Sang Wanita
“Hi, Dear!”
Barisan putih salju merekah di bibir terbuka, aku tak tahan untuk tak menyapa girang.
“Duh, sombong sekarang ya, Len. Pakai ‘dear’ segala. Biasanya juga panggil aku ‘Dul!’”
Ribuan kilometer yang terbentang antara Bandung dan Vancouver tidak mengurangi kehangatan tawa sahabatku itu saat ia menjawab.
“Hahaha, ini anak. Panggilan ‘Dear’ ‘kan keren, Tha. Malah maunya ‘Dul’.”
Berbagi tawa singkat, lalu cepat aku bertanya.
“Apa kabar, Len? Memang susah menghubungi kamu ini, ya. Beda deh, yang sudah jadi the hottest
young fashion designer di Canada.”
Menyisir rambut dengan bergaya, Alena-ku itu menjawab.
“Bagian hot-nya aku setuju, Tha. Hahaha. Aku baik kok. Kamu apa kabar? Iya nih, maaf ya. Aku
lembur terus bulan-bulan terakhir ini.”
Kekesalan semu itu berganti kekesalan sejati.
“Lembur? Awas makan yang benar lho, Len. Jangan makan junk food terus di apartemen! Kalau kamu sampai sakit, aku datangi juga si Hamdzah.”
Akting meminta maaf sebelum menjawab. Memang menyebalkan anak ini.
“Iya, iya Bu Lanatha. Aku makan sehat juga kok, di sini. Jangan kamu marahi si Hamdzah ya, kasihan dia. Sudah stress dengan S-2, diomeli lagi nanti.”
Hamdzah dan Alena. Kakak beradik, tetangga slash sahabat-sahabat terbaikku dari sejak Taman Kanak-Kanak.
Hamdzah Samestadewa si Kakak, satu tahun lebih tua dari aku dan Alena. Pintar sedari kecil, langganan juara umum dari SD hingga SMA. Sehingga tak mengejutkan bahwa di tahun terakhir SMA-nya, ia mendapatkan
beasiswa penuh untuk kuliah bisnis di Toronto. Beasiswa yang terus berlanjut hingga kini ia menempuh jenjang Master di Vancouver.
Alena Samestadewi si adik, partner in crime-ku dalam segala jenis kenakalan remaja sekaligus sahabat setia yang sudah kuanggap kembaran yang hilang. Berbakat sedari kecil, langganan juara lomba gambar dari SD hingga SMA. Sehingga sama seperti kakaknya, ia mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah desain di Vancouver di akhir kelas 12.
Hebat ya, sahabat-sahabatku.
Kontras sekali denganku, hahaha.
“Tapi Tha, kalau dipikir-pikir, Hamdzah sih akan senang-senang saja dimarahi kamu”, ujar Alena geli.
Aku memutar bola mata. Not this again.
“Alenaaa, sudah ah. Bahas yang lain yuk. Bagaimana Vancouver? Sudah menemukan pengganti Adhit belum?”
Kekeh geli.
“Vancouver sih ya begini-begini saja, Tha. Bandung bagaimana? Masih macet?”
“Kalau Bandung tidak macet, berarti Sahara membeku, Len. Tapi jangan pura-pura tidak dengar pertanyaan terakhirku ya”, candaku.
Aku dan Alena ini memang golongan siswi yang cukup nakal semasa sekolah. Kami membolos upacara, kabur di pelajaran olahraga, dan menghabiskan mayoritas jam pelajaran dengan membaca majalah K-Pop di belakang kelas.
Tapi urusan asmara, SKCK (Surat Keterangan Catatan Komitmen) pacaran kami bersih. Sama sekali tidak pernah membangun hubungan serius satu kali pun.
Mungkin karena kami sama-sama suka main dan ingin menikmati kebebasan kami selama mungkin.
... Yah, memang ada sih nama laki-laki yang melekat pada kami. Nama yang mungkin sudah melewati tahap teman biasa, namun belum sampai ke tahap suka.
