Bab 19 - Arah Berlawanan

Sang Wanita

“Hi Guys! Bertemu lagi denganku, Lanantha... Wait, Lanantha? Bodoh benar sih aku ini.”

Kesal, aku menarik handphone dan menghapus rekaman tersebut.

Roasted chicken rosemary-ku sudah dingin dan ini adalah take ke-10. Gagal semua.

Damn. Aku ini kenapa sih?

Take 1 : Bicara panjang lebar sebelum sadar bahwa tombol record-nya belum kutekan.

Take 2 : Salah menyebut nama menu. Roasted chicken rosemary, Tha, bukan roasted chicken blueberry.

Take 3... Ah, malas aku membahasnya.

Pejamkan mata, aku berusaha mengatur nafas dan mengembalikan mood.

Tenang, tenang, Tha.

Ini hari liburmu yang berharga. Kamu sedang ada di Mommy’s Lists Cafe yang cantik di Jalan Riau.

Kamu sedang menikmati me-time yang layak kamu dapatkan.

...

Tapi mengapa adegan tadi pagi terus berputar ulang di benakku?

Untuk apa aku duduk dengan bodohnya di sofa ruang tamu sepanjang pagi? Melongok dan memperhatikan apa yang terjadi di seberang jalan?

Mengapa aku membiarkan diriku terpengaruh oleh apa yang mereka lakukan?

Mengapa aku harus terganggu jika Josh memakaikan salah satu jaketnya pada Miss Laut?

Perasaan apa ini yang kurasakan saat melihat mereka berboncengan?

...

“Hai Miss.”

Yang kuajak berbicara itu mendongak dan tersenyum formal.

“Hai Miss. Guru baru ya?”

Aku tersenyum dan mengangguk.

“Iya Miss. Perkenalkan, namaku Lanatha.”

Ia menyambut uluran tanganku dan membalas.

“Laut. Panggil saja La.”

...

“Josh, Miss Laut itu cantik sekali, ya?”

Pria yang kuajak bicara itu setengah mendengarkan.

“Hm? Oh, ya. Lumayan.”

Aku melanjutkan.

“Pasti banyak fans-nya deh.”

Josh mengangkat bahu.

“Ya, mungkin sih.”

Aku menatapnya menyelidik.

“Kamu juga salah satu fans-nya ya?”

Josh mendengus.

“Ya bukan lah.”

Aku terus menggali.

“Masak? Kalian cocok lho.”

Josh balas menatapku tajam.

“Kalau aku suka padanya, kenapa aku makan siang di kantin bersamamu dan bukan dia, Tha?”

Aku terdiam dan tersipu. Beberapa hari sebelum ia sungguh-sungguh menyatakan cinta padaku.

...

Laki-laki egois, kurang ajar, dan pembohong memang dia itu.

Setelah semua gombal-gombalnya padaku, akhirnya dia jalan juga dengan Miss Laut.

Dan Miss Laut juga, sengaja datang ke rumah laki-laki sepagi itu?

Murahan sekali sih. Tidak punya harga diri!

...

Damn. Kenapa aku jadi berpikir ke mana-mana seperti ini?

Fokus, Tha.

Kamu sedang berada di tempat yang banyak orang rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

Kekasih sukses, karier sukses yang sesuai dengan passion-mu, masa depan cerah...

Apa lagi yang kuinginkan?

...

Tapi kenapa aku selalu merasa seperti ada di tempat yang salah setiap kali aku mengingat dia?

 

 

“Lho, Lanatha?”

Aku mendongak mendengar panggilan dari suara yang rasanya tak asing.

Seorang pria gempal berkulit sawo matang dengan rambut hitam ikal berdiri di depanku.

Tersenyum dengan gigi tidak rata dan menyapa antusias.

“Wah! Betulan Lanatha dong! Masih ingat aku tidak?”

Aku ternganga dan bangkit berdiri tanpa sadar.

Bertahap dalam sekejap mata, bibirku membentuk tawa tak tertahankan.

“Mario?! Sedang apa kamu di sini?”

 

 

Sang Pria

“Okay, salt and pepper, done. Berikutnya apa, La?”

Laut memeriksa note yang ia buat di handphone-nya.

“Hm, berikutnya ayam, Josh. Ayam utuh yang dipotong-potong. Ma’am Shanty pesan ayam pejantan katanya.”

Aku mengangguk dan mendorong troli maju. Sebelum berhenti di langkah kelima dan menyadari Laut tidak ada di sampingku.

Aku menoleh ke belakang dan melihat ia menahan tawa.

“Josh, Josh. Ayam ‘kan ada di arah sebaliknya. Kamu mau ke mana sih, sebenarnya?”

Aku tersenyum malu. Ketahuan sekali kalau aku tidak pernah belanja, ya.

Laut tersenyum saat kami berjalan beriringan lagi.

“Kamu itu kalau tidak ada aku sepertinya sudah tersesat di sini, Josh. Seperti anak kecil yang tidak ada Papa Mamanya.”

Aku refleks menjawab.

“Atau suami yang diminta belanja oleh istrinya ya, La.”

 

 

Laut

Did he just say suami-istri?

Iya, Josh.

Kita memang terlihat seperti suami-istri sekarang.

Kamu mengenakan jaketmu padaku. (aku akan meminta izin untuk membawa pulang jaket itu. Alasan usang sih, untuk dicuci. Tapi sebenarnya untuk kupeluk-peluk saat tidur. Tidak apa-apa, ‘kan?)

Kamu mendorong troli dan aku memeriksa daftar belanja.

Kita berjalan ke sana kemari beriringan.

Persis seperti Papa dan Mama dahulu.

“Eh, La.”

Ia membuyarkan lamunanku.

“Kenapa, Josh?”, jawabku.

Ia kebingungan di depan counter ayam.

“Ini yang pejantan yang mana, ya? Tahu dari mana sih kalau ayam ini ayam pejantan atau ayam kampung?”

Aku tertawa dalam hati.

Pria yang kucintai ini memang menggemaskan sekali.

 

 

Sang Pria

Not bad. Not bad at all.

Ternyata menghabiskan waktu bersama Laut tidak buruk sama sekali.

Ehm, pengakuan dosa ya.

Sebetulnya, aku tidak tertarik padanya karena pada kesan pertama, aku melihat Laut itu seperti wanita high-class sosialita dan aku paling tidak suka tipe-tipe wanita manja seperti itu.

Kok bisa aku berpikir begitu?

Ya secara dia selalu tampil modis saat bekerja (full make-up and hairdo everyday, Man!) dan ke mana-mana selalu naik taksi.

Bodoh ya? Memang kita itu tidak boleh menilai seseorang dari tampilan luarnya.

Karena ternyata Laut itu orangnya menyenangkan dan asyik diajak mengobrol.

Ia tidak takut bekerja berat dan mau-mau saja diajak naik motor untuk survey lokasi atau berbelanja seperti sekarang ini.

Namun hal paling mengejutkan yang membuatku merekonstruksi ulang semua prasangka terhadap Laut adalah adegan ini.

 

 

Kami sedang mengantre di kasir dan karena hari itu hari Minggu, maka hampir semua kasir penuh luar biasa.

Akhirnya kami memilih salah satu kasir yang antreannya paling pendek dan menunggu di situ.

Kami bercakap-cakap tentang banyak hal di luar aksi sosial dan pekerjaan.

Dari jurusan kuliah (ternyata ia sama denganku, guru yang tidak pernah kuliah ilmu keguruan), hobi, sampai isu-isu dunia.

Aku adalah salah satu penganut kepercayaan “smart is the new sexy”, karena itu aku suka sekali wanita yang pintar (salah satu alasan mengapa aku jatuh cinta pada Lanatha dulu. Masih ingat penjelasan cerdasnya tentang makanan dan kopi? Anyway, tidak penting).

