“Serius?”, gelak tawa dan binar mata menyapa.
Lawan bicara angguk seiring dalam antusiasme yang nyata, “Iya, serius.”
“Lalu kamu jawab apa?”
“Ya aku jawab tegas saja. ‘Maaf ya, Mas. Saya sedang menunggu pacar.' ”
Tawa merdu berdering dari meja bulat.
Ya.
Meja bulat yang sudah mengalami perubahan nasib hanya dalam hitungan menit.
Dari setengah kosong, kini penuh melimpah ruah.
Penuh ria, melimpah canda, dan ruah dengan suka.
“Kamu sering ya mengalami kejadian seperti itu?”, si Pria bertanya.
Mengernyit manis, wajah polos itu mencari kenangan di sudut-sudut pikiran.
“Yah, lumayan sering, sih.”
“Dan senjatamu selalu sama dalam tiap kejadian?”, selidik si Pria.
Senyum simpul, si Wanita menjawab bangga, “Mengapa harus ganti senjata kalau yang lama masih
ampuh, Josh? Belum pernah gagal, lho!”
Lurus menatap dan balas tersenyum, si Pria melanjut, “Terus, kenapa tadi kamu tidak mengatakan itu
padaku, Tha?”
... Henti, wajah polos si Wanita nyata terpeta.
Hilang kata-kata.
Sang Wanita
Joshua. Josh nama panggilannya.
Hanya sejauh itu yang dapat kuketahui dari beberapa baris percakapan awal antara kami berdua.
Percakapan yang dibuka dengan banyak, “Aduh, tidak usah, merepotkan”, “Tidak usah kok, Mas, sungguh”,
hingga akhirnya, “Mm, benar tidak apa-apa Mas? Terima kasih, ya.”
Percakapan selesai, dilanjutkan kecanggungan.
Di mana pria itu menawarkan bukan saja handphone-nya, tapi juga tenaganya sebagai cameraman dadakan.
Aku memang food vlogger, tapi bukan yang terkenal bagaimana. Semuanya hanya hobi, kok. Karena itulah aku selalu melakukan shooting sendirian. Yah, tidak sendirian sih, bersama tripod pink kesayanganku itu.
Tentunya bisa ditebak, segugup apa aku saat ia duduk di hadapanku sambil mengatur ketinggian tripod.
Aku masih berusaha lho.
“Mm, Mas... Tidak apa-apa kok. Dipinjamkan handphone saja saya sudah terima kasih sekali.”
“Panggil Josh saja, ya.”
“Ha?” (Duh, Tha. Kebiasaan kamu refleks tidak sopan kalau butuh kejelasan informasi. Yang lebih
anggun, dong.)
Senyum, ia berkata, “Panggil aku Josh saja. Itu namaku. Jangan ‘Mas’, ya.”
Teguk ludah yang susah payah aku samarkan, sebelum aku menjawab,
“I... Iya...”
Hening, tak tahu harus berbuat apa.
Aku bahkan sudah lupa nama menu baru ini apa.
“Nama kamu siapa?”, ia bertanya kembali.
Aku berusaha tersenyum sewajar mungkin. Sewajar yang aku bisa dalam situasi ‘ya-Tuhan-aku-baru-saja-diajak-berkenalan-oleh-pria-tampan-yang-baik-hati’ sebelum aku menjawab,
“Aku... Namaku Lanatha.”
Ia mengangkat wajahnya dari tripod yang kini sudah berdiri tepat di ketinggian pengambilan gambarku
yang biasa.
Tersenyum tenang.
“Baik, Lanatha. Kalau kamu sudah siap, acungkan jempol saja, ya?”
Sang Pria
“The time for creative playmakers are over.”
Sebuah kalimat yang aku baru saja baca pagi tadi dalam ulasan berita sepak bola. Artikel yang mengupas
tuntas tentang bagaimana sepak bola modern sudah bergeser dari era ‘Fantasista’ atau pemain kreatif yang penuh improvisasi ke era baru di mana seluruh gerakan pemain di lapangan dilatih secara mendetil hingga ke hal-hal kecil.
Yah, aku bukan pengamat sepak bola profesional.
Aku hanya teringat kalimat itu saat aku duduk di sini, dengan handphone-ku terkunci rapat di tripod pink yang manis.
Semanis wanita yang sedang kuambil gambarnya di hadapanku.
Wanita yang sampai tadi masih memohon agar aku tidak perlu menjadi cameraman agar ia tidak gugup (jujur dan polos sekali, bukan?), tapi yang sekarang sedang menjelaskan rasa kopi di genggamnya dengan percaya diri.
Aku sudah bertahun-tahun tidak menjalin hubungan serius dengan lawan jenis.
Karena itu, saat tadi aku memberanikan diri menyapa wanita ini, doaku pada Tuhan hanya satu.
Jangan biarkan aku kehabisan kata.
Dan baiknya Tuhan, dari tadi kata-kata meluncur bebas lancar dari bibirku. Sampai ke kata-kata yang aku
sendiri tidak percaya berasal dari bibirku.
(“Panggil aku Josh saja, ya.” Ya ampun, keberanian dari mana aku berkata begitu?)
Hmm...
Mungkin era kreativitas dan improvisasi sudah berakhir di dunia sepak bola, tapi untuk membuka
perkenalan, lain cerita.
“Mm, maaf, Josh.”
Tersentak sadar dari lamunan, aku buru-buru menjawab, “Eh, iya. Kenapa, Tha? Ada yang mau diulang?”
Geleng, “Tidak kok. Sudah cukup. Terima kasih, ya. Aku tadi mau bertanya... Mm, kira-kira apa yang
bisa kulakukan untuk berterima kasih? Aku... Aku tidak bawa banyak uang, tapi...”
“Tidak perlu begitu kok, Tha. ‘Kan aku cameraman sukarela juga, bukan profesional.”
Bersikeras, kembali ia menjawab, “Tapi aku tidak enak. Kamu sudah meminjamkan handphone, lalu kamu merekamku. Aku harus melakukan sesuatu untuk membalasnya, ‘kan.”
Tanpa berpikir, aku menjawab, “Baiklah kalau kamu bicara begitu. Aku mau minta bayaran.”
Tatap lurus, dan mata cantik itu membalas. Menguatkan diri dari permintaanku.
Senyum, aku berkata, “Bayar aku dengan beberapa menit-mu boleh, Tha?”
Lagi-lagi dari sepak bola, aku pernah dengar bahwa manajer-manajer tim itu bisa merasakan semuanya
dalam satu momen.
Mereka bisa merasakan apakah serangan yang dibangun tim-nya akan berbuah gol atau tidak. Mereka juga
bisa merasakan apakah serangan yang dibangun terhadap tim-nya akan berbuah gol atau tidak.
Mereka juga bisa merasakan apakah seorang pemain akan menjadi bintang besar atau tidak.
Bahkan mereka bisa merasakan apakah sebuah tim akan menjadi juara di liga atau tidak.
Semuanya dalam satu momen.
Nah, jangan tanya aku bagaimana, tapi aku sedang merasakan momen itu.
Aku sedang merasakan lahirnya sesuatu yang spesial.
Right here, right now.
Dan aku tidak akan melepaskannya begitu saja.
Sang Wanita
“Terus, kenapa tadi kamu tidak mengatakan itu padaku, Tha?”
Pertanyaan itu berlalu lalang dan terngiang berulang.
Di coffee shop (yang berhasil aku hindari dengan jurus pamungkas, melihat jam dan pura-pura ditunggu orang rumah).
Di perjalanan.
Di pintu rumah.
Dan kini di kamar.
Kenapa, ya?
Kenapa aku tidak sigap mencari alasan untuk menolak saat ia menyapa?
Kenapa aku tidak refleks memasang wajah dingin dan cuek saat ia datang mendekat?
Kenapa aku hanya bisa terdiam?
Ding. Ringtone Whatsapp berbunyi, yang langsung kusambut uluran tangan.
+6281xxxxxxxx3
online
Hai, Tha. Ini videomu tadi, ya. 19.33
Maaf lama, tadi ukurannya besar, jadi aku masukkan ke Google Drive dulu 19.33
Nanti kalau butuh jasa cameraman lagi, aku siap kok :p 19.34
...
Senyum.
Jari menari membalas dalam kata.
Hai, Josh. 19.34
Terima kasih sekali hari ini, ya 19.35
Cameraman? Iya nanti kalau aku butuh aku chat kamu ya :p 19.35
...
Ding.
Semoga butuhnya cepat, ya :p 19.35
Sudah berulang kali aku harus meladeni Whatsapp dari nomor asing.
Dari laki-laki yang mengaku kakak kelas ku di kampus sampai orang asing yang dapat nomorku entah
dari mana.
Tapi ini pertama kalinya aku membalas chat seramah itu.
Ya Tuhan, aku ini kenapa, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Herman Benyamin
Narasi dipadukan dengan kalimat2 langsubg, menbuat cerita menjadi hidup
2020-12-31
1