Sang Wanita
Aku belum bercerita banyak tentang Abalone ya?
Well, pasti kalian sudah tahu bahwa tempat kerja baruku ini adalah cafe penyaji makanan-makanan laut yang diracik dengan sentuhan masa kini.
Mungkin sama sepertiku, demi mendengar nama Abalone, kalian akan membayangkan tempat dengan dekorasi kelaut-lautan di tengah kota. Dengan papan ski, kerang-kerangan, dan replika bintang laut di dinding serta beberapa akuarium menyambut tamu di pintu gerbang.
Dengan kata lain, konsep yang datar dan bahkan bisa disebut membosankan.
Tapi ternyata tidak, lho.
Abalone cabang Bandung ini berdiri di daerah pegunungan di Kabupaten Bandung Barat, kurang lebih 15 menit dari ruas jalanan pusat kota Bandung.
Untuk mencapai tempat ini, para pengemudi kendaraan harus melewati tiga atau empat tanjakan yang cukup curam dan beberapa menit perjuangan di jalan kabupaten yang sempit.
Namun percayalah, begitu kalian sampai, semua kelelahan itu akan sirna dalam sekejap.
Bangunan kayu dengan jendela-jendela kaca lebar disertai jalinan lampu kuning mungil melingkar sebagai hiasan. Diatapi dengan kayu berlapis ijuk berwarna gelap dan berderet-deret kursi meja batu unik yang menanti lawatan. Percayalah, saat kalian berjalan menaiki tangga batu dengan taman rumput di kedua sisi, kalian akan merasa seperti sedang menaiki tangga menuju sebuah kapal kayu raksasa yang menjulang.
Setelah kalian masuk, segeralah cari tempat yang menghadap ke luar jendela dan kalian akan merasakan keajaiban khas Abalone yang Hamdzah ceritakan dengan bangga.
“Kamu lihat, Tha? Dari sini kita bisa melihat seluruh kota Bandung di bawah sana. Saat matahari bersinar dan awan berarak, kesan yang kita dapatkan adalah seperti sedang berlayar di atas awan. Keren, ‘kan?”
Decak kagum tak hentinya aku suarakan pada pandangan pertamaku pada cafe ini. Semuanya betul-betul direncanakan dengan baik.
Mulai dari perapian yang sungguh-sungguh menyala di sudut ruangan hingga seragam staf yang didesain seperti kelasi kapal.
...
Jika tempo hari aku membahas semua ini sebagai food vlogger undangan, sekarang aku dapat bercerita dengan kebanggaan yang meluap.
Karena mulai Senin depan, ini adalah rumahku.
Tempatku berakar, bertumbuh, dan berkarya sampai selamanya nanti.
“Tha, terima kasih, ya.”
Kami baru tiba di lapangan parkir dan mobil baru saja berhenti saat Hamdzah tersenyum padaku.
Bingung sambil melepas sabuk pengaman, aku menjawab.
“Terima kasih untuk apa, Zah?”
Dalam temaram sore yang mulai menyelimuti, senyumannya bersinar.
“Untuk vlog-mu. Aku sudah dapat laporan dari manajer, katanya jumlah konsumen meningkat 200% sejak video-mu di-upload, Tha.”
Tawa.
“Ah, Hamdzah, itu sih bukan karena video-ku. Kamu ‘kan merekrut food vlogger yang lain juga, yang lebih terkenal. Kalau ada yang harus berterima kasih, justru aku orangnya.”
Giliran Hamdzah yang kebingungan.
“Terima kasih untuk...?”
Senyum.
“Karena cafe-mu ini, video-ku jadi banyak viewers. Malah banyak subscribers baru juga. Jadi, terima kasih ya, Zah.”
Dengan bangga ia menaikkan kerah kemejanya.
“Hamdzah. Pasti video-mu akan semakin viral kalau ada aku di sana, Tha. Aku jadi modelnya.”
Tawa di antara aku dan Hamdzah masih meluap bahkan saat kami memasuki cafe.
Namun begitu kami melangkah masuk, mataku segera menangkap panggung sederhana berdiri di tengah ruangan, sebuah tambahan yang baru kulihat hari ini.
“Wah, ada live music hari ini ya, Zah?”
Angguk bersemangat.
“Iya, Tha. Secara ini ‘kan malam opening. Aku sudah undang semua rekan bisnis dan kenalan-kenalanku, jadi harus meriah dong.”
Aku manggut-manggut sebelum menemukan kejanggalan.
“Tapi kok cuma ada dua mic dan kursi? Tidak ada keyboard atau *drum*?”
Senyum di wajah Hamdzah melebar.