Ternyata Laut orang yang open-minded dan pintar. Ia mampu berdebat lama denganku tentang Donald Trump dan kebijakan ‘make America great again’.

(Laut : Iya, Josh. Aku setuju gagasannya baik. Tapi caranya salah.)

(Aku  : Lho, salah dari mana? Trump memprioritaskan produk dan tenaga kerja

             dalam negeri. Kalau Pak Jokowi melakukan itu di Indonesia, kita senang

            ‘kan?)

(Laut : Iya, tapi ‘kan caranya bukan dengan mengusir imigran juga. Imigran ‘kan

            sudah memilih untuk tinggal di negeri kita. Mereka sudah memilih untuk

            menyumbangkan tenaga mereka untuk membangun negeri. Masak ditolak

            dengan alasan mereka bukan putra bangsa? Mereka kadang lebih patriotik

            daripada orang asli lho.)

...

Good point. Aku sampai terdiam dibuatnya.

Tapi ini belum semuanya.

Klimaks adegan ini adalah saat seorang anak kecil tiba-tiba menyerobot antrean kami sambil membawa permen dan snack. Anak kecil laki-laki usia 6-7 tahun.

Dalam bayanganku, Laut mungkin akan marah dan mengajakku pindah antrean. Tapi ternyata yang terjadi adalah...

...

Senyum, ia berlutut di samping anak kecil tadi.

“Hai, Sayang. Nama kamu siapa?”

Terkejut, namun begitu melihat kecantikan yang mengajaknya bicara, ia menjawab (dasar laki-laki).

“Bryan, Kak.”

Masih tersenyum lembut, Laut menjawab kembali.

“Salam kenal, Bryan. Nama Kakak Laut. Ini Bryan belanja sendirian? Hebat ya.”

Bryan kecil itu balas tersenyum sambil mengunjukkan makanan di tangannya (ini anak besarnya pasti jadi womanizer).

“Iya, Kak. Papa Mama sedang mengantre di belakang, jadi lama. Aku ingin cepat-cepat makan nih, Kak.”

Laut mengangguk sabar dan menjawab.

“Wah, hebat. Kakak juga jadi lapar nih. Tapi Bryan, sebaiknya kamu temani Papa Mama, deh. Kasihan nanti Papa Mama bingung mencari kamu. Ya? Sambil menunggu, Bryan makan saja snack-nya. Asal jangan dibuang bungkusnya, OK?”

Dan dengan itu, si penyerobot kecil itu mengangguk dan berlari ke belakang, kembali pada orang tuanya.

Laut berdiri dan menatapku senyum.

“Ada-ada saja anak kecil itu ya, Josh.”

Masih terpukau, tanpa sadar aku berkata.

“You’re going to be a good mother, La.”

 

 

Laut

Ia selalu bisa.

Dengan kata-kata, ia selalu bisa menyentuh jauh ke dalam jiwaku.

Dulu ia menyelamatkanku dari keputus asaan.

Saat ini...

Aku tidak pernah bermaksud untuk show-off apapun di depannya.

Aku tidak ingin menunjukkan apa-apa.

Saat aku melihat lelaki kecil itu menyerobot antrean dengan membawa makanan di tangan, aku hanya teringat masa kecilku.

Aku yang berlari-lari mendahului semua orang untuk sampai di kasir, namun kebingungan begitu ingat Papa dan Mama ada jauh di belakang.

Aku yang kini berlari dalam kenangan, mengejar kepingan-kepingan berharga memoriku dengan Papa dan Mama.

 

 

“You’re going to be a good mother, La.”

...

Semoga aku bisa menahan air mata haru ini.

Tidak lucu kalau kencan pertamaku ini berakhir dengan air mata, ‘kan?

 

 

“La.”

Aku menoleh dan menatapnya. Semoga aku bisa menyembunyikan air mata ini.

“Ya, Josh? Sudah selesai semua ya?”

