Sang Wanita
“Len.”
“Hm?”
“Lenn..”
“Hm?”
Decak, aku mendekatkan bibir ke arah microphone dan sekali lagi memanggil.
“Len!”
Dongak akhirnya, dengan wajah tanpa dosa ia menyahut.
“Kenapa, Tha?”
Merengut, aku merajuk.
“Ih, kamu itu ya, sahabat sendiri sedang cerita, didengar dong. Mahal-mahal aku mengorbankan kuota demi video call kamu. Ya sudah kalau kamu sedang sibuk, lain kali lagi saja video call-nya. Bye.”
Buru-buru, Alena meletakkan majalah di tangannya dan menjawab.
“Eh, duh, maaf, Tha, maaf. Aku tadi sedang memeriksa katalog di majalah. Aku bukannya tidak mendengarkan kok. Jangan diputus ya call-nya, Tha, please. Aku kangen lihat kamu, tahu.”
Bola mataku berputar tak puas.
“Kangen lihat aku tapi dari tadi majalah terus yang dipandangi. Gombal kamu, Len. Aku itu tidak bisa kamu beginikan, Len.”
Tawa.
“Gila! Jangan diteruskan, Tha. Mual aku dengarnya.”
Mau tak mau, aku ikut tertawa.
“Ya kamu sih, ini aku cerita serius, Len. Aku benar-benar butuh nasehatmu.”
Alena menegakkan posisi duduk dan tersenyum dari seberang layar.
“Iya, Tha. Aku tahu. Tapi pendapatku dari awal sama sih. Ini kamu cuma overthinking saja, Tha. Asli.”
Aku mencondongkan badan mendekati layar, mencoba menekankan poin-poin yang sedari tadi kuulang berulang.
“Tapi, Len. Aku kenal Kakakmu itu bertahun-tahun. Aku hafal gelagatnya. Ini pasti ada yang salah, Len.”
Hela nafas, Alena menjawabku dengan kesabaran yang sama dengan seorang guru TK yang sedang menjelaskan 1 + 1 \= 2 kepada muridnya.
“Tadi kamu bilang kalau Hamdzah itu berkeras mengantar-jemputmu setiap hari, betul?”
Aku mengangguk dan menambahkan.
“Sampai hari Minggu juga, Len. Betul-betul tiada hari tanpa kunjungannya.”
Alena meneruskan.
“Kamu juga tahu bahwa Kakakku itu sayang sekali padamu, betul? Sampai seperti obsesi malah.”
Aku kembali mengangguk dan menambahkan.
“Tapi sebelumnya ia tidak seperti ini, Len. Biasanya juga dia hanya mengantar-jemput kalau dia sedang free. Tidak sampai se-intens ini. Dan dia juga tahu kalau aku tidak masalah dengan itu.”
Alena meladeniku dengan sabar.
“Okay, dan menurutmu semua ini terjadi karena...?”
Aku menghela nafas dan mengulang dugaanku.
“Pasti ini karena aku penasaran bertanya-tanya tentang Mario, sahabatku di dapur itu, waktu makan malam anniversary aku dan Kakakmu. Soalnya semua ini dimulai sejak tanggal 4 Desember, sehari setelah dinner itu.”
Alena menggelengkan kepala pelan.
“Tha, Tha. Sampai segitunya kamu menghafal tanggal kejadian? Lama-lama aku berpikir sebaiknya kamu pindah profesi deh, Tha. Lebih cocok jadi CSI (Crime Scene Investigator) tahu.”
Aku memelas.
“Lenn, jangan bercanda dong.”
Alena menukas cepat.
“Ya habis, apa yang mau dipermasalahkan, Tha? Kamu dan Kakakku itu pacaran, ‘kan? Kalau kamu tidak suka diantar-jemput intens begitu, tinggal bicara saja. Hamdzah sih pasti mengerti-mengerti saja. Kalau aku jadi kamu sih, aku pasti senang-senang saja dilayani seperti itu.”
Dengus kesal, aku menjawab.
“Pantas saja terakhir aku melihat Adhit, dia kelihatan sengsara. Kamu perbudak dia ya, Len? Kasihan tahu, anak orang itu, Len.”
Alena tertawa dan melempar snack ke layar laptop.
