Episode 19

"I still don't feel accustomed to all this."

\~\~\~\~\~\~

Ariya duduk di atas ranjang seraya termangu. Di pangkuannya terdapat sebuah buku tebal yang sedang terbuka, namun matanya tidak terfokus pada bacaan tersebut.

Pikirannya melayang, memikirkan wajah pria asing tadi. Wajah pria tersebut masih bisa terbayang-bayang di otaknya.

Ia menyandarkan kepalanya di kepala ranjang, lalu mengerutkan dahinya. Pikirannya kembali beralih pada Yazel. Ariya masih ingat jika pria tersebut tiba-tiba saja marah padanya tadi.

Memangnya apa yang Ariya lakukan tadi hingga membuat Yazel marah besar seperti itu?

Seingatnya, tadi dirinya cuma berdiri bingung seraya menatap ke arah pria asing itu, sebelum tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki pikirannya. Dan yah, beberapa detik selanjutnya, Yazel langsung membawa dirinya masuk ke dalam kamar ini lagi.

Lord.

Tiba-tiba saja, suara pintu yang terbuka membuat Ariya menghilangkan semua lamunannya. Disana, di ujung pintu, ia dapat melihat Yazel sedang menjatuhkan pandangan ke arah dirinya.

Wajah pria tersebut terlihat sangat tidak bersahabat. Dan juga tampak, marah?

Apa Ariya tadi telah melakukan kesalahan?

"Umm, kenapa?" tanya Ariya dengan tatapan tanda tanya.

Yazel hanya menghela napas, sebelum tiba-tiba saja Yazel menghilang. Ariya mengerjapkan matanya. Kemana perginya pria itu?

"Hah."

Suara helaan napas terdengar cukup dekat, membuat Ariya sedikit terlonjak kaget. Mendadak ada sebuah kepala yang cukup berat bersandar di atas pahanya. Ariya menggigit bibir bawahnya, mendapati kepala pria itu sudah berada di bawahnya.

"Apa yang kau lakukan!"

Ariya hendak menghempaskan kepala itu, namun tiba-tiba saja pergerakkannya terhenti. Pria itu kembali menyihirnya.

Oh gosh, lelaki satu ini!

"Terima saja."

Yazel memejamkan kedua matanya, lalu menyelimuti dirinya sendiri.

"Maaf kalau aku tidak membawamu ke bioskop pribadiku tadi. Kakakku tiba-tiba saja datang ke dalam kediamanku," lanjut Yazel lagi.

Ariya menghela napas. Ia akhirnya memutuskan untuk memejamkan matanya juga. Entah kenapa, dirinya selalu merasa pasrah ketika berada di dekat pria ini.

"Dia kakakmu?" tanya Ariya dan tampak berpikir sejenak. Kepalanya kembali memutar balik soal memori tadi. Wajah tampan yang ia lihat barusan kembali muncul di kepalanya. "Ngomong-ngomong, kakakmu tampan juga, ya."

"Dia?"

Yazel membuka kedua matanya, lalu menatap Ariya dengan tatapan datar. Ia kemudian mencebik. "Persetanan dengan kakakku itu. Dia itu suka sekali memainkan hati para wanita."

"Yang benar saja? Tapi dia tampan sekali, lho!"

Mendengar pujian Ariya terhadap kakaknya, Yazel berusaha untuk menahan emosinya yang tiba-tiba kembali memuncak. Entah kenapa, ia tidak suka Ariya memuji kakaknya.

"Bisakah kau jangan memujinya? Aku muak mendengar pujianmu itu."

"Kenapa?" Ariya mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Memang dia tampan, kok. Malah terlihat lebih tampan dari kau."

"Terus!" pekik Yazel. Ia bangkit dari paha Ariya, lalu menatap tajam ke arah perempuan tersebut. Tanpa sadar ia malah membentak Ariya, membuat gadis tersebut kembali terkejut pada tempatnya.

Ariya menggaruk tengkuknya dengan polos, sebelum saja ia tiba-tiba menyadari jika ternyata Yazel telah melepaskan sihirnya.

Hanya sesaat, sebelum Yazel mendadak bergerak mendekat ke arah Ariya tanpa sempat Ariya hindari. Perempuan itu sebenarnya hendak memundurkan kepalanya, namun sudah telat. Seperti biasa, Yazel kembali menyihir seluruh pergerakannya.

"Kau mau apa?" tanya Ariya dan meneguk ludahnya dengan susah.

Memang sudah beberapa kali Yazel selalu tiba-tiba bergerak mendekat ke arahnya seperti ini, tapi Ariya masih tidak mampu untuk menghentikan jantungnya yang langsung berdegup dengan cepat.

