Sang Pria
December is every person’s favorite month, right?
Memang belum ada survei yang pasti, namun aku yakin dari dua belas bulan yang ada, 99.9% sampel pasti menyukai bulan terbungsu ini.
Aku juga tidak tahu kenapa, tapi vibe bulan Desember itu beda sekali dengan bulan-bulan sebelumnya (no offense ya, Januari sampai November).
Mungkin karena ke manapun kita pergi, sederet lagu-lagu sepanjang masa seperti “Have Yourself A Merry Little Christmas” dan “White Christmas” (my favorite song dari sejak kecil) akan segera menyapa indera dengar kita.
Mungkin juga karena Desember adalah waktunya para guru dapat bernafas lega di akhir pertandingan maraton semesteran (pertandingan yang diwarnai kisah-kisah pengejaran tugas yang tragis dan dramatis).
Atau mungkin faktor terbesarnya adalah karena libur panjang akan segera dimulai bagi semua insan yang terlibat dalam proses mencerdaskan anak bangsa (ya ini sih intinya).
Pokoknya begitu memasuki bulan Desember, kita akan langsung merasakannya. Orang-orang menjadi lebih ceria dan gampang tertawa. Seakan beban sebelas bulan sebelumnya hilang menjadi uap.
The December effect.
Aku juga tidak terluput dari December effect ini.
Setidaknya sampai Mr. Raja, wakil kepala sekolah memanggilku di suatu sore.
“Mr. Josh!”
Aku terhenti dari perjalanan melewati lorong dan menoleh.
“Oh, Mr. Raja! Ada apa, Mister?”
Mr. Raja ini nama lengkapnya Rajabani Emmanuel Raj. Yap, betul. Beliau adalah pria keturunan India yang baru dua tahun ini tinggal di Indonesia setelah dua puluh tahun mengajar di Singapura.
Tentunya tidak heran bahasa Indonesia-nya terpatah-patah saat mengajakku bicara.
“Saya mau bicara sesuatu dengan you sebentar. Got time?”
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke kantor Wakil Kepala Sekolah.
Beliau duduk di sofa dan aku dipersilakan di hadapannya.
Aku tidak memikirkan apa-apa, karena sebelumnya Mr. Raja sudah sering berbicara denganku mengenai event-event sekolah. Pembicaraan yang biasanya diakhiri dengan permintaan tolongnya dan pekerjaan tambahan untukku.
Mungkin hari ini beliau akan menanyakan proses persiapan acara pembagian rapor rutin di akhir semester.
Namun ternyata, apa yang ia sampaikan betul-betul di luar prediksi dan dugaanku.
Aku sampai harus ternganga sebentar sebelum menguasai diri dan bertanya kembali.
“Um, sorry, Mister. Saya kurang paham. Jadi...”
Berbinar-binar semangat, Mr. Raja mengulangi apa yang ia katakan barusan.
“So, Mr. Josh. Sekolah kita akan membuat December social event. You know, bagian dari inovasi sekolah juga. Saya percayakan pada kamu everything, ya. Kamu atur saja mau aksinya seperti apa, di mana, siapa saja yang terlibat, semuanya. OK?”
Sudah diulangi pun, aku tetap ternganga.
“Mr. Raja, sorry, tapi... Ini terlalu tiba-tiba. Apa ini sama seperti aksi sosial bulanan atau...?”
Mr. Raja masih penuh semangat saat menjelaskan.
“No, no, no. Saya inginnya bukan seperti monthly social event yang kita dan anak-anak hanya memberi bantuan begitu. Saya maunya anak-anak harus dapat experience yang unik. Yang lain dari yang lain. Bisa ‘kan?”
Aku tak tahu harus menjawab apa.
Sekolah ini memang rutin melakukan aksi sosial bersama OSIS ke panti asuhan atau panti jompo. Namun itu di bulan Januari-November.
Bulan Juni dan Desember biasanya dikosongkan agar guru-guru fokus pada pembagian rapor.
Karena itu, ini terlalu...
“I know you pasti terkejut. Tapi saya pikir Desember tahun ini kita mau coba lakukan yang berbeda. Jadi variasi pengalaman juga. What do you think?”
What do I think?
What do I think?
Sudah dua jam berlalu sejak pertemuan dengan Mr. Raja dan pikiranku masih kosong melompong.
Aksi sosial yang lain dari yang lain? Di bulan Desember? Bulan saat para guru sudah mencium aroma liburan dan akan marah jika disodori tugas dadakan?
Apa yang harus kulakukan?
“Hai, Mister.”
Aku mendongak, si penyapa duduk dengan senyum di meja depanku. Miss Laut.
Masih tersenyum, ia melanjutkan.
“Kok tumben belum pulang, Mister? Sudah tidak ada yang harus dikerjakan lagi, ‘kan?”
Aku mencoba balas tersenyum.
“Belum nih, Miss. Miss sendiri belum pulang?”
Ia membereskan tas tangannya sebelum menjawab.
“Sebentar lagi, kok. Mr. Josh sudah ada ide untuk aksi sosial Desember?”
Aku terpana. Miss Laut tahu dari mana?
Ia tertawa. Mungkin karena tampangku bodoh sekali waktu itu.
“Mister jangan kaget begitu dong. Mr. Raja juga memanggil saya tadi. Beliau meminta saya untuk membantu Mr. Josh. Jadi Mister sudah ada ide?”
Paham seketika, aku ikut tertawa.
“Belum nih, Miss. Mr. Raja minta yang beda dari biasanya. Waktunya cuma seminggu. Mau apa coba?”
Bangkit berdiri, ia berjalan mendekat dan meletakkan tangan di atas bahuku.
“Saya juga belum ada ide, Mister. Tapi kalau kita duduk seharian di sini juga, ide tidak akan datang, ‘kan?”
Bingung, aku bertanya.
“Maksud Miss?”
Ia tersenyum.
“Maksud saya, yuk kita bicara sambil makan sore. Mister free, ‘kan?”
Masih Sang Pria, Di Lapangan Parkir Lima Menit Kemudian
“Memangnya mau makan di mana, Miss?”, aku bertanya.
Miss Laut mengerlingku dan tersenyum.
“Terserah Mr. Josh. Tapi saya ikut Mister ya. Dibonceng.”
Alisku terangkat. Sepengetahuanku selama tiga tahun bekerja bersama Miss Laut, ia tidak pernah naik motor. Ia biasanya memesan taksi.
“Yakin Miss mau naik motor dengan saya? Kita janji bertemu langsung di tempatnya juga tidak apa-apa kok.”
Tanpa tedeng aling-aling, ia mengenakan tasnya menyilang di punggung dan mengulurkan tangan meminta helm.
“Yakin, Mister. Yuk, lapar nih.”
Aku menyerahkan helm keduaku sambil tertegun dalam hati.
Pertama kalinya dalam dua tahun, ada wanita yang naik motor bersamaku.
Pertama kalinya sejak... You know lah...
Masih Sang Pria, di Food Court Mall Tiga Puluh Menit Kemudian
“Eh, Mas Josh! Wah, apa kabar, Mas?”
Aku tertawa mendapat penyambutan antusias itu.
“Kabar baik, Mas. Mas sendiri sehat? Keluarga sehat?”
Yang kupanggil Mas ini namanya Mas Anto. Ia sound engineer di food court Festival Citilink Mall. Salah satu tempatku dan Wait For Me sering menyumbangkan musik pengisi malam dan yang sore ini menjadi pilihanku untuk makan bersama Miss Laut.
“Sehat, sehat, Mas. Duh, Mas. Kapan lagi Mas dan teman-teman manggung di sini? Kangen saya Mas.”
Kembali, aku tertawa.
“Ya nanti mungkin, Mas. Akhir-akhir ini sudah jarang tampil bersama. Sudah pada sibuk masing-masing.”
Tiba-tiba, Mas Anto ini berceletuk.
“Sibuk sama pacar masing-masing ya, Mas? Pacar Mas ini cantik lho.”
Gelagapan, aku menoleh pada Miss Laut dan berusaha menjelaskan meskipun tidak ada kata yang keluar dari bibirku.
Untunglah Mas Anto tidak berlama-lama bersama kami karena harus segera mengatur panggung untuk band yang akan tampil. Meninggalkanku salah tingkah bersama Miss Laut.
Miss Laut terlihat menahan tawa saat akhirnya berkata.
“Mau duduk di mana kita?”
Aku menjawab tanya itu dengan memilih salah satu tempat duduk jauh dari panggung, lalu balas menanyakan hal lain.
“Miss mau makan apa? Biar saya pesankan.”
Miss Laut duduk dan mengangkat bahu.
“Terserah kamu saja, Josh. Aku ikut saja.”
Aku mengangguk dan melangkah menuju salah satu counter makanan. Namun di tengah perjalanan, aku menyadari sesuatu.
...
*Did she just use ‘*aku-kamu’ on me?
***
“Jadi kamu sudah jarang tampil, Josh? Kenapa?”
Aku menyeka saus yakiniku dari bibirku dan menjawab.
“Yah, tampil sih masih, Miss. Tapi akhir-akhir ini cuma di wedding saja. Sudah kami kurangi tampil live music begitu. Soalnya...”
“La,” potong Miss Laut.
“Hm?”, aku kebingungan.
Ia mengambil tissue, mengulurkan tangan, dan menyeka sisa saus dari bibirku dan menjawab.
“Panggil aku La saja, Josh. Kita ‘kan sudah tidak di sekolah. Jam kerja juga sudah berakhir. Jadi kenapa kalian lebih memilih tampil di wedding*?”*
Kehilangan kata-kata sejenak, aku berusaha mengembalikan diri ke meja.
“Ehm, ya kami berpikir efisien saja sih, La. Live music di cafe memang menyenangkan, tapi lima belas lagu dalam dua sampai tiga jam dan bayaran pas-pasan? Lebih baik wedding saja. Delapan sampai sepuluh lagu dalam dua-tiga jam, bayarannya bisa sepuluh kali lipat.”
Laut mengangguk, lalu menghela nafas.
“Yah, padahal aku belum sempat melihat kamu menyanyi di cafe.”
Aku tertawa.
“Ah, lihat aku menyanyi sih, di sekolah juga sering kalau ada acara.”
Kami terus bercakap-cakap ringan dan aku terus mengeluarkan kata-kata tanpa berpikir. Karena otakku masih macet.
Separuh terpaku pada momen saat Laut menyeka bibirku, separuh lagi pada alasan pilihan kami yang tidak kuceritakan pada Laut.
Sebetulnya, Wait for Me memang sudah berhenti tampil di live sessions cafe sejak dua tahun lalu.
Entah mengapa, hatiku tidak pernah bisa lagi mengeluarkan daya maksimal sejak...
Kalian tahu ‘kan ya?
“Oh iya, Josh. Mendengar cerita kamu, aku jadi ada ide nih. Mau dengar?”
Mendorong piring ke samping, aku mengernyit.
“Memang ada bagian dalam ceritaku yang bisa menghasilkan ide ya?”
Senyum geli, Laut menjawab.
“Ada dong. Jadi mau dengar tidak?”
Aku mengangguk menunggu, dan Laut menjelaskan.
“Bagaimana kalau kita pilih beberapa kelas Talent Development untuk tampil di lingkungan masyarakat? Misal kelas memasak, mereka mengadakan demo memasak dan berbagi hasilnya untuk warga sekitar. Kelas band, mereka bernyanyi dan menghibur warga. Dua jam saja, kita biarkan anak-anak membaur dengan warga.”
Aku membiarkan ide ini meresap ke dalam akal.
Dua jam sederhana di mana anak-anak kelas Talent Development menggunakan bakatnya untuk berbagi? Kenapa aku tidak terpikirkan hal ini sebelumnya?
Binar mataku menyala saat menatap Laut kembali.
“Kamu ada ide untuk tempatnya? Lingkungan tempat mereka bisa berbagi?”
Laut berpikir sejenak, lalu mengangguk ceria.
“Ada satu desa di Bandung Barat, tempatku PKL (Praktik Kerja Lapangan) waktu kuliah. Desa kecil, tapi ramah sekali. Sepertinya aku masih ada kontak sesepuh di sana.”
Bandung Barat?
Aku meneguk ludah dan memberanikan diri bertanya.
“Ehm, La? Bandung Barat-nya di mana, ya?”
Laut asyik menelusuri kontak di handphone-nya dan menjawab tanpa memandangku.
“Lima belas menit-an dari jalan utama, Josh.”
Ia berhenti sejenak dan menatapku.
“Dekat cafe terkenal itu lho. Apa namanya? Aba... Abalone, ya?”
...
“Josh! Ini aku masih ada kontaknya. Aku coba telepon sekarang atau bagaimana?”
Aku mengangkat wajah dan menatap Laut di hadapanku.
...
Mungkin salah satu hal lain lagi yang membuat Desember begitu istimewa adalah karena ia melambangkan akhir dan awal.
Akhir dari sebuah perjalanan yang sudah dilewati dan awal dari sebuah petualangan baru.
Bersama Laut, berlayar kembali ke tempat di mana aku berakhir dengan Lanatha.
Apa ini juga akhir dan awal yang baru?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments