Sang Pria
Aku, Andre, Grant, dan Handsen. Empat personel Wait for Me, sekaligus empat sekawan dari Universitas Karyawadcana.
Meskipun kami berasal dari fakultas dan angkatan yang berbeda, tapi ada beberapa hal yang menyatukan kami.
Yang pertama jelas adalah musik.
Aku dan Andre memang teman akrab dari sejak SMP, jadi tidak aneh kalau kami tahu kemampuan dan passion masing-masing.
Maka saat kampus kami mengadakan talent show berhadiah uang, aku segera menghubungi Andre. Lalu tanpa dikomando, Andre menghubungi Grant, teman sefakultasnya, Grant menghubungi Handsen, teman satu geng-nya, dan lahirlah Wait for Me yang kemudian keluar menjadi juara di talent show itu.
Bersamaan dengan kemenangan kami, muncul hal kedua yang mempersatukan kami.
Wanita.
Yah, seperti serangga tertarik pada lampu (ya elah, harus serangga, ya Josh?), popularitas mengundang banyak perempuan ke sekitar kami.
Sampai akhirnya cepat atau lambat (entahlah, dua minggu itu termasuk cepat atau lambat, ya?) kami semua mengubah status Facebook dari single menjadi in a relationship.
Aku dengan Raleena, mahasiswi fashion design beberapa angkatan di bawahku.
Andre dengan Maya, Grant dengan Angie, Handsen dengan Davina.
Sebagai empat teman satu band yang kini berstatus sama, topik pembicaraan kami saat latihan atau nongkrong mulai berkembang.
Dari Glenn Fredly dan Bakucakar ke Song Joong-Ki dan Song Hye-Kyo (semua pacar kami fans berat drama Korea).
Dari Java Jazz dan Jakarta Jazz ke Blitz Megaplex dan Sour Sally.
Dari referensi musik dan aransemen menjadi suka duka menjalin hubungan.
Namun lama kelamaan, bagian dukanya menjadi luar biasa banyak melampaui suka.
Sebetulnya masalah kami hampir serupa sih.
Semua pacar kami tidak suka kalau waktu kami banyak habis di studio. Bagi mereka, terlambat menjemput karena latihan adalah dosa terbesar yang tidak terampuni. Mungkin mereka beranggapan kami bisa berlatih musik lewat telepati atau semedi di kamar mandi, ya.
Well akhirnya, sama cepat dengan awal mulanya, hubungan kami berempat dengan empat pacar kami itu berakhir.
Lucu juga bahwa putusnya kami semua terjadi di hari yang sama.
Maka di hari itu kami berkumpul sampai malam di warung makan mie instan 24 jam sambil tertawa-tawa. Mencoba membius rasa sakit karena diputus dengan berbagai humor dan candaan.
“Bro, kalian tahu Kubler-Ross model?”, tanya Grant.
Decak, Handsen menjawab.
“Apa pulak itu? Semakin malam kau ini semakin ke mana-mana bicaranya, Grant.”
(Handsen ini nama lengkapnya Handsen Tarigan. Jadi jangan kaget, ya).
Sambil meneguk kopi hitam, Grant menjawab.
“Itu, 5 Stages of Grief, pernah dengar, ‘kan?”
Aku menjawab, “Oh, terapi untuk orang-orang baru putus itu, ya? Ada apa saja sih? Denial, terus anger, terus apa lagi ya...”
Andre menimpali apa yang kukatakan.
“Oh, itu. Denial, anger, bargaining, depression, acceptance ‘kan?”
Grant mengangguk dengan tawa lebar.
“Iya betul. Cuma sepertinya untuk kita pemusik, 5 stages-nya agak beda nih.”
Kernyit kebingungan, Andre bertanya.
“Beda apanya?”
Grant menahan tawa saat menjawab.
“Ya kalau orang biasa ‘kan denial dulu baru anger, kalau kita pemusik itu ‘Ain’t No Sunshine When She’s Gone’-nya Bill Withers dulu baru ‘Wake Up Call’-nya Maroon 5.”
Begitu kami mengerti apa yang ia maksudkan, bahak tawa kami menggetarkan warung itu hingga dini hari menjelang. Kami betul-betul lupa waktu.
Seorang demi seorang dari kami terus mengajukan lagu-lagu yang dapat menggambarkan keadaan seorang pria patah hati.
Dari ‘Someone Like You’-nya Adele hingga ‘Cari Pacar Lagi’-nya ST 12, tidak ada hentinya kami mendaftar lagu hingga akhirnya terbentuk sebuah list yang sungguh kami gunakan besok sore-nya di food court kampus.
...
Nah, jika keadaanku saat ini harus digambarkan dengan lagu, tidak ada lagu yang lebih tepat kecuali ‘Butiran Debu’. Tahu ‘kan? Lagunya Rumor Band itu.
Se-menyedihkan itu? Ya. Se-menyedihkan itu.
Dua tahun berlalu sejak malam di Abalone.
Dua tahun sejak mulut bodohku ini menghancurkan hati satu-satunya wanita yang kusimpan di hati.
...
Maksudku, c’mon, Man.
Aku tahu dia sedang tertekan malam itu.
Aku juga seharusnya bisa menduga apa penyebabnya.
Aku bahkan menyadari ada air mata saat aku menyapanya di meja itu.
Tapi...
Mendengarnya mengatakan nama Hamdzah membuatku lupa diri.
Membuatku tak bisa merasakan apapun selain cemburu.
...
You’re so stupid, Josh, you know that?
Sepulangnya dari Abalone, esoknya, esoknya lagi, hingga satu minggu setelahnya aku terus mencoba meminta maaf.
Aku menghubunginya lewat Whatsapp, telepon, bahkan nekat mengetuk pintu rumahnya. Tidak ada jawaban.
“Maaf ya, Nak Joshua. Lanatha sendiri yang meminta Tante untuk menolak tamu. Ia sedang sibuk belajar untuk jadi chef katanya.”
Bisa apa aku selain mengangguk sopan di depan Ibunya? Padahal aku tahu betul Alena dan Hamdzah sendiri baru saja pulang dari kunjungan berjam-jam di sana.
Menolak tamu? Mungkin lebih tepatnya menolak aku, ya.
Gagal di rumah, aku pun mengejarnya ke tempat kerja.
Aku bertanya-tanya pada manajer di sana dan berhasil mendapatkan shift kerja Lanatha di hari weekend (untung kartu namanya masih kusimpan).
Dan di weekend itu aku betul-betul menungguinya hingga pulang kerja.
Mau tahu apa yang terjadi?
“Tha.”
Melihatku, bola matanya berputar malas dan ia bergegas menjauh.
Tak begitu saja menyerah, aku mengejarnya hingga lapangan parkir.
“Tha”, ulangku.
Masih tak menghiraukan, ia mengeluarkan gawai dan memeriksanya tak sabar.
“Tha.”
Makin kesal, ia berdecak dan bergumam.
“Mana sih ojek-nya?”
Hela nafas, aku melangkah tepat ke depannya.
“Tha.”
Mata terpejam seolah berdoa meminta kesabaran, akhirnya ia menjawab.
“Apa?”
Suara motor mulai terdengar mendekat dari arah jalan.
Berharap semoga itu bukan ojek online pesanannya, segera aku berkata.
“Aku minta maaf, Tha. Aku salah malam itu. Aku minta maaf sudah egois. Aku minta maaf aku sudah tidak peduli.”
Melongok mencari sumber suara motor, ia tak memedulikanku.
Hela nafas lagi, aku menambah ketegasan.
“Tha, aku...”
Cepat, ia memotong.
“Ya, saya sudah dengar. Tidak perlu diulang.”
Tegun, aku tak tahu harus berkata apa.
Mata cantik itu beralih menatapku langsung akhirnya. Walau penuh dengan amarah.
“Sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, ‘kan? Saya mau pulang.”
Bersamaan dengan itu, abang ojek online-nya datang dan membawanya pergi beserta dengan harapanku untuk kembali.
Dari aku menjadi saya.
Dari tatap peduli dan senyum manis menjadi amarah dan dingin tak peduli.
Itulah sebabnya aku mengatakan kami berbeda tujuan.
Ia dengan mimpi dan perjuangannya, sudah berada di tempat di mana aku tidak dapat berlayar ke situ.
Hampir setiap hari kulihat Instagram-nya dan kudapati ia semakin meninggi.
Tahun pertama bekerja, ia berhasil menjadi chef tetap.
Tahun ini, menjadi asisten chef kepala.
Mungkin di tahun depan ia sudah menjadi chef kepala.
Sementara aku...?
‘Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi...
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam...
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang...
Aku tanpamu...
Butiran debu...’
...
Pathetic.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments