Sang Wanita, Sabtu Pagi di Pekan Itu
Kalau ayam fillet dibolak-balik di atas panci dengan minyak panas secukupnya selama kurang lebih 10 menit lalu ditambahkan bawang putih yang telah di-saute, sedikit red wine dan dimasak kembali selama 1-2 menit, hasilnya adalah pan-seared chicken fillet yang cantik dan berharga mahal.
Tapi jika Lanatha Anantadewi yang dibolak-balik di atas tempat tidur dengan kegalauan dan kebingungan berlebihan selama 10 menit di Sabtu pagi, hasilnya adalah Lanatha Anantadewi yang berantakan dalam penampilan dan perasaan.
Jika pan-seared chicken fillet itu semakin lama semakin dingin jika didiamkan, Lanatha Anantadewi ini semakin lama semakin panas kepala dan otaknya jika ia diam.
Jadi, kontrak kerjaku di Lumbung Padi International berlaku hingga guru yang kugantikan kembali dari cuti hamilnya.
Aku sudah bertanya-tanya pada Pak Musri, kepala tata usaha di sekolah dan mendapat informasi bahwa ternyata, cuti hamil di sana hanya berdurasi tiga bulan. Bisa digunakan di tiga bulan pertama kehamilan, tiga bulan menjelang melahirkan, tiga bulan setelah melahirkan, atau satu setengah bulan menjelang melahirkan ditambah satu setengah bulan setelah melahirkan. Bagaimanapun pengaturan yang dipilih, pokoknya durasinya tetap tiga bulan.
Itu berarti masa berkaryaku di sekolah itu sudah hampir di penghujung akhir, karena guru memasak sebelum aku akan segera kembali dari cutinya.
Dan tepat di akhir perjalanan, muncul tawaran baru yang sangat menggiurkan.
Bekerja di dapur, dengan jenjang karier menjadi chef. A real chef di cafe baru yang hype di Bandung.
Cafe yang dikelola oleh sahabatku sendiri.
Saat satu impian berakhir, datang impian baru yang lebih tinggi dari itu.
Seperti seorang pelaut yang menemukan lautan baru di ujung perjalanan yang disukainya.
Bukankah ini kesempatan besar?
Bukankah ini yang sudah kutunggu-tunggu sejak dahulu?
Bukankah semestinya aku menyambut tawaran Hamdzah dengan antusiasme meluap?
Bukankah tidak ada yang salah, sama sekali tidak ada yang salah dengan kondisi ini?
...
Lalu mengapa aku merasa berantakan begini?
Masih Sang Wanita, Sabtu Siang di Pekan Itu
“Kamu sedang memikirkan apa sih, Tha? Dari tadi kamu tidak mendengarkan, ya?”
Kami sedang duduk beradu tatap di rumah makan Sunda siang itu (Alena katanya kangen makan nasi timbel).
Dengan jari-jari berhiaskan nasi, sambal terasi, dan serundeng Alena terus bercerita mengenai apa saja yang ada di pikirannya.
Namun harus kuakui dengan jujur, pikiranku tidak mampu mengimbangi percakapan ini. Kepalaku sedang tidak ada di sana.
Saking tidak fokusnya aku, Alena sampai harus beberapa kali mengulangi poin-poin penting ceritanya.
Dan setelah tiga kali berturut-turut meminta maaf dan berusaha mengembalikan perhatian, akhirnya aku mendapat pertanyaan skak mat itu.
Aku meringis menatapnya.
“Maaf ya Len, aku bukannya tidak mau mendengarkan kamu... Tapi...”
Alena memotong cepat.
“Just spill it out, Tha. Kamu ini seperti ke siapa saja.”
Hela nafas berat, aku mengurungkan suapan timbel yang selangkah lagi mendarat di perutku dan bercerita tentang semuanya.
Semua hal yang memenuhi pikiran dan merenggut jam tidurku.
Tentang Josh.
Keberadaannya di hidupku, pernyataan cintanya kepadaku, dan yang paling penting...
Perasaanku terhadapnya.
Tentang Hamdzah.
Kembalinya ia di hidupku dan tawaran yang ia bawa.
