Episode 13

"I just don't want to have a problem with a traitor."

\~\~\~\~\~\~

06.00 A.M

Yazel terbangun dari tidurnya. Ia menguap, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum pandangannya bertemu dengan Ariya. Yazel tanpa sadar tersenyum ketika ia melihat wajah Ariya yang masih tampak manis walau tertidur.

Niatnya untuk menyiksa Ariya terasa semakin berkurang, seolah-olah perempuan itu melakukan sesuatu padanya. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan selama ini, entah kenapa malah perlahan mulai muncul.

Yazel lalu mengarahkan pandangannya ke arah jam dinding. Di sana, tampak jarum pendek sudah menunjuk ke arah enam. Yazel kembali memandangi Ariya, kemudian tangannya bergerak mengesampingkan anak rambut yang menutupi wajah cantik milik Ariya.

Deru napas milik perempuan itu tampak teratur. Yazel mendekatkan dirinya ke arah Ariya, lalu mendaratkan bibirnya ke kening gadis tersebut. Ia menciumnya sedikit lama. Rasa hangat di hatinya menjalar, dan Yazel sudah bertahun-tahun tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini lagi.

Setelah ia melepaskan bibirnya, pandangannya langsung bertemu dengan mata Ariya yang sudah terbuka sedikit. Perempuan itu terlihat menguap, lalu mengerjapkan matanya dengan imut. Bulu matanya yang tampak lentik itu mengikuti gerakan matanya yang naik turun.

"Cepat juga kau bangun," ujar Yazel. Tangannya bergerak menopang kepalanya sendiri seraya menghadap ke arah Ariya. Perempuan itu tampak sedikit kaget dengan kehadiran Yazel.

"Kenapa kau berada di atas kasurku?" tanya Ariya panik, seolah pikirannya belum terkumpul dengan sempurna.

Yazel mencebik pelan. "Ini kasurku, bodoh," tukas Yazel dan menjitak pelan jidat milik Ariya hingga perempuan tersebut sedikit mengaduh.

"Apa pula!" seru Ariya terkaget. Ia langsung terduduk di atas kasur, lalu melemparkan pandangannya kesana kemari. Ruangan yang sepertinya tidak asing itu membuat dahinya sedikit berkerut heran.

"Kau masih belum pulang rumah, Ariya," ucap Yazel dan ikut duduk di atas kasur. "Kau masih berada di dalam kediamanku. Jadi, jangan terlalu banyak berharap."

Perkataan Yazel seolah membuat pikiran Ariya perlahan terkumpul dengan sempurna. Perempuan tersebut seketika mengerucutkan bibirnya.

Ternyata hanya mimpi. Ariya sedikit menundukkan kepalanya. Ia kira dirinya sudah kabur dari tempat ini dan pulang ke rumahnya.

Yazel hanya tersenyum smirk melihat reaksi Ariya.

"I need a little blood from you this morning," tukas Yazel dan mendekatkan dirinya ke arah Ariya. Sinyal berbahaya seketika berbunyi di otaknya.

Ariya yang melihat itu langsung mengerjap, sebelum sedikit bergerak menjauh. Namun, belum sempat ia turun dari atas ranjang, sihir milik Yazel sudah mencegat seluruh tubuhnya.

Ariya seketika merutuk dalam hati.

"Bisakah kau berhenti menghisap darahku dan menggunakan sihirmu?" ujar Ariya sedikit membentak. Ia tidak suka diperlakukan seperti ini seenaknya.

Yazel mengangkat kedua alisnya dengan tertarik. Tapi, ia tidak membalas perkataan Ariya. Yazel menjatuhkan wajahnya ke ceruk leher milik Ariya, lalu menggigit pelan kulitnya hingga sedikit berdarah. Ariya sontak mengerang sakit.

Yazel menghisap darah berwarna biru tersebut dengan nikmat, sementara Ariya hanya bisa berdesis tanpa bisa berbuat apapun. Rasanya seluruh cairan yang berada di dalam tubuhnya seketika mengalir cepat ke arah lehernya.

