“Ma, minta uang jajan.”
Tiara dengan seragam sekolah, berdiri memeluk kusen pintu kamar ibunya. Sementara ibunya—Hera—tengah memoles wajah di depan cermin. Ia mengerutkan keningnya saat melihat tas tangan berukuran besar berada di sisi tempat tidur. Kemana ibunya akan pergi?
“Mama mau ke mana?”
“Surabaya. Nenek kamu sakit lagi.”
“Kok, Mama gak bilang?”
“Karena Mama gak mau kamu ikut,” jawab ibunya santai.
Tiara mencibir, “Siapa juga yang mau ikut.”
“Apa?” Hera menoleh.
“Enggak.”
Tiara masuk, lalu duduk di bibir tempat tidur. Ia mengeluarkan ponselnya. “Om Herry ke Surabaya juga?”
“Iya. Tapi Vita gak ikut.”
“Mama berapa hari di sana?”
“Dua hari. Mama ‘kan gak bisa cuti dari kantor kelamaan.”
Tiara tersenyum. “Kalo gitu aku nginep di rumah Om, ya, Ma?”
Sejenak ibunya nampak mempertimbangkan hal itu. Ia harap ibunya akan mengizinkan. Ibunya akhir-akhir ini agak terobsesi nilai sempurna. Selain itu, ibunya juga tak terlalu menyukai sepupunya tercinta—Vita. Bukan hanya ibunya, tante-om dan sepupu-sepupu yang lain hampir semua juga tak menyukai Vita. Entah kenapa alasannya. Ia hanya merasa kasihan pada Vita. Padahal Vita itu baik dan begitu pintar. Sepupunya itu juga sopan dan tidak pernah bertingkah aneh-aneh. Bahkan Vita anak yang lebih baik darinya.
“Tapi jangan bolos sekolah sama bimbel.”
“Ah, Mama, kayak Vita sering ngajakin bolos sekolah aja.”
“Jangan keluyuran malam-malam.”
“Kenapa, sih, Mama seolah-olah nganggap kalo Vita itu bawa pengaruh buruk?” Ada kerutan di antara alis Tiara. “Menurutku, kelakuan Vita aja lebih baik dari aku.”
Tiara memandang wajah ibunya di cemin. Ibunya itu telah berhenti memoleskan riasan pada wajahnya. Sepertinya ia telah membuat ibunya marah. Melayang sudah uang saku hari ini. Kenapa ia harus keceplosan berbicara tentang Vita?
***
Sudah lewat satu jam, jam pelajaran pertama. Andra sangat tahu jika Vita tak mungkin terlambat, apalagi selama ini. Walau terkadang gadis itu berangkat nyaris bel pertama, tapi tak pernah terlambat. Apa mungkin Vita sakit? Kemarin Vita terlihat baik-baik saja, sangat sehat.
Andra menoleh, sekilas ia melihat Rafka yang sama sekali tak perduli pada apa yang dijelaskan guru di depan sana. Siswa tak tahu diri itu terus saja mengganggu murid yang duduk di depannya. Andra jadi heran sendiri, bagaimana murid seperti Rafka tak pernah terancam dikeluarkan? Sering berkelahi, sering bolos dan alpa, dan tak pernah mendapatkan nilai baik selain dalam bidang olahraga. Ia jadi ingin tahu, sekaya apa keluarga Rafka hingga bisa mempertahankan anak seperti itu di sekolah ternama dan terakreditasi A ini. Dan lagi, di kelas favorit.
Pelajaran selesai. Bapak guru di depan membereskan barang-barangnya untuk bersiap pergi. Ia mengucapkan salam, dan melangkah ke pintu, namun langsung berbalik kembali.
“Andra...”
Kepala Andra langsung tegak begitu namanya disebutkan. Ia selalu siap siaga ketika namanya disebutkan.
“...Rafka.”
Andra melirik Rafka yang seolah-olah tak mendengar namanya di ucapkan. Anak itu tuli atau bagaimana? Jika ia punya murid seperti itu, akan ia tendang keluar dari sekolah ini.
“Kalian berdua dipanggil Bu Kanya.” Setelah berbicara begitu, guru pelajaran Sejarah itu pun pergi.
Andra, sebagai murid teladan yang baik, beranjak dari kursinya dan melenggang menuju kantor di mana seharusnya Ibu Kanya berada. Ia penasaran kenapa wanita itu memanggilnya. Apa nilai ulangan hariannya kemarin jelek? Seingatnya, kemarin ia bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik dan yakin jika itu benar.
“Permisi, Bu,” Andra berkata dengan sopan. Ia menempatkan dirinya di depan meja Ibu Kanya. Sedang pemiliknya sendiri sibuk menulis sesuatu deangan tergesa di dalam secarik kertas.
