Laut
Hai untuk kalian semua.
Sudah beberapa kali kita bertemu, namun aku belum punya kesempatan untuk memperkenalkan diri secara lengkap, ya?
Okay, here we go.
Namaku Lautan Natuna Muller Flick.
Aku hasil asimilasi 27 tahun yang lalu antara Franz Dieter Flick, pengusaha tekstil dari Lembah Ruhr di Jerman dengan Angelica Wiyono Salim, putri seorang pengusaha tekstil lainnya dari Jakarta.
Papa dan Mama bertemu di sebuah konferensi pengusaha tekstil yang waktu itu diadakan di sebuah kapal pesiar di dekat Pulau Natuna (sekarang kamu mengerti mengapa namaku begini aneh, ‘kan?). Pertemuan singkat dan perkenalan yang langsung diakhiri dengan tukar kontak karena menurut Papa, saat itu juga ia memutuskan dalam hati bahwa ia akan menikahi Mama.
Namun sayang, sebelum mereka mampu melakukan lebih dari tukar kontak dan foto bersama dalam satu meja, Papa harus kembali ke Jerman dan Mama harus kembali ke Jakarta.
Lima tahun berselang dan mereka jarang berhubungan lagi, meskipun menurut Papa, ia selalu menyimpan foto pertemuan awal mereka di meja kantornya.
Namun akhirnya, takdir kembali mempertemukan mereka dalam kondisi yang tidak disangka-sangka. Waktu itu di sebuah supermarket di Dortmund, Papa yang sedang mendorong troli dibuat terkejut saat melihat wanita cantik yang selalu ia pandangi fotonya itu ada di lorong biskuit dan makanan ringan, sedang tertawa-tawa asyik dengan laki-laki lain.
Papa, dengan mentalitas Germanic-nya yang pantang menyerah nekat mendekati pasangan itu dan menyapa Mama dengan hangat.
Dan untunglah Papa nekat maju tanpa mundur saat itu, karena ternyata laki-laki lain itu adalah Oom Widianto Wiyono Salim, adiknya Mama. Bukan kekasih, bukan tunangan, apalagi suami.
Singkat cerita, mereka memulai kembali jalin hubungan di Dortmund sana. Hubungan yang berkembang menjadi cinta berbalasan dan diikuti dengan hijrahnya Papa ke Indonesia, pernikahan mereka berdua, dan lahirnya aku sebagai putri semata wayang keluarga Flick dan Salim.
Kisah cinta mereka adalah pengantar tidur favoritku, pengisi malam kesukaanku. Kisah yang selalu diakhiri dengan binar tawa di mata mereka berdua dan pesan moral yang disampaikan Papa padaku.
“Meine Madchen, ende gut alles gut. Percaya saja, ya.”
(Terjemahan) “Putriku, semua yang baik akan berakhir baik. Percaya saja, ya.”
Pesan yang selalu kuingat dan kujadikan pegangan dalam menghadapi setiap musim kehidupan.
Saat Papa sakit dan kembali ke sorga tujuh tahun yang lalu.
Saat Mama yang tidak kuat menahan kesendirian jatuh sakit dan pergi menyusul Papa dua tahun setelahnya.
Saat aku memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan mengubur semua kenangan pedih di sana. Mencoba me-reset ulang kehidupanku di kota Bandung ini. Melepaskan semua kastil konglomerasi yang dibangun Papa dan Mama, menyerahkannya untuk diperebutkan oleh saudara-saudara mereka.
Ende gut, alles gut.
All that is well will end well.
Semua yang baik akan berakhir baik.
Tentu saja tahun-tahun awal tidak mudah.
Di usia 22 tahun, hidup sendiri di Bandung dengan warisan sedih tak berkesudahan.
Papa dan Mama memang mewariskan harta dan kenyamanan juga, namun tidak ada yang bisa menyembuhkan hatiku dari kehilangan ini.
...
Tidak ada, sampai malam itu.
Aku yang masih merangkai hari demi hari dengan hati yang terpatah-patah menemukan diriku di sebuah cafe di puncak gunung Bandung.
Memesan makanan dan minuman tanpa ada selera, aku hanya pergi keluar apartemen karena takut akan menyerah dan menyusul Papa-Mama jika aku berkurung sendirian.
Aku masih bermain-main dengan makananku saat ia berjalan menaiki panggung.
Seorang pria dengan kemeja flanel lengan tergulung dan blue fit jeans membalut tubuhnya. Tingginya biasa saja, normal untuk ukuran pria sebayanya. Kulitnya terang, mata cokelatnya berbinar cerah dari balik kacamata frame tebal yang dipakainya. Wajahnya mulus tanpa kerut sedikitpun. A handsome baby faced man with a proper undercut hairstyle.
Sorot pandangnya teduh saat ia mengambil tempat di belakang microphone dan suaranya lebih teduh lagi dari itu.