Yazel kemudian mengangkat kepalanya setelah dirasa cukup dan melepaskan sihir yang sedari tadi menahan Ariya. Perempuan itu tidak bisa menahan diri dan langsung saja terjatuh ke atas kasur.

"Ups, sepertinya aku terlalu banyak menghisap darahmu," kekeh Yazel seakan-akan itu bukanlah masalah besar. "Ya, itu salahmu juga, sih. Siapa suruh kau mempunyai darah seenak itu."

Ariya hanya melotot. Ia ingin sekali memutilasi pria di depannya sekarang ini juga, namun seluruh kekuatannya seolah-olah sudah diserap oleh Yazel barusan. Bahkan, untuk bangkit dari kasur saja ia tidak sanggup.

"Baiklah, kau diam di sini sebentar. Aku akan mengambil beberapa makanan untukmu agar energimu terisi kembali."

Ariya mencebik. Sudut mulut berkedut samar. Ia seakan-akan hanya dibuat menjadi sumber minuman bagi Yazel yang bisa diminum dan diisi oleh pria itu kapan saja.

"Makasih, boy," ucap Ariya dengan nada manis yang dibuat-buat. Tidak bisa dipungkiri jika kekesalannya sudah berada di puncak. Baru pagi hari, tapi si pria itu sudah membuat moodnya hancur hingga tak berbentuk.

"Nah, ternyata kau tahu terima kasih juga," balas Yazel dan mengedipkan sebelah matanya ke arah Ariya, membuat perempuan tersebut merasa perutnya menjadi mual saat itu juga.

Setelah melihat Yazel membuka pintu dan berjalan keluar dari kamar, Ariya sontak mengeluarkan seluruh umpatannya yang tadinya masih tertahan di ujung lidah.

"**** you! Just let me go, you jerk! Son of a *****!"

***

Dalam perjalanannya menuju ke lantai atas, Yazel hanya tersenyum saat ia mendengar semua umpatan Ariya yang keluar. Ia bisa mendengar semua itu dengan jelas, walau kamarnya itu merupakan ruangan yang kedap suara.

Yazel menggelengkan kepalanya dan terkekeh.

Dasar gadis pemberang itu!

Namun, belum sempat ia mencapai dapur, tiba-tiba seorang bawahannya terdengar memanggilnya dari arah luar. Bawahannya tersebut hanya bersiul dari luar kediamannya, tapi Yazel tahu jika hal tersebut adalah semacam kode.

Oh, jangan ragukan indera pendengaran milik Dreta. mereka dapat mendengar suara apapun, bahkan suara dari beratus-ratus meter sekalipun.

Yazel mengalihkan pandangannya, lalu mendekati satu maid yang terlihat sedang menyapu lantai. Maid itu membalikkan badannya ketika merasa dipanggil oleh Yazel, lalu menundukkan kepalanya sejenak seperti biasa.

"Antarkan beberapa buah-buahan dan vitamin untuk gadis yang berada di dalam kamarku," titah Yazel. "Sekarang!"

"Baik, Tuan." Gadis yang berstatus maid itu langsung menunduk dan meninggalkan sapu yang sedang ia gunakan tadi. Ia bergegas pergi ke arah dapur dan menyiapkan pesanan Yazel.

Sesaat setelah gadis itu pergi, Yazel langsung menghilang dari sana. Ia berteleportasi ke luar kediamannnya. Ia bisa saja berjalan menggunakan kaki, namun ia merasa malas untuk menggunakan kedua kakinya.

Kalau ada yang mudah, kenapa harus pilih yang susah? Begitulah prinsip yang ditanamkan di dalam otak Yazel.

Sedetik kemudian, Yazel melihat ke sekeliling. Tempatnya sudah berubah. Ia sudah berada di depan kediamannya.

Seorang pria langsung melangkah ke arahnya, sementara Yazel memandanginya dengan tatapan aneh.

"Kenapa?"