Impian yang ia sodorkan.
Semakin jauh dan dalam aku bercerita, aku merasa bahwa aku hampir sampai di akar permasalahan.
Penyebab utama mengapa aku begini galau luar biasa.
Inti keresahanku yang disuarakan Alena tanpa tedeng aling-aling.
“Jadi kamu ingin melanjutkan mimpimu, tapi kamu merasa berat meninggalkan pekerjaanmu saat ini? Dan semua itu karena kamu jatuh cinta pada Josh?”
Entah sudah keberapa kalinya aku menghela nafas dan menjawab.
“Iya, Len. Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Aku... Aku...”
Alena menatap dan mengucapkan apa yang tidak bisa kuutarakan.
“Kamu merasa bersalah pada dirimu sendiri karena kamu ragu-ragu di hadapan mimpimu?”
Tanpa tenaga, aku mengangguk.
Sahabatku itu menatap dan tersenyum lembut.
“Lanatha, Sayang. Kenapa kamu harus galau? Coba pikir dengan logika deh ya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kamu memang harus berhenti dari sekolah, ‘kan? Dan yang kedua nih, memangnya kamu akan terpisah dari Josh sejauh apa? Hanya beda tempat kerja saja, kok. Kalian masih sama-sama di Bandung, masih bertetangga juga. So why, Tha? Kenapa kamu bisa sampai segalau ini?”
...
Aku menghela nafas (lagi) dan berterima kasih padanya.
Namun masih ada satu hal yang tidak dapat kusampaikan pada Alena.
Bahwa entah mengapa...
Hatiku merasa bahwa memilih untuk bekerja bersama Hamdzah adalah sebuah langkah berbalik arah dari Josh.
Hati kecilku merasa bahwa selangkah mendekati impianku...
Berarti selangkah menjauh dari pria yang kucintai.
Dan itu menyakitkan.
Sang Wanita, Senin Pagi di Pekan Itu
Tidak.
Tidak membantu sama sekali.
“Selamat pagi Oom, Tante.”
Salam hangatnya sudah menyapa dari arah ruang tamu.
Ditimpali sambutan Ibu yang terlewat ramah.
“Eh, Nak Joshua. Pagi, pagi. Yuk duduk sini. Sudah sarapan? Mau minum apa?”
Khas-nya Josh, ia menolak dengan sopan dan lanjut menanyai kesehatan Ayah dan Ibu.
Percakapan yang berlanjut akrab tanpa henti selama 10 menit aku menata wajah tentang cuaca, berita terkini, sampai football geek talk bersama Ayah.
Aku menghela nafas.
Ini tidak membantu sama sekali.
Hatiku yang sudah kacau selama dua hari ini semakin teraduk-aduk merasakan kehadirannya.
Ketukan di pintu kamar diikuti panggilan Ibu.
“Atha, ayo cepat. Josh sudah menunggu lho.”
“Iya Bu, sebentar lagi”, jawabku.
Sekilas lirikan sambil memeriksa lipstick, aku melihat senyum Ibu merekah indah.
Sama juga dengan senyum Ayah yang selebar gerbang hatinya.
Senyum-senyum yang disebabkan oleh kehadiranmu, Josh.
Andai aku bisa tersenyum seyakin itu saat bertemu denganmu.
Seandainya aku ini dikaruniai Tuhan sebuah pensil untuk menulis skenario hidupku sendiri.
Aku akan membuat diriku diinginkan oleh cafe lain selain cafe-nya Hamdzah.
Aku akan memperlengkapi diriku dengan pengalaman setidaknya tiga tahun di dapur sungguhan.
Lalu aku akan merancang pertemuan dengan Josh di tempatku bekerja.
Di mana aku mampu mempresentasikan diriku dengan percaya diri.
Sebagai wanita yang sepadan dengannya.
Bukan sebagai wanita yang ditolong olehnya.
“Tha?”
Tertarik sadar dari lamunan, aku menjawab.
“Ya, Josh?”
Melirikku dari spion sambil menembus jalanan kota Bandung, ia berkata.
“Mm, aku mau menyampaikan sesuatu.”
