Sang Wanita
Selama dua tahun ini, hanya ada dua pria yang diri dan perkataannya memenuhi hariku.
Yang pertama adalah Sammy Cheng.
Chef Indonesia kelas atas, anak didik “The Michelin Star Chef” Arthur Darring di Amerika Serikat yang direkrut dengan harga mahal untuk menjadi head chef di Abalone.
Atasanku di dapur, dan orang yang selalu mengisi mimpi-mimpiku (sayangnya semua mimpi yang melibatkan dia hampir selalu ber-genre thriller).
Secara penampilan, Chef Sammy itu terlihat ramah dan manis sebetulnya. Pipi chubby, kacamata tebal, dan sorot mata kekanak-kanakan.
Tapi ucapannya di dapur? Wow. Panaskan oven hingga suhu tertinggi, buka pintunya dan berdirilah di depannya. Apa yang kamu rasakan? Itulah yang aku rasakan sejak hari pertama.
“Good morning, Ladies and Gentlemen.”
Briefing pagi pertamaku di dapur dengan apron dan seragam trainee. Berdiri di barisan paling belakang, aku tidak berani menatap matanya saat ia berjalan mondar mandir di depan semua kitchen crew.
“Okay, jadi pertama-tama, good job kemarin.”
Nafas lega terdengar di sana sini.
“Iya, good job. Kalau kalian ini bekerja di warung seberang jalan.”
Deg. Suhu ruangan anjlok beberapa puluh derajat.
Chef Sammy terus berjalan-jalan sambil berbicara.
Nadanya memang tidak tinggi, namun pilihan katanya setajam boning knife, atau mungkin golok sekalian.
Namun selagi ia menegur para crew-nya, aku terkagum dalam hati.
Karena kritik yang dilemparkan Chef Sammy bukan kritik yang kosong atau luapan emosi belaka. Ia betul-betul mengupas detil setiap kelemahan dari makanan yang dihidangkan. Dari plating yang meleset beberapa milimeter dari konsep sampai keseimbangan rasa yang hanya setitik saja jauhnya dari kesempurnaan. Dia hafal semua kelebihan dan kekurangan makanan dan minuman yang diproduksi dapurnya sepanjang malam sibuk kemarin.
“Oh ya, satu lagi. Kalian mungkin sudah sadar bahwa ada sesuatu yang baru pagi ini.”
Deg lagi. Jantungku rasanya seperti ingin melompat jauh. Apa ia akan memperkenalkanku sebagai helper kenalan pemilik cafe?
Senyum sinis sambil menatapku tajam, ia melanjutkan.
“Tapi itu sama sekali tidak penting. Cafe dibuka dalam satu jam dan customer akan berdatangan. So, chop chop, everyone! I want to see better results today or I’ll slaughter you all!”
Aku lega seketika. Aku sudah membayangkan yang tidak-tidak sebelumnya. Berbagai cara bagaimana ia akan mempermalukanku di depan para crew. Namun diabaikan rasanya tidak terlalu buruk.
Namun sayangnya, kelegaanku itu tidak berumur panjang.
“Hei kamu yang di belakang! Buat apa ada kamu di sini kalau kamu diam saja? Inisiatif dong! Cek bahan kek, periksa utensils kek. Berguna, dong! Tempat sampah saja masih lebih berguna dari kamu.”
Yah, itu baru awalnya.
Aku ingat selama dua bulan pertama, tidak pernah ada malam hari yang tidak kulewatkan tanpa menangis.
“Ya ampun, kamu chopping bawang putih saja tidak rata begini. Kok bisa kamu masuk ke sini sih? Modal tampang ya? Kamu pendekatan ke Pak Hamdzah pakai apa sampai bisa lolos?”
“Waduh, kamu ini bodoh sekali sih? Ini dapur professional, Neng, bukan dapur sekolahan! Masak membersihkan ikan seperti ini. Masih ada sisiknya nih!”
“Duh Bu Guru, Bu Guru. Begini cara kamu memanggang ikan? Kamu mengajari anak-anak apa sih sebenarnya? Rusak generasi muda Indonesia, rusak!”
Celetukan-celetukan Chef Sammy ditambah dengus sinis anggota dapur yang lain menjadi makananku sehari-hari.
Banyak hari aku tidak nafsu makan, lebih banyak hari lagi aku nyaris menulis surat pengunduran diri dan menyerah.
