Bab 14 - Riak-Riak Ombak

Sang Wanita

I am not a fan of desserts.

Bukan karena aku tidak suka, tapi karena aku tidak bisa membuatnya.

Bagiku, lebih baik bergelut dengan minyak zaitun dan panci penggorengan deh dibanding dengan gula dan oven.

Padahal kata Mario, salah seorang helper di tim desserts yang masuk Abalone beberapa minggu sebelum aku sekaligus sahabat terbaikku di dapur, kunci membuat makanan penutup itu sederhana. Saking sederhananya sehingga dapat dirangkum dalam satu kata.

Bittersweet.

“Ya bayangkan saja, Tha. Main course ‘kan sulit. Banyak bahan dan rasa yang harus dijaga keseimbangannya. Harus ada acidity-nya, harus ada smokiness-nya. Belum lagi soal tekstur. Kalau dessert simple kok. Bittersweet saja”, begitu penjelasannya saat kami bercakap-cakap di akhir shift kami.

Aku tertawa.

“Dessert juga susah, Yo. Aku pernah coba buat kue begitu kok. Susah minta ampun. Bukan cuma bittersweet ‘kan? Harus ada komponen lain juga yang harus pas takarannya dan tidak boleh salah, karena kalau kelebihan sedikit saja kita harus mengulang semuanya. Kalau di main course sih, kelebihan garam sedikit, bisa langsung di-counter pakai gula.”

Senyum mengembang di wajah Mario saat ia menjawab.

“Bukan cuma rasa, Tha. Prosesnya juga. Bagiku, proses pembuatan dessert yang bittersweet itu menggambarkan kehidupan. Bayangkan saja. Si adonan pasti merasa pahit waktu ia harus dibanting dan dipanaskan begitu rupa, tapi waktu akhirnya dia mengembang dan siap dinikmati, dia akan merasa manis ‘kan? Sama seperti kehidupan.”

Sebelah alisku terangkat mendengar jawabnya.

“Wah, Mario puitis juga ya. Tapi sepertinya ini pengalaman hidup, ya? Merasa dibanting Chef Sammy atau Chef Andhika, Yo?”

Senyumnya melebar saat menjawab.

“Tahu juga kamu, Tha. Ini motivasi untuk kita berdua. Pokoknya kita harus keep strong ya, mau dibanting seperti apapun, mau dipanaskan seperti apapun, akhirnya kita pasti mengembang dan siap dinikmati konsumen.”

Balas tersenyum, aku menambahkan dengan jahil.

“Semoga mengembangnya cuma di dalam hati ya, Yo. Nanti seragam-mu tidak cukup lagi kalau mengembang di hal-hal fisik.”

Tawanya berdering keras.

“Kurang ajar ini anak, dimotivasi malah meledek.”

 

 

Bittersweet.

Entah mengapa hari ini kata itu terus terngiang di pikiranku. Padahal percakapanku dengan Mario tadi terjadi dua tahun yang lalu.

Mungkin karena hari ini adalah tanggal 3 Desember.

Bagian sweet-nya jelas. Hari ini adalah anniversary pertamaku dan Hamdzah sekaligus penanda 1 tahun sejak aku naik menjadi chef tetap dan akhirnya menjadi chef assistant.

Namun tanggal 3 Desember juga mengingatkanku akan rasa pahit yang terasa di hati. Karena di tanggal itu, setahun yang lalu, Mario diberhentikan dari Abalone.

Rasanya masih pedih jika aku mengingat hari itu.

Mario itu seorang lulusan perhotelan jurusan pastry yang berbakat luar biasa. Berpengalaman KKN (Kuliah Kerja Nyata) di hotel Intercontinental Bandung lho.

Namun di tanggal 3 Desember itu, hasil penilaian monthly presentation kami diumumkan dan ia mendapati bahwa ia tidak dapat melanjutkan karier di Abalone.

Hingga saat ini, aku masih ingat bagaimana linglung-nya aku yang tak tahu mau merasa apa.

Tidak mungkin aku dapat bersukacita penuh saat sahabatku harus mengalami kandas impian, ‘kan?

Namun di akhir hari saat kami berjalan keluar dari cafe, ia masih sempat-sempatnya tersenyum lebar kepadaku.

“Selamat ya, Tha. Aku ‘kan sudah bilang. Percaya diri saja. Tuna sambal matah-mu enak kok.”

Aku menatapnya dengan campuran rasa bersalah dan kasihan.

“Yo, tapi kamu...”

Mario menggeleng tenang.

“Ini sudah takdir dari Yang Di Atas, Tha. Mungkin ada rencana-Nya yang lebih baik untukku. Aku sendiri sudah bahagia kok diberi kesempatan satu tahun di sini. Kamu semangat ya! Awas sampai nanti di masa depan bertemu lagi, kamu masih jadi chef tetap. Minimal harus jadi penggantinya Chef Sammy.”

Aku berkeras.

“Yo, tapi ini pasti ada kesalahan. Tuna Apple Biscuit kamu enak! Kenapa kamu malah harus diberhentikan? Besok kita tanya saja langsung ke...”

Memotong.

“Tidak perlu, Tha. Aku ‘kan sudah bilang. Ini rencana Yang Di Atas. Aku ikut saja.”

Dan lalu, ia pun berlalu.

Tak lama setelah itu, Hamdzah datang menjemput, menyelamatiku, dan menyatakan cinta setelah ia mengantarku pulang.

 

 

Dan betapa ironisnya Tuhan, saat Ia membimbing takdir di hari ini. 3 Desember satu tahun setelah semua itu terjadi.

Aku duduk berhadapan dengan Hamdzah di salah satu restoran resort dining di kawasan Dago, Bandung.

