SEBUAH DOSA

SEBUAH DOSA

CHAPTER 1

Masih teringat hari itu,

"Aku akan membawa rahasia itu sampai aku mati."

Bisikan mama masih membakar panas di telingaku ketika pandanganku mulai kabur, tertutup oleh air mata; tubuhku menegang namun nafasku memburu saat kusaksikan nafas mama perlahan memendek seraya lilin kehidupannya perlahan mulai meredup.

Dinginnya kematian menjalar mulai dari jari kaki, perlahan membuat kaku seluruh tubuhnya sampai akhirnya malaikat kematian menggenggam jantung mama dan meniup lilin kehidupannya.

Aku menangis, meraung memanggil mama untuk kembali padaku! Apakah aku akan kehilangan mamaku hari ini? Kenapa mama tidak bergerak dan menjawabku? Pikiran buruk berkecamuk dan menghempaskanku dalam lubang gelap depresi. Bila mama meninggal, dia akan membawa serta sebuah rahasia yang sangat penting untuk kuketahui, sebuah rahasia yang sudah dia simpan sepanjang hidupnya; rahasia tentang identitas ayahku. 

 

Aku terus memanggil-manggil mamaku tapi dia tidak bergerak. Tanpa sadar tanganku mulai merapikan bantal di kepala mama, entah apa yang kupikirkan.

Tidak lama kemudian dokter dan para suster masuk ke kamar tempat mama di rawat. Aku terpaku menatap mereka yang mengerumuni mama, mencoba untuk membangkitkan lagi jantungnya, memompa, berusaha memasukan oksigen ke dalam paru-parunya.

Seorang suster menarikku dan membawaku keluar sementara paramedis bekerja. Detik berlalu dan semakin nampak jelas bahwa usaha mereka untuk membantu mama adalah sia-sia dan aku pun semakin putus asa.

Mama meninggal hari itu.

Pikiranku kosong, entah apa yang dokter dan suster bicarakan denganku, mungkin mereka sedang menghiburku, entahlah. Aku hanya terdiam, tatapanku tidak pernah ku alihkan dari mayat mama yang terbujur kaku di tempat tidur, perlahan mulai membiru; seorang suster menutup wajah mamaku dengan kain putih.

Satu hal yang benar-benar memberatkan hatiku dan menambah duka penyesalan adalah pemikiran akan bagaimanakah aku bisa hidup setelah semua ini; mengetahui bahwa satu-satunya orang yang bisa membuka rahasia penting dalam hidupku itu sudah mati.

Perlahan-lahan mama di pindah dari tempat tidur ke troli mayat untuk di bawa ke kamar jenazah. Aku mengikuti seorang suster yang sedang mendorong trolinya menyusuri lorong rumah sakit yang remang-remang. Aku ingat betul kesunyian di tengah malam ketika mama di bawa ke kamar jenazah. Tidak ada suara apapun, hanya bunyi roda troli yang  berdecit terdengar di sepanjang perjalanan dan sesekali suara gesekan dedaunan yang ditiup angin.

"Kamu tunggu disini, ya," kata suster itu sebelum dia membuka pintu kamar jenazah dan mendorong mama masuk ke dalam untuk dimandikan dan diformalin.

Aku menghela napas panjang dan menutupi wajahku dengan tangan dan kembali menangis. Aku tinggal sebatang kara sekarang, tidak ada lagi mama yang akan menjagaku, menenangkanku ketika aku gelap mata karena amarah, dan terlebih tidak ada lagi harapan untukku mengetahui siapa sebenarnya ayahku. Bagaimana hidupku kedepannya?

Oh, mama dan kakek aku sangat berharap kalian kembali hidup untukku...

Ketika aku membuka mataku, seorang nenek tua sedang duduk di depanku dan tersenyum. Senyumannya begitu manis dan begitu menenangkan, aku bertanya dalam hati, siapakah yang meninggal di keluarga nenek ini? Dan kenapa dia bisa tersenyum begitu tulus padaku sementara seseorang yang mungkin sangat dia kasihi tengah terbujur kaku di dalam sana, dimandikan oleh petugas jenazah - mungkin bersebelahan dengan mama.

Melihat senyum berseri nenek itu, hatiku perlahan mulai tenang, denyut-denyut duka perlahan mulai diam dan aku pun ingin tersenyum membalas nenek itu ketika tiba-tiba tercium bau menyengat yang sangat kukenal; bau daging terbakar yang bercampur anyir darah dan busuknya bangkai yang selalu menyertai dia, teman lamaku.

Di ujung mata aku bisa melihat dia berjalan perlahan-lahan mendekatiku. Aku tahu dia tidak akan terlalu dekat denganku - dia selalu ada, selalu mengawasiku tapi tidak pernah berada kurang dari 2 meter dariku - dia selalu menjaga jarak. Aku yakin sebentar lagi dia akan menghilang; selalu seperti itu selama 24 tahun dia membayangiku.

Namun perlahan keyakinanku mulai luluh sembari tubuhku menegang ketika dia terus berjalan, tidak pernah berhenti, perlahan mendekatiku dan akhirnya duduk disampingku. Dari ujung mataku, aku bisa melihat kain tipis berwarna merah yang selalu dia kenakan dan siluet wajah terbelah 2 bermandikan darah hitam dibaliknya.

Tubuhku terasa kebas, hilang semua perasaan tenang yang tadi kurasakan kini berganti kesedihan yang mendalam dan amarah, tapi yang terbesar adalah ketakutan apalagi ketika aku melihat wajah nenek yang tadinya tersenyum padaku berubah; berkerut tak karuan, matanya terbelalak memandangi dia yang sedang duduk disampingku.

Raut wajah nenek itu menampakan rasa sakit dan takut yang mendalam; tubuhnya bergetar hebat ketika dia perlahan berdiri, seakan tidak ingin makhluk ini tahu dia hendak pergi. Perlahan nenek itu berjalan mundur, matanya terus memandangi sosok petani berdarah dengan kain merah yang menutupi wajahnya - satu langkah, dua langkah, berbalik dan segera berlari ke arah kamar jenazah dan menghilang, menembus pintu yang bahkan tidak terbuka sedikitpun.

Aku hanya bisa menangis, membeku di tempat duduk dengan dia yang menemaniku.

Entah berapa lama aku duduk dan menangis di depan kamar jenazah, ketika aku tersadar matahari mulai terbit, menyinari sekelilingku dengan cahaya keemasannya. Mataku bengkak tidak karuan dan tubuhku amat sakit dan lelah.

"Mbak, ibunya sudah siap dibawa pulang," kata suster yang sama dengan tatapan ibanya yang membuatku tambah ingin menangis. "Mbak sudah booking mobil jenazah, belum?"

"Harus di booking dulu, ya, sus?" tanyaku dengan suara serak.

"Gak apa-apa, coba nanti saya bantu," suster berbaju biru itu menepuk pundakku dengan lembut. Yanti, nama yang tertulis di papan nama yang di peniti di dada sebelah kanan seragamnya.

Aku mengikuti suster Yanti ke lobi depan kamar jenazah dan menunggunya disitu sementara dia mengusahakan mobil jenazah untuk mama. Aku duduk di sebuah bangku kayu, di sampingku seorang anak perempuan duduk, tersedak tangis sambil memeluk foto seorang nenek. Aku memperhatikan lagi wajah tersenyum nenek di foto itu dan aku pun ikut tersenyum.

Itu foto nenek semalam yang tersenyum penuh damai padaku. Aku harap dia tidak terlalu takut dengan petani berdarah yang datang mengganggu tadi malam.

Suster Yanti benar-benar membantuku mendapatkan mobil jenazah untuk mengantarkan mama pulang ke rumah untuk yang terakhir kalinya. Aku pun duduk di belakang mobil bersama peti jenazah. Dalam perjalanan kembali ke Tangerang, tempat mama tinggal, aku baru teringat bahwa aku tidak mengabari siapa-siapa tentang kematian mama.

Aku mulai menelepon orang-orang yang aku tahu sangat dekat dengan mama: bapak Pendeta di gereja kami yang kemudian memberitakan pada seluruh jemaat dan tante Erlina Haryono yang langsung menangis ketika aku mengabarinya sambil bilang bahwa pagi ini dia sedang bersiap untuk menjenguk mama di rumah sakit. Erlina Haryono adalah pemilik perusahaan tempat mama dulu bekerja sebelum pensiun yang adalah juga sahabat karibnya.

Aku sempat berpikir kami akan tiba di rumah yang kosong dan sepi karena aku lupa mengabari orang-orang, tapi ternyata memang mamaku banyak di sayang, sehingga ketika kami tiba sudah banyak jemaat gereja, teman-teman kantor mama dan tetangga yang menunggu kepulangan sahabat mereka.

"Kamu yang sabar ya, Ra," aku ingat kata-kata tante Erlina untuk menghiburku dengan suara yang bergetar karena menahan tangis yang akhirnya pecah juga ketika matanya melihat lagi mayat mama yang terbaring membiru di dalam peti.

"Hidup mama kamu banyak rintangannya, Ra. Tidak muda membesarkan seorang anak sendiri, tapi dia begitu kuat dan bertekad. Mama kamu mulai bekerja sama tante di usia yang tidak muda. Dulu dia mulai sebagai pramusaji di cafe kecil tante, lama-lama akhirnya tante punya perusahaan dan mama kamu tante ajarin pembukuan sampai akhirnya dia jadi manajer accounting ketika perusahaan tante mulai sukses. Kami bisa di bilang bertumbuh bersama, Ra. Mama kamu orang paling jujur, tante percaya banget sama dia. Tante bangga bisa berteman dengan mama kamu," katanya lagi di sela-sela tangisannya.

Detil kecil kehidupan masa lalu mama yang tidak pernah aku ketahui. Aku tahu mama melahirkanku di usia yang tidak muda lagi, 40 tahun, tapi aku baru tahu kalau dia juga baru bekerja sama tante Erlina di usia yang sama. Apa mungkin tante Erlina tahu kebenaran tentang ayahku?

"Mama pernah cerita sama tante tentang ayahku, gak?" tanyaku mencoba peruntungan meski aku sangsi dia tahu rahasia itu, namun sedikit harapan dalam hatiku membuatku tetap mencoba. 

Tante Erlina memandangku, tersenyum lalu memalingkan wajahnya menatap mayat mama.

"Tante gak tahu, Laura. Tapi kalau mama kamu gak pernah mau cerita mungkin sebaiknya kamu relakan saja. Ada rahasia yang lebih baik di bawa ke liang lahat," katanya setengah berbisik dan tanpa menunggu lagi segera menutup pembicaraan kami dan pergi mendekati bapak Pendeta yang akan memulai ibadah pemakaman.

Sore itu, pukul 4 ketika sinar matahari mulai melembut, kami semua mengantarkan mama ke tempat perisitirahatannya yang terakhir. Mama begitu beruntung mempunyai banyak teman yang sangat menyayanginya, yang menangisinya ketika peti jenazahnya perlahan-lahan diturunkan ke liang lahat.

Aku menaburkan tanah ke atas peti mama, merasa begitu kesepian dan kehilangan.

"Laura, kalau perlu apa-apa telepon tante ya," kata tante Erlina sebelum pergi.

Tubuh ringkih tante Erlina di tuntun oleh mas Aryo, anaknya yang paling tua. Melihat mas Aryo lagi membangkitkan perasaan benci dan dendam yang sangat besar di hatiku. 

Aku memalingkan pandanganku kembali ke liang kuburan mama dan berdiri terpaku memandangi peti jenazah yang perlahan-lahan mulai hilang dari pandangan, tertutup tanah.

Inilah akhirnya; mama pergi membawa cerita tentang ayahku bersamanya, persis seperti yang selalu mama janjikan: aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati, mama terus berkata ketika aku memintanya untuk bercerita tentang ayah.

Terpopuler

Comments

awal yang penuh misteri.

2024-01-16

1

Hazizah Ghani

Hazizah Ghani

laura sungguh tabah

2022-07-02

0

Kustri

Kustri

Sebrengsek apa smp sakit hati di bw mati, kasian Laura

2022-02-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!