Episode 3

"I know, I will never be able to get out of here again."

\~\~\~\~\~\~

Uhh...

Ariya membuka matanya seraya meringis sakit. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, seolah-olah dirinya baru saja dihantam oleh ribuan ton batu tepat di atas kepalanya. Sesaat kemudian, ia baru saja menyadari, ternyata bukan hanya kepalanya yang sakit, bahkan seluruh badannya sekarang masih saja terasa mati rasa.

Ia mengerjapkan matanya, lalu hal pertama yang ia tangkap adalah dirinya berada di ruangan serba merah tua. Lantainya, atapnya, bahkan dindingnya pun memiliki warna yang sama.

Melihat ruangan yang serba merah seperti ini membuat sebuah kata spontan melewati pikirannya. Mengerikan.

Ia tidak mengingat apapun, kecuali tentang kejadian dimana dirinya bertemu dengan Blake dan pria itu menyuruhnya untuk segera pulang ke Hinterland. Setelahnya, Ariya mencoba mengingat-ingat kejadian selanjutnya, namun, hasilnya nihil. Ia malah mendapati kepalanya semakin berdenyut sakit saja.

Ariya mencoba menggerakkan tubuhnya, sebelum tiba-tiba saja ia menyadari bahwa pergerakkan sangat terbatas di dalam sini. Atau lebih tepatnya, di dalam jeruji besi yang berukuran kecil.

Wait... Jeruji?

Seakan kembali dihantam oleh ribuan batu yang berat, Ariya langsung melebarkan matanya lebar-lebar. Panik, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, sebelum mendapati dirinya diikat oleh sebuah rantai.

Ariya memperhatikan rantai tersebut dengan seksama. Perempuan itu tidak pernah melihat rantai yang terukir rumit ini, apalagi besi yang mengikat pergerakannya ini terasa sangat berat, tidak seperti rantai pada umumnya.

Di mana aku? batinnya dalam hati. Ia berusaha untuk menerka-nerka walaupun pikirannya terasa buntu.

Apa ia baru saja diculik?

Sesaat setelahnya, ribuan memori tentang kejadian malam kemarin berlomba-lomba memasuki pikirannya. Ia ingat.

Jarum itu.. Ada tiga jarum yang berhasil menancap di bagian tubuhnya waktu itu.

Apa pemilik jarum itu merupakan makhluk yang sama dengan yang mengurungku di sini?

Jarum. Ariya lekas menoleh ke arah sayap kirinya ketika menyadari sesuatu.

Dan, oh tidak. Pantas saja ia merasa seluruh tubuhnya tetap mati rasa, karena jarum itu belum dicabut dari tubuhnya. Dan, yang lebih parahnya lagi, karena kandang yang mengurungnya ini berukuran sangat sempit, Ariya dapat merasakan jarum yang berada di seluruh bagian tubuhnya menusuk semakin mendalam.

Ariya memejamkan mata dan menggigit bibir, berusaha untuk tidak menjerit karena rasa sakitnya. Kedua sayap hitamnya yang terikat oleh belenggu besi seketika berubah menjadi warna merah. Warna yang sama dengan ruangan ini.

Uh...

Bahkan sampai sekarang, Ariya masih belum tahu kenapa warna sayapnya bisa berubah-ubah.

"Interesting."

Itu adalah suara pria. Ariya seketika membuka mata, lalu menoleh ke asal suara. Ia mengerjapkan matanya, memandangi makhluk yang sedang duduk di atas sofa dengan kaki yang terbuka lebar.

Alarm bahaya berbunyi keras di kepala Ariya, memperingati perempuan tersebut dengan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin saja bisa terjadi.

Diperkosa?

Dibunuh?

Dijadiin makanan?

Atau mungkin bisa saja dijadiin budak?

Pandangan Ariya kemudian terjatuh pada wajah pria tersebut, sebelum ia segera meringis jijik.

Iuh...

Ariya langsung menatap ke arah lain. Ia berkeringat dingin, lalu segera mengenyahkan pikirannya tentang apa yang baru saja ia lihat.

Itu makhluk atau bukan, sih? Karena ia tidak pernah makhluk jelek seperti itu.