Bawahannya itu tampak menunduk, lalu menimang-nimang apa yang hendak ia bicarakan. Namun, belum sempat ia mengatakan sepatah kata pun, Yazel langsung mengerti apa yang ingin dirinya sampaikan.

"Kenapa kau membawanya ke sini?" Yazel menghela napas. Ia sudah membaca semua pikiran bawahannya sedari tadi.

"Dia ingin sekali bertemu dengan Anda, Tuan," ucap bawahannya itu dengan sopan. Pria tersebut kemudian menunjuk ke arah pagar depan. "Dia sedang berada di sana, menunggu Anda."

"Sekali lagi kau membawanya ke sini, nyawamu akan kubuat melayang," ucap Yazel dengan tatapan yang dingin. "Aku tidak main-main."

Mendengar itu, bawahannya langsung mengangguk patuh. "Baik, Tuan."

Yazel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu berjalan ke tempat yang dimaksudkan oleh bawahannya tadi. Dari balik pagar, ia dapat melihat ada seorang pria yang sedang berdiri di sana dan memandangi dirinya.

"Kenapa kau datang ke sini?"

Yazel langsung bertanya tanpa berbasa-basi. Sebenarnya, dirinya telah tahu apa tujuan pria itu untuk datang ke sini. Semuanya cuma demi Ariya.

"Kau sudah tahu kenapa aku datang ke sini," balas pria tersebut dan melipat kedua tangannya di depan dada. Ia memandangi Yazel dari atas hingga ke bawah.

Yazel mengangkat bahunya tidak peduli. "Aku tidak mengerti apa maksudmu. Pergilah kalau kau tidak ingin mengatakan apa yang kau inginkan. Makhluk sialan sepertimu cuma bisa membuang-buang waktuku yang berharga."

"Makhluk sialan?" kekeh pria itu.

Yazel memutar kedua bola matanya, lalu membalikkan badannya dan kembali berjalan masuk ke dalam. Namun, langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi patahan dari arah belakang.

Yazel memutar kepalanya, sebelum dirinya menemukan si pria itu sudah berhasil mematahkan pagar berbesi itu menggunakan sayapnya dengan mudah.

"Hei, itu pagarku," protes Yazel tidak terima. "Apa yang kau lakukan ke dalam kediamanku, sialan!"

Pria itu tidak menanggapi perkataan Yazel. Ia langsung saja berjalan ke arah Yazel dengan cepat dan menarik pakaian yang sedang dipakainya itu.

"Sebaiknya kau menyimpan sayap menjijikkanmu terlebih dahulu," ujar Yazel dengan dingin. Ia berteportasi ke arah belakang pria itu, melepaskan diri dari cengkramannya yang lumayan kuat.

"Kau yang lebih menjijikkan, dasar tuna cinta."

Yazel menajamkan matanya. "Kenapa kau selalu memanggilku tuna cinta," pekiknya tidak terima. Yazel mulai emosi.

"Ya, karena kau dari dulu tidak pernah merasakan cinta sekalipun," ejek pria itu dan membalikkan badannya untuk menghadap ke arah Yazel.

Yazel mencebik sesaat. Cih. Tapi, tidak bisa dipungkiri apa yang dikatakan oleh pria itu benar adanya.

Ia memang tidak pernah merasakan cinta dalam hidupnya. Bahkan, Yazel tidak tahu bagaimana rasanya memiliki perasaan cinta seperti itu. Setahunya, cinta itu rumit.

"Diamlah. Aku mau masuk ke dalam kediamanku, jadi jangan mengangguku lagi, Blake. Silahkan pergi, sekarang."

Pria yang bernama Blake itu hanya memiringkan kepalanya, sebelum tertawa hambar. "Asal kau tahu, Yazel. Kau tidak bisa selalu menghindariku."

Yazel mendengus. "Kenapa aku harus menghindarimu? Kekuatanku bahkan lebih tinggi darimu, bodoh. Aku cuma tidak ingin memiliki masalah dengan pengkhianat sepertimu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!