...
Please, Josh. Jangan minta jawaban dariku dulu.
Aku belum...
“Jadi Sabtu kemarin aku rapat staf dengan para pejabat nih. Dan salah satu pokok bahasannya adalah tentang kamu, Tha.”
...
Jantungku mau berhenti rasanya.
Masih menatapku lewat spion, ia melanjutkan.
“Kamu tahu ‘kan kalau Ma’am Shanty akan segera kembali dari cuti hamilnya? Tapi Ibu Kepala Sekolah dan wakil itu suka sekali padamu, Tha. Murid-murid juga feedback-nya positif. Jadi...”
...
Jari-jariku dingin dan mati rasa di atas motor.
“Aku diminta bertanya padamu, Tha. Apa pendapatmu kalau kamu menjadi guru tetap di sekolah? Yah, tidak langsung tetap, sih. Kontrak dahulu sampai akhir tahun. Tapi setelah itu jenjangnya jelas, Tha. Pasti jadi tetap.”
Tatapan kami berbalas berlawanan di muka spion yang sama.
Sorotnya bahagia, sorotku ketakutan.
Ia bertanya kembali.
“Kata Ibu Kepala Sekolah, kalau bisa keputusannya sudah ada Senin depan, Tha. Bisa ‘kan?”
...
Aduh, Tuhan.
Ujian macam apa ini...
Masih Sang Wanita, Senin Malam di Pekan Itu
“WHAT?!”
Alena terbelalak menatapku di bawah temaram lampu teras.
Gelisah, aku berusaha memperkecil dampak suaranya.
“Len, jangan keras-keras dong. Nanti Hamdzah...”
Cepat menukas.
“Hamdzah tidak di sini, Tha. Belum pulang dia... Oh my God...”
Tanpa sadar ia menyisir rambutnya sembarangan dan menunduk.
Alisnya bertaut keras dalam proses pemahaman.
Berusaha meringkas berita yang kusampaikan dengan terbata-bata.
“Jadi... Kamu sungguh ditawari posisi tetap di sekolah... Sungguh-sungguh ditawari?”
Aku mengangguk, jauh dari tenang.
“Iya, Len. Tadi Ibu Kepala Sekolah benar-benar memanggilku untuk menyampaikan hal itu.”
Alena balas mengangguk, tampangnya serius.
“Yah, setidaknya kamu bisa bangga pada hasil kerjamu, Tha. Berarti kamu ‘kan diakui sebagai guru. Padahal mantan trouble maker waktu sekolah dulu.”
Si Alena ini bisa-bisanya, ya.
Tawa dan senggol bercanda.
“Tidak apa-apa dong, Tha. Biar mengurangi stress-mu sedikit.”
Geleng panik.
“Sama sekali tidak mengurangi stress-ku, Len. Semakin pusing yang ada.”
Tatap, Alena tiba-tiba berkata serius sungguhan.
“Tapi Tha, ini sebenarnya win-win solution lho. Kamu stay di sekolah berarti tetap bersama Josh, ‘kan? Dan kamu juga memang suka mengajar, ‘kan?”
“Tapi aku juga ingin mengejar mimpiku, Len. Di tempat lain. Aku tidak mau berada di posisi orang yang perlu ditolong olehnya.”
“Ya kalau begitu, bekerja dengan Hamdzah pas, ‘kan? Kamu bisa menjadi chef di cafe yang pemiliknya orang Canada asli. Status sosialnya keren, Tha.”
“Tapi...”
Aku menghentikan cakapku saat itu juga.
Nyaris saja aku mengatakan apa yang kurasa di lubuk terdalam.
Bahwa bekerja bersama Hamdzah terasa seperti...
“Kamu merasa kamu ‘selingkuh’ dari Josh kalau kamu bekerja dengan Hamdzah?”
...
Aku tak tahu apa yang tersirat dari sorot mataku pada Alena saat itu.
Rasa bersalah? Takut? Malu?
Hela nafas.
“Tha, kamu ini pacaran dengan Josh juga belum. Apa salahnya bekerja dengan Hamdzah? Kakakku itu ‘kan sahabatmu juga. Kami mengenalmu dari sejak kamu masih lari-lari di halaman pakai kaos dalam, Tha.”