Bayangkan saja, gigi pria itu tampak sangat besar, lalu kulit hidungnya bahkan tidak kelihatan. Lubang hidungnya tampak sangat besar, sampai tulangnya pun kelihatan. Yang lebih menjijikan lagi, mulut makhluk itu terkoyak lebar. Bahkan tampak darah yang mengalir dari sana.

Keheningan yang cukup mencengkam sempat tercipta di ruangan merah tersebut. Ariya sedang bergulat di dalam pikirannya sendiri, sementara makhluk itu terus-terusan menatap perempuan tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan.

Oh, no... It's like a nightmare.

"Kau siapa?" Setelah sekian lama mengumpulkan keberaniannya, Ariya akhirnya memutuskan untuk bertanya. Keheningan tadi hanya membuat bulu kuduk Ariya semakin merinding hebat saja.

Alih-alih menjawab, perempuan itu dapat mendengar makhluk tersebut terkekeh menyeramkan. Bulu kuduk Ariya semakin berdiri, membayangkan bagaimana penampilan wajah tersebut saat terkekeh seperti itu.

Apa giginya akan lepas? Terus lubang hidungnya semakin membesar? Apa tulang-tulangnya akan semakin menonjol?

Begitulah ilustrasi soal makhluk tersebut di pikiran Ariya. Sangat mengerikan. Kalau Ariya melihat wajah itu sekali lagi, perempuan itu bersumpah ia tidak akan bisa tidur seumur hidup.

"Ternyata, bawahanku itu tidak berbohong tentang kau, ya. Baguslah, kalau begitu. Ia masih bisa menjaga nyawanya." Suara bariton itu terdengar.

Ariya mengerutkan dahinya. Bukannya menjawab pertanyaannya tadi, makhluk itu malah mengatakan hal lain yang tidak dimengerti olehnya. Apa otaknya ada miring sebelah?

Tapi, walau begitu, jujur saja, Ariya merasa suara pria itu terdengar sangat gagah dan seksi. Namun, mengingat kembali wajahnya, Ariya segera menggeleng ngeri. Satu kalimat langsung tercatat di dalam pikirannya.

Suaranya adalah tipeku, but his face, of course no!

Bahkan, Ariya lebih memilih untuk bersama beruang kutub jika dibandingkan dengan pria itu.

Geez...

Tiba-tiba saja, Ariya dapat mendengar suara langkah kaki pria itu yang sedang menuju ke arahnya, sebelum akhirnya berhenti. Mata Ariya sedikit melirik, mendapati sosok mengerikan itu sudah berdiri tepat di depan kandangnya.

"Hei, keluarkan aku dari sini. Apa maumu?" ujar Ariya dan hanya berusaha untuk memandangi tubuh pria itu. Ish, itu lebih baik jika memandangi wajahnya yang hancur.

Namun, sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak kepadanya, karena tiba-tiba saja pria itu langsung berjongkok di depan kandangnya, membuat Ariya tanpa sengaja kembali menatap langsung ke arah wajah itu.

Ariya seketika melotot. Air liurnya keluar tanpa bisa dicegah. Kok, tampan? Wajahnya berbeda dari wajah yang baru saja Ariya lihat tadi.

"Siapa kau? Mana makhluk jelek tadi? Apa dia sudah pergi? Sebenarnya ada berapa orang di dalam ruangan ini?" tanya Ariya dengan gusar. Mungkin karena terlalu takutnya, Ariya langsung bertanya secara beruntun seperti itu.

"Makhluk jelek?" Pria itu spontan bertanya dengan alis yang diangkat.

And, tidak butuh bagi Ariya untuk segera menyadari sesuatu. Suara ini masih sama dengan suara yang tadi. Ariya menelan air ludahnya dengan susah. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?

Pria itu meraba wajahnya sendiri, lalu berkacak pinggang, menatap tidak senang ke arah Ariya. "Kau baru saja menyebutku begitu? Lancang sekali kau."

Pria yang Ariya tidak tahu namanya itu tersenyum tanpa sebab. Entah senyum atau memang bibirnya miring sebelah sejak lahir, tapi Ariya merasa ketampanan pria itu meningkat berkali-kali dari yang sebelumnya.

Oh my god, bahkan hidungnya yang awalnya tidak ada itu menjadi ada. Bibirnya terbentuk sempurna dan tidak ada segores luka pun yang mewarnai wajah itu. Kulitnya putih, hidungnya mancung, alisnya tebal, rambutnya disisir ke kiri, dan dia memiliki tatapan yang membara.