Geez, walaupun sudah sering, namun Ariya masih saja belum terbiasa.

"I need your blood, now."

Sesudah mengatakan satu kalimat tersebut, Yazel langsung menenggelamkan seluruh kepalanya di ceruk leher milik Ariya seperti biasa.

Yap, Ariya sudah menduga jika seluruh sendinya sudah ditahan. Tidak ada bagian tubuh yang bisa ia gerakkan sama sekali.

Dia paling membenci posisi seperti ini. Rasanya sungguh menyiksa dan dirinya selalu dipaksa oleh Yazel.

Seperti hari-hari sebelumnya, Yazel menusuk leher Ariya dengan menggunakan giginya. Darah kental berwarna biru kesukaan Yazel mengalir keluar dengan derasnya. Dari dekat, Yazel dapat menghirup wangi darah milik Ariya itu.

Sementara itu, Ariya hanya memejamkan matanya. Ia pasrah, mendengar darahnya diteguk dengan buas oleh Yazel. Rasanya sakit, namun tidak sesakit pada saat pertama kali ia digigit. Mungkin Ariya sudah merasa terbiasa akan hal ini.

Tapi, ada satu hal yang menurut Ariya sangat aneh. Kenapa Yazel sanggup menggigit lehernya dengan deretan giginya yang tumpul itu?

Setelah beberapa hari ini dia bersama Yazel, dirinya sudah sedikit mengenal Yazel. Setahunya, Yazel tidak mempunyai gigi taring yang tajam seperti vampire di film-film.

Jadi bagaimana caranya pria ini menggigit lapisan kulitnya hingga ke dalam?

Beberapa menit kemudian, setelah dirasa cukup, Yazel mengangkat kepalanya. Ariya tanpa sadar seketika menghela napas lega saat itu juga.

"Aku mau keluar sebentar. Kau tetap di sini dan jangan pergi kemana-mana."

Ariya spontan mencibir. "Memangnya aku bisa pergi kemana? Kau selalu mengunci pintu kamar ini."

Yazel hanya mengangguk datar. Ia menjilati sisa-sisa darah Ariya yang berada di sudut bibirnya, membuat perempuan itu sedikit meringis melihat darahnya ditelan oleh Yazel. Pria tersebut kemudian beranjak dari tempat tidur.

"Aku pergi dulu."

Di detik selanjutnya, sosok Yazel yang sedari tadi Ariya perhatikan seketika menghilang. Perempuan itu sontak menoleh ke arah kiri dan kanan, memastikan jika pria itu benar-benar sudah keluar dari kamar ini.

"Sialan. Ternyata pria itu hanya kembali ke kamar ini hanya untuk menyedot darahku lagi."

Ariya memegangi lehernya yang sudah terasa kaku akibat perbuatan Yazel. Lubang kecil yang diciptakan Yazel di lehernya perlahan mulai menghilang.

Ariya kemudian menggerakkan kepalanya agar tidak terasa kaku. Setelahnya, ia berusaha beranjak dari tempat tidur, dan ternyata berhasil!

Tidak seperti pagi tadi, Ariya tidak kehilangan seluruh energinya. Dirinya masih sanggup untuk berdiri dan bahkan masih bisa berlari.

Ah, dari hal tersebut Ariya langsung dapat menyimpulkan jika Yazel tadi hanya meminum darahnya sedikit.

Ariya lalu menoleh ke arah cermin besar yang berada di sampingnya, menatap dirinya yang tampak sedikit berantakan melalui pantulannya.

Hmm...

Ariya mengangkat tangannya, lalu meraba sekitar lehernya yang digigit oleh Yazel barusan. Di cermin ia bisa melihat jika lehernya sudah kembali menjadi semula. Tidak ada rasa sakit ataupun bekas gigitan Yazel.

Mulus.

Setelah merasa puas melihat pantulan dirinya, Ariya kemudian berjalan ke arah jendela. Ia membuka tirai yang menutup jendela tersebut, membiarkan sisa-sisa sinar matahari masuk ke dalam kamar.

Ariya menatap ke arah luar jendela, kemudian menghela napas untuk yang kesekian kalinya.

Ia menarik kursi terdekat, lalu duduk di atas kursi tersebut. Tangannya bergerak menopang kepalanya sendiri, sebelum kedua matanya menjelajah ke luar jendela. Merasa bosan, Ariya akhirnya mengarahkan pandangannya ke arah bawah.

Hanya beberapa detik, hingga tiba-tiba sosok yang tak asing itu tertangkap oleh pandangannya. Ariya membulatkan mata, melihat sosok Blake yang sedang berbicara dengan seorang pria tampan yang nampak sangat familiar baginya.

Dia yakin itu adalah Blake!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!