Bagiku, nama itu adalah Hamdzah. Dan bagi Alena, nama itu adalah Adhit.
Aku dan Hamdzah sih sudah jelas, ya. Meskipun ia sudah beberapa kali menyatakan cinta padaku, dari bercanda di kantin sekolah hingga di tengah bandara (menurut Alena sih sudah cocok dijadikan adegan film
romantis), tapi aku tetap bertahan mengatakan tidak.
Karena selamanya Hamdzah bagiku adalah anak laki-laki yang usil namun pintar, sahabatku.
Tapi Alena dan Adhit berbeda.
Mereka memang tidak berpacaran (pengakuan Alena sih begitu), tapi mereka berpegangan tangan saat menonton film di bioskop (jangan ditiru ya, Adik-adik) dan saling memberikan kejutan di ulang tahun
masing-masing.
Jadi saat Alena harus berangkat ke Canada, aku cukup terharu juga melihat Adhit melepas kepergiannya dengan tangis.
Giliran Alena yang memutar bola matanya.
“Lanatha, please. Aku dan Adhit itu hanya teman kok. Dia mungkin sekarang sudah punya pacar juga.”
Girang sekali hatiku melihat ia kesal oleh candaanku.
“Yeah, right. Teman tapi tetap ada jealous-nya waktu bicara ‘mungkin sekarang sudah pacar juga.’”
Alena merengut di layar laptop.
“Aku matikan ya video call-nya. Bye, Tha.”
“Duh, marah lagi ini anak. Lama jauh dari aku jadi sensitif, ya? Atau lagi PMS ini?”
Tawa kembali di wajahnya.
“PMS gundulmu. Masih lama, Neng.”
Kekeh, lanjutkan tanya.
“Jadi sedang sibuk apa sekarang, Len? Fashion show lagi?”
Geleng singkat.
“Bukan, Tha. Aku sedang membuat katalog untuk majalah. Semacam portofolio begitu. Doakan ya, Tha. Majalah besar nih di Amerika Utara.”
Senyum simpul, dari hati aku berkata.
“Selalu, Len. Selalu aku doakan kok.”
Kini berganti ia bertanya.
“Kamu sedang sibuk apa, Tha? Food vlogging masih, ‘kan? Kok video terbarunya belum keluar? Aku
tunggu-tunggu nih.”
Aku tertawa. Alena ini. Sudah sedemikian high profile, masih menyempatkan diri untuk selalu me-like dan comment video-videoku.
“Iya, sabar ya, Bu. Videonya masih di...”
Henti, aku teringat sesuatu. Video terbaruku di coffee shop masih ada di Google Drive. Aku belum sempat
mengunduhnya.
Tanpa menunggu jawaban, Alena menerobos kencang.
“Videonya masih di mana, Tha? Belum di-edit ya pasti? Duh, Tha. Food vlogger itu harus konsisten. Lebih
lama dari dua minggu tidak ada konten baru itu ditinggal lho.”
Refleks, aku membela diri.
“Videonya masih di Google Drive, Len. Aku unduh setelah video call deh. Besok pasti siap meluncur.”
Mengernyit, Alena menyadari sesuatu yang ganjil dari perkataanku.
“Google Drive? Kenapa bisa di sana, Tha? Bukannya dari memory handphone bisa langsung dipindah?”
...
Aku selalu berbagi segala hal dengan Alena. Dari hal kecil hingga hal besar.
Dan memang setelah berhasil mendapatkan waktu langkanya untuk video call malam ini, aku berencana untuk menceritakan semuanya.
Tapi entah mengapa, aku kesulitan membuka mulutku.
“Tha? Masih di sana?”
Dehem, senyum terpaksa.
“Iya, Len. Masih kok. Mm, iya aku simpan di Google Drive karena sedang me-manage memori saja. Aku tidak mau memori handphone-ku terlalu penuh.”
Syukurlah, ia tidak curiga dan melanjutkan kata-katanya.
“Ohh, iya aku setuju, Tha. Memang zaman sekarang sudah zamannya cloud drive sih. Di pekerjaanku di sini juga...”