Apa Ariya sedang berhalusinasi?

Di detik selanjutnya, Ariya tiba-tiba merasakan gaun yang ia pakai terbuka bagian atasnya, disusul dengan kancing bagian bawah. Ariya berteriak, merasa kaget. Ia sedikit memberontak, tetapi seluruh pergerakkannya tertahan akibat rantai-rantai yang mengikatnya.

Ariya melotot, lalu menatap ke arah lelaki yang berada di luar kandangnya. Entah kenapa, ia merasa ini adalah perbuatan dari pria tersebut. "Apa yang kau lakukan!"

Pria itu hanya tersenyum miring. Sebelah tangannya terangkat, membuat gaun milik Ariya terlepas dari badannya. Dan, dalam sekali tepukan, gaun tersebut langsung hilang. Sekarang, Ariya hanya memakai dalamannya yang berwarna putih.

Ariya seketika panik. Ia berusaha menutupi tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu sembari menatap tajam ke arah pria tadi. Ia tidak pernah melihat makhluk dengan kekuatan seperti itu sebelumnya. Siapa dia?

Sementara itu, di tengah kepanikan Ariya, Yazel menelan ludahnya, memandangi kulit putih milik Ariya dari atas sampai bawah. Perempuan itu tampak sangat tidak berdaya di bawah rantai, membuat gadis itu tampak semakin menggoda.

Namun, tiba-tiba saja, Yazel segera tersadar dari pikirannya. Ia berdeham sekali, guna untuk menghapuskan semua pikiran kotor yang baru saja numpang lewat. Ia berbalik, lalu segera berjalan meninggalkan perempuan itu.

Yazel kemudian menjentikkan tangannya sekali, membuat Ariya kembali terkejut karena tiba-tiba saja ada pakaian berwarna hitam yang melekat di seluruh tubuhnya.

"Hei, apa yang kau lakukan? Kembalikkan gaunku. Terus, makhluk jenis apa kau itu? Kenapa kau berbuat seenaknya padaku!" pekik Ariya dengan kesal. Ia menatap tajam punggung milik Yazel.

Mendengar itu, pria tersebut yang sudah berada di ambang pintu berbalik. Ia memandangi Ariya dengan tatapan datarnya. Hingga, tak sampai sedetik, pria itu langsung muncul di depan kandangnya kembali. Bahkan, pada saat itu Ariya yakin dirinya masih belum sempat untuk mengerjapkan matanya.

Ariya terperangah. Ia yakin sekali kalau makhluk itu bukan berjalan ataupun berlari, melainkan teleportasi.

Yazel mencengkram jeruji kandang, sebelum menyeringai. Kedua matanya berubah menjadi merah, dan Ariya menyebutnya sebagai tatapan yang membara.

"Ah, jadi kau belum mengenaliku? Baik, akan kuperkenalkan diriku. Aku merupakan makhluk dari kaum Dreta, pemangsa peri. Dan, kau seharusnya bersyukur karena aku telah berbaik hati memberikanmu pakaian yang lebih layak daripada gaun tadi. Jangan buat aku berniat untuk memperkosamu sekarang juga, girl."

Di detik selanjutnya, Yazel menegakkan tubuhnya, lalu tiba-tiba saja, pria itu langsung menghilang, meninggalkan Ariya sendirian.

Bulu kuduk Ariya terasa masih meremang sampai sekarang. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk mencerna perkataan pria itu tadi. Semuanya terasa masuk akal sekarang.

Dreta? Oh, shit.. Sekarang Ariya yakin jika ia hanya perlu menunggu ajalnya tiba.

Tanpa disadari, tubuh Ariya seketika terkulai lemas. Ia menghembuskan napasnya pelan, lalu berusaha menenangkan diri sendiri. Namun, jujur saja, ia tetap saja tidak bisa merendam kepanikannya yang semakin menjadi-jadi.

Ariya langsung merutuki dirinya sendiri. Seharusnya dari awal ia tidak berjalan-jalan di tengah hutan saat malam itu. Seharusnya ia mendengarkan perkataan Blake. Seharusnya ia tidak merasa kepo.

Seharusnya...

Seharusnya...

Jesus Christ, kau sungguh bodoh Ariya!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!