Bab 9 - Tantangan Arus

Sang Wanita

“Dear!”

Sapaan khas yang akhirnya kudengar tanpa melalui perantara teknologi.

Disusul oleh hangatnya peluk dan cium dari sahabatku yang sungguh-sungguh ada di sini.

“Kok mendadak sih, Len? Kalau kamu berkabar ‘kan aku bisa jemput di bandara!”

Berseri-seri, ia menjawab.

“Aku juga memang mendadak Tha, tadinya tidak ada rencana pulang. Tapi cafe-nya Hamdzah ternyata dipercepat opening-nya. Masak aku tidak datang, ya ‘kan?”

Belalak, aku kewalahan dengan banjir kabar gembira ini.

“Eh... Cafe apa ini? Cafe-nya Hamdzah? Memang Hamdzah sudah pulang ke Indonesia? Sejak kapan?”

Berjalan beriringan masuk, Alena balik bertanya.

“Sudah dari tiga bulan lalu, Tha. Aku belum cerita ya?”

Duduk di ruang tamu, bersisian seperti dahulu.

Aku bertanya seperti haus akan informasi.

“Iya nih, tega kamu. Membuatku ketinggalan banyak berita. Cafe apa namanya Len? Kok bisa Hamdzah yang gila belajar itu tiba-tiba berbisnis di tengah studi?”

Alena tertawa.

“Ini masih termasuk tugas S-2 nya, Tha. Jadi dosennya di Vancouver menawari dia proyek kerja sama begitu. ‘Kan kamu tahu sendiri Indonesia ini pasar yang hot buat para businessmen Amerika Utara. Jadi menurut dia, kesempatan bagus lah. Bisnis dapat, keuntungan dapat, nilai juga dapat. Nama bisnisnya itu Abalone, Tha. Seafood cafe begitu.”

Mengangguk dan mengangguk, aku terus meneguk bagian demi bagian berita mengenai kehidupan kedua sahabatku itu.

Membiarkan akalku terpuaskan oleh pengetahuan baru. Pengetahuan yang semakin lama semakin memenuhi hatiku dengan ria.

Hamdzah dan Alena kembali ke Bandung.

Hamdzah dan Alena kembali ke Bandung! Oh my God!

“Begitu Tha, jadi dia sibuk di cafe sejak tiga bulan terakhir ini. Dia juga... Eh... Ini dia telepon. Halo? Zah? Kamu di mana? ... Oh, iya santai saja sih... Ini aku sudah di Bandung kok, di rumahnya Lanatha... Apa? Mau bicara?”

Pandang Alena beralih dan bertanya tanpa suara.

Aku tersenyum dan mengangguk.

“Okay, Zah, sebentar. Aku oper handphone-ya ke Lanatha, ya.”

Senyumku tak tertahan saat aku menerima dan menempelkan gawai di telingaku.

“Heh!”

Tawa terdengar di seberang perantara.

“Galaknya ini perempuan satu. Sudah lama tidak bertemu, disapa mesra sedikit kenapa?”

Aku balas tertawa.

“Gila! Masih saja main goda-goda ya, Zah. Mau jadi lulusan Canada kek, hobi tetap gombal ya.”

Hamdzah terkekeh dari seberang penghubung.

“Still the Lanatha that I used to know. Long time no see, Tha. Apa kabar?”

Aku tersenyum dan menjawab.

“Kabar baik, Zah. Kamu kok pulang ke Bandung tanpa kabar sih? Sama seperti Alena. Pergi minta diantar, pulang tidak bilang-bilang.”

Suara berat Hamdzah balas menjawab.

“Percaya deh, Tha. Maunya aku itu memberi kabar padamu. Tapi ya, secara aku masih sakit hati ditolak di bandara, jadi aku agak... Yah, you know lah.”

Tergelak, aku menjawab.

“Apaan sih Hamdzah. Norak. Pokoknya sekarang sebagai pajak pulang tanpa kabar, aku minta ditraktir. Tidak mau tahu. Pizza, kopi, dan tas tangan Hermes ya.”

Gelak tawa membahana dari sisinya.

“Woy, Tha. Aku ini masih mahasiswa S-2. Masak kamu todong begitu? Terbalik dong, kamu ‘kan yang sudah kerja yang traktir mestinya.”

Oh my God.

Betapa aku merindukan percakapan-percakapan ini.

Canda tawa tanpa arah.

Godaan-godaan antar sahabat yang terus berbalasan tanpa mengenal waktu.