“Sembarangan! Ya iya anak orang, masak anak kerbau. Maksudku, Lanatha Darling, aku tidak mengerti kenapa kamu sampai se-gelisah ini hanya karena Hamdzah memperhatikanmu begitu rupa. Kamu itu wanita pujaannya dari sejak ia akil baligh, Tha. Wajar dong.”
Aku mengernyit.
“Lho, memang Hamdzah akil baligh-nya kapan, Len?”
Alena terbahak-bahak.
“Pikirannya dikontrol, tolong, Tha! Sudah malam makin ngawur saja sih pembicaraan kita. Sudah, intinya, kamu tidak perlu khawatir. Kakakku itu cinta mati padamu kok. Ia tidak akan melakukan apapun yang menyakiti kamu. Aku yakin dia memang sedang kangen berat padamu saja.”
...
Kangen berat? Benarkah?
Aku sendiri baru pertama kali ini berpacaran, jadi aku tidak tahu apa yang seharusnya kurasakan jika kekasihku mendadak bersikeras bertemu denganku setiap hari.
Mungkin seharusnya senang, ya, seperti kata Alena.
Tapi entah mengapa, aku tidak merasa damai.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal.
“Bu Lanatha?”
“Hm?”
Ridwan, kurir cafe bertanya sopan.
“Saya mau berangkat ke supplier untuk pemesanan rutin, Bu. Apa Ibu mau memeriksa daftarnya lagi sebelum saya berangkat?”
Aku berpikir sejenak dan memutuskan.
“Tidak usah deh, Wan. Pesanan biasa ‘kan? Chef Andhika dan Chef Kathy sudah lihat ‘kan?”
Ridwan mengangguk.
“Sudah, Bu. Tapi Chef Sammy belum periksa. Beliau belum datang-datang dari pagi.”
Aku tertawa.
“Wan, Wan, kamu kok seperti orang baru saja. Chef Sammy ‘kan akhir-akhir ini memang sulit diprediksi kapan datangnya. Ya sudah, saya periksa dulu daftarnya, ya.”
Aku mengambil daftar pesanan yang disodorkan Ridwan dan membacanya.
...
Kepiting soka 100 ekor.
Seriously, why?
Canola oil lima dos besar.
Alena bilang wajar kalau seorang pria ingin bertemu kekasihnya setiap hari. Tapi mengapa Hamdzah tidak melakukannya di awal-awal masa pacaran kami? Mengapa baru satu hari setelah anniversary?
Udang windu 50 kilogram.
Aku dan Hamdzah ‘kan sudah sepakat tentang hal bertemu. Kalau memang salah satu di antara kami sedang sibuk dan tidak bisa bertemu, ‘kan tidak masalah. Kulihat di awal-awal pacaran juga ia cool tentang itu.
Scallops 100 kilogram.
Tapi sekarang mendadak semua itu berubah. Dan mau dikatakan bagaimanapun, aneh bahwa ini semua terjadi satu hari setelah anniversary dinner itu.
Red snapper...
Aku kenal Hamdzah sejak kecil, aku tahu gelagatnya. Aku tahu bahwa ada sesuatu yang salah. I just know it.
...
Duh, aku tidak bisa berpikir sama sekali.
“Bagaimana Bu?”
Tersentak sadar oleh panggilan Ridwan, buru-buru aku tersenyum wajar.
“Ini, Wan, sudah lengkap kok. Langsung ke supplier saja, ya.”
Ridwan menerima daftar pesanan dari tanganku dan segera berlalu.
Sepeninggal Ridwan, semua pertanyaan itu kembali dan mengitari pikiranku dekat-dekat.
Ada apa sebenarnya dengan Hamdzah?
Mengapa sikapnya berubah drastis sejak aku penasaran tentang Mario?
Atau aku hanya overthinking seperti yang dikatakan Alena saat ia mendengar kegelisahanku?
“Chef.”
Toleh dari dalam renungan, temukan Nindiya di sana. Salah seorang senior helper di cafe.
Senyum, aku menyapa.
“Oh, hai, Nin. Ada apa?”
Tanpa basa basi, ia menjawab.
“Ditunggu di dapur, pelanggan pertama di cafe sudah datang.”
Aku mengangguk.
“Baik, Nin. Aku segera ke sana. Terima kasih.”
Senyum kecil sekilas, ia berbalik kembali ke dapur.
Hela nafas.
Ah, sudahlah.
Tidak ada gunanya bertanya-tanya dan curiga terhadap semua hal.
Mungkin saja Hamdzah memang sedang kangen-kangennya padaku.
And it’s supposed to be good, right?
Masih Sang Wanita, Beberapa Jam Setelah Cerita Sebelumnya
Senyum selebar pelukannya, ia menyambut di depan mobil.
“Hai, Sayang!”
Melihatnya se-ceria itu, mau tak mau semua kecurigaanku luruh dan terasa bodoh.
Aku berjalan menghampiri dan menenggelamkan diri dalam peluknya.
Sedetik, dua, hingga lima detik aku menikmati hangat dan aroma tubuhnya sebelum aku mengecup pipinya.
“Hai juga, Sayang. Sudah lama menunggu?”
Belai lembut pada rambutku, ia menjawab.
“Baru sebentar kok. Bagaimana hari ini? Capek? Kamu sudah makan belum?”
Aku menghela nafas.
“Capek sekali, Sayang. Banyak sekali pelanggan hari ini.”
Sebelah tangan membelai, sebelah lagi membukakan pintu untukku.
“Duh, kasihan sekali pacarku ini. Yuk masuk ke mobil.”
Menuruti permintaannya, aku segera masuk ke dalam mobil dan memulai ritual wajib pulang kerja-ku.
Meletakkan tas di jok belakang, mengubah sandaran kursi ke posisi seperempat terlentang, menyandarkan kepalaku lega, dan membalas genggaman lembut tangannya padaku.
“Kita mau ke mana, Sayang? Dinner?”
Aku menggeleng.
“Tidak ah, Sayang. Aku mau langsung pulang saja, boleh ‘kan? Kenyang rasanya aku mencicipi sedemikian banyak menu.”
Hamdzah tertawa kecil sambil menyalakan mobil.
“But you enjoyed it, right?”
Aku tersenyum.
“Very much.”
...
Kalian tahu? Merasakan perhatian Hamdzah seperti ini di saat-saat kesibukan dan kelelahan merambati tubuhku memang terasa luar biasa.
Mungkin Alena benar.
Aku hanya berpikir berlebihan saja.
Sama sekali tidak ada yang salah dengan diantar-jemput kekasihku setiap hari.
“Sayang.”
“Hm?”
Aku menoleh dan membelai pipinya.
“Terima kasih, ya.”
Balas tatap sekilas, ia kembali tersenyum.
“Terima kasih untuk apa?”
Aku menjawab.
“Ya, kamu sudah mengantar-jemput aku begini. Kuakui aku sempat heran kenapa kamu tiba-tiba berubah. Tapi ternyata, I really need this, Zah. Bertemu kamu di penghujung hari, diperhatikan, dan dicintai kamu.”
Hamdzah melirikku dan tertawa.
“The pleasure is all mine, Sayang. Aku juga senang bisa melihatmu setiap hari.”
Setelah mengucapkan isi hatiku, aku semakin rileks.
Kakiku semakin tenggelam dalam karpet mobil dan rasa-rasanya aku sudah di ambang lelap.
Namun sebelum tertidur, aku mengutarakan satu lagi isi hatiku.
“Tapi Sayang, sepertinya kamu harus menegur Chef Sammy deh.”
Hening sejenak, Hamdzah menjawab singkat.
“Memangnya kenapa?”
Mataku berat, satu percakapan lagi sebelum aku menyerah dan tertidur.
“Ya, masak sejak aku menjadi chef assistant, ia makin seenaknya. Tahun lalu setelah aku jadi chef tetap, ia masih sering masuk meskipun hanya tiga hari seminggu. Tapi sekarang-sekarang ini, dari satu minggu masuk cuma tiga jam. Hari ini malah rekor. Masuk jam lima dan jam enam sudah menghilang lagi.”
Sedetik, dua detik, tak ada jawaban.
Kedua mata setengah tertutup, aku melirik Hamdzah di belakang setir.
Senyum dan keceriaannya tertelan gelap malam yang mulai turun di sekitar kami.
Dahinya berkerut dalam dan sebelah tinjunya terkepal kuat di depan bibirnya.
Pandangnya tertuju pada jalanan, lurus tanpa teralih.
...
Yah, pasti dia sedang marah pada Chef Sammy.
Tidak ada yang aneh.
Sama sekali tidak ada yang aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Yuen Oey
👍🏻
2020-12-31
1