tiba telepon berdering. Ia bangkit berdiri, mendekati telepon, lalu mengangkatnya.
Itu telepon dari ibunya. Menanyakan apakah ia sudah menhabiskan sarapannya-yang segera ia iyakan. Sembari bercakap-cakap kepada ibunya di seberang sana, ia bersandar ke dinding.
Ketika bersin ia berpaling, dan tertangkaplah remote oleh matanya. Benda kotak itu tergeletak di atas kursi tua di dekatnya. Ia bergeming menatap benda itu. Bagaimana bisa benda itu sampai ke sana?
Gadis itu meletakkan telepon. Dipungutnya remote di kursi. Ia kembali duduk di tempat semula, memindahkan saluran televisi ke acara komedi. Di letakkannya remote di atas meja, tepat di hadapannya. Adrenalinnya berpacu, membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia melirik kiri-kanan dengan ketakutan. Suasana semakin mencekam.
"Subtitle-nya ganggu."
"Matiin aja."
"Nanti kamu gak tahu artinya," ucap Rafka, matanya fokus memandang layar.
Vita yang duduk di tengah jembatan mendelik seraya mendesis. Dirinya atau laki-laki sok ini yang akan tak akan mengerti jika terjemahnya dinonaktifkan? Ia benar-benar merasa terhina. Jangankan bahasa Inggris, ia bahkan bisa berbahasa Prancis dan Korea. Bukan bermaksud sombong.
Plak!
Tanpa terduga Rafka memukul wajahnya sendiri karena terkejut. Vita meringis. Pasti panas. Refleks yang amat buruk. Kenapa laki-laki itu tidak teriak saja? Itu lebih baik daripada memukul wajah sendiri.
Rafka mengusap-usap pipinya yang terasa pedas. Ia meliriknya sekilas. Rafka pasti malu sekali. 'Kan dia yang memilih film. Pasti ia tak menyana sebelumnya akan ada insiden menampar diri sendiri seperti ini. Di depan wanita lagi. Rasa sakitnya tak seberapa, malunya luar biasa.
Vita memungut sekotak susu yang terbaring di dekat liang pai apel yang kosong. Bagi Vita, itu adalah pai apel terbaik yang pernah di makannya. Tidak terlalu manis, dan bagian dalamnya sangat lembut. Sembari membayangkan isi yang trasparan di dalam kotak pai, Vita menusukkan sedotan ke kotak susu di tangannya. Ia memandang kembali ke layar laptop sambil menikmati susu coklat.
Uhuk!
Vita tersedak saat Rafka menariknya ke sisi laki-laki itu. Ia menoleh ke belakang, mendapati seorang wanita berjalan diiringin seorang pria dengan kantung besar di tangannya.
"Makanya jangan sibuk ngetawain orang dalam hati," ucap Rafka, melihat Vita. Ia melepaskan tangannya, membiarkan Vita kembali ke posisi semula.
"Kamu aja yang milih tempat duduk yang gak layak."
"Biasanya aku duduk di sini gak ada orang yang lewat." Rafka mengambil satu kotak susu untuk dirinya.
"Hari ini gak biasa," Vita menanggapi.
Rafka tersenyum. "Iya, ya, biasanya 'kan aku sendiri, sekarang berdua."
"Memang kamu gak pernah ngajak temen kamu nongkrong di tengah jembatan 'gini? Teman-temen kamu kan vanyak banget tuh."
"Enggak. Kamu temen pertama yang aku ajak ke sini."
Wah. Kenapa ia tak merasa terhormat?
Hingga film selesai tak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka. Rafka hanya mengomentari film beberapa kali dan ditanggapi oleh Vita dengan setengah hati. Pada akhirnya Vita bertanya pada Rafka, "Kenapa, sih, kita harus nonton di sini?"
"Kamu mau nonton di bioskop?" tanya Rafka, menutup laptopnya. "Kamu gak suka nonton di sini?"
"Enggak kayak 'gitu. Di sini enak, kok, tapi aku heran aja."