“Ibu manggil saya?” Baru setelah berbicara begitu Kanya akhirnya menengadahkan wajahnya.
Wanita itu melepas kacamatanya dan mencari-cari sesuatu di balik punggung Andra dengan pandangannya.
“Mana Rafka?”
“Masih di kelas, Bu.”
Wali kelasnya itu mengeluh mendengar laporannya. Bukankah hal seperti ini sudah sering terjadi? Kenapa Bu Kanya harus mengeluh? Rafka ‘kan memang seperti ini. Kalau dipikirkan, memang hanya wali kelasnya inilah yang sering sekali menghukum dan memanggil Rafka. Bahkan guru BK saja hampir tak pernah memanggil Rafka sejak mereka duduk di kelas 10. Kanya Widyawati ini sangat perduli dan perhatian pada Rafka.
“Ibu manggil kamu ke sini buat bahas nilai Rafka?”
Andra mengerutkan alisnya. Apa maksudnya itu? Nilai Rafka? Dengannya? Kenapa? Siapa Rafka bagi dirinya hingga Ibu Kanya ingin membahas nilai bocah itu dengannya?
“Kok, sama saya, Bu?”
“Gini, di kelas kalian, bisa dibilang kamu yang nilainya paling bagus. Dan Rafka yang paling...”
Jelek. Andra mendahului ucapan gurunya di dalam hati.
“...jelek.”
Ah. Ia sudah tahu maksud wanita ini. Dan ia tak akan sudi untuk mengajari Rafka. Ia tak menyukai segala hal yang berhubungan dengan laki-laki sinting itu. Bagaimana bisa ia harus turun tangan mengajari orang yang tak punya otak dan etika juga dedikasi dalam belajar itu? Yang benar saja!
“Maksud Ibu, saya yang harus bantuin Rafka belajar?”
Kanya mengagguk. “Gak harus. Kalo kamu mau aja.”
“Mmm... sebenernya ya Bu, saya sama Rafka itu hubungannya gak terlalu baik,” ucapnya sopan. “Dia gak nganggep saya temennya, saya juga ‘gitu sama dia. Jadi, Rafka gak mungkin mau saya ajarin.”
“Ibu sudah duga kalo kamu bakalan nolak.” Ia tersenyum. “Gak apa-apa, kok. Kamu boleh balik ke kelas lagi.”
Andra berbalik. Ia lega karena dapat menghindari bencana ini. Bayangkan ia harus menghabiskan waktu sepulang sekolahnya bersama orang seperti Rafka. Bu Kanya saja mungkin akan stroke jika setiap hari dan terus-menerus mengajari orang seperti Rafka. Tapi siapa kandidat pengganti dirinya?
Andra kembali berbalik. Ia teringat sesuatu. “Oh iya, Bu.” Ibu Kanya mengangakat kepalanya yang sudah tertunduk di hadapan bukunya lagi, “Kenapa Vita hari ini gak masuk sekolah?”
“Dia tadi kirim pesan, katanya dia lagi sakit.”
“Oh.” Ternyata Vita sakit. “Makasih, ya, Bu.”
Di tengah perjalannya menuju kelas, Andra berpapasan dengan Rafka yang melangkah menuju arah yang ia tinggalkan. Laki-laki itu—Rafka—melenggang dengan wajah datar dan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Benar-benar sok, ia makin tak menyukainya.
***
Vita sakit.
Pantas saja Vita tak menjawab teleponnya dan tak membalas pesannya. Kasihan sekali temannya itu, sakit saat tak ada siapa pun di rumah untuk mengurusnya. Setahunya, orang tua Vita—menurut informasi dari gadis itu sendiri—baru akan pulang besok atau lusa. Siapa coba yang akan membuatkan Vita makanan? Bisa jadi gadis itu belum makan sejak sore kemarin.
Rafka mempercepat langkahnya. Ia ingin segera melihat kondisi Vita. Memastikan apakah gadis itu sudah makan atau belum, apakah gadis itu sudah minum obat atau belum, apakah demamnya sudah turun.
Rafka menoleh ke belakang dan menemukan Andra berjalan lima meter jauhnya dari tempatnya saat ini. Bukankah rumah si Sok-pintar itu arahnya ke kanan? Tapi kenapa dia malah mengarah ke sini, ke rumah Vita? Apa Andra memang berniat ke rumah Vita juga?
Rumah Vita hanya beberapa meter lagi depan sana. Dugaannya benar. Andra memang ingin ke rumah Vita. Siatuasi macam apa yang akan terbentuk di antara dirinya, Vita, dan Andra?
