Bab 4 - Layar Terpasang

Sang Wanita

“Garam sejumput saja, lalu lanjutkan tumis sampai aromanya keluar, ya. Kira-kira 30-40 detik.”

Hmm, baiklah. Garam sejumput dan tumis 30-40 detik dimulai dari... sekarang.

...

...

Mana ya, aromanya? Ini sudah 1 menit nih.

Hm, mungkin aroma tidak penting. Yang dicari orang dari masakan ‘kan rasa, bukan harumnya. Coba kucicipi sedikit...

Ugh!

Terbatuk hebat, buru-buru kumatikan kompor dan kubuka jendela dapur.

Dan seketika itu juga, suara Ibu menggedor dari ruang tamu.

“Astaga Athaaaa! Kenapa lagi ini? Kamu sedang apa?”

Aku tidak bisa jawab, Bu. Tenggorokanku masih dicekik rasa pedas dan sesak.

Tanpa menunggu jawaban, Ibu muncul dan segera mendatangi medan perang yang baru kutinggalkan tanpa tanda jasa. Melihat wajan sebentar, Ibu lalu menarik wajah dan menggeleng.

Dalam diam dan helaan nafas, tumis udang dan kacang panjang gagalku itu diantarkannya ke alam baka.

Menguasai nafas akhirnya, aku mencoba meringis dan meringankan suasana.

“Hehe. Salah ya Bu, aku malah ambil merica.”

Menarik nafas dalam, Ibu memandangku dengan keprihatinan yang pekat.

“Mandi dulu sana, Tha. Nanti kamu terlambat wawancara kerja.”

Dan begitu saja, Ibu berlalu. Tidak ada kritikan atau teguran, nasehat atau bahkan decakan.

...

Ayam goreng sambal hijau.

Tahu lada garam.

Tumis jamur saos tiram.

Nasi + mie goreng dan suwir ayam kampung.

Tumis udang dan kacang panjang.

Dan masih banyak lagi.

Ini bukan daftar makanan kesukaanku, ya. Bukan juga daftar menu yang ingin kubuat di restoran milikku suatu saat nanti.

Ini daftar makanan yang gagal kumasak dari sejak bangku SMA.

Daftar masakan bermodal besar yang harus berakhir di keranjang sampah, karena kesalahan-kesalahan konyol yang kulakukan.

(Ekspektasi : Ayam goreng sambal hijau. Realita : Ayam gosong sambal asin)

(Ekspektasi : Tahu lada garam. Realita : Tahu tepung tebal yang pedas keterlaluan)

(Ekspektasi... Hm, apa perlu kuteruskan?)

Sebenarnya, aku juga bingung kenapa aku bisa terobsesi pada makanan dan memasak.

Kata Ibu, sejak kecil aku sangat suka main masak-masakan.

Tapi itu ‘kan tidak aneh, karena semua anak perempuan juga suka masak-masakan.

Kata Ayah, waktu SMP aku pernah merengek ingin masuk ekstrakurikuler tata boga. Tapi itu juga tidak aneh, karena waktu itu pilihan ekstrakurikuler di sekolah hanya basket, teknik elektro, dan tata boga. Pilihan

apa yang aku punya?

Kata Alena sahabatku, ia sangat terkesan melihat presentasiku di bangku SMA. Waktu itu pelajaran Bahasa Indonesia dan aku mempresentasikan bekal dari Ibu dengan sangat mendetil (sayangnya guru Bahasa

Indonesiaku tidak sependapat, mungkin karena presentasi itu kulakukan di belakang kelas, saat Beliau sedang menjelaskan materi).

Kataku sendiri, aku hanya suka melihat Ibu dan Ayah.

Ibu koki yang handal dan Ayah adalah apresiator makanan terhebat.

Aku menyukai kehangatan yang kurasakan setiap melihat Ibu menghidangkan sepiring masakan untuk Ayah, yang dibalas Ayah dengan senyum teduh dan kecupan manis di pipi Ibu.

Aku ingin menjadi seperti mereka.

Aku ingin seperti Ibu, menghidangkan masakan yang membuat orang-orang tersenyum.

Aku juga ingin seperti Ayah, membalas kerja keras orang-orang dapur dengan pujian yang selayaknya.

Namun sejauh ini, yang terjadi tiap kali aku mencoba menghidangkan masakan adalah kekacauan.