“Aku memang inginnya mengundang mereka semua, tapi mahal, Tha. Operasional cafe masih di tahap penyesuaian. Jadi aku hanya bisa mengundang dua dari antara mereka. Tapi kalau band ini sih, berdua juga sudah keren. Terkenal lho, Tha, di Bandung.”
Toleh dan menatap Hamdzah, aku bertanya.
“Oh ya? Apa nama band-nya?”
Bangga dan mantap Hamdzah menjawab.
“Wait for Me, Tha. Kamu tahu ‘kan? Joshua, Andre, Grant, dan Handsen. Tapi malam ini hanya Joshua dan Andre saja.”
Di detik aku mendengar namanya, refleks menarik pandangku ke arah panggung.
Dan di sanalah ia.
Dengan band collar shirt biru muda dibalut blazer hitam, ia tampak begitu menawan saat menaiki panggung menuju microphone di muka.
Duduk percaya diri, suara teduh itu menyapa ruang mengatasi semua percakapan yang ada.
“Selamat malam, Abalone Cafe. What’s up, Guys? Di sepanjang malam yang special ini, kami dari Wait for Me akan menemani teman-teman semua. Saya Joshua dan ini rekan saya, Andre pada gitar. So, are you ready?”
...
Percaya atau tidak, aku sudah menghabiskan berjam-jam di kamar sejak aku mengambil keputusan ini.
Memainkan berbagai skenario untuk menyampaikan langkahku padamu, Josh.
Dari yang paling mungkin hingga yang paling konyol.
...
Kukira aku sudah siap.
Kukira aku sudah bisa.
Mereka semua siap menikmati nyanyian indahmu, Josh.
Mereka semua siap memandang aksimu sepanjang malam.
Tapi aku...
Malam ini...
Aku belum siap, Josh...
Aku belum siap bertemu kamu...
Sang Pria
I’m a movie guy.
Yap, setelah dahulu aku dengan sombongnya menjelaskan tentang workafrolic, hari ini aku mengakui bahwa aku tidak sehebat itu.
Ada periode-periode di mana aku lelah dengan semua urusan sekolah.
Ada masa-masa saat aku jenuh memikirkan strategi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dan konten podcast promosi sekolah.
Ada waktunya di mana aku merasa mual melihat tumpukan silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang harus kuselesaikan.
Dan jika aku sedang berada dalam zona waktu seperti itu, biasanya aku pergi menonton film. Sendirian.
Film apa saja sih, tanpa preferensi tertentu.
“Skyscraper” yang mendebarkan dada dan mencengkeram nafas? Ayo.
“Rampage” yang asyik dan mengundang tawa? Tidak menolak.
“Avengers : The Infinity War” yang super populer? Pastinya tidak masalah.
Tujuan utamaku menonton film memang hanya untuk penyegaran pikiran, namun suatu saat, aku dibuat merenung di ujung credits.
Selain pemain sepak bola, aktor adalah salah satu profesi yang dibayar luar biasa mahal.
Mungkin banyak orang berkata dengan sinis.
‘Mengapa harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membayar aktor? ‘Kan semua orang juga bisa acting! Mestinya bayaran tinggi itu diberikan pada dokter dan tentara!”
Ya, aku setuju bahwa dokter dan tentara harus diberi apresiasi tinggi dalam bentuk materi atas semua jasa mereka.
Namun kupikir, aktor juga layak diberi bayaran tinggi.
Karena saat mereka memainkan peran dalam film, mereka tidak hanya sedang berakting. Mereka benar-benar harus mengunci emosi asli mereka dan mengenakan emosi karakter yang mereka perankan.
Misalnya, Robert Downey Jr. yang harus melupakan ingatan dan perasaan aslinya untuk mengingat serta merasakan apa yang Tony Stark ingat dan rasakan.
Malahan, aku pernah dengar bahwa setelah sebuah film selesai, seorang aktor harus menjalani terapi untuk kembali ke kehidupan normalnya. Supaya ia bisa kembali menjadi diri aslinya dan berhenti menjadi karakter yang diperankan.
...
Aku bukan aktor dan aku tidak suka berakting.
Aku apa adanya dan tidak pernah memainkan drama kehidupan, tanya saja teman-temanku.
Tapi di atas panggung bercahaya ini, dengan udara dingin ala pegunungan Bandung sebagai atmosfer, aku harus menjadi seorang aktor.
Dan, sambil menepuk bahuku sendiri, aku dengan bangga menyatakan bahwa aku berhasil.
Aku berhasil melemparkan jokes-jokes dan tertawa seolah bahagia.
Bernyanyi dan menghibur seolah aku pria yang tanpa beban.
Padahal wanita yang kucintai ada di sana, duduk di hadapan panggung.
Satu meja dengan pemilik cafe keren ini.
Enggan menatapku sama sekali.
...
Aku salah apa sampai kamu melihatku saja tidak mau, Tha?
Sang Wanita
“Kenalkan, Tha. Ini our head chef. Chef Sammy Cheng.”
Berdiri dan mengulurkan tangan sopan, aku memperkenalkan diri.
“Halo, Chef. Lanatha.”
Senyum seadanya, Chef Sammy membalas jabat dengan enggan.
“Lanatha, ya? Yang berhasil masuk ke dapur karena koneksi dengan Pak Hamdzah padahal tidak punya latar belakang apapun?”
Hamdzah tersenyum ringan.
“Memang Lanatha ini belum ada pengalaman kerja, Chef. Tapi saya kenal dia dari kecil. Palette-nya bagus dan dia cepat belajar kok.”
Chef Sammy memandang Hamdzah dengan sebelah alis terangkat.
“Yah, we’ll see.”
...
Sedari tadi terus begini.
Hamdzah pergi, datang kembali ke meja dengan salah seorang kenalannya, memperkenalkan aku sebagai kitchen crew baru, dan membuatku merasa semakin kecil dalam setiap percakapan.
Chef Sammy berlalu menuju meja konsumen lain dan Hamdzah kembali duduk di hadapanku.
“Tha, are you okay?”
Hamdzah mencondongkan badannya dari seberang meja.
Tersenyum dan berusaha menguatkan.
“Jangan dimasukkan ke dalam hati, ya. Aku yakin semua keraguan orang-orang itu akan hilang saat kamu bekerja, kok.”
Aku balas menatapnya.
Sekuat tenaga menahan air mata yang rasanya sudah menggenang di pelupuk pandangku.
Hamdzah terus berusaha.
“I know you, Tha. Aku kenal kamu dan aku tahu kamu lebih kuat dari yang orang lain kira. Aku juga yakin...”
...
Apa lagi keyakinan Hamdzah pada diriku, takkan pernah bisa kuketahui.
Sebab manajer cafe datang menghampiri dan berbisik penting di telinganya.
Hamdzah menatap manajernya sekejap, lalu kembali berkata kepadaku.
“Tha, maaf, ya. Ada rekan bisnis Prof. Brian datang ke sini. Aku harus menyapanya. Be back soon, Tha.”
Aku mengangguk dan tersenyum getir.
Melihat sahabatku berjalan dan menyapa akrab seorang pria asing bersetelan lengkap.
Meninggalkanku dalam keadaan tidak berarti sama sekali.
...
Hela nafas seberat gravitasi.
Aku menyesal aku sudah datang ke malam opening ini.
“Hai.”
Aku mendongak dalam wajah dan juga jiwa.
Senyum, Josh berdiri di dekat mejaku.
“Kok sendirian saja, Tha? Temannya mana?”
Aku sudah tidak memahami diriku sendiri.
Aku belum siap bertemu pria ini.
Tapi saat ia ada di depanku, tepat di saat aku nyaris tenggelam dalam sendiri...
Aku seperti mendapatkan tali penyelamat.
Dan aku menyambutnya dengan senyum.
“Hai, Josh.”
Sang Pria
Ada sesuatu yang salah dengan Lanatha malam ini, aku yakin itu.
Dari mana aku tahu?
Please, Guys. Jangan remehkan intuisiku.
(Intuisi apa, Josh. Bukankah tadi kamu memperhatikan gerak-geriknya sampai salah lirik di tiga lagu?)
Bukan, bukan dalam hal penampilan.
Malam ini ia cantik luar biasa. Kecantikan yang membuatku sakit hati karena tahu ia berdandan bukan untuk bertemu denganku.
Tapi dengan segala kecantikan itu, Lanatha tampak...
Apa ya? Sedih? Galau?
...
Bukan... Tertekan. Itu kata yang tepat.
Dari tadi memang banyak orang yang mampir ke meja Lanatha dan temannya (aku berusaha keras berpikir bahwa pria itu bukan pacarnya).
Orang-orang perlente dengan setelan dan gaya yang datang dikenalkan dengannya.
Tapi seiring gelombang kenalan itu datang dan pergi, Lanatha tampak seperti pasir yang terus menerus tergerus.
...
Sesi pertama sudah selesai.
Andre sudah ke meja belakang panggung untuk menikmati makan malam pemusik.
Apa yang harus kulakukan?
