Bab 2 - Muatan Pertama

Dua Tahun Yang Lalu

Dirus hujan berkolaborasi dengan alunan Augie Nieto-nya Five For Fighting.

Aroma kopi semerbak membentuk atmosfer cozy bin damai, ditambah ritme unik para barista yang sigap berlalu lalang dari satu brewer ke brewer lain.

Tidak banyak orang terlihat di sana, karena hujan memang sedang deras-derasnya sepanjang minggu itu.

Hanya ada beberapa meja yang patut bangga atas keberhasilan mereka menampung pelanggan coffee shop sore itu.

Empat meja besar terisi oleh pasangan-pasangan muda

yang bercakap dengan intimnya, didukung oleh saling tatap yang jarang

teralihkan dari satu sama lain.

Namun ada dua meja kecil dengan sepasang kursi bulat

masing-masing, yang hanya mampu memenuhi setengah dari kuota mereka seharusnya.

Penghuni meja pertama adalah seorang pria. Rapi, kacamata,

tenang, dan fokus. Terlihat dari arah mata yang tak pernah beralih dari layar

laptop di hadapannya, bahkan saat ia ingin mengambil cangkir teh di sampingnya

(bagaimana ia tak pernah menyenggol jatuh cangkirnya, tak pernah ada yang tahu).

Oh, dan satu hal lagi tentang pria ini, ia hening. Sedari tadi tidak ada suara

dari mejanya kecuali pesanan, terima kasih, dan ketukan di atas laptop.

Penghuni meja kedua adalah seorang wanita yang penampilannya berkebalikan 180 derajat dengan

pria yang tadi. Wanita ini hadir dengan gaya modis yang beraliran bebas. Rambut

hitam panjangnya sering disisir tangan tanpa arah yang pasti, kadang kanan dan

kadang ke kiri. Mata bulatnya bebas memandang dunia tanpa ada perantara, mata

yang sedari tadi mondar mandir dari layar handphone-nya, lalu ke keadaan interior cafe, sampai pada titik-titik air yang menghantam jendela.

Tak lupa juga ia berdecak kesal setiap lima detik sekali dan menghela nafas pasrah setiap delapan detik sekali.

Mengapa kedua insan ini menarik perhatian?

Percaya atau tidak, dengan segala perbedaan mencolok mereka, kesamaan antara mereka berdua lebih mencolok lagi.

Sama-sama masuk dengan basah kuyup, sama-sama langsung menuju ke kasir dan memesan tanpa meminta menu dahulu, dan sama-sama dikenal di coffee shop ini.

Ya, para barista dan pramuniaga sudah sangat mengenal mereka.

Pria berkacamata yang entah mengapa sering berkunjung ke coffee shop tapi tidak pernah memesan kopi dan wanita aktif yang selalu memesan menu kopi di sini secara bergantian untuk dibuatkan video ulasan.

Lalu, kesamaan mereka yang sangat berkesan bagi para pekerja di sini adalah, mereka selalu duduk di meja yang sama, selalu datang sendirian... Dan mereka berdua rupawan.

Sudah tak terhitung tantangan terlontar di antara para barista dan pelayan untuk datang dan mencoba berkenalan dengan mereka, dan sama tak terhitungnya kegagalan upaya para penantang itu.

Yah, kedatangan mereka berdua memang tidak unik bagi coffee shop ini.

Namun entah mengapa, sore ini berbeda.

Mungkin karena ini pertama kalinya mereka berdua datang di saat yang sama.

Sang Wanita

Ya Tuhan, aku salah apa ya hari ini?

Aku tidak lupa berdoa, lho pagi tadi (memang agak sambil mengantuk, Tuhan. Maaf, ya).

Aku juga rasanya tidak bertemu kucing hitam atau burung gagak dalam perjalanan ke sini (Duh, harus mengurangi menonton film horor, nih).

Tapi mengapa coba? Mengapa aku harus terjebak di sini?

Seharusnya, jika semua berjalan lancar, aku tidak akan berlama-lama di sini.

Datang, pesan kopi terbaru dari coffee shop ini (Charcoal Creamy Latte. Aku dapat bocoran dari barista di sini), shoot video ulasan, editing sebentar, lalu pulang.

Ya Tuhan...

Tuhan tahu, ‘kan, isi dompetku?

Aku ini belum bekerja, Tuhan. Mengapa Engkau tega membuat hujan turun sederas-derasnya dan memaksa aku duduk di sini, memesan makanan supaya aku tidak membuat meja ini malu? (Ya, ‘kan aneh kalau duduk

berjam-jam hanya memesan kopi saja).

Lalu yang paling mengenaskan adalah, sekarang baterai handphone-ku sekarat.

Aku langsung memeriksa tas tangan begitu menyadari betapa kosongnya indikator bateraiku dan... Aku lupa membawa charger.

Great.

Just great.

Sang Pria

Tuhan, terima kasih, ya.

Tuhan memang paling tahu kesukaanku.

Apa lagi, coba? Apa lagi yang kuinginkan sekarang?

Duduk di coffee shop ini sendirian, menikmati secangkir teh (minum teh di coffee shop bukan pelanggaran, ‘kan?), hujan deras, dan alunan musik Five for Fighting.

Dengan suasana sedamai ini, aku langsung menjadi produktif.

Mengoreksi hasil ulangan para murid, sudah.

Membuat soal untuk remedial nanti, sudah.

Membuat materi ajar untuk besok, sudah.

Membaca berita kemenangan Liverpool FC atas Manchester City tadi malam, sudah.

Sudah menonton video highlights nya juga, malah.

Ah, Tuhan. Tuhan memang baik.

It is great.

Just great.

Sang Wanita

“Sendirian terus, nih, Mbak Atha?”

Aku mendongak dan membalas senyum waiter dengan setengah hati. Dalam batin aku menggeleng, “Tidak ada pertanyaan lain, ya, Mas? Misalnya :

‘Mbak, kok tumben tidak membuat video? Ada yang bisa saya bantu? Bisa saya bawakan charger cadangan? Bisa saya bawakan kopi gratis? Bisa saya pause dulu hujannya untuk Mbak? Apa saja Mbak, mengingat Mbak sudah banyak membantu coffee shop kami. Atau saya langsung rekomendasikan Mbak menjadi chef di cafe tetangga kami?’”

...

Menghayal kok terlalu jauh sih, Tha.

 

“Iya, Mas, sendirian”, jawabku.

Si waiter tersenyum semakin lebar, “Biarpun sendirian, jangan sedih ya, Mbak. ‘Kan masih

ada saya di sini. Setia melayani Mbak dari sejak Mbak pertama datang ke sini.”

Aduh, mulai lagi gombal-gombal si Mas-nya.

Aku tertawa mengelak, “Awas terdengar pacarnya, Mas. Nanti jadi putus, saya yang salah lagi.”

Nasib jadi food vlogger. Langganan coffee shop sampai tahu urusan asmara para barista dan pramuniaga.

Tawa si Mas Waiter renyah betul, “Kalau saya putus karena Mbak, berarti Mbak yang tanggung jawab ya, Mbak.”

“Asal ada bocoran lowongan kerja atau menu terbaru lagi, aku siap tanggung jawab, Mas”, candaku.

Yah begitulah, Tuhan.

Terjebak hujan, handphone mati, dan sekarang malah adu rayu dengan waiter.

“Oh iya, Mbak. Omong-omong soal menu. Ini, dari manajer coffee shop tadi. Untuk Mbak gratis katanya.”

Eh? Aku tidak salah dengar?

“Iya benar, Mbak. Ini saya angkat piringnya ya, Mbak.

Ini kopi gratisnya. Silakan diulas di video ya Mbak. Kalau perlu model, hubungi saya di nomor di bawah ini.”

Wah! Tuhan! Serius?

Aduh terima kasih ya, Tuhan!

Maaf aku mengeluh sepanjang siang ini.

Dan hebatnya lagi, hujan sudah reda!

Wah... Aku bisa langsung membuat video!