Aku dengan empire dress berwarna cokelat muda dan peep-toe wedges senada, Hamdzah dengan Oxford button-down shirt putih yang lengannya sudah tergulung dan biz casual chino berwarna krem.

Dandanan yang tepat untuk merayakan 1 tahunnya kami menjalin hubungan.

Aku meneguk Cabernets wine untuk membantu pencernaanku mengurus beef steak yang kupesan saat aku menyadari bahwa Hamdzah tengah memandangiku sambil tersenyum.

Aku menuntaskan tegukanku dan bertanya.

“Kenapa, Sayang?”

Masih memandangiku, Hamdzah menjawab seakan terhipnotis.

“Tidak apa-apa.”

Aku mengernyit dan tertawa kecil.

“Kamu kenapa sih? Ada sisa wine di wajahku atau apa, Zah?”

Hamdzah tersenyum.

“Tidak kok, Tha. Kamu sempurna malam ini.”

“Jadi kenapa kamu memandangiku terus? Steak-mu masih ada setengahnya tuh. Dimakan sana.”

Tangannya terulur menyeberangi meja dan membelai pipiku lembut.

“I just can’t believe this.” 

Alisku bertaut dalam pertanyaan.

“Tidak bisa percaya apa?”

Hamdzah menghela nafas dalam dan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

“Ya semuanya, Tha. Kamu, aku, kita. Aku masih kesulitan percaya bahwa aku bisa mendapatkanmu sebagai kekasih.”

Aku tertawa.

“Ya ampun, aku kira apa.”

Hamdzah melanjutkan.

“Iya, Tha, serius. Aku memang sudah mencintaimu sejak lama, Tha. Tapi aku juga diam-diam sudah menyerah dan menerima bahwa aku dan kamu tidak akan pernah lebih dari sahabat.”

Aku mengangguk dan menjawab geli.

“Aku juga kesulitan percaya.”

Hamdzah balik bertanya.

“Kamu juga?”

Sambil tersenyum lebar aku menjawab.

“Ya. Aku masih tidak percaya aku akhirnya jatuh ke pelukan Hamdzah. Si kutu buku tukang kentut yang selalu kalah balap sepeda dariku.”

Terbahak-bahak ia mencubit pipiku gemas.

“Kamu ini bisa saja, ya?”

Aku tertawa juga sebelum menukas.

“Sudah, makan lagi steak-nya. Nanti dingin lho.”

Lalu lagi dan lagi, kami bertukar candaan dan tawa. Terus berlangsung hingga lama setelah piring kami diangkat oleh pelayan dan perut Hamdzah kembali berbunyi.

Aku menggodanya.

“Masih minta tuh perut kamu. Diisi sana.”

Hamdzah tertawa.

“Iya nih, Sayang. Masih lapar. Kamu sih membuat aku tertawa terus. Jadi habis kalori steak-nya ‘kan.”

Aku balas tertawa.

“Halah! ‘Kalori habis’ gundulmu! Memang perut kamu itu baru puas kalau diisi mie instan goreng 3 porsi kok. Jangan sok gaya deh, Sayang.”

Hamdzah terkekeh sambil membuka buku menu kembali.

“Hmm, pesan apa ya. *Pasta*? Terlalu banyak, aku mau yang ringan-ringan saja.”

Aku ikut membuka menu dan memberi saran.

“Yang ringan-ringan... Appetizer berarti ya? Cheesy Fries? Atau Onion Ring?”

Hamdzah menggeleng.

“Cheesy Fries terlalu berminyak. Onion Ring terlalu bau bawang. Dua-duanya akan membuat kamu tidak mau dicium olehku nanti.”

Aku tertawa.

“Ah, memang aku tidak mau dicium kamu kok. Ya sudah, kalau begitu dessert deh. Bagaimana kalau Tiramisu? Atau... Eh, ini ada menu yang unik. Tuna Apple Biscuit...”

Jari bertahan di atas foto menu yang baru kusebutkan, suaraku menghilang bagaikan kabut tertiup angin.

Aku tak dapat mempercayai mataku sendiri.

Aku kenal betul gambar ini. Potongan kecil daging tuna yang ditumpuk dengan apel kering dan ditimpali saus apel?

“Sayang! Lihat ini deh. Ini mirip sekali dengan menu-nya Mario! Kamu ingat ‘kan? Helper Abalone yang setahun lalu berhenti itu.”

Hamdzah melihat menu yang kutunjukkan sekejap, lalu menjawab singkat.

“Oh begitu? Aku tidak tahu, sih.”

Aku menarik kembali menu sambil terus berkata dengan semangat.

“Iya betul! Tampilannya sama persis. Apa dia sekarang bekerja di sini, ya? Aku tanya ke pelayannya, ya?”

Tanganku sudah setengah terangkat dan bibirku sudah membentuk panggilan saat Hamdzah memotong buru-buru.

“Tidak perlu, Sayang. Sudah tidak usah. Aku sudah kenyang.”

Aku berbalik menatapnya.

“Ya tidak apa-apa dong, Sayang. Aku penasaran sekali ini. Mario itu ‘kan sahabat pertamaku di dapur.”

Hamdzah bersikeras.

“Tidak usah. Yuk kita pulang saja. Aku sudah kenyang.”

Ia sungguh-sungguh bangkit berdiri dan bersiap meninggalkan meja.

Keheranan, aku bertanya.

“Pulang? Tidak jadi pesan?”

Hamdzah mengangguk singkat tanpa memandangku.

“Yuk kita bayar dan pulang saja.”

Ikut berdiri, aku mengambil tas tanganku dan bertanya.

“Kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba...”

Hamdzah berusaha tersenyum.

“Tidak apa-apa kok, Sayang. Aku tiba-tiba merasa sudah kenyang saja. Yuk pulang.”

...

 

Aneh.

Ada apa dengannya, ya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!