Kernyit.
“Kok jadi ke kaos dalam sih, Len?”
Geleng.
“Ya intinya, Tha. Kenapa kamu harus merasa terbelenggu sedemikian rupa untuk mengejar mimpi, hanya karena seorang pria yang baru kamu kenal tiga bulan? Kalau kamu takut, berarti kamu belum yakin padanya, Tha. Dan kalau kamu belum yakin, apa itu bisa disebut cinta?”
...
Aku terdiam.
Sang Wanita, Jumat Sore di Pekan Itu
“Selamat sore, Oom dan Tante.”
Bangkit dari sofa ruang tamu, Ayah dan Ibu langsung berebut memeluk dan menyapa dia.
“Eh, Nak Hamdzah! Aduh sudah lama sekali Tante tidak melihat kamu. Makin ganteng kamu, Nak!”
“Kapan pulang ke Bandung, Zah? Apa bersama Alena minggu kemarin? Kok baru mampir-mampir sekarang?”
Hamdzah tertawa.
“Sudah dari tiga bulan yang lalu sih Oom, Tante. Tapi mohon maaf aku baru sempat mampir hari ini. Maklum Oom, Tante. Kejar setoran nih.”
Tawa dan cakap terus terdengar dari ruang tamu.
Sementara aku sendiri di kamar sedang merangkai percakapanku sendiri, dengan emosi yang berbeda.
“Len, kok mendadak batal, sih?”
Dari seberang telepon ia menjawab.
“Iya, maaf ya, Tha. Tapi ini Adhit mengajakku ke Paris van Java nih. Ada film baru katanya. Masak aku tolak, ‘kan?”
Merengut aku menjawab.
“Jadi begitu ya, sekarang? Lebih memilih laki-laki daripada sahabat sendiri?”
Tawa.
“Duh, cemburu nih ceritanya, Tha. Maaf deh, nanti besok weekend aku seharian sama kamu, ya. Aku tebus dosa-dosaku padamu.”
Mau tak mau aku ikut tertawa.
“Apa sih, Len. Ya sudah, have fun dengan Adhit ya. Jangan pulang malam-malam. Jangan menginap segala.”
Tawa yang lebih membahana membalas dari seberang jaringan.
“Kurang ajar, memangnya aku perempuan macam apa, Tha? Ya sudah, kamu juga have fun ya di opening night ini. Sekali lagi congratulations ya, Dear. The future chef of Abalone Cafe cabang Bandung!”
...
Ya.
Aku telah memutuskan.
Sejak percakapan dengan Alena di teras rumah malam itu, aku memutuskan.
Memutuskan untuk berani melangkah menggapai mimpi.
...
Memutuskan untuk berani mempercayai bahwa Josh, pria yang kucintai itu...
Dia pasti memahami pilihanku.
“Ayah, Ibu. Aku berangkat dulu, ya.”
Membiarkan tangan dicium olehku, Ayah berkata pada Hamdzah.
“Titip Lanatha ya, Zah. Didik dia yang benar di rumah makanmu nanti.”
Dalam hati aku tergelak geli.
Kira-kira apa perasaan Professor Brian McDoughney, businessman sekaligus dosen kebanggaan The University of British Columbia, pemilik Abalone saat mendengar cafe-nya disebut rumah makan oleh Ayah.
“Siap, Oom! Mari, Oom Tante, kami berangkat.”
Berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah, Hamdzah berbisik.
“Kamu cantik malam ini, Tha. Aku senang akhirnya aku bisa sering melihat kecantikanmu di cafe nanti.”
Mengibaskan rambut dengan bergaya.
“Hamdzah, Hamdzah. Kapan sih aku ini tidak tampil cantik? Gombalanmu itu tidak mempan, Zah. Itu sih aku sudah tahu.”
Terkekeh, ia membukakan pintu bagiku.
“Silakan masuk, Bu Lanatha. Our future chef.”
Melangkahkan kaki memasuki mobil, aku membusungkan hati.
Impianku, aku datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments