Sang Wanita
Leslie Lemke.
Apa kalian mengenalnya?
Aku pribadi juga tidak mengenalnya, sih. Secara beliau hidup dan berkarya di Wisconsin, Amerika Serikat. 13 zona waktu jauhnya dari tempatku hidup dan berkarya di Bandung sini.
Nama Leslie Lemke ini pertama kali mengetuk telingaku di bangku kuliah, di kelas Manajemen Perubahan.
Waktu itu Pak Sundara, dosen mata kuliah tersebut, menayangkan sebuah video panjang (26 menit lebih) untuk membuka sesi perkuliahan.
You see, Manajemen Perubahan itu satu-satunya kelasku yang dimulai pukul 7 pagi di semester tersebut. Alhasil, begitu aku melihat total durasi video yang dibawa Pak Sundara, aku segera melemaskan badan dan bersiap untuk kembali terlelap.
Namun ternyata, saat video diputar detik demi detik, aku lupa sama sekali akan kantuk dan gerutuku.
Video 26 menit berjudul “May’s Miracle” itu menceritakan kisah hidup Leslie. Seorang bayi prematur yang membawa penyakit mata sejak lahir, penyakit yang membuat kedua retina nya harus dioperasi dan dibuang dari sejak berumur 1 bulan.
Seolah belum cukup dengan kedua kondisi itu, Leslie juga ternyata menderita kerusakan otak di usianya yang dini. Membuat kehidupan bayi malang itu berakhir bahkan sebelum dimulai.
Buta dan lumpuh total, Leslie pun ditinggalkan. Ya, ibu kandungnya sendiri menyerah dan memberikan Leslie untuk diadopsi oleh negara.
Semua orang yang melihat keadaan bayi mungil ini hanya bisa menggelengkan kepala, penuh keyakinan bahwa usia bayi ini tidak akan lama lagi.
Namun semua itu berubah saat May Lemke, seorang suster, ditunjuk oleh negara bagian Wisconsin untuk menjadi ibu adopsi bagi Leslie.
Menolak untuk berhenti percaya, May Lemke berdoa dan berdoa. Meminta mujizat bagi anak kecil yang dititipkan padanya ini.
Singkat cerita, mujizat itu datang. Dimulai dari respon kecil dari jari telunjuk Leslie, hingga akhirnya ia dapat berdiri dan berjalan sendiri.
Dan... Yah, khas Tuhan sekali.
Begitu Ia mulai memberi mujizat, Ia tak pernah tanggung-tanggung.
Aku sendiri tak dapat membayangkan apa rasanya saat suatu malam May Lemke dan suaminya terbangun oleh denting piano yang begitu indah.
Denting piano yang ternyata mengalun dari jari-jari Leslie.
Jari-jari yang divonis tidak akan pernah bergerak lagi. Jari-jari yang ditinggalkan dalam sendiri.
Jari-jari yang malam itu membius pasangan Lemke dengan permainan Piano Concerto No. 1 gubahan Tchaikovsky.
Jari-jari yang hingga kini masih mengingatkan semua orang bahwa mujizat itu masih ada. Keajaiban itu masih ada.
...
Aku mungkin tidak mengalami apa yang dialami Leslie. Tuhan tahu aku tidak akan mampu setegar itu.
Namun saat ini...
Saat aku duduk kelelahan di meja kayu kokoh di ruang yang sepi ini, dengan kaki pegal namun senyum tersungging.
Aku teringat akan pesan dari jari-jari Leslie.
Mujizat masih ada.
Senyum sendiri, aku membiarkan kata-kata itu menyiram jiwaku.
Memberi kehangatan yang sama, dengan apa yang kurasakan sejak tiga bulan terakhir ini.
“Morning, Miss!”
Berpasang-pasang binar mata ceria menyapa saat mereka bergantian masuk ke dalam ruang kelas memasak.
Bagaimana mungkin aku tidak membalas dengan keceriaan yang sama?
“Morning, Guys! How are you today?”
“Good, Miss! How are you?”
“I’m great! Okay, jadi sudah siap belajar semua?”
“Hari ini kita masak apa, Miss?”
“Hmm... Hari ini kita akan belajar yang sederhana saja sih. Fried Rice with Omelette and Sausages.”
“Yah, padahal kami ingin belajar membuat masakan-masakan Korea, Miss!”
Aku tertawa.
“Duh, dasar anak zaman sekarang. Kalian mau belajar masakan Korea dengan harapan bisa memikat Oppa-Oppa Korea ya?”
“Iya Miss.” (jujur sekali, ya).
Anak lain menimpali.
“’Kan perlu usaha Miss, untuk mendapatkan Oppa Korea itu.”
Dan dengan isengnya, anak lain lagi menambahi.
“Iya, kita perlu usaha Miss. Miss sih enak sudah punya Oppa. Kami ‘kan belum.”
Melongo keheranan, dibalas cekikik tawa menggemaskan.
Pengertian datang, dan aku menggelengkan kepala.
“Ah kalian ini. Miss masih single, tahu.”
“Eh, Mr. Josh. Morning, Mister!”
Sontak, aku menoleh ke arah pintu.
Menyesal, aku menghadapi tawa membahana dari seisi kelas.
Rasanya wajahku memang menghangat, tapi semoga tidak...
“Ciyee Miss merah mukanya!”
...
Yah, itu hanya salah satu dari sekian banyak episode menyenangkan yang kualami di sini.
Namun bisakah kalian melihatnya?
Mujizat itu masih ada.
Aku yang dahulu lumpuh dalam potensi dan tak berani bermimpi, kini percaya diri mengajari ratusan anak-anak membuat berbagai masakan yang tidak pernah berhasil kubuat sebelumnya.
Aku yang dulu sepi dan sendiri sejak perginya Alena, kini dikelilingi ratusan remaja menyenangkan yang selalu menyapaku dengan riang.
...
Aku yang dahulu buta dan menghabiskan hari-hari tanpa arti, kini melangkah pasti dengan yakin.
Ada kebahagiaan yang berhasil kusampaikan lewat apa yang kumasak di atas pemanggang.
Ada apresiasi yang berhasil kuberikan lewat apa yang kuucapkan pada para siswa yang mencoba berkarya.
“Tha?”
Mendongak, aku sudah tersenyum bahkan sebelum melihat wajahnya.
...
Bagi Leslie, suara May Lemke adalah suara yang mengubah hidupnya.
Dan bagiku...
“Hai Josh.”
Ia duduk di depan mejaku. Meletakkan tas laptop dan berbalik menghadapku.
Senyum.
“Capek, ya?”
Balas tersenyum, aku memijat ringan betis dan tumitku.
“Iya, sedikit Josh. Kamu juga capek, ‘kan?”
Angkat bahu.
“Kalau tidak capek, berarti kita tidak melakukannya dengan benar. Ya ‘kan, Tha?”
“Good point”, jawabku sambil fokus memandang kakiku.
Hening sesaat. Entah mengapa aku tahu bahwa ia sedang memandangku pekat.
Jantungku berdebar kencang, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan aktivitas memijat yang kulakukan.
“Tha”, panggilnya.
“Ya, Josh?”, jawabku.
Aku mengangkat wajah dan balas menatapnya.
Ia tersenyum. Teduh.
“Kamu ada waktu sore ini? Kita ke coffee shop yuk, sudah lama ‘kan tidak ke sana?”
...
Mana bisa aku menolak, Josh?
Sang Pria
Tiga bulan itu waktu yang lama, benar ‘kan?
Dalam tiga bulan, Pep Guardiola dapat menyadari apa saja yang ia perlukan untuk membuat Manchester City-nya sukses di Liga Inggris.
Dalam tiga bulan juga, Pak Joko Widodo dapat menyadari apa yang harus ia lakukan untuk meningkatkan ekonomi nelayan pesisir di Jawa Barat.
Dan dalam tiga bulan aku dapat menyadari, betapa aku mencintai Lanatha.
Mungkin aku agak-agak gila juga, membandingkan diriku dengan Pep Guardiola dan Pak Joko Widodo.
Tapi, sungguh... Belum pernah aku merasakan ini sebelumnya.
Aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta.
Pada senyum dan tawanya yang semakin sering kulihat di lorong-lorong sekolah.
Pada keramahan dan kasih sayangnya yang selalu kusaksikan di tengah para murid.
Pada hati dan perhatiannya yang berkali kualami sejak saat obrolan kami di kantin itu.
Mulai dari...
“Hei Josh. Sudah makan belum? Ini aku bawakan masakanku. Sisa dari kelas sih, tapi masih enak kok.”
(Semakin membuatku melayang saat tahu bahwa itu bukan sisa. Itu memang bagian masakan yang sengaja ia sisihkan dari awal menurut Rayen. Ketua murid sekaligus mata-mataku yang paling canggih di 9C).
Lalu...
“Mr. Joshua, sudah belum bekerjanya? Jangan lama-lama di depan komputer, nanti makin minus lho matanya.”
(Ia memang ramah pada semua guru sih, tapi tetap saja celetukan seperti ini bisa membuatku hilang fokus selama beberapa menit).
Hingga...
“Tha, kamu ini ke mana-mana sendirian ya? Tidak ada yang mengantar?”
Ia menatapku balik dan bertanya.
“Iya. Memangnya kenapa, Josh?”
Dehem canggung sambil menguatkan hati.
“Ehm, ya bukan apa-apa sih. Tapi kalau kamu tidak keberatan... Yah, kupikir ‘kan penghematan juga. Daripada kamu menghabiskan banyak uang untuk ojek atau...”
Senyum, ia memotongku jenaka.
“Josh, kamu mau menawarkan diri mengantarku, ya? Iya aku mau kok. Kalau kamu tidak keberatan.”
Mataku membulat tak terkontrol.
“Sungguh?”
Angguk ceria.
“Iya. Aku kemarin baru lihat biodata guru di Tata Usaha, ternyata kita tetangga lho, Josh. Kok kita baru kenal sekarang, ya?”
Senyum mengembang dariku.
“Iya, aku juga menanyakan hal yang sama. Tapi memang dari dulu aku suka berkurung di rumah sih, maklum, pendiam.”
Tawa.
“Pendiam dari mana! MC + penyanyi kondang di sekolah kok pendiam. Kamunya saja yang terlalu sibuk latihan di depan cermin kamar.”
Kami asyik tertawa dan bercengkerama, sampai akhirnya ia berkata.
“Kamu ini Josh, mau ajak aku pulang bersama saja harus ngalor ngidul ke ojek segala. Langsung saja Josh.”
Tersipu, aku menjawab.
“Ya, ‘kan aku tidak siap ditolak, Tha.”
Lirik, ternyata ia juga tersipu!
“Mana mungkin aku tolak, Josh”, ucapnya pelan.
Yah, begitulah.
Sejak itu, sudah dua bulan lebih kami menghabiskan waktu bersama.
Berangkat bersama, bekerja bersama, dan pulang bersama.
Selama itu pula perasaan yang kusimpan ini semakin memuncak menjadi keyakinan.
Keyakinan bahwa aku harus mengatakannya.
Sekarang. Saat ini.
Di meja bulat kecil tempat kami duduk berhadapan.
Tempat semua kisah ini bermula.
Menarik nafas dalam-dalam, aku merapikan rambut dengan berkaca pada refleksi di cermin toilet pria.
Berdebar-debar seakan seorang atlet yang menanti kick off Final UEFA Champions League atau FIFA World Cup.
...
Menguatkan diri, aku melangkah.
Keluar dari toilet pria ini.
Menuju wanita yang tersenyum menunggu di depan sana.
“Lama sekali di dalam, Josh. Upset stomach?”
Sang Wanita
Ia duduk di hadapanku.
Sama seperti waktu itu.
Sama tampannya, sama menyenangkannya, dan sama jenakanya.
“Aku dan kopi memang tidak berjodoh, Tha.”
Tawaku, tawanya.
“Ya sudah, jangan dipaksakan, Josh. Maaf lho, aku bujuk kamu minum kopi.”
Ya.
Semuanya sama seperti saat itu.
Kecuali hatiku.
Joshua Wijayakarsa.
Guru multitalenta yang duduk dengan senyumnya padaku ini.
Pria yang menyelamatkanku dari kegagalan video shooting waktu itu.
Laki-laki yang menunjukkan arah yang harus kutempuh hingga saat ini.
...
Josh, I think I ...
Sang Pria
Okay, this is it. This is the moment.
“Aku tidak apa-apa kok Tha, dibujuk minum kopi olehmu.”
Ia menatapku khawatir.
“Eh, tapi sungguh Josh. Aku minta maaf ya. Nanti kalau kamu sakit perut ‘kan...”
Potong.
“Aku tidak bisa menolak kamu, Tha.”
...
Hening.
Senyum, pandang lurus dan teruskan.
“Aku tidak bisa menolak saat kamu membujukku makan di tengah pekerjaan. Aku tidak bisa menolak saat kamu membujukku istirahat dari pekerjaan. Aku tidak bisa menolak bujukanmu untuk mencoba kopi, yang sebenarnya tidak kusukai sama sekali.”
Ia yang di hadapanku masih membalas pandang.
Manis.
“Yang paling penting, aku tidak bisa menolak, Tha. Aku tidak bisa menolak untuk tidak jatuh cinta kepadamu.”
Sang Wanita
...
Josh...
Apakah kamu sungguh...
Is this really happening?
Sang Pria
Beranikan diri, ulurkan tangan dan genggam.
“Maukah kamu...”
Sang Wanita
Genggamnya pada jemariku.
Ucapannya pada hati dan jiwaku.
Aku...
Dering ringtone membahana dari handphone di atas meja.
Handphone-ku. Alena terpampang.
Getar ringtone seirama dengan getarku saat aku melepaskan tangan dari genggamnya.
Juga seirama dengan sapaan pembukaku di telepon.
“Ha... Halo...?”
Nyaring, Alena menjawab.
“Darling! Kamu sedang ada di mana? Ini aku pulang! Aku di Indonesia! Aku di Bandung!”
Masih terbata-bata, aku berkata.
“A... Aku sedang di...”
Saking semangatnya, Alena tidak mendengar.
“Aku main ke rumah kamu sekarang ya? Aku kangen berat sama kamu, Tha! Sekarang ya!”
Telepon berakhir, aku memberanikan diri memandang ia yang di hadapanku.
Kecewa, kentara.
Namun ia masih berusaha tersenyum saat berkata...
“Itu Alena sahabatmu ya? Yang di Canada, ‘kan?”
Aku tidak ingat apa yang kukatakan untuk menjawab.
Ia bangkit berdiri.
“Kelihatannya kamu sudah ditunggu, Tha. Kita pulang sekarang saja, ya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Herman Benyamin
Bahadanya sangat jelas
2020-12-31
1
Herman Benyamin
GambarN umum dari alur cerita, gaya bahasa, diksi2 kata yg dipakai menunjukan siapa pemvaca yang disasar oleh penulia yaitu remaja- pemuda milenial. Selamat!!!!
2020-12-31
1