Ia tersenyum dan mengulurkan tangan.

Lurus, menyentuh wajahku. Tepat di sudut-sudut mataku.

Ia menghapus air mataku.

“Are you okay? Kok kamu menangis? Was it something that I say?”

 

 

Sekarang, bagaimana aku dapat menahan semuanya, Josh?

 

 

Sang Pria

Ini kedua kalinya aku membuat wanita menangis.

Yang pertama, karena kebodohanku.

Namun yang kedua, karena aku tidak mau mengulangi kebodohan yang sama.

Aku melihat air mata menggenang di sudut matanya dari sejak perkataanku yang terakhir.

Aku menyadari bagaimana ia memalingkan wajah dan berusaha menyembunyikan apa yang ia rasakan.

Aku menunggu sampai kami selesai membayar semua hasil belanja kami untuk menanyakan.

Menanyakan hal yang tidak kutanyakan pada Lanatha dahulu.

Dan Laut menangis.

Di dekat motor yang terparkir, ia menangis.

Tak tahu harus bagaimana, aku memberanikan diri untuk mengelus lembut punggungnya.

Apa lagi yang bisa kulakukan?

...

Tangisan ini begitu pedih dan sakit.

Aku bertanya-tanya sendiri, kapan ia terakhir kali meluapkan perasaannya.

Karena kurasa, ini adalah luka lama yang sudah begitu lama ia sembunyikan.

Tertumpah dalam air mata.

 

 

Laut

Aku sudah membayangkan hal ini beratus-ratus kali. Malah mungkin lebih.

Saat aku akhirnya mencurahkan isi hatiku padanya.

Isi hati yang tidak pernah kusuarakan pada siapapun.

 

 

Aku membayangkan ini akan terjadi di sebuah restoran, saat kami saling berhadapan di antara cahaya lilin.

Atau di sebuah taman, tempat kami berjalan menyusuri sambil bergandengan tangan.

Namun Tuhan memang tidak bisa ditebak.

Aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan menceritakan semuanya di sini.

Di basement tempat parkir yang panas dan pengap.

Dengan ia bertahan sebelah tangan menggenggam kantong belanja dan sebelah tangan lagi membelai punggungku.

Kucurahkan semua isi air mataku.

Perginya Papa dan Mama. Kekosongan yang kualami. Depresi yang sempat menghantui. Waktu-waktu ngeri di mana aku terpikir untuk bunuh diri.

Semuanya kutumpahkan.

...

Semua...

Kecuali hal yang ada di dasar hatiku saat ini.

Cintaku padamu, Josh.

Aku belum sanggup mengatakannya.

 

 

Sang Pria

Man...

Bagaimana bisa wanita secantik dan se-elegan Laut menyimpan masa lalu yang begini pahit?

Aku tidak dapat membayangkan jika aku ada di posisinya.

Aku tidak akan kuat. Aku akan hancur.

Namun ia masih ada di sini.

Masih kuat menghabiskan tahun-tahun masa mudanya untuk mengajar dan berbagi, dengan kepedihan sedalam ini.

 

 

Aku menatap matanya dan menghapus sisa air matanya.

Tersenyum.

“Kamu luar biasa, La. Dengan masa lalu sesakit ini, kamu masih mampu berbagi pada orang lain. Kamu tidak membalaskan pedihmu pada Tuhan dan orang lain. Kamu luar biasa.”

Ia tersenyum dalam isak.

“Te... Terima kasih... Terima kasih...”

Aku menghapus sisa tetes air matanya dan tersenyum lagi.

“Sebelum aku mengantarmu pulang, kita makan siang dulu, yuk.”

Laut mengangguk dan tertawa kecil.

“Yuk. Tapi aku touch-up dulu ya, Josh. Tidak lucu aku muncul dengan mata sembab begini. Nanti kamu dikira baru KDRT lagi.”

 

 

...

Tuhan, apa yang salah denganku ini, ya?

Aku sudah memutuskan untuk move on dari Lanatha.

 

 

Tapi mengapa aku tidak bisa menghentikan benakku dari bertanya...

Bagaimana seandainya waktu itu aku melakukan hal yang sama kepada Lanatha?

Akankah semuanya berbeda dari sekarang?

 

 

Laut

People say that telling people about your problem will decrease the weight of your problem.

Tapi hari ini aku ingin meluruskan satu hal dari ungkapan ini.

Yang akan mengurangi beban masalah kita bukan hanya sekedar menceritakan masalah kita.

Tapi kita harus menceritakannya pada orang yang tepat. Orang yang kita percaya. Orang yang memang peduli.

Karena begitu aku menceritakan semua pada Josh, beban yang mengikatku selama bertahun-tahun seolah terangkat.

Ringan sekali rasanya, betul!

 

 

Ia tersenyum menunggu dan mengulurkan jaket serta helmku.

“Siap berangkat? Kamu sudah cantik lagi kok.”

Aku menerima dan mengenakan jaket seraya menjawab.

“Jadi tadi aku sempat tidak cantik ya?”

Ia tertawa.

“Serba salah deh dengan perempuan.”

Aku tertawa juga dan mengenakan helm.

“Kita mau makan di mana, Josh?”

Ia menaikkan standar motor dan mulai menyalakan mesin.

Menjaga agar kantong belanja tetap seimbang di depan, ia berpikir sambil berbicara.

“Kita ‘kan sedang di Riau Junction. Kita cari yang dekat-dekat sini saja ya?”

Aku menaikkan diri ke jok belakang.

“Aku sih ikut saja, Josh. Eh, tapi kemarin aku lihat di Instagram ada tempat makan keren, lho. Cantik sekali desainnya. Instagrammable deh.”

Ia menoleh dan tertawa.

“Ini sih aku yang ikut kamu, La. Nama tempat makannya apa?”

Aku mengingat sejenak.

“Mommy’s Lists, Josh. Kamu pasti suka deh.”

 

 

Sang Pria

Memang ya, perempuan itu paling update deh soal tempat makan di Bandung. Beda denganku yang feed Instagram-nya penuh oleh posting-an murid dan berita sepak bola.

Seumur-umur aku baru pernah dengar cafe yang namanya Mommy’s Lists.

Tapi dilihat dari luar sih, tempat ini memang keren.

Bangunan yang didesain dengan gaya arsitektur rumah zaman kolonial bercat putih. Jendela-jendela tinggi, keramik gaya retro 1940-an, dan kursi-kursi kayu. Ditambah ada open space di dalam yang penuh dengan pepohonan.

Memang Instagrammable.

 

 

Laut berkata bangga di sampingku.

“Bagaimana? Keren ‘kan, pilihanku?”

Aku tertawa.

“Iya, iya. Yuk kita cari meja. Kasihan kamu. Menangis itu membakar banyak kalori, lho.”

 

 

...

Tepat saat itu.

Saat aku dan Laut beranjak masuk dari pintu, ada pasangan lain yang berjalan melintasi kami dengan cepat ke arah berlawanan.

Pasangan yang sedang dalam amarah kelihatan dan kedengarannya, karena si wanita ditarik kasar oleh si pria dengan seruan-seruan seperti “Lepaskan aku!” dan “Jangan membantah!” meliputi mereka.

Aku tidak sempat melihat teliti, namun rasanya aku kenal rambut hitam panjang itu.

Aku menoleh ke belakang tepat saat Laut berkata pelan.

“Itu bukannya Lanatha dan pacarnya, ya? Kenapa mereka?”

...

Entah bagaimana, aku harus bergumul keras untuk menahan dorongan berlari menyusul dan melepaskan Lanatha dari genggaman kasar laki-laki itu.

 

 

...

Bernafas, bernafas.

It’s not your business, Josh.

Itu masalah mereka. Mereka sepasang kekasih.

Biarkan mereka menyelesaikannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!