...
Aku tersenyum dan merespon cerita Alena semampu aku bisa.
Namun pikiranku melayang kembali ke percakapan tadi sore.
Aku tak pernah merasa sulit bercerita pada Alena sebelumnya.
Bahkan setiap upaya Hamdzah mendekatiku dan perasaanku terhadapnya saja aku ceritakan.
Hamdzah lho, kakaknya sendiri. Seharusnya itu canggung, bukan?
Tapi aku tidak bisa bercerita tentang Josh dan tawaran yang ia bawa.
Kenapa, ya?
Kenapa aku merasa belum siap bercerita pada sahabatku sendiri?
Bukankah aku sudah mengiyakan tawarannya?
Bukankah aku sudah mengabari Ayah dan Ibu tentang aku yang akan menjadi guru?
Bukankah aku sudah memasang alarm pukul delapan pagi besok untuk wawancara dan micro-teaching (demo mengajar)?
Bahkan aku sudah menghabiskan berjam-jam tadi menyempurnakan masakan sederhana yang akan kugunakan dalam demo (scrambled egg, my one and only).
...
Mungkin, apa yang kurasakan saat ini adalah apa yang Alena rasakan saat itu.
Di malam sebelum keberangkatannya mengejar mimpi.
Di kamar, saat kami berdua mengobrol hingga dini hari.
Setelah berbincang panjang lebar soal restoran terkenal dan tempat-tempat wisata di Vancouver, Alena tiba-tiba berhenti dan menatapku lekat.
“Tha?”
“Hm?”, aku yang masih asyik memandangi menu Osteria Savio Volpe menjawab asal.
“Aku... Aku rasanya tidak bisa, Tha.”
Kejut, aku mendongak menatap wajahnya.
Wajah sahabatku yang meneteskan air mata.
Tanpa pikir panjang, aku merengkuhnya dalam pelukan, membelainya, menenangkannya.
“Sshh, tidak bisa kenapa, Sayang?”
Tangisnya semakin menghebat.
“Aku... Tidak siap, Tha... Aku berat rasanya melangkah seperti ini...”
Lembut, aku berdoa meminta hikmat untuk menjawab.
Alena mencurahkan segalanya.
“Aku... Aku tidak bisa... Me... Meninggalkan kamu... Meninggalkan teman-teman... Aku...”
“Sayang, tidak apa-apa kok.”
Sesenggukan, ia menarik diri dari pelukanku.
“Ti... Tidak apa-apa?”
Senyum, aku mengusap air matanya.
“Kamu ini ‘kan seperti kapal yang akan berangkat jauh, Len. Kamu ini kapal yang akan meninggalkan rumahmu. Menuju laut lepas yang tidak pasti.”
Hela nafas, aku meneruskan.
“Perjalanannya memang berat, Len. Tapi aku tahu, yang paling berat dari perjalanan itu adalah bagian awal. Saat kamu melepas sauh dari pelabuhanmu.”
Bagai terhipnotis, Alena menatapku tanpa teralih.
Belai kembali di rambut panjangnya.
“Tapi tidak apa-apa, Len. Lepaskan saja sauhnya. Karena kamu pasti tahu jalan pulang, ‘kan? Pergi saja sejauhnya, cari tujuanmu sekuat tenaga. Percaya saja Len.”
“Percaya?”
Angguk kecil.
“Percaya kalau kapanpun kamu pulang, semua yang kamu sayangi sudah menunggu di pelabuhan. Kami rumahmu. Kami tidak akan ke mana-mana.”
...
Ini rasanya seperti mengangkat sauh.
Perjalanan menuju mimpi.
Mungkin aku belum siap menceritakannya pada Alena karena...
Karena saat Alena mendengarnya dari bibirku, itu membuatnya final.
Membuat petualangan ini sungguh nyata dan tidak dapat ditunda lagi.
Tapi dahulu Alena, di ambang perjalanan ia membagikan semuanya padaku.
Tidak adil jika aku menahan-nahan kisah sepenting ini.
...
Karena Alena adalah rumahku.
Tempat aman untuk bernaung di pelayaran yang tidak pasti.
“Len?”
Alena berhenti mendadak dari ceritanya tentang fashion trend di Canada.
“Ya, Tha?”
Menghela nafas dalam, aku menyiapkan diri.
“Mm, aku mau cerita Len.”
Tawa menggoda.
“Ya cerita saja, Tha. Kamu ini seperti baru kenal aku saja.”
Senyum, aku dikuatkan.
“Iya, Len... Jadi aku...”
***
“HAH?!”
Keterlaluan amplitudo suara anak ini.
“Pelan-pelan dong, Len! Di Vancouver sih pagi-pagi, di sini ‘kan malam!”
Buru-buru memperbaiki.
“Iya maaf, Tha. Aku kaget tadi.”
Meringis.
“Kaget karena kariernya tidak cocok untukku ya?”
Berpikir sejenak, lalu ia menjawab.
“Iya Tha. Secara kita itu dulu bandelnya minta ampun. Kamu tidak takut tabur tuai? Nanti kamu dapat murid yang suka izin ke toilet dua jam pelajaran lho.”
Terbahak-bahak, aku tertawa.
“Sembarangan! Itu kamu, Len! Aku tidak pernah ya, ke toilet untuk pacaran dengan Adhit.”
Balas tertawa.
“Aku dulu ke toilet lama itu bukan untuk bertemu siapa-siapa, Tha. Aku tidur.”
Ha? Tidur? Miring memang ini anak.
“Ah, sudah ah. Tidak penting membicarakan aku tidur di toilet. Dear, Lanatha. Selamat ya.”
Aku kebingungan.
“Selamat untuk apa, Len?”
Senyumnya lebar.
“Selamat karena kamu sudah menemukan langkah pertama menuju mimpimu. Belum berubah ‘kan mimpimu, Tha? Masih ingin membahagiakan banyak orang dengan makanan?”
Alena melanjutkan.
“Tidak apa-apa kok kamu mulai dari sekolah dulu. Yang penting misi kamu tetap sama. Dan tambahan lagi, dengan anak-anak ‘kan asyik, Tha.”
...
Bodohnya aku sempat merasa ragu.
Mendengarnya mengelusku dengan kata-kata penguatan sungguh lebih berarti dari apapun.
“Dan selamat juga sudah menemukan pria yang tepat ya, Tha.”
Belalak! Kejut bukan main aku!
“Eh? Pria apa? Maksudnya apa, Len? Kamu bicara apa sih?”
Senyum jahilnya sudah sangat kukenal.
“Lanatha Anantadewi, teman sebangku-ku sepanjang wajib belajar dua belas tahun. Aku tahu sekali kalau kamu sedang berbunga-bunga. Kamu glowing sekali waktu cerita tentang pria itu. Siapa namanya? John? George?”
Aku memutar bola mata.
“Josh, Neng. Memangnya John F. Kennedy atau George W. Bush?”
Geli, ia terus menggoda.
“Iya, dan tambahan paling manis nih, Tha. ‘Kan asyik bisa satu tempat kerja dengan pria tampan yang baik hati seperti dia.”
Aku merengut.
“Apa sih, Len?”
Kekehnya semakin memuncak.
“Yah, nanti kalau mau mengirim undangan, lewat e-mail saja ya. Untuk gaun pengantin, aku akan desain khusus buat kamu.”
Decak kesal.
“Len! Sudah ah! Aku mau tidur dulu buat demo nanti! Bye!”
Tawa geli.
“Iya, iya. Make up yang maksimal ya. ‘Kan nanti bertemu tuh.”
“Alenaaaaa!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Herman Benyamin
pemakaian frase2 junkfood dll dalam percakapan membawa sipembaca kpd ide2 kekinian
2020-12-31
1
Elim Setiawan
Rangkaian kata2 nya mengalir enak dibaca dan alur cerita nya mantaff.
2020-12-09
1