“Eh, Tha. Nanti Jumat depan cafe-ku opening nih. Sebenarnya bulan ini sudah soft opening sih, tapi resminya Jumat depan. Kalau besok aku minta kamu nge-vlog di cafe-ku boleh? Belum pensiun jadi food vlogger ‘kan setelah jadi guru?”

Tawa.

“Pensiun apa sih, Hamdzah. Memang aku angkatan lansia apa?”

“Eh ini anak. Jadi mau atau tidak, Tha?”

Senyum.

“Iya, iya. Apa sih yang tidak akan kulakukan untuk Hamdzah.”

Aku tahu ia tersenyum di seberang sana.

“Dari tadi kek mesranya. Okay deh, Tha. Catch up with you later, ya! Aku mau bertemu vendor dulu nih. Bye!”

Keceriaan masih tersisa di wajahku saat aku mengembalikan handphone ke tangan Alena, gesture yang diterimanya sambil tersenyum penuh arti.

Beradu tatap, aku mengangkat alis.

“Kenapa, Len? Kok melihatku seperti itu?”

Masih tersenyum misterius, Alena menyimpan gawai di tas tangannya.

“Tidak apa-apa kok, Tha.”

Mengernyit, aku mengejar.

“Apa sih, Len? Sok-sok misterius begitu.”

Menatapku lurus, senyumnya semakin berkembang.

“Nothing, Tha. It’s just... Aku bahagia lho melihat kamu dengan Hamdzah.”

Hela nafas dan bola mata berputar.

“Len...”

Potong dengan cepat.

“Iya, Tha. Aku tahu kamu tidak mencintainya dan aku juga tidak mau memaksamu. Tapi ya, supaya kamu tahu. Selama lima tahun berkuliah di sana, Hamdzah banyak lho yang mendekati. Tapi tidak satupun ia terima, Tha.”

Jawab dengan ringan.

“Ya ‘kan memang dia orangnya fokus belajar, Len.”

Mencondongkan badan dan mendekat, Alena meletakkan tangannya di atas tanganku.

“Lanatha, Sayang. Kamu pikir kenapa Hamdzah memintamu me-review cafe barunya saat ia bisa membayar food vlogger dari manapun ia mau? Dari dulu kamu penting baginya, Tha. Kamu yang terpenting baginya.”

Masih Sang Wanita, Keesokan Harinya

“Selamat sore, Ibu Guru.”

Gelak, aku memukul lengannya geli.

“Apa sih, Hamdzah? Sudah ayo cepat, mana menu-nya?”

Menahan tawa, ia membungkuk pura-pura hormat.

“Baik Bu Guru, saya akan segera ambilkan. Ibu Guru jangan marah-marah ya Bu, nanti cantiknya hilang.”

Aku tertawa demi ia berbalik dan melangkah menjauh.

Hamdzah, Hamdzah.

Setelah lima tahun berlalu lalang di luar negeri, aku lega melihat ia tidak berubah banyak.

Rambut ikal berantakannya kini memang tersisir rapi dibalut pomade yang harum. Namun posturnya masih tinggi tegap seperti dulu, meski kini ia terlihat lebih atletis dengan setelan eksekutif muda.

Raut wajah dan romannya juga masih riang dan jenaka. Seperti anak kecil iseng dengan berbagai trik dalam kepalanya.

Berbeda sekali dengan Josh.

...

Mungkin kalian bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan kisahku dengannya.

Mm, dengan malu kuakui bahwa...

Belum ada perubahan.

Kami masih berangkat kerja, berkarya, dan pulang bersama.

Ia masih pria tampan yang sopan dan ramah.

Pria yang... Padanya aku menaruh hati...

Mengapa kalian bilang?

Mengapa aku belum juga menyambut pernyataan cintanya kemarin?

...

Entahlah.

Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang Alena katakan tentang Hamdzah.

Meskipun seandainya tidak ada telepon dramatis itu pun, aku akan tetap seperti sekarang.

Menghindari tatapan teduh dan senyumannya.

Menghindari matanya yang menunggu jawaban.

Karena aku tidak siap...

Aku belum siap...

Josh itu pria yang luar biasa. 25 tahun, tiga tahun lebih tua dariku.

Mapan dan stabil.

Bukan hanya dalam harta kekayaan (ia sudah punya rumah sendiri di usia muda lho), namun juga dalam perjalanan hidup.

Ia guru yang dicintai murid-muridnya, dikagumi rekan-rekannya, dan dipercaya atasannya.

Ia juga penyanyi dan pembawa acara yang cukup terkenal di kota Bandung.

Jika pria seperti itu menjalin hubungan denganku yang seperti ini...

Apa kata dunia?

Apa kata rekan-rekan guru yang dalam diam menginginkan ia bersama Miss Laut saja? (Two beautiful and smart teachers, tidak ada yang salah dengan itu)

Apa kata kedua orang tuanya nanti?

Melihat ia yang sudah begitu jauh dalam samudera kehidupan, memutuskan berlayar bersamaku yang belum seberapa ini?

“Ayo lho, kok melamun sih, Tha? Baru kutinggal sebentar sudah kangen, ya?”

Tersadar, aku melihat Hamdzah tersenyum di depanku.

Mengelak.

“Apa sih, Zah. Kamu ini kerjanya menggoda aku saja. Cari pacar sana, Zah.”

Kekeh.

“Maunya sih, Tha. Tapi kalau hati sudah terpaut padamu bagaimana dong?”

Decak kesal, aku memutuskan untuk tidak meladeninya.

“Jadi? Menu-nya mana, Boss?”

Tawa kecil sembari menyodorkan buku menu yang didesain cantik.

“Ini, Tha. Aku juga sudah minta chef di dapur untuk menghidangkan menu andalan kami. Yang dibintangi ya, Tha. Itu recommended-nya kami.”

Aku mulai membolak-balik halaman buku menu dan membaca.

Hm... Spicy Crab with Sauteed Asparagus.

Grilled Lobster with Carrot Puree.

Menu-menu fine dining yang dikemas ulang dalam sentuhan gaya anak muda.

Harganya juga worth it.

Aku menyampaikan opini-opini ini sambil terus menelusuri daftar yang ada.

Hamdzah memperhatikan pendapatku dan menjawab.

“Ide awalnya sih memang keren ya, Tha. Tapi jujur, aku ini sedang stress. Tinggal sebentar lagi opening, tapi susah sekali mencari chef yang bagus. Aku khawatir eksekusinya akan gagal.”

Telunjuk tertahan di Coconut Rainbow Cake, aku mendongak menatapnya heran.

“Memangnya kenapa, Zah?”

Hela nafas berat, Hamdzah melanjutkan.

“Yah begitulah. Chef lulusan perhotelan memang skillful. Tapi rewel, Tha. Baru juga lulus, tapi sudah minta gaji tinggi. Jadi sekarang aku baru punya satu chef utama, dua chef di tim main course, tiga chef di tim dessert, dan tiga helper. Kurang sekali man power-nya Tha.”

Aku tertegun.

“Terus bagaimana, Zah?”

Wajah jenaka nya tersenyum ironis saat menjawab.

“Ya itu dia Tha, pergumulannya. Aku masih harus mencari setidaknya satu lagi chef di tim main course kalau ingin cafe ini bertahan lama.”

Terpana dan tak tahu harus berkata apa, aku mencondongkan badan mendekat ke seberang meja.

“Zah... Aku... Ada yang bisa aku bantu tidak? Anything, Zah.”

Binar matanya kembali dan ia tersenyum lebar.

“Nah, sebenarnya ada, Tha. Kamu tahu tidak, waktu aku stress kemarin, Alena memberitahuku bahwa ia sudah ada di Bandung dan sedang di rumahmu. Saat itulah aku teringat. Kamu ‘kan suka masak, Tha? Mau tidak kamu bekerja di sini?”

Kejut, aku mundur dalam mental dan juga dalam fisik.

“Hah? Zah... Kamu... Kamu bercanda ‘kan?”

Bersemangat, gerak tubuhnya condong maju seakan mengejarku.

“Sama sekali tidak, Tha. Kamu sekarang mengajar kelas masak di Lumbung Padi International ‘kan? Kamu sudah ada pengalaman, dong?”

Tawa gemetar, aku menjawab.

“Itu kamu jadikan bahan pertimbangan? Aku hanya guru pengganti, Zah. Pengalaman macam apa cuma tiga bulan?”

Hamdzah menggeleng mantap.

“Aku punya intuisi yang bagus, Tha. Aku yakin kamu cocok bekerja di sini. Ya, mungkin di awal aku hanya bisa menjanjikan posisi helper karena kamu tidak ada background pendidikan, tapi aku yakin kamu bisa naik dengan cepat kok. Mau ya?”

Aku ternganga keheranan.

Ini... Apa-apaan?

Senyum percaya diri khas Hamdzah menghiasi wajahnya.

“Aku tunggu keputusannya satu minggu dari sekarang ya, Tha? Kamu mulai kerja setelah kontrakmu selesai di sekolah juga tidak apa-apa kok.”

...

My God...

Ada apa ini sebenarnya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!