“Selamat malam semuanya. Kembali lagi bersama kami, Wait For Me. Malam ini untuk teman-teman yang sendirian dan kesepian, fear no more. We are here.”
Dan aku terhanyut.
Hanyut dalam nyanyiannya.
Hanyut dalam senyumnya.
Hanyut dalam setiap nada yang ia nyanyikan dari hati untuk orang-orang yang mungkin tidak ia kenal.
Aku ingat air mataku mengalir saat ia melantunkan “Home – Michael Buble” dan “You Are Not Alone – Michael Jackson”.
Aku juga ingat senyum tulus pertamaku sejak bertahun-tahun saat ia menyanyikan “Count on Me – Bruno Mars” dan “You and Me – Lifehouse”.
...
Aku juga ingat bahwa di detik itu, saat itu, malam itu, aku jatuh cinta.
Jatuh cinta pada pria yang menyelamatkan jiwaku dengan not-not dari jiwanya.
Pria yang kutanyakan namanya pada waiter cafe.
Pria yang kucari tekun di laman Facebook dan Twitter.
Pria yang deminya aku mempelajari psikologi anak dan cara mengajar.
Pria yang kukejar hingga saat ini aku mematut diri di depan cermin.
Ya...
Josh, you might not know this yet, but...
Aku mencintaimu bahkan sebelum kamu mengenalku.
Kamu yang menyelamatkan aku saat aku ada di titik terendah, bahkan tanpa kamu sadari itu.
Dan aku akan terus menunggu.
Menunggu sampai kamu menyadari bahwa ada aku di sini yang mencintaimu sebesar ini.
...
Mengingat semua ini membuatku tersenyum dan semakin mantap.
Mengembalikan pensil alis ke dalam kotak make-up, aku bangkit berdiri dan memeriksa pesanan taksiku.
Hari ini hari Minggu, 7 Desember.
Aku akan mengingat hari ini sebagai hari pertama aku dan Josh mengikat janji untuk jalan bersama. (sebenarnya sih ini janji untuk sama-sama belanja kebutuhan aksi sosial nanti, tapi who knows ini bisa jadi kencan?)
Mungkin ini janji pertama yang akan kami ikat berdua, sampai pada akhirnya kami akan saling berjanji di depan altar pernikahan.
Jangan salahkan aku kalau aku tidak sabar dan ingin pergi ke rumahnya, ya?
I know that women are supposed to wait and be patient...
But do you know how long have I waited for this?
I can’t wait for any seconds longer.
I’m going to surprise him.
Now.
Sang Wanita
It’s Sunday!
Yah, aku tahu bahwa untuk seorang juru masak yang bekerja di balik wajan, hari-hari libur orang normal seperti ini berarti hari sibuk bagi kami.
Tapi entah tersambar apa, tiba-tiba Chef Sammy memberikan hari libur untukku. Dan tepat di hari Minggu, pula!
Tentu saja, aku segera menyambut hari ini dengan antusiasme luar biasa. Dari sejak Sabtu malam saja aku sudah kesulitan tidur karena memikirkan hal-hal yang ingin kulakukan keesokan harinya.
Dan saat ini, let’s review our check-list for today :
Bangun pagi, checked!
Berdoa dan lapor pada Tuhan, checked!
Jogging sambil mendengar iPad, checked!
Minum susu sambil peregangan ringan di teras rumah, checked!
...
Lalu selanjutnya apa, ya?
Aku hanya membuat daftar sampai di sini.
Hari Minggu begini Ayah dan Ibu biasanya pergi ke rumah Nenek di Padalarang. Apa aku ikut Ayah dan Ibu saja?
Eh, tapi aku sudah lama juga tidak membuat vlog makanan. Apa sebaiknya aku berjalan-jalan di sekitar jalan Riau mencari cafe yang cozy dan menghabiskan siang di sana?
Atau sebaiknya aku pergi ke mall saja? Window shopping dan real shopping sekalian? ‘Kan sudah lama juga tidak mentraktir diri sendiri.
Pokoknya, apapun yang kulakukan hari ini, aku bertekad tidak akan mengganggu Hamdzah.
Kasihan dia, sedang mengurusi tesis tapi tetap bersikukuh ingin bersamaku setiap hari.
Setelah berdebat panjang lewat telepon semalaman, akhirnya aku berhasil membujuknya untuk beristirahat saja sehari ini.
“Sudah ya, Sayang. Jangan berdebat lagi. Besok pokoknya aku tidak mau melihat mobilmu ada di depan rumah.”
Suara balasannya membuatku tahu bahwa ia sedang merengut.
“Jadi kamu tidak mau bertemu aku?”
Aku tertawa.