Dan yang terjadi setiap aku mencoba mengapresiasi makanan atau minuman di videoku adalah pengabaian dari para pengarung Youtube.

Maka beginilah aku sekarang.

Lulusan biasa dari fakultas ekonomi, dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.

Berangkat menyusul e-mail lamaran yang sudah kukirimkan berminggu-minggu lalu.

Ke kantor biasa, untuk menjadi seorang admin biasa.

Sang Pria

“Hei, belum pulang?”

Mendongak, tersenyum, dan menjawab, “Belum Pak, sebentar lagi. Setelah ini selesai saya pulang.”

Senyum tipis membalas diiringi decak kagum, “Rajin sekali, sih. Guru teladan ya kamu ini.”

Tawa, “Kebetulan saja nilainya sudah ada Pak, jadi ya saya masukkan. Supaya tidak ditagih nanti.”

Angkat bahu sejenak, “Ya sudah, jangan lupa matikan komputer dan kunci ruang guru nanti, ya. Saya pulang dulu.”

Angguk, “Hati-hati di jalan Pak.”

Pernah dengar istilah workafrolic?

Aku juga tidak tahu apakah ini istilah sungguhan atau hanya plesetan ala-ala motivator.

Aku pertama kali mendengar istilah ini dari sahabatku, Andre.

Saat itu kami sedang duduk-duduk santai, melepas lelah sehabis menghibur pengunjung sebuah cafe dengan live music rutin Jumat malam.

Kebetulan ada pergantian pemain darurat di band kami hari itu. Grant, drummer kami sakit dan harus digantikan oleh Sammy, teman Andre yang masih berstatus mahasiswa.

Setelah latihan singkat dan satu sesi penuh lagu-lagu seperti ‘Love Never Felt So

Good – Michael Jackson’, ‘Englishman in New York – Sting’, dan ‘Masih – ADA Band’, tiba-tiba si Sammy ini bertanya soal passion atau gairah.

Dalam hati aku tertawa saja, karena pertanyaan ini bukan hal baru. Murid-murid di sekolah dan teman-teman bermusik kami yang junior sering sekali mempertanyakan hal ini. ‘Apakah mengejar passion itu layak dilakukan?’, ‘Apakah menguntungkan?’, ‘Apa tandanya kalau sesuatu itu passion kita?’, dan sebagainya.

Sambil menyantap nasi goreng standar para pemusik, aku dan Andre bergantian memberi jawaban. Aku bercerita tentang kami yang sudah bermusik sejak masih kuliah dulu dan tidak pernah kekurangan. Andre bercerita tentang senior-senior kami dalam bermusik yang tidak menyerah untuk melakukan

gairah mereka, walaupun harus bekerja kantoran juga.

Dan setelah terkejut melihat pukul sepuluh malam, Andre menyampaikan pernyataan pamungkas penutup.

“Intinya, kamu harus sampai menjadi seorang workafrolic, Sam. Workafrolic, ya, bukan workaholic.”

“Apa bedanya, Kak?”, Sammy bertanya.

“Workaholic ‘kan seseorang yang gila kerja sampai tidak memperhatikan diri sendiri dan orang lain. Mendengarnya saja sudah menderita. Workafrolic itu juga sama, sebutan untuk seseorang yang gila kerja.

Namun ia gila kerja karena ia menyukai pekerjaan itu. Ia tidak menyakiti dirinya sendiri dengan menghabiskan waktu berjam-jam melakukan pekerjaannya. Justru ia sedang memenuhi kebutuhan hatinya.”

‘Wow’, ujarku dalam hati. Hebat juga si Andre ini kalau sudah memberi nasehat. Padahal kalau sedang denganku, isi pembicaraannya hanya tentang deskripsi detil dari perempuan mana yang sedang ia incar.

Dan kupikir, pernyataan itu benar juga.

Ada orang-orang yang bekerja non-stop sampai mengorbankan kenyamanan diri karena terpaksa oleh

keadaan.

Tapi ada juga orang-orang yang bekerja total karena mereka memang menyukainya.

Dan mungkin, aku adalah salah satunya.

Aku tahan memeriksa pekerjaan murid-murid sampai larut malam.

Aku tahan memberikan masukan dan saran pada karya mereka satu per satu.

Aku tahan menyiapkan bahan ajar sampai lupa makan.

Bukan karena aku takut kehilangan pekerjaan atau ingin mengesankan Kepala Sekolah.

Tapi karena aku suka. Aku suka melakukannya.

Berawal dari mana, aku juga tidak dapat mengidentifikasinya.

Aku tidak tahu momen apa yang membuat aku bisa mengatakan, “Ya, mengajar adalah passion-ku”

dengan mantap.

Aku hanya suka saja.

Aku suka berbagi, aku suka membantu orang dengan apa yang aku bisa.

Aku suka perasaan yang membuncah di dada saat menyaksikan perkembangan pribadi para murid.

I just love that.

...

Yah, tapi se-workafrolic-workafrolic-nya aku, jam sudah menunjukkan pukul empat sore.

Yang aku suka adalah mengajar, bukan menjadi juru kunci sekolah.

Mematikan komputer, membereskan tas, melangkah menuju motor yang diparkir.

...

Terhenti sejenak setelah mengenakan jaket dan helm, aku merogoh saku dan menarik handphone.

... Ragu sejenak, lalu tersenyum.

Buka kunci layar, Whatsapp, scroll down.

Lanatha. Last seen 15.55.

Kedip kursor menunggu pesan.

Hai, Tha. Sedang sibuk? 16.05

Yah, sejak hari itu, memang daftar hal yang kusukai bertambah satu.

Mengajar, mendidik, bernyanyi...

Dan menyapa Lanatha.

Workafrolic, ya Josh?

Mungkin sekarang lebih tepat aku disebut Lanatha-and-work-a-frolic.

 

 

Masih Sang Pria, Dua Puluh Menit Kemudian

“Hai.”

Ia mendongak, tersenyum dan membalas, “Hai.”

Mengambil tempat di hadapan, aku duduk membuka percakapan.

“Maaf ya, Tha. Sudah menunggu lama, ya?”

Masih tersenyum, ia mengibaskan tangan.

“Tidak kok, Josh. Tidak menunggu lama. Pesan makanan dulu, Josh. Pasti capek ‘kan, pulang kerja?”

Scanning sekilas, meja bagiannya hanya memuat cangkir setengah kosong.

Merasa bersalah, aku berucap.

“Aku juga pesankan untukmu ya, Tha. Kamu juga pasti lapar ‘kan, sehabis tes dan interview kerja.”

Mata cantiknya membulat saat ia menjawab cepat.

“Eh! Jangan, Josh! Aduh. Jangan, sudah. Aku sudah makan kok di jalan tadi.”

Tatap lurus, selidik dan yakin.

“Tidak, kamu belum makan. Aku pesankan ya, Tha.”

Masih berkeras, “Josh, jangan. Sungguh aku sudah...”

Potong, senyum.

“Tha, tidak apa-apa kok. Tapi kalau kamu masih merasa tidak enak, cara membalas budiku masih sama kok dengan waktu itu.”

Ia kebingungan, senyumku melebar.

“Balas saja dengan waktumu, Tha. Sudah cukup buatku.”

Sang Wanita

...

Tesku berantakan, wawancaraku bencana.

Dompetku menipis, tapi aku enggan pulang membawa kegagalan.

Sekacau itu hatiku saat Whatsapp-nya menyapa.

“Tidak, kamu belum makan. Aku pesankan ya, Tha.”

“Tha, tidak apa-apa kok.”

“Balas saja dengan waktumu, Tha. Sudah cukup buatku.”

...

Just like that.

Hanya dengan kalimat-kalimat singkat seperti itu.

Hatiku menghangat, ombak jiwaku mereda.

Dan lagi-lagi, aku dibuat hilang kata-kata olehnya.

Josh, kamu ini siapa sebenarnya?

Dan apa yang sedang kamu lakukan padaku ini?

Mereka Berdua

“Jadi, bagaimana tesnya? Lancar?”, tanya si Pria.

Sepasang piring kosong bersisakan saus, sepasang cangkir setengah kosong, dan sepasang Pria-Wanita di meja bulat.

Senyum, namun dengan agak pahit si Wanita menjawab.

“Yah, disaster, Josh. Kacau.”

Kernyit, si Pria kembali bertanya.

“Hm? Maksudmu?”

Angkat bahu, berusaha tampak tak peduli walaupun kentara berat baginya.

“Yah. Aku juga tidak tahu, Josh. Aku tidak bisa menjawab 70% dari tesnya. Di wawancara juga tidak lebih baik”, ujar si Wanita.

Senyum, si Pria bangkitkan jiwa berusaha cerahkan suasana.

“Setidaknya ada 30% yang kamu bisa, Tha. Dulu aku pernah tes juga, aku sama sekali tidak mendapat hasil positif. Nihil.”

Heran, si Wanita lupakan bebannya sesaat.

“Kok bisa? Tes apa?”

Senyum hampir menyerupai tawa.

“Tes kehamilan.”

Kesal, namun senang juga, si Wanita menjawab.

“Ah kamu! Ada-ada saja, sih.”

“Eh tapi serius, Tha. Dulu aku juga pernah tes kerja, menjadi internal auditor. Aku gagal. Yah, tesnya sih tidak begitu parah. Yang parah bagian wawancaranya, Tha.”

“Memangnya kenapa?”

“Ya jadi bagian HRD bertanya ‘kan. Pertanyaan standar. ‘Apa yang kamu ketahui tentang internal audit?’”

“Terus?”

“Ya, jujur aku memang tidak mempersiapkan diri sih. Aku bahkan belum belajar tentang auditing. Jadi aku jawab sepengetahuanku saja, ‘Yang pasti, Pak. Internal auditor itu kerjanya jalan-jalan!’”

“Terus?”

“Ya terus aku gagal, Tha. Mungkin si Bapak HRD nya juga geleng-geleng ya. ‘Ini anak ada-ada saja. Kalau jalan-jalan sih, dari sini ke toilet kantor juga jalan-jalan.’”

Tawa berdering renyah dari si Wanita.

Si Pria juga menikmati tawa selama beberapa saat, sebelum lanjut bertanya.

“Kalau boleh tahu, tadi kamu melamar kerja di mana, Tha? Melamar bagian apa?”

Jauh lebih rileks, si Wanita menjawab.

“Itu Josh, aku melamar ke Travesty Organizer. Melamar bagian admin saja sih.”

“Travesty Organizer? Event organizer milik Ko Edwin Sanjaya itu?”

Alis terangkat, si Wanita membalas dengan kejut.

“Iya. Lho, kamu tahu?”

Angguk, si Pria menjawab.

“Tahu, Tha. Kenal malah, dengan Ko Edwin-nya. Aku pernah bekerja di sana dulu. Zaman kuliah.”

Senyum, si Wanita menggoda.

“Oh, sepuluh tahun yang lalu, ya?”

Tawa.

“Sembarangan! Kamu kira aku umur berapa, Tha? Aku belum jadi Oom-Oom!”

Sang Wanita

God works in mysterious ways.

Quotes andalan yang selalu kugunakan untuk mengobati kekecewaan yang kualami.

Saat aku gagal menang di lomba memasak 17 Agustus-an di sekolah.

Saat aku hanya satu klik saja jauhnya dari mendaftar ke universitas jurusan perhotelan dan mendapati bahwa Ayah terkena PHK (kuliah perhotelan mahal biayanya).

Saat aku menjalani hari demi hari berkuliah di jurusan yang tidak kusukai.

Saat aku terjebak di antara rasa bersalah karena tidak kunjung bekerja meringankan beban orang tua dan rasa ingin membenarkan diri karena aku tidak menyukai satupun dari pekerjaan yang kulamar.

Quotes ini selalu kuasosiasikan dengan hal buruk.

...

Namun saat ini, di sini.

Dengan seorang Pria yang baru berkenalan denganku satu minggu yang lalu.

Dengan dia yang baru kali kedua bertemu denganku.

Dengan dia yang dua kali hadir di saat aku terjepit dengan bantuan dan sukacita yang ia bawa.

Aku sadar.

Aku sadar bahwa memang Tuhan bekerja dengan misterius.

Memberi arti pada hal buruk yang terjadi.

Dan juga memberi penghiburan di saat aku merasa tak berarti.

Ia memang bekerja secara misterius, lewat Pria yang sedari tadi sibuk mencari cerita lucu untuk membuatku tertawa ini.

...

Salahkah aku jika aku berharap?

Berharap bahwa ini adalah permulaan dari sesuatu yang istimewa.

Berharap bahwa ini adalah obat yang akan menyembuhkan semua tumpukan kekecewaanku.

Berharap bahwa ini adalah pelabuhan, tempatku bisa beristirahat dari perjalanan melelahkan.

Di mana tujuan yang ingin kucapai terlalu jauh dan persinggahan-persinggahan yang kucoba terlalu mengecewakan.

“Mm, Tha. Kalau boleh tahu, passion kamu apa sih?”

Mereka Berdua Lagi

Tegun.

Seruput kopi yang hampir habis itu luruh kembali, pulang ke dasar cangkir.

Si Wanita tak dapat menjawab.

Tenang, si Pria menunggu.

Sang Pria

Apa yang nikmat dari menjadi seorang guru?

Hm... Yang pasti bukan penghasilan atau jenjang karier.

Yang nikmat dari menjadi seorang guru adalah apa yang menarik hati Jurgen Klopp saat ia pertama kali datang ke Liverpool FC.

Seorang manajer sukses dari Jerman yang datang ke klub legendaris Liga Inggris.

Klub legendaris yang sedang mendekam di papan tengah klasemen.

Penuh kekecewaan, keraguan, dan ketidak percayaan.

Jurgen Klopp, di depan tantangan seperti itu hanya tersenyum lebar.

“It’s like waking a sleeping giant”, ujarnya.

Ya, yang nikmat dari menjadi seorang guru adalah...

Hak istimewa untuk menggali harta terpendam dari dalam jiwa seseorang.

Sebuah lisensi untuk mengambil andil.

Andil dalam proses metamorfosa seseorang.

Dan aku, menyambut penuh hak serta lisensi itu saat ini.

Saat aku berhadapan dengan Wanita yang kutemui minggu lalu.

Wanita cantik yang sangat berbakat di depan kamera.

Penuh pengetahuan mendalam tentang semua jenis makanan dan minuman.

Namun juga Wanita yang penuh keraguan.

Ragu akan dirinya sendiri.

Akan apa arti dirinya.

Akan apa yang bisa ia lakukan.

“Aku... Aku suka memasak, Josh. Aku suka segala hal tentang makanan dan minuman.”

Senyum lebar, aku menjawab.

“Iya, aku tahu. Aku tahu itu dari sejak pertama kali melihat videomu di Youtube. Dan aku semakin yakin saat merekam penjelasan kopimu di dalam video. Aku tahu kamu sangat menyukai dunia food and beverages.”

Sang Wanita

...

Ya Tuhan...

Tuhan tahu betapa inginnya aku mendengar ini dari orang lain.

Pengakuan, bukan belas kasihan.

Tulus, bukan karena kasihan.

“Kalau kamu begitu menyukai dunia itu, Tha. Kenapa kamu tidak melamar pekerjaan di sana?”

Mereka Berdua

“Mana bisa, Josh. Aku bukan lulusan perhotelan. Aku tidak dilatih. Aku juga tidak berbakat memasak, Josh.”

Teguk ludah, si Wanita mencurahkan semuanya.

“Aku suka memasak, aku suka dunia itu. Aku juga sudah pernah mencoba memasak sendiri di rumah. Belajar dari video dan sumber yang aku bisa dapatkan sendiri. Tapi lagi dan lagi aku gagal, Josh.”

Hening beberapa saat, sebelum si Pria berkata.

“Di sekolahku ada kelas keterampilan, Tha. Talent Development Program begitu. Kebetulan Guru memasak kami cuti hamil kemarin dan kami sedang mencari pengganti.”

Tatap putus asa, si Wanita menjawab.

“Josh, kamu tidak mendengarkan, ya? Aku tidak bisa memasak. Aku ga...”

Lembut, si Pria memotong.

“Aku juga lulusan ekonomi yang sekarang mengajar Informatika, Tha. Aku bisa pemrograman? Tidak. Waktu SMA aku payah sekali dalam hal logika dan coding. Tapi aku menemukan bahwa cara tercepat untuk menguasai suatu hal, terkadang adalah dengan membagikannya pada orang lain.”

Tertegun, si Wanita tak menjawab.

Si Pria melanjutkan.

“Tujuan terbaik untuk melakukan sesuatu adalah untuk orang lain, Tha. Kalau kita memiliki tujuan itu, aku yakin Tuhan akan memampukan kita.”

...

Masih tersenyum lembut, si Pria mengakhiri.

“Coba saja dulu, ya? Mau ‘kan?”

Terpopuler

Comments

Herman Benyamin

Herman Benyamin

buny2 hmmm, ugh... gayabahasa yg membuat rasa kalimat menjadi lbh dalam

2020-12-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!