...

Tapi tunggu...

Handphone-ku ‘kan mati...

...

Tidak, tidak boleh menyerah!

Aku harus memaksimalkan mujizat hari ini!

Kalau perlu, aku pinjam saja handphone salah satu pramuniaga atau barista. Jika nantinya jadi

harus bertukar nomor, ya sudahlah.

Tidak ada pilihan lain.

“Mas!”, panggilku. “Boleh aku pinjam handphone-nya? Baterai handphone-ku habis nih.”

Si Mas Waiter tadi berhenti melangkah dan berbalik menghadapku. Meringis.

“Ehm, maaf Mbak. Handphone kami semua ada di pantry. Kami tidak boleh menggunakan handphone di jam

kerja. Maaf ya, Mbak.”

... Tuhan...

Maaf, ya Tuhan... Tapi mengapa Engkau memberi mujizat setengah-setengah?

“Permisi.”

...

Aku menoleh dan mendongak mencari sumber suara.

Sosok pria tampan datang menghampiri dari meja di seberang.

Senyum ramah.

“Maaf, Mbak. Tadi saya dengar kalau Mbak memerlukan handphone, ya? Mau menggunakan handphone saya?”

Sang Pria

Hm... Apa lagi, ya?

Hujan belum reda, tapi semua aktivitas yang ingin kulakukan sudah kulakukan.

Saking tidak tahu harus berbuat apa lagi, aku bahkan sudah menonton semua video highlights Liverpool FC beberapa tahun ke belakang.

...

Eh...

Mengapa ada video ulasan makanan di history-ku? Hm, pasti Mama, deh.

Menggunakan akun-ku untuk mencari-cari resep dan makanan.

Ya ampun, ibu-ibu itu ya, soal mencari barang hilang dan sinetron terbaru ahli sekali. Tapi soal teknologi, membuat akun Youtube saja rasanya seperti anak TK disuruh belajar tentang algoritma dan pemrograman.

...

Eh, tunggu... Wanita di video ini...

Kok...

Mendongak, aku membetulkan kacamata dan menatap lurus ke meja seberang.

Kembali ke layar laptop, lalu ke seberang.

Kembali, ke seberang, kembali lagi, ke seberang lagi hingga aku yakin hampir sepenuhnya.

Wanita di video yang sempat ditonton oleh Mama ini, adalah wanita yang sama dengan yang sedang duduk di meja sana.

...

Duh, sadar, Josh.

Lihat wanita cantik sedikit saja langsung hilang fokus.

...

Hilang fokus atau malah lebih fokus?

Karena sekarang aku tidak bisa berhenti melihat tiap beberapa detik sekali.

Bagaikan besi yang tertarik tanpa daya pada kutub-kutub magnet.

Dan bahkan, aku mendengar setiap kata yang dilontarkannya di sana.

Tanpa menyadari bahwa hujan telah berhenti dan aku seharusnya sudah pulang.

...

Aku sudah lama tidak percaya pada cinta. Mohon maaf.

Hubungan terakhirku dengan wanita tidak berakhir baik, karena ia tidak menyukai profesiku sebagai guru.

Dan sejak itu, aku belum mau memulai jalinan lagi dengan lawan jenis.

...

Tapi meskipun begitu, mengapa telingaku memprioritaskan ucapannya di atas lirik lagu yang memenuhi tempat ini?

Mengapa saat mendengar baterai handphone-nya habis, aku langsung merogoh saku dan menarik handphone-ku sendiri?

...

Dan mengapa aku memberanikan diri berdiri, bahkan berjalan menghampiri meja tempat ia berada?

Apa yang kulakukan ini sebenarnya?

Mengapa bibirku tak dapat ditahan untuk berkata, “Permisi. Maaf, Mbak. Tadi saya dengar kalau Mbak memerlukan handphone, ya? Mau menggunakan handphone saya?”

Terpopuler

Comments

Herman Benyamin

Herman Benyamin

Gaya bahsanya sangat memikat dan memperjelas pemaknaan kata

2020-12-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!