Tapi hari ini, aku duduk di taksi dengan senyum.
Layar smartphone-ku menunjukkan Whatsapp dari Chef Sammy. Chat dari satu tahun yang lalu yang kujadikan starred message hingga saat ini.
“Heh, ini kamu mimpi apa semalam? Ide kamu untuk buat tuna sambal matah oke juga nih. Presentation looks good, taste juga OK. Begini dong dari dulu.”
Bingung ya?
Begini. Chef Sammy itu menerapkan meritocracy system di dapur.
Jadi untuk kenaikan pangkat. kami semua termasuk chef-chef tetap setiap bulan harus mempresentasikan sebuah ide masakan yang kami buat sendiri.
Masakan yang berhasil memikat hatinya akan langsung dimasukkan ke dalam menu dan si pemilik ide akan langsung mendapatkan promosi.
Namun sebaliknya juga, masakan yang tidak menarik dan membosankan akan membuat si pemilik ide mengalami stagnasi atau bahkan demosi.
Dengan cara itu, Abalone Cafe selalu menjadi yang terdepan dalam hal variasi menu di pasar kami.
Tentu saja aku juga mempersiapkan apa yang kubisa untuk presentasi bulanan itu.
Sebelas kali aku gagal, bahkan sampai dimuntahkan dan dibuang di depan mata.
Tapi pada kali ke-dua belas, aku berhasil mendapatkan chat itu.
Chat yang membuatkan menjadi chef tetap, dan lalu menjadi head chef asisstant seperti saat ini.
...
Terima kasih, Tuhan.
Memang tidak mudah, tapi didikan keras Chef Sammy itulah yang membuatku bisa seperti saat ini.
Jika ia tidak menekanku sehebat itu, mungkin sampai saat ini aku masih menjadi Lanatha yang dulu. Tidak percaya diri dan selalu merasa kecil.
Jari-jariku berlanjut mengusap layar dan melihat sebuah kontak.
Kontak yang terletak paling atas dari seluruh daftar chat-ku.
Kontak dari pria kedua yang mewarnai hidupku selama dua tahun ini.
Kriiiing. Ringtone berbunyi dan aku tersenyum memandang nama kontak si pemanggil.
“Halo.”
“Halo, Sayang. Sudah berangkat kerja?”
“Iya sudah, Sayang. Aku sudah di jalan ini. Kamu baru bangun, ya?”
“Iya, Sayang. Maaf ya aku tidak mengantarmu hari ini. Aku capek kemarin.”
“Iya tidak apa-apa. Tapi nanti kita jadi dinner ‘kan?”
“Jadi dong. Kangen berat aku nih.”
“Dasar. Eh, ini aku sudah mau sampai nih. Aku tutup dulu ya, have a nice day, Sayang.”
“You too, Dear. Have a great day. Love you!”
“Love you too!”
Ya. Itu tadi pria kedua yang mengubah hidupku.
Pria yang selama dua tahun ini tidak pernah lelah untuk terus mendukung dan menyemangatiku.
Pria yang selalu ada untukku. Kekasihku.
Hamdzah.
Kenangan dan bahagia akan Hamdzah dan Chef Sammy terus memenuhi hati saat aku turun dari taksi dan menapaki lapangan parkir berbatu Abalone.
Namun entah mengapa, hari ini ada memori lain yang timbul mengganggu.
Seperti butir pasir kecil yang menusuk-nusuk mata.
Memori akan pria yang lain lagi.
Pria yang dua tahun lalu, di lapangan yang sama ini...
...
Ck, untuk apa aku mengingat dia?
Aku sudah punya Hamdzah.
Kekasihku yang selalu ada untukku.
Yang menunggu dan sabar menanti cintanya berbalas.
Yang tidak egois dan menempatkan perasaannya di atas orang lain.
Yang tidak seperti...
Sial.
Pasti pertemuan tak sengaja tadi pagi yang memaksaku mengingat dia.
Tidak penting.
Tidak penting sama sekali kalau aku harus memikirkan orang itu.
Fokus, Tha.
Fokus pada tempatmu berada sekarang.
Orang itu bukan siapa-siapa.
Sama sekali bukan siapa-siapa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Jimmy Sutedja
Good job Joshua...
2020-12-12
0