"Heran kenapa?" Rafka memasukkan laptop-nya ke dalam tas. "Karena pemilihan tempatnya?"
"Mm."
"Kamu tadi 'kan udah jawab sendiri."
"Kapan?" tanya Vita. Ia ikut berdiri melihat Rafka melakukan hal itu. Mereka berdua bersisian, memandang jauh ke depan sana.
"'Di sini enak, kok'," Rafka mengingatkan.
"Cuma karena itu?" Vita menoleh.
"Apalagi?"
Vita mendekatkan minumannya ke mulut seraya mengalihkan pandangannya ke depan. Tempat ini memang 'enak'. Nyaman dan tenang. Sayang jaraknya cukup jauh dari rumah Vita. Seandainya lebih dekat, Vita mungkin akan sering berkunjung ke sini. Ia bisa menonton drama Korea, atau hanya sekedar duduk sembari membaca buku.
"Kamu suka sama aku gak, Cha?"
"Eh?" Vita melongo.
Rafka menoleh kepada Vita. "Suka... sebagai temen?" Ia kelihatan aneh saat menerangkan hal itu. Tidak seperti Rafka yang biasanya, yang selalu yakin dan percaya diri.
"Oh. Suka."
Ketika Vita sudah tak memandang Rafka lagi, ia masih dapat merasakan tatapan laki-laki itu pada dirinya. Rafka kali ini membuatnya merasa tak nyaman. Ia jadi gugup untuk alasan yang tak berarti.
"Aku kira kamu nganggep aku ngeselin."
"Memang," ujar Vita enteng.
"'Gimana caranya kamu suka sama orang yang nyebelin buat kamu?"
"Entah."
Mendengus Rafka mendengar jawaban Vita. Ia berbalik lalu memunguti sampah-sampah yang dirinya dan Vita hasilkan. Di masukannya semua itu ke dalam kantung plastik. Kemudian ia menyampirkan tasnya sendiri ke bahu dan memungut tas Vita, yang langsung disuluhkannya pada gadis itu.
"Ayo," ajak Rafka.
"Kita mau pulang sekarang?" tanya Vita yang melangkah mengikuti Rafka.
"Terserah kamu. Aku, sih, mau ke toko bunga dulu. Terus mampir ke tempat Anastasya," beritahu Rafka. "Kamu inget 'kan aku pernah bilang kalo aku kenal orang yang namanya Anastasya?"
"Iya. Alasan kamu manggil aku 'Cha'."
"Kamu mau ikut, enggak?"
"Kalo boleh."
"Boleh."
Rafka berputar mendadak, membuat Vita hampir saja menubruknya. Sebab jarak yang terlalu dekat, Vita mengambil satu langkah mundur. Di tatapnya Rafka.
"Kalo, suka sebagai..." Rafka ragu-ragu," sebagai... Kamu tahu 'kan maksudku?"
Iya. Vita sangat tahu apa maksud Rafka. Dan ia betul-betul gugup sekarang. Rasanya seperti di sudutkan ke tepi jurang. Padahal di belakang Vita masih aman, semuanya rata. Tak ada yang menudutkannya ke bibir jurang. Tidak juga dengan Rafka.
Alih-alih menunggu jawaban dari Vita, Rafka kembali berkata, "Kamu suka sama aku?"
"Aku belum kepikiran," jawab Vita jujur. "Lagian, aku orang yang ngebedain antara suka, sayang, sama cinta. Kalo suka aku kira gampang, apalagi kamu orang yang menyenangkan."
"Oh."
"Aku gak terlalu suka bahas hal kayak 'gitu," ucap Vita. Dia melangkah mendahului Rafka. Meninggalkan laki-laki itu di belakangnya. Dengan bertanya seperti itu, Rafka membuat suasana menjadi tidak nyaman.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
yul,🙋🍌💥💥💥
oke
2021-04-16
1
Aktivis
lebih baik jujur yekann
2021-04-06
2