“Ya bukan, Sayang. Sudah, besok kamu fokus saja menyelesaikan tesis. Aku juga mau me-time sehari. Tidak apa-apa ya? ‘Kan kalau kamu cepat selesai tesisnya, kamu bisa cepat menikahi aku juga.”
Akhirnya si Hamdzah itu melunak juga mendengar kata ‘nikah’. Dasar laki-laki.
“Okay deh, Sayang. Take care ya. Have fun besok. Kamu juga jangan terlalu capek.”
Yah begitulah perdebatan tidak penting di antara kami.
Eh, sampai mana tadi?
Oh ya... Hmm...
Kelihatannya lebih baik aku ke mall saja deh. Sekalian belanja bahan makanan. Tadi pagi kuperiksa kulkas rumah dan ternyata yang tersisa hanya keluarga bawang-bawangan saja.
Keputusan sudah diambil, aku menghabiskan susu dan berbalik hendak memasuki rumah.
Namun langkahku terhenti saat telingaku menangkap bunyi mesin mobil mendekat.
Duh, masak Hamdzah masih berkeras datang sih?
Menoleh, aku melihat sebuah taksi berjalan lambat dan berhenti di rumah seberang. Rumah Josh.
...
Setahuku dia tinggal sendirian. Siapa ya yang pagi-pagi begini naik taksi mengunjunginya? Apa orang tuanya? Tapi orang tuanya ‘kan biasa mengendarai mobil pribadi?
...
Decak, aku tersadar dan kesal sendiri.
Untuk apa aku penasaran akan dia? Dia bukan siapa-siapa kecuali pria egois yang kurang ajar.
Dengus. Jangan sampai hari sempurna ini ternoda lagi karena aku mengingat dia. Ya Tuhan, jangan sampai!
Aku mematikan iPad-ku dan sudah hendak berbalik badan saat pintu taksi terbuka.
Turun dengan anggun adalah seorang wanita.
V-neck blouse hitam, cropped pants berwarna putih, dan flats biru tua. Langsing dan menawan dengan rambut cokelat berombaknya.
Aku tertegun melihat wajah wanita itu saat ia menoleh ke sana kemari untuk memastikan alamat yang hendak ia datangi.
...
Aku tidak mungkin salah.
Wajah Indo-blasteran itu milik Miss Laut.
Mau apa dia datang ke rumah Josh sepagi ini?
Sang Pria
“Hai.”
Aku ternganga tak mampu berkata apa-apa.
Ia tersenyum dan berkata.
“Baru bangun ya, Josh?”
Menguasai diri kembali, aku menjawab.
“La... Laut? Kamu sepagi ini... Ya ampun, kenapa... ‘Kan nanti aku jemput...”
Tertawa, ia memotong kegagapanku.
“Tidak apa-apa, Josh. Aku ingin memberi surprise saja. Lagipula the sooner the better, ‘kan? Biar tenang juga kita belanja dari pagi.”
Teguk ludah, aku kebingungan.
Ini baru pertama kalinya ada wanita yang mengunjungi rumahku.
Aku mungkin seharusnya menyiapkan karpet merah dan welcome drink, tapi membereskan wajah saja belum.
Seolah paham kebingunganku, Laut berkata lagi.
“Tidak apa-apa, Josh. Tidak perlu repot-repot. Aku tunggu kamu bersiap-siap di teras saja ya?”
Aku semakin merasa tidak enak.
“Eh, jangan di teras, La. Mm, yuk masuk saja. Tunggu sebentar di ruang tamu, ya. Aku segera bersiap-siap.”
Laut
Surprise mission, accomplished!
Sungguh, aku tidak bisa menahan tawa melihatnya di ambang pintu tadi.
Rambut berantakan yang condong ke satu sisi, wajah bantal, dan mata setengah sadar.
I could get used to this, secara itulah yang akan kulihat setiap pagi jika aku menikah dengannya.
...
Correction, bukan ‘jika’, tapi ‘saat’.
Duduk di ruang tamu, aku menyerap keadaan sekeliling.
Foto-foto di dinding yang terpasang rapi. Foto Josh dan keluarganya saat ia diwisuda. Foto Josh dan adiknya saat adiknya diwisuda. Foto keluarga mereka saat Josh dan adiknya masih kecil (ya ampun, he’s so cute!).
Yes, semua ini sempurna.
Akan lebih sempurna lagi saat ditambah foto pernikahan kami yang dicetak besar di sana. Aku dengan gaun putih, ia dengan tuxedo warna cokelat kesukaannya.
Pandangku terus berkeliling dengan senyum sebagai pelengkapnya. Namun aku tertegun melihat foto kecil di lemari pembatas ruang tamu.
Senyumku luruh, detak jantung berpacu sedikit lebih cepat saat aku melihat...
Mungkinkah itu...
Berdiri, aku melangkah dekat untuk memastikan.
...
Aku sebenarnya sudah tahu tentang mereka.
Tapi aku tidak bisa mengekang perasaan marah dalam hati saat melihat bukti ini dari dekat.
Foto kecil yang diambil di photo box sederhana.
Foto Josh dengan Lanatha.
Tambahan tidak perlu pada kesempurnaan yang ada di benakku.
“Hai, La. Aku sudah siap. Kita berangkat sekarang?”
Aku menoleh dan mendapati ia muncul dari samping lemari pembatas.
Jaket hitam, T-shirt polos abu-abu, dan white chino pants.
Pandangnya beralih dari wajahku ke objek yang ada di tanganku.
Aku menatapnya lekat-lekat, mencari emosi di balik ekspresi matanya.
Apa, Josh?
Apa yang kamu rasakan tentang Lanatha sekarang?
Bukankah sudah dua tahun berlalu sejak dia pergi meninggalkan sekolah? Meninggalkan kamu?
Bukankah dia juga sudah ada kekasihnya sendiri?
Bukankah ada aku di sini?
...
Kenapa matamu masih menyiratkan sayang padanya?
Sang Pria
“Duh, kita mau apa sih, Josh? Malu ah.”
Aku tertawa melihat keras kepalanya.
“Sudah tidak apa-apa, Tha. Aku tanya waiter tadi, katanya photo box gratis ini hanya akan ada sampai hari ini lho. Kapan lagi?”
Ia masih berkeras.
“Iya, tapi buat apa, Josh? Kalau foto ‘kan tinggal selfie saja pakai handphone.”
Aku menggamit lengannya lembut.
“Iya, tapi foto dari handphone ‘kan tidak bisa disimpan di dompet, Tha.”
Akhirnya setelah berusaha keras, Lanatha mau juga duduk di dalam photo box itu. Berdampingan, beradu ekspresi lucu bersamaku selama beberapa detik.
Itu terakhir kalinya kami ada berdua di coffee shop tempat kami bertemu.
Karena setelah itu, aku menyatakan cinta, didiamkan, dan akhirnya ditinggalkan sampai hari ini.
Awalnya foto itu aku taruh di dompet, berdampingan dengan semua harta yang kupunya.
Namun lama kelamaan, karena rasa bersalah dan rasa putus asa, aku mengeluarkannya.
Rasanya tidak etis juga menyimpan foto bersama kekasih orang di dompet.
Laut tersenyum dan menaruh kembali foto itu di lemari.
“Maaf ya, Josh. Aku membuka-buka lemarimu sembarangan.”
Aku tersadar dari kenangan dan balas tersenyum.
“Tidak apa-apa, La. Jadi kita berangkat sekarang? Kamu sudah sarapan belum?”
Laut mengangkat bahu.
“Aku pikir nanti saja aku sarapan bersamamu. Kamu juga belum sarapan, ‘kan?”
Aku mengangguk.
“Ide bagus. Yuk kita sarapan dulu.”
Mengantar Laut keluar ruang tamu, aku menoleh tanpa sengaja ke rumah seberang.
Rumah sederhana dengan pagar setinggi leher dan taman kecil di baliknya.
Rumah yang penghuninya sudah memasang pagar setinggi Fort van der Capellen terhadapku.
...
Entah ada angin dari mana, aku memutuskan dalam sekejap mata.
Laut
Ia membuka kembali pintu rumah dan masuk dengan penjelasan.
“Sebentar ya, La. Ada yang ketinggalan.”
Aku mengangguk dan tidak mampu menahan diri untuk tidak mengintip.
Ia melangkah cepat ke lemari tempatku menemukan foto tadi.
Membuka lemari, ia mengambil foto kecil tersebut dan memandangnya seketika.
Degup jantungku semakin kencang.
Apa yang sedang ia lakukan?
Tidak lama ia memandang foto itu, karena ia lalu berbelok dan mendekati tempat sampah dekat coat hanger di ruang tamu.
...
Josh, are you really doing what I think you’re doing?
Sang Pria
“It’s time to move on, Lae.”
Itu kata-kata yang berulang kali Andre ucapkan padaku.
“Mau sampai berapa lama kau begini? Dia saja sudah bersama pria lain kok. Biar saja dia tidak mau memaafkanmu, Bro. Yang penting kau maafkan dirimu sendiri.”
Mau sampai berapa lama?
Ini jawabanku.
Hari ini, Minggu 7 Desember.
Sebelah genggamku terbuka untuk melepaskan foto kenangan itu ke tempat sampah.
Sebelah genggamku yang lain terbuka untuk mengambil jaket kedua di coat hanger.
Jaket yang kubawa keluar dan kukenakan pada Laut dengan senyum.
“Kamu ini ya, La. Datang sepagi ini dengan make-up lengkap, tapi malah lupa bawa jaket. Pakai jaket ini dulu, ya.”
It’s time to move on.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments