Bab 6 - Menerima Angin

Sang Pria

“Pagi, Mister!”

Senyum mengembang, kuulurkan tangan dengan mantap.

“Pagi juga, James. Nah, begini ‘kan keren. Tidak terlambat.”

Cengiran khas anak kelas 7 SMP menjawab.

“Iya, Mister.”

“Ya sudah, masuk sana. Absen jangan lupa.”

Angguk semangat, derap langkahnya menuju tapping machine riuh kudengar.

Susul menyusul, irama teratur dari sol sepatu yang beradu dengan keramik terus mendekat.

“Pagi, Mister!”

“Hai, Mister!”

“Halo, Mister!”

Ehm, mungkin sebelumnya perlu kuluruskan dulu.

Sekolah tempatku mengajar ini adalah sekolah bilingual, di mana siswa dibiasakan untuk berkomunikasi dalam 2 bahasa, Indonesia sebagai bahasa ibu dan Inggris sebagai bahasa internasional.

Jadi memang semua guru di sekolah ini dipanggil dengan sebutan ala internasional. Miss untuk guru perempuan, Mister untuk guru laki-laki, dan Ma’am untuk guru perempuan yang sudah menikah.

Begitu, ya. Supaya tidak ada yang salah sangka dan mengira aku dipanggil Mister karena aku mirip Mr. Bean.

“Pagi, Mister.”

Aku menoleh dan tersenyum sopan.

Kali ini, sapaan tidak meluncur dari bibir para putih-biru polos, melainkan dari guru perempuan yang melangkah mengambil tempat di sampingku.

“Pagi, Miss.”

Hela nafas, ia meringis.

“Maaf saya terlambat, Mister. Alarm handphone saya mati.”

Ringan, aku menjawab.

“Masih pukul 07.20 Miss. Hanya terlambat beberapa menit kok.”

Melirik jam dinding untuk memastikan, lalu menikmati kelegaan.

“Ah, iya 07.20. Syukurlah.”

Percakapan terhenti beberapa saat, digantikan oleh gelaran senyum dan jabat tangan dengan para peserta didik yang masih mengalir datang.

“Omong-omong, memang hari ini giliran Mister untuk penyambutan, ya?”

Toleh, aku tersenyum simpul.

“Bukan, Miss. Tapi tadi Mr. Ben harus setting kelas memasak. Jadi saya tawarkan diri untuk menggantikan dia.”

Angguk mengerti, lalu melirik dan tersenyum.

“Oh begitu. Saya kira karena ingin berpasangan dengan saya.”

Alis terangkat, aku menatap.

Balas menatap, lalu buru-buru memperbaiki.

“Berpasangan dalam menyambut maksudnya, Mister.”

Senyum formal, aku tidak menjawab.

Guru perempuan di sampingku ini Miss Laut. Guru Bahasa Inggris favorit para siswa (siswa ya, bukan

siswi) dan juga para guru pria.

Dengan deskripsi seperti itu, mestinya kalian sudah menyadari orang seperti apa Miss Laut ini ‘kan?

Oh, koreksi. Guru favorit para siswa dan guru pria kecuali aku.

Aku juga tidak mengerti alasannya.

Di saat semua pria yang bernafas di bawah atap SMP Lumbung Padi International ini seolah memuja dan berlomba untuk mendapatkan perhatiannya, aku sama sekali tidak tertarik mengikuti kompetisi konyol itu.

Maksudku, baiklah, dia memang cantik dan guru yang baik. Pintar juga.

Tapi ada sesuatu yang tidak membangkitkan hatiku terhadapnya.

Dan jika ada yang bertanya sesuatu itu apa, aku juga tidak dapat menjelaskan.

“Saya dengar akan ada guru baru di sekolah ya, Mister?”

Tersadar dari perenungan, aku menoleh.

Miss Laut tidak menunggu jawaban saat ia meneruskan.

“Saya dengar juga, guru baru ini kenalannya Mister, ya?”

Senyum sopan lagi, aku menjawab.

“Iya, Miss. Teman saya. Pengganti Ma’am Shanty yang cuti hamil.”

Angguk sekilas, Miss Laut melanjutkan pertanyaan.

“Laki-laki atau perempuan, Mister?”

Masih senyum sopan, aku menjawab.

“Perempuan, Miss. Sepertinya Miss kenal deh. Alumni Universitas Pranditya juga.”

Kembali mengangguk, Miss Laut bertanya. Namun tanpa mempedulikan sebagian perkataanku

sebelumnya.

“Oh begitu. Teman Mister dari mana?”

Masih senyum sopan, meskipun tingkatannya menurun sedikit, aku menjawab.

“Yah, kami bertemu tanpa sengaja sih, di coffee shop.”

‘Oh’ tanpa suara terbentuk di bibir Miss Laut, sebelum aku menambahkan,

“Dia food vlogger.”

Terkejut singkat, Miss Laut kembali bertanya.

“Oh ya? Orang terkenal dong, ya.”

Aku tidak menjawab.

Bukan, bukan karena kesal pada Miss Laut yang menginterogasiku seperti KPK menginterogasi koruptor.

Bukan juga karena ada rombongan murid yang menunggu jabatan tangan dan sapaan pagi.

Aku tidak menjawab, bahkan tidak melihat lawan bicaraku saat itu.

Karena melewati gerbang sekolah, melangkah seorang wanita.

Rambut hitam panjangnya yang biasa terurai bebas kini diikat rapi menawan.

Setelan kantor biasa, namun entah mengapa terlihat begitu bersinar bagiku.

Wanita yang juga membalas melihatku dan tersenyum malu (apa ini halusinasi, ya?).

Wanita yang demi-nya aku rela menggantikan tugas penyambutan yang bukan giliranku.

Wanita yang sudah kunantikan hadirnya dari sejak perpisahan kami sore kemarin.

Mendekat dan tiba di hadapanku, senyumnya mengambil nafasku hingga aku terpana.

“Hai. Apa aku terlalu pagi?”

***

Tok-tok-tok.

Kami berdiri di depan pintu berpelitur dengan penanda berkilau, ‘PRINCIPAL’S OFFICE’.

Aku di depan, percaya diri.

Lanatha di sampingku, agak ke belakang.

Nervous kentara sekali.

Tok-tok-tok lagi.

Belum ada jawaban.

Aku menoleh dan tersenyum.

Mencoba menentramkan.

“Hei, tenang saja, Tha. Aku yakin kamu pasti bisa kok.”

Balas menatap, senyumnya terpaksa.

“Terima kasih, Josh”, ucapnya lirih.

Kalau ini bukan di sekolah dan kami tidak sedang berdiri di depan kantor Kepala Sekolah, mungkin aku akan nekat membelai bahunya.

“Masuk!”

Jawaban dari balik pintu menyengat Lanatha seperti belut listrik.

Sebelum aku membuka daun pintu, sekali lagi aku berbisik.

“You’ll do great. Sehabis demo kita makan di kantin, ya. Jangan pulang dulu.”

Menatap pasrah, Lanatha tak sanggup menjawab.

“Selamat pagi, Ma’am.”

Ibu Kepala Sekolah mendongak dari balik mejanya.

“Ah, selamat pagi Mr. Josh. Dan ini pasti Miss Lanatha, ya?”

Meskipun gugup, Lanatha menjawab sopan.

“Betul, Bu. Selamat pagi.”

Ibu Kepala Sekolah bangkit berdiri, menghampiri kami, dan mengulurkan tangan.

“Selamat pagi Miss. Saya Nadiena. Panggil saja Nadien. Maaf tadi saya agak lama menjawab ketukannya, ya. Silakan duduk.”

Sang Wanita

Wow.

Ini sekolah atau mall, ya?

Gerbangnya otomatis dan dijaga oleh sepasang satpam profesional.

Lobby-nya megah dan canggih dengan ID Card tapping machine.

Dan kantor kepala sekolahnya sudah seperti kantor direktur perusahaan besar.

Ya ampun, Alena akan mengatakan apa kalau ia melihat ini, ya?

“Gila ya, Tha. Sekolah bisa seperti ini. Dulu kantor kepala sekolah kita, sofanya juga sudah kempis tak kembali, ‘kan?”

(Mengapa aku dan Alena bisa hafal keadaan sofa di kantor kepala sekolah? Tidak perlu dijelaskan, ‘kan?)

“Thank you, Mr. Josh. You can leave us here.”

Angguk sopan, Josh bangkit dari sampingku dan berlalu.

Pandanganku mengikuti langkahnya hingga ia berbalik di ambang pintu.

Mengutarakan ‘You’ll do great’ sekali lagi, tanpa suara.

Dengan senyum khas dan binar matanya.

“Okay, jadi, Miss Lanatha? Siap demo memasak?”

Ditarik kembali pada kenyataan, aku meneguk ludah dan menegakkan duduk.

“Yes, Ma’am. Saya siap.”

Angguk, Ibu Kepala Sekolah yang anggun ini tersenyum.

“Baiklah. Jangan tegang ya. Tenang saja. Anggap saja anak-anak itu sebagai penonton video Youtube-mu.

Omong-omong soal Youtube, saya sudah lihat video-videomu lho. Bagus.”

Pujian-pujian yang mungkin disampaikan untuk mengurangi ketegangan itu memantul tak berarti di telingaku yang mati rasa.

A... Anak-anak...?

Anak-anak katanya?

Anak-anak?!

Membaca raut wajahku, Ibu Kepala Sekolah bertanya.

“Lho, apa Mr. Josh belum menyampaikan? Miss akan melaksanakan demo masak di kelas 9C. Kelas wali-nya Mr. Josh pkl 08.00 nanti.”

...

I’m so dead.

***

Tawa gelinya tak terhentikan di hadapanku.

Tanpa dijelaskan pun sudah sangat gamblang dari ekspresi wajahnya.

Ia menikmati ini.

“Tha, jangan marah, dong”, godanya.

Dengus kesal.

“Bagaimana aku tidak marah, Josh? Kamu ini ingin mempermainkan aku atau apa, sih? Kamu bilang micro-teaching itu hanya di depan Kepala Sekolah dan Wakil. Ternyata aku harus langsung mengajar 1 kelas penuh! Rasanya seperti didorong tiba-tiba di tepi kolam renang, tahu!”

Tatap dengan tawa masih tersisa di wajahnya, ia menjawab.

“Iya maaf, Tha. Aku memang tidak tahu, sungguh. Memang biasanya micro-teaching hanya

di depan pejabat-pejabat kok.”

“Lalu aku tadi...?”

Potong, dengan sabar ia menjelaskan.

“Aku minta maaf karena tidak memberi tahu kamu, Tha. Tapi Ibu Kepala Sekolah kemarin malam tiba-tiba meminta demo memasakmu dilakukan di depan kelasku. Katanya ‘Saya sudah lihat rekomendasi Mr. Josh. Bagus ini gurunya, langsung di depan kelas saja, ya?’. Begitu, Tha.”

Mata memutar.

“Yeah right. Kamu hanya ingin mempermainkan aku, ‘kan? Mana mungkin Ibu Kepala Sekolah mengatakan hal itu.”

Nyaris tersedak jus karena buru-buru, ia menjawab cepat.

“Kamu tidak percaya? Chat-nya masih ada kok.”

Entah mengapa, kekesalanku berganti objek melihat insiden nyaris tersedak itu.

“Josh! Kamu ini minumnya pelan-pelan dong! Tidak lucu kalau kamu tersedak jus di kantin ‘kan?”

Pria di depanku itu berhenti dalam kegiatannya dan menatapku lurus.

...

Ada binar yang aneh dalam matanya, yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Binar apa itu?

Sang Pria

“Mister.”

“Hm?”

“Mister.”

“Ya?”

“Guru barunya cantik, ya.”

“Mm-hm.”

“Penjelasannya juga enak didengar, Mister. Asyik mengajarnya.”

“Yeah.”

“Mister suka ya, sama guru barunya?”

“Iya dong.”

...

...

Crap!

Menoleh kaget ke samping, barisan murid-murid jahil itu gemetar menahan tawa.

“Ciyee, Mr. Josh.”

Gelagapan menyembunyikan malu, aku menegur setengah hati.

“Sst! Jangan ribut! Masih pelajaran lho ini!”

Menurut tapi dengan geli, para murid itu mengembalikan perhatiannya pada wanita di depan kelas.

Wow, Tha.

Kamu itu tidak pernah berhenti, ya?

Di pertemuan pertama kita, aku terpesona oleh kecantikan dan kepolosanmu.

Di pertemuan kedua kita, aku tergerak ingin membantumu menemukan kegemilanganmu.

Di demo memasak ini, aku terkagum oleh kepercayaan diri yang kamu gali keluar darimu.

Tapi kini...

Di meja kantin, dengan ceceran jus yang nyaris menyumbat kerongkonganku...

Dengan refleks kekhawatiranmu yang kamu utarakan...

Aku tersadar...

“Maaf ya, Tha. Aku membuatmu merasa dipermainkan. Tapi sungguh tidak ada maksud ke sana kok. Dan lagi, kamu bagus sekali tadi demo memasaknya. Anak-anak juga bilang begitu. Simple, tapi enjoyable. Aku suka.”

Sang Wanita

Tiga kali pertemuan dengan Josh, aku tahu dia adalah orang yang mudah memberi pujian.

Mungkin karena ia guru, ya.

Pujian untuk videoku, untuk caraku membawakan vlog, hingga untuk kesukaanku pada dunia makanan.

Tapi pujian kali ini...

Berbeda.

Yang ini bukan refleks untuk membesarkan hati seseorang.

Juga bukan kebaikan hati untuk berempati dan mencari sisi positif.

Ini...

Ini dari hatinya.

...

“Aku suka.”

Josh...

Kata-kata itu untuk scrambled egg sederhana yang oleh anugerah Tuhan berhasil kumasak tadi...

Atau untuk...

Terpopuler

Comments

Herman Benyamin

Herman Benyamin

Oenulusan bahasa asing yang ditulus miring, mencirikan penulis memahami penusisan bahasa Indonesia yg benar.

2020-12-31

1

Nita Hermiyati

Nita Hermiyati

penggambaran suasananya detail banget, diksinya unik², kelanjutannya kapan nih?
brasa nostalgiaan ☺

2020-11-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!