Sejujurnya, ia sama sekali tak punya masalah dengan Andra. Laki-laki gila itulah yang sepertinya masih punya masalah padanya. Faktanya, bukan dia yang mendiamkan Andra, tapi Andra yang menganggap dirinya—Rafka—tak kasat mata. Awal mereka bertengkar pun, Andra yang memulai. Ia tak punya selera bertengkar dengan laki-laki kutu buku.
Tangan Rafka terangkat untuk mengetuk pintu, namun langsung terhenti di udara saat mendengar deru mobil masuk ke pelataran rumah ini. Ia menoleh, seorang gadis langsing berseragam SMA muncul dari dalam mobil sembari menenteng tas sekolahnya.
Bukankah itu Tiara?
“Andra!” teriak Tiara yang melihat Andra memasuki pelataran.
“Tiara,” Andra tersenyum.
Bagus. Lebih lama mereka reunian lebih bagus. Siapa yang mau satu ruangan dengan gadis yang di tolaknya dan laki-laki yang membencinya? Secuek-cueknya dia, akan tetap ada kecanggungan di antara dirinya, Andra, dan juga Tiara.
Tangan Rafka terkepal. Ia mengetuk pintu di depannya beberapa kali. Rasanya lama sekali menunggu Vita membukakan pintu. Ia jadi penasaran, Vita itu melangkah atau merayap.
Wajah pias dan kering muncul dari balik pintu. Gerutuan sirna tak bersisa dari kepala Rafka. Vita sakit betulan.
“Kenapa?” tanya Vita ketus. Namun bukannya menjawab, Rafka malah mengangkat tangannya dan menempelkannya pada kening Vita. Panas.
“Ta, Ta!” teriak Tiara.
Sial! Rafka langsung menjatuhkan tangannya.
“Lo sakit?” Tiara menabrak bahu Rafka cukup kencang. Selanjutnya Andra maju dan mendahulinya. Dengan sok akrabnya, si Andra itu menyentuh kening Vita lalu bertanya bagaimana keadaannya.
Saat Andra mencoba memapah Vita masuk ke dalam, secepat kilat Rafka mengembalikan posisinya di hadapan Vita. Ia menepis tangan Andra dari bahu Vita, dan berkata, “Vita itu gak patah kaki.” Kemudian ia memutar tubuh Vita dan mendorongnya dengan pelan masuk ke dalam seperti tahanan. Yang aneh, Vita sama sekali tak berkomentar atas tindakkannya sama sekali, tak seperti biasa.
Soal tak ada keluahan dari Vita bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang dilihat Rafka di ruang televisi. Seperti telah terjadi huru-hara. Buku-buku setebal dua-tiga jari berserak di lantai. Piring kotor, gelas kosong, plastik roti tawar, selai yang tutupnya terbuka dan satu kotak besar susu coklat menghiasi meja. Belum lagi kotak-kotak CD film yang bertebaran di bawah rak televisi. Dan televisi itu sendiri masih menyala menayangkan Minion yang mengoceh ria. Ia sama sekali tidak tahu jika orang sakit biasanya melakukan ini.
“Wah...” mulut Rafka terbuka, “cool.”
Vita kembali duduk di sofa nyamannya. Tangan Rafka sudah lepas dari pundaknya.
“Sakit beneran lo, Ta?” Tiara melewati Rafka, tangannya menyerempat tangan Rafka dengan lembut. Ada apa dengan Tiara? Kenapa sejak tadi gadis itu terus melakukan kontak fisik dengannya? Tidak tahukah gadis itu jika itu membuatnya semakin kesal padanya?
“Kamu baru baca semua ini, Vit?” Andra duduk di karpet di dekat Vita.
Tak mau kalah saing dari Andra, Rafka duduk di dekat CD/DVD player, di depan televisi. Posisi ini membuatnya lebih mudah untuk di pandang Vita. Karena menurutnya, lebih mudah utuk memandang lurus ke depan daripada menoleh ke samping bawah. Jadi, jika pikiran Vita masih setara dengan manusia normal, gadis itu akan lebih memilih memandanginya ketimbang Andra si manusia sok-sok-an.
“Ada CD yang lain gak sih, Cha?”
“Cha?” Tiara yang malah menyauri pertanyaannya. “Siapa ‘Cha’?”
“Vita,” jawab Rafka enteng, tanpa memandang si Penanya.
“Oh,” Tiara nampak kecewa. Sekejab kemudian, ia langsung merubah warna wajahnya dan berkata, “CD film banyak di kamar Vita. Ambil aja.” Tiara mengerling Vita, “Ya ‘kan, Ta?”
“Aku gak suka orang lain masuk kamarku.”
“I’m your friend, bukan orang lain,” balas Rafka. Ia melangkah ke kamar terdekat. “Ini, ‘kan kamarnya?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
like 👍🏻
2020-12-17
0