Ikut mengabaikan seperti yang dilakukan Lanatha padaku?
...
Nope.
Aku tidak bisa melakukan itu.
Sang Wanita
“Sesi-nya sudah selesai ya? Andre di mana?”, tanyaku.
Josh mengedikkan kepala ke arah belakang panggung.
“Andre di belakang panggung, Tha. Dan sesi pertama sudah selesai dari lima menit yang lalu.”
Tanpa menunggu respon, Josh kembali berkata.
“Eh, apa tidak apa-apa aku mengajakmu mengobrol? Nanti temanmu marah tidak?”
Tersenyum lemah, aku menggeleng.
“Tidak apa-apa kok, Josh. Itu tadi sahabatku, Hamdzah. Kakaknya Alena. Pemilik cafe ini. Nanti aku kenalkan deh, ya. Meskipun sepertinya kamu sudah kenal, sih.”
Senyum tipis, ia menjawab.
“Oh begitu.”
...
Diam, aku menunggu.
Menunggu kalimat singkat yang biasa ia ucapkan untuk menghiburku.
Menunggu usahanya untuk membuatku tertawa, atau setidaknya menanyakan mengapa ada air mata di ujung mataku.
“Kalau begitu, aku ke belakang dulu ya, Tha. Salam untuk temanmu.”
...
Just like that?
Beberapa langkah dari mejaku, ia berbalik.
“Kamu belum mau pulang ‘kan, Tha?”
Tegun, aku menggeleng.
Ia tersenyum.
“Bagus. Jangan pulang dulu sebelum sesi kedua ya. I’ve got something for you.”
Sang Pria
“Jadi apa lagu pertama kita, Bro?”
Duduk kembali menghadapi audiens dan pengeras suara, aku berbisik percaya diri.
“’You Are My Everything – Glenn Fredly’, Bro.”
Angguk, Andre bersiap.
One. Two. Three.
“Okay, selamat malam Abalone Cafe, masih bersama kami, Wait for Me di malam yang luar biasa ini.”
Di meja yang menjadi pusat perhatianku, Lanatha duduk berpangku tangan.
Akhirnya ia melihatku malam ini.
“Kali ini, kami akan membuka sesi dengan sebuah lagu yang berarti sekali untuk saya. Lagu yang akan saya persembahkan pada wanita yang duduk di meja nomor 7. ‘You Are My Everything’. Enjoy!”
Sang Wanita
Ini bukan pertama kalinya aku terpana melihat Pria itu.
Bukan pertama kali aku kehilangan kata-kata karenanya.
Namun malam ini, bukan nyanyian atau kemampuannya yang membuatku terdiam.
Bukan pula senyum atau ketulusan hatinya.
Bukan.
...
I can’t believe it, Josh.
Kamu yang dahulu begitu awas untuk menemukan kesedihanku...
Kamu yang dahulu begitu sigap untuk menenangkan badaiku...
Begitu buta dan tidak pedulinya kamu sekarang ini.
Melemparkan kata-kata ‘cinta’ dalam lagu tanpa peduli apa yang sedang kurasakan.
Kamu...
Kamu hanya peduli pada pernyataan cintamu, ya?
Kamu tidak peduli aku nyaris menangis di sini sekarang?
Sang Pria
Aku sama sekali tidak mengerti.
Apa yang salah sebenarnya?
Aku sudah mengerahkan segenap kemampuan dan perasaanku dalam lagu-lagu ini, Tha.
Untuk kamu. Hanya untuk kamu.
Sepanjang malam ini, suara dan tenagaku hanya kutujukan kepadamu.
Tapi kamu...
Tersenyum untukku saja tidak?
Kalau kamu memang sudah punya kekasih, kenapa tidak langsung saja menolakku waktu itu, Tha?
Kalau kamu memang sudah punya Hamdzah, untuk apa kamu menggantungku selama ini?
Sang Wanita
“Tha, maaf sekali lagi, ya. Kamu jadi sering ditinggal sendirian.”
Kami berdua sedang berdiri di depan pintu mobil.
Di sisi kami masing-masing, seperti yang terjadi sepanjang malam ini.
Orang-orang besar seperti Hamdzah dan Josh di dunia mereka sendiri.
Dan orang kecil seperti aku di duniaku sendiri.
Aku berusaha tersenyum.
“Tidak apa-apa, Zah. Kamu ‘kan memang sibuk.”
Hamdzah tersenyum samar di bawah temaram lampu.
“Yuk kita pulang, Tha. Sudah malam. Nanti aku digantung Oom Baratha lagi.”
“Tha!”
Kami berdua berbalik kepada sumber suara.
