Bab 8 - Awan Gelap

Sang Pria

“Hi, Bro! Sudah dari tadi?”

Setengah hati, aku mengangkat tangan menyambut.

“Hi, Bro. Baru datang kok.”

Perlahan, ia menaruh tas gitar di kursi dan segera duduk di samping gitar kesayangannya.

Melirik jam dinding, mengangguk lega.

“Belum mulai, ‘kan?”

Angkat bahu, berharap itu sudah cukup menjawab.

Sadari sesuatu, ia bertanya menyelidik.

“Kok lemas gitu sih, Bro? Belum makan? Pesan dulu, lah. Masih ada waktu ‘kan sebelum session.”

Masih enggan menjawab, aku berkata sekenanya.

“Bukan apa-apa Bro, capek saja sih.”

Decak tak sabar, ia menukas.

“Lah, kalau capek ya makan lah. Lemas begini, bagaimana bisa menyanyi? Nanti fals semua, para pengunjung pada kabur, Bro.”

Aku tak menjawab, ia terus mendesak.

“Woy, Josh. Ini anak diajak bicara malah diam saja. Kenapa sih?”

Masih tak menjawab, ia mengernyit berpikir.

Sedetik, dua detik, tebakan dilempar. Tepat.

“Lanatha?”

Mendongak menatap, tukar pandang telah menjelaskan.

Andre menghela nafas, dan tak berkata-kata lagi.

 

 

Yap.

Andre sudah tahu semuanya kok.

Dia tahu siapa Lanatha dan apa arti Lanatha untukku.

Dia bahkan sudah bertemu dan berkenalan dengan Lanatha, karena sudah beberapa kali Lanatha datang atas ajakanku ke live music sessions band kami.

Malah lebih lagi, Andre sendiri yang mendukungku untuk ‘menembak’ Lanatha.

“Bro, kapan lagi coba ada perempuan sebaik itu? Perhatian, setia, cantik lagi. Kalau kau bukan temanku, sudah kudekati dia.”

(Andre ini nama lengkapnya Andre Simorangkir dari Pematang Siantar. Jadi kalau sedang bersemangat, ia suka kembali ke akar kearifan lokalnya).

 

 

Dengan track record seperti itu, tentu tidak mengherankan jika Andre-lah yang pertama kali kuceritakan tentang insiden naas sore di coffee shop waktu itu.

 

 

“Hah? Kalian pulang? Begitu saja?”

Lemas hingga ke hati, aku menjawab.

“Iya. Just like that.”

Penasaran, ia bertanya lagi.

“Tapi dia jawab ‘kan? Waktu kau antar ke rumah? Atau waktu kalian chatting malam-malam? Atau waktu kalian bertemu di sekolah besoknya?”

Tawa mengenaskan, aku menjawab.

“Nope. Nothing.”

Karena memang benar apa yang kukatakan.

Lanatha sama sekali tidak menjawab pengakuan cintaku itu.

Tidak waktu ia turun di rumah (ia hanya buru-buru pamit, bahkan tanpa melihatku).

Tidak di chat (chat apa, Josh. Nihil malam itu. Dia sama sekali tidak menghubungi).

Dan yang membuatku paling lemas adalah...

Ia tidak menjawab sama sekali di hari-hari berikutnya.

Kami masih bertemu seperti biasa, masih berangkat dan pulang bersama.

Namun kini ada tembok yang menjulang tinggi, entah dari mana asalnya.

Rasanya lebih canggung dari awal pertemuan kami.

 

 

Kini sudah satu minggu berlalu tanpa tanda apa-apa.

...

Mau kamu apakan aku ini, Tha?

Kalau kamu menolakku terang-terangan, aku terima.

Sakit sih, sakit sekali pasti.

Tapi aku tahu hasilnya dan arah apa yang harus kuambil setelahnya.

Tapi ini... Kamu diamkan aku sama sekali, Tha.

Aku harus bagaimana?

 

 

“Bro.”

Dongak, aku menatapnya dengan sorot yang tak karuan.

Andre balas menatap dengan serius.

“Aku mengerti sekali kau ini sedang patah hati. Laki-laki sekuat apapun, tidak ada yang tahan didiamkan seperti itu.”

Hela nafas, ia mengulurkan tangan dan menepuk bahuku.

“Mungkin yang terbaik yang bisa kau lakukan saat ini adalah melampiaskannya, Bro.”

Ha? Melampiaskan?

“Lampiaskan perasaan hatimu dalam nyanyianmu, Bro. Let it all out.”

...

“Dan kebetulan juga, ini ‘kan pertama kali kita live music di sini. Cafe baru ini, Bro, tapi review-nya bagus. Jadi gunakan kesakitanmu jadi energi ya, Bro.”

...

Yah, si Andre ini ada benarnya juga.

Kalau begitu mari kita coret lagu-lagu seperti ‘Cintaku-Chrisye’ atau ‘Perfect-Ed Sheeran’ (My God, ini lagu yang mencerminkan Lanatha sekali).

Kita gantikan dengan lagu-lagu seperti ‘Akhir Cerita Cinta-Glenn Fredly’ dan ‘When I Was Your Man-Bruno Mars’.

“Ya tapi list lagunya jangan galau semua juga, Bro. Lambat semua itu, tidur semua pengunjung cafe ini nanti”, celetuknya saat melihat revisi laguku.

Tawa murni yang sudah seminggu tidak kuperdengarkan.

“Nah, begitu dong, Bro. Semangat begitu. Ayo kita mulai!”

Langkah kaki mendekati meja kami, disusul anggukan sopan pria bersetelan hitam.

“Selamat malam, Mas-Mas. Band malam ini ya?”

Aku berdiri dan menjabat tangannya.

“Betul Pak. Saya Josh, ini teman saya Andre. Kami hanya berdua.”

Balas jabat, senyum kilat, lalu bisikan informasi.

“Hari ini pemiliknya datang, Mas. Jadi tampilkan yang terbaik ya.”

Andre yang sedari tadi sibuk menyetel gitar mendongak pada informasi ini.

“Oh ya? Pemiliknya yang mana ya, Pak?”

“Yang itu, Mas. Baru saja masuk.”

 

 

Aku melayangkan pandang mengikuti ibu jari pria pemberi informasi ini.

Melangkah melewati ambang gerbang cafe yang terbuka lebar, masuk dua orang.

Kemeja lengan panjang biru muda yang tergulung rapi dengan arloji keren di pergelangan. Celana kain formal abu dan sepatu kerja berkilat. Rambut rapi dan senyum bangga milik seorang pria.

Hm, sudah jelas dialah pemiliknya.

 

 

Dan mengikutinya, adalah seorang wanita. Rambut panjangnya terurai bebas, mengayun mengikuti gerak langkahnya. Blouse berwarna cream dan celana panjang hitam, ditambah tas tangan yang bergerak di genggam layaknya metronome.

 

 

Jantungku seakan berhenti berdetak.

Di sudut mata, kulihat Andre ternganga dan memandangku meminta pemahaman.

 

 

Namun aku sendiri tak tahu.

Aku tidak mengerti.

 

 

Aku tidak tahu harus merasa apa.

Saat melihat Lanatha berjalan memasuki cafe.

Terlihat begitu akrab dengan sang pria pemilik itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!