Si Pemanggil berlari kecil menuruni tangga. Josh.
Saat ia akhirnya tiba di dekat kami, Hamdzah-lah yang menyambutnya.
“Hai, Pak Josh! Terima kasih ya, malam ini! Memang keren Wait for Me nih. Tidak salah saya memilih.”
Senyum sekilas dan jabat, Josh membalas.
“Terima kasih, Pak Hamdzah. Terima kasih juga atas kesempatannya, cafe-nya keren. Apa boleh saya bicara dengan Lanatha sebentar?”
Terkejut, namun terkendali Hamdzah menjawab.
“Oh, tentu, Pak. Silakan.”
Mereka Berdua
Beberapa langkah jauhnya dari mobil sedan hitam, mereka berhadapan.
Angin malam yang dingin tidak sedingin pembuka dari si Wanita.
“Ada apa? Sudah malam, aku mau pulang. Apa tidak bisa nanti saja?”
Si Pria bersikukuh bagaikan gunung.
“Tidak bisa nanti, Tha. Aku berjanji ini hanya sebentar.”
Tanpa jawaban dari si Wanita, si Pria meneruskan.
“Aku hanya ingin satu jawaban sederhana, Tha. Ya atau tidak. Sudah satu minggu berlalu, kita bertemu setiap hari. Tapi sampai hari ini, kamu terus mengabaikanku.”
Si Wanita masih bergeming. Si Pria melanjutkan.
“Aku serius dengan pernyataanku waktu itu. Aku cinta padamu, Tha.”
Tak ada respon, si Pria menghela nafas dan mencurahkan.
“Tapi kamu tidak pernah menganggap perasaanku penting, ya? Kamu menggantungkan pernyataan sepenuh hatiku dan... Dan hari ini muncul begitu saja dengan pacarmu.”
Tersengat panas, si Wanita bersiap menjawab.
Si Pria masih belum selesai.
“Kalau memang kamu menolakku karena sudah punya pacar, mengapa tidak langsung mengatakannya saja? Aku minta maaf karena sudah mengganggu selama ini...”
Memotong dengan pedas.
“Minta maaf? Mengapa harus minta maaf, Josh? Memangnya aku siapa sehingga layak mendapatkan maaf-mu? Memangnya aku sepenting apa sampai bisa mendapatkan maaf-mu?”
Si Pria menjawab.
“Apa maksudmu penting? Tentu saja kamu penting! Kamu kira semudah itu untuk aku menyatakan perasaanku? Kamu kira semudah itu untuk aku...”
“Stop!”
...
Gemetar dengan amarah, si Wanita mendesis tajam.
“Percakapan ini tidak ada gunanya, Josh. Kamu tidak akan mengerti. Kamu tidak mau mengerti.”
Kesiap, panas juga menjalari si Pria.
“Tidak mau mengerti apa, Tha? Kamu yang tidak bisa dimengerti! Memangnya aku salah apa sampai kamu...”
“Aku berhenti!”
...
Air mata mengalir dalam emosi, si Wanita menatap langsung Pria di hadapannya.
Si Pria hanya mampu terbata-bata.
“Ber... Maksudmu... Apa...”
Si Wanita membalas tanpa memberi empati.
“Aku berhenti dari pekerjaan menjadi guru. Mulai Senin depan aku akan mulai bekerja di cafe ini sebagai kitchen crew.”
Sang Pria
...
Sekujur tubuhku terasa dingin.
Darahku berhenti mengalir.
Berhenti...?
Dengus tawa ironis, ia meneruskan.
“Ya. Aku akan mengejar mimpiku di sini. Sebagai kitchen crew, tanpa latar belakang apapun. Sebagai kitchen crew, yang diterima masuk hanya karena aku bersahabat dengan pemiliknya. Seperti yang terus diingatkan semua orang di dalam sana saat mereka berkenalan denganku.”
Menarik nafas, air matanya masih mengalir.
Terpejam, menggeleng dengan seringai.
“Tapi apa artinya itu untukmu, Josh? Apa pentingnya aku dibanding kamu? Yang penting adalah perasaanmu, ‘kan? Siapa yang peduli dengan apa yang kurasakan? Betul, ‘kan?”
Kebas merambat cepat dari jantungku yang serasa berhenti.
Menyebar cepat hingga ke ujung-ujung jari.
Menenangkan diri sekuat tenaga, ia mengakhiri.
“Selamat tinggal, Josh. Terima kasih atas semua yang kamu lakukan sampai saat ini.”
Dengan kata-kata itu, ia menjauh.
Dan aku tak kuasa mencegahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments