CHAPTER 19

"Mbak Rani, tadi Adit cerita tentang pembicaraan kalian di gazebo," kata Rosa saat kami hanya tinggal berdua setelah makan malam.

Tante Nona telah lama pulang kembali ke rumahnya, dan aku sedang mengumpulkan piring kotor untuk dicuci sehabis kami makan.

Aku tertegun, tidak tahu harus bilang apa. Untunglah, aku tidak harus bilang apa-apa karena Rosa kemudian melanjutkan.

"Aku percaya sama cerita mbak Rani."

Mendengar perkataan Rosa aku terkejut dan ada sedikit perasaan senang dalam hatiku karena setidaknya ada orang yang mempercayaiku. Atau, apakah Rosa juga diam-diam mengalami hal yang sama?

"Apa kamu pernah mengalami hal yang aneh di rumah ini, Ros?"

"Puji Tuhan, belum pernah, mbak. Mungkin aku gak sensitif atau kurang peka terhadap sekitarku," Rosa mendesau. "Aku ingat guru SD-ku di Amsterdam dulu pernah bilang ke mama dan papa kalau aku anaknya tidak peka dengan sekelilingku. Menurutnya aku agak sedikit keterbelakangan, otakku tidak cepat tanggap seperti anak-anak kebanyakan..."

"Rosa, kamu jangan dengarkan orang seperti itu," kataku merasa sangat sedih mendengar cerita Rosa.

Orang-orang di sekeliling wanita itu selalu saja menjatuhkan dirinya, tidak gurunya, mertuanya bahkan orang tuanya sendiri! Aku mengerti sekarang kenapa Adit agak kesal padaku yang memang sedikit meremehkan keberanian Rosa.

"Ah, tidak masalah, mbak! Itu sudah lama terjadi," Rosa menyentuh pundakku dengan lembut. "Aku hanya ingin mbak merasa betah tinggal di sini seperti aku, Nining dan Adit. Kalau memang yang diperlukan adalah ibadah pemberkatan rumah, maka itulah yang akan kita lakukan. Memang kalau hanya mengandalkan Lukas, rumah ini tidak akan pernah dimasuki doa!"

Kami berdua tertawa. Ya, ibadah dan doa memang tidak pernah menjadi fokus utama Lukas. Kadang aku dan Adit sering bercanda bahwa Lukas akan masuk neraka lewat jalur VIP!

"Rosa dan Adit senang, kok kalau ada ibadah di rumah ini," kata Rosa lagi.

"Adit sepertinya agak kesal dengan mbak, ya? Mbak kayaknya salah ngomong tadi tentang kamu, Ros. Mbak minta maaf, ya." 

"Gak mbak, aku tahu kok, maksud mbak itu baik. Mbak mau melindungi aku sama Nining. Aku juga mungkin kalau mengalami hal yang sama kayak mbak, pasti takut." terlihat sedikit garis kekhawatiran muncul dalam ekspresi wajah Rosa.

"Semua akan baik-baik saja, mbak. Bukankah ada tertulis di Alkitab kalau manusia lebih mulia daripada iblis?" lanjut Rosa.

"Benar, Ros!" kataku dengan mantap.

Rosa tersenyum simpul sebelum dia pergi meninggalkanku untuk melanjutkan pekerjaanku mencuci piring.

Malam itu aku terbangun oleh suara tawa anak-anak yang terdengar begitu jauh, seperti dari lantai atas. Aku berpikir apa mungkin Nining belum tidur? Tapi, tawa itu begitu aneh karena terdengar datangnya dari banyak anak-anak.

Mungkin mereka sedang tertawa dalam kegelapan...

Aku berdoa dalam hati agar diberi keberanian dan kekuatan oleh Tuhan untuk melewatkan beberapa malam lagi sebelum rumah ini diberkati. Aku mungkin akan terus berdoa dan mengacuhkan suara tawa yang semakin lama semakin kencang dan nyata kalau bukan karena suara tertawa renyah Nining yang terdengar di antaranya.

Terdiam, aku merasa tenggorokanku kering saat aku mencoba berkonsentrasi membedakan suara tawa Nining. Sekarang aku yakin memang yang kudengar adalah suara tawa gadis kecil itu. Dengan perasaan takut namun mantap aku bangun dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar yang ternyata mati - sungguh, listrik di kampung ini sama sekali tidak bisa diandalkan! - mencari lampu minyak dan korek api sambil terus melafalkan doa Bapa Kami dalam hatiku.

Aku membawa lampu minyakku, membuka pintu kamarku perlahan sambil terus berusaha fokus untuk tidak terlalu takut dan jangan sampai aku melupakan doa Bapa Kami yang berulang-ulang kuucapkan. Aku terpaku di depan pintu kamarku, menyinari sekeliling dengan cahaya lampu minyak, memastikan tidak ada hal yang aneh berdiri di sampingku.

Tiba-tiba suara pintu belakang yang ditutup perlahan mengagetkanku; tubuhku menegang, nafasku tercekat. Kepalaku seakan tidak lagi terhubung dengan pikiranku; aku terus menguatkan diriku untuk tidak melihat kebelakang tapi kepalaku seperti berada di luar kendaliku seraya pandanganku berputar ke arah pintu belakang.

Tidak ada apa-apa!

Dengan langkah yang tidak pasti dan gemetaran aku mendekati pintu belakang dan mencoba untuk membukanya. Terkunci! Aku bernafas lega. Suara tadi pasti hanyalah khayalanku saja karena aku terlalu takut.

Aku pun kembali mengucapkan doa Bapa Kami dan berjalan menaiki tangga ke lantai 2. Suara tawa terdengar jelas datangnya dari kamar di lantai atas, dan aku yakin itu adalah suara tawa Nining. Perlahan aku menaiki anak tangga; dinginnya ubin lantai terasa di telapak kakiku, ritme deru ombak terdengar jauh.

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya; angin dingin menyapu sekujur tubuhku, cahaya lampu minyak yang kubawa menari diterpanya. Tusukkan dinginnya menyentuh kulitku, membuatku gemetaran. Dari dalam angin aku merasa mendengar suara yang berseru "mapule!"

"Mapule!" seru suara itu lagi, kali ini suaranya serak dan lemah, seperti yang pernah kudengar entah di mana. Suara itu terdengar familiar.

Aku tahu ini bukanlah sesuatu yang normal - aku sedang mengalaminya - satu lagi pengalaman aneh di rumah ini. Jantungku berdetak kencang ketika aku menyadarinya, ketakutan mencengkram hatiku dan doa Bapa Kami pun buyar dari mulutku. Aku merasa gagal, imanku mungkin tidak sekuat yang kukira.

Air mata menggenang ketika aku membuka pintu kamar Nining dan menemukan gadis kecil itu sedang tertidur nyenyak di balik selimutnya. Perutnya naik turun dengan ritme yang teratur menandakan dia sedang tertidur pulas. Mana mungkin? Baru beberapa detik yang lalu aku jelas-jelas mendengar tawanya bergema di lorong menuju kamarnya.

Aku mendekati Nining dan membelai rambutnya, memastikan itu benar dia. Ya, itu Nining. Aku mencium keningnya sebelum kembali ke kamarku. Entah kenapa, dengan semua rasa takut itu aku tetap saja keluar dari kamar Nining, masuk ke dalam kegelapan lorong di lantai 2, sungguh berniat kembali ke kamarku.

Ketika aku menginjakkan kaki keluar kamar, aku merasa sesak layaknya aku sedang berada di sebuah gerbong kereta yang penuh. Aku merasa begitu banyak orang di sekelilingku tapi, ketika lampu minyak ku angkat untuk menyinari sekeliling; kosong! Tidak ada apa-apa selain pintu-pintu kamar yang tertutup rapat.

Aku menguatkan diriku untuk terus menyusuri lorong yang gelap sambil sesekali merasa kesal pada Lukas yang menempatkan kamar utama di bagian paling ujung, paling jauh dari tangga dan menempatkan kamar Nining tepat di sampingnya. Begitu panjangnya kegelapan yang harus kutembus untuk kembali.

Sesekali aku menoleh kebelakang, setiap kali aku melakukannya, jantungku berdegup kencang, was-was kalau akhirnya aku akan bisa melihat sosok yang mengitariku, menyesakkan lorong ini.

Kosong!

Doa Bapa Kami tidak pernah putus kulafalkan.

Saat aku hampir mencapai ujung landasan tangga, aku berpikir aku mendengar suara desisan ular. Apakah ada ular di dekatku? Gemetaran, aku menyinari lantai dan sekitarku tapi lagi-lagi kosong! Aku menggenggam pegangan lampu minyakku dengan kencang sambil terus berdoa. Aku sangat yakin ada ular di dekatku; desisannya terdengar tepat di telingaku!

Dengan cepat aku menuruni tangga, suara desisan itu mengikutiku, terdengar jelas di telinga kananku; apa mungkin ular-ular itu merayap di dinding? Tanganku gemetaran tidak karuan tapi kakiku terus berlari menuruni tangga dan suara desisan ular pun semakin lama semakin kuat.

Aku terus berlari sampai akrhinya aku sampai ke kamarku. Selamat! Aku langsung berlutut di samping tempat tidurku dan berdoa.

Aku terbangun pagi-pagi sekali dengan badan yang pegal karena ternyata aku tertidur sambil berlutut. Sinar matahari pucat mulai merayap masuk ke dalam kamarku yang gelap dan dingin. Aku bernapas lega, bersyukur karena sehari lagi aku masih bisa terbangun.

Setelah berdoa pagi, aku berinisiatif untuk pergi ke rumah tante Marice. Aku ingin sekali untuk menuangkan ceritaku padanya dan meminta bantuannya. Setelah berapa lama aku menyimpan sendiri pengalamanku, aku seakan tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Mungkin agak tidak sopan bertamu pagi-pagi sekali tapi, aku pikir tante Marice tidak akan keberatan.

Udara pagi ini begitu dingin, aku pun memakai jaket yang sedikit lebih tebal dari biasanya. Air laut masih pasang, ombak menerpa rumput hijau di halaman depan yang mulai menguning karena selalu terpapar air asin; sebentar lagi rumput di bagian ini akan mati, pikirku.

Aku segera mendekati palang tempat perahu kecil kami ditambatkan. Dengan kuat aku menarik perahu itu mendekat, melepaskan ikatan talinya, menaiki perahu dan mendayung perlahan ke arah kampung. Beberapa meter menjauh dari rumah, aku berpapasan dengan tante Nona yang baru saja datang dari kampung, mendayung perahunya dengan santai.

"Mau kemana pagi-pagi, mbak Rani?" sapanya dengan suara setengah berteriak.

"Mau ke rumah tante Marice!" jawabku sambil terus mendayung.

"Pak Adit dan bu Rosa sudah bangun?"

"Belum!" jawabku singkat sembari perahu kecilku berlayar melewati batu besar, menghilang dari pandangan.

Rumah tante Marice begitu apik dan bersih. Setelah sekian lama aku tinggal di kampung ini, aku baru menyadari kalau aku belum pernah bertamu di rumanya.

Halaman depan rumah tante Marice begitu bersih dan terawat; bunga bougenville berwarna putih dan merah jambu tumbuh lebat di sisi kiri dan kanan pagar bambu, bunga-bunga berwarna cerah yang tidak kuketahui namanya juga banyak tumbuh subur di halamannya menambah cantik rumahnya.

Rumah tante Marice kecil dan terbuat dari kayu, catnya sudah banyak terkelupas dan memudar namun keadaannya yang bersih dan tertata rapi membuat kesan antik bukannya kumuh. Aku mengetuk beberapa kali barulah dibukakan, rupanya tante Marice sedag berada di dapur dan tidak mendengar ketukanku pertama kali.

"Eh, mbak Rani, ayo masuk!" ajak tante Marice.

Dia menuntunku masuk ke area dapur. Bau wangi kayu bakar dan asinnya laut tercium menyeruak di dalam rumah tante Marice. Dia menunjukkan sebuah bangku kayu di depan meja makan dan mengisyaratkanku untuk duduk sementara dia menyeduh teh.

"Ah, meja janda, jadinya kecil," kata tante Marice yang kerepotan mengatur teh dan kue yang disajikannya untukku di meja persegi kecil - meja makannya.

"Bisa aja tante Marice," aku tertawa kecil.

"Ayo diminum! Kemarin malam saya memanggang kue brudel, ayo dicoba!" ajak tante Marice sambil memotong kue berbentuk bulat yang ditaburi banyak kismis di atasnya.

"Ada apa nih, mbak Rani?" tanyanya setelah puas menjamuku.

"Aduh saya bingung mau mulai dari mana," aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana bercerita agar tante Marice menganggapku serius.

"Coba mulai dari awal," katanya lagi sembari berdiri dan membuka 2 buah daun jendela di samping kami. Angin segar dan bunyi ombak menyeruak masuk ke dalam ruangan dapur. Lautan nan biru menjadi pemandangan indah dari tempatku duduk.

"Dari awal, ya. Hmm...ya, sejak awal saya tinggal di villa ini, saya merasa ada sesuatu yang janggal di sini, tante Marice," mulaiku.

Cangkir yang hendak di dekatkan ke mulut tante Marice terhenti seakan seseorang baru saja menekan tombol pause dan menghentikan gerakan tangan ibu itu.

"Janggal gimana?" tanya tante Marice.

Tidak disangka betapa mudahnya cerita itu meluncur dari mulutku, seakan kami sedang berkumpul di depan api unggun dan bertukar cerita seram. Beberapa kali aku terdiam, meyakinkan diriku bahwa yang kuceritakan adalah nyata bukan karangan semata tidak perduli sekonyol apapun hal itu terdengar.

Awalnya tante Marice hanya mengangguk santai ketika mendengarkan cerita penampakan perempuan hamil dan anak-anak yang beberapa kali kualami. Mungkin cerita seperti ini sudah pernah didengarnya ratusan kali jadi, hal seperti ini bukanlah hal yang terlalu menyeramkan untuknya. Namun, ketika aku menyebut nama Opo Nedaha, tante Marice tiba-tiba tersedak teh yang sedang dia seruput dan cangkirnya jatuh di meja, menumpahkan isinya.

"Maaf!" guman tante Marice, menyibukkan dirinya untuk mengelap meja.

"Mbak, kamu yakin melihat sosok petani berdarah? Apa mungkin kamu hanya tersugesti cerita orang? Mungkin kamu terbawa cerita ibu Vanda?" kata tante Marice setelah mejanya bersih kembali.

"Tante Marice, saya awalnya tidak tahu apa yang saya lihat itu Opo Nedaha atau tidak. Saya selalu melihatnya tapi, kalau saya bertanya sama ibu-ibu yang lain mereka tidak mau bilang ke saya. Baru kemarin saya tahu tentang Opo Nedaha dan memang, ibu Vanda yang menceritakannya. Saya berani bersumpah, tante Marice, saya sering lihat sosok itu bahkan sebelum ibu Vanda memberitahu saya kalau itu sosok Opo Nedaha!"

Seketika itu wajah tante Marice terlihat pucat pasi dan ketakutan.

"Apakah pertanda buruk kalau saya melihat Opo Nedaha? Kenapa tante terlihat sangat takut?"

Tante Marice terlihat memaksakan sebuah senyuman. "Ah, tidaklah, mbak Rani. Asalkan kita banyak berdoa, Tuhan pasti melindungi. Makhluk dari dunia itu tidak akan bisa menyakiti kita."

"Saya sama Adit dan Rosa sudah sepakat mau mengundang pendeta Roki untuk menyelenggarakan ibadah pemberkatan rumah."

"Iya! Itu ide yang bagus! Ayo, kita konsultasi ke pendeta Roki! Sekarang saja, dia pasti sedang sarapan di rumah. Biasanya setelah sarapan dia pergi kunjungan nanti kembalinya saat jam makan siang," tante Marice menuntunku kembali ke pintu depan. "Ayo cepat, mbak Ran, nanti keburu dia pergi!"

Aku dan tante Marice pun berjalan dengan cepat ke arah rumah pendeta Roki yang terletak di belakang gereja. Ketika kami tiba, pendeta Roki dan keluarganya - istri dan kedua anak perempuannya - sedang duduk mengitari meja makan bulat. Sepiring nasi goreng dan segelas teh berada di depan mereka masing-masing.

"Mbak Rani, tante Marice, ayo sarapan!" ajak ibu Ine, istri pendeta Roki.

"Ah, gak usah repot-repot, bu. Saya mau bicara sebentar dengan pak pendeta saja kalau tidak keberatan," kataku.

"Oh ya, ada apa, mbak? Ayo kita bicara di ruang tamu," ajak pak pendeta.

"Gini pak, saya, Adit dan Rosa perlu berkonsultasi tentang sesuatu dengan pak pendeta," kataku memulai.

"Oh ya, tentang apa, mbak Ran?"

"Aduh, saya rasa Adit dan Rosa harus ikut juga, ya biar enak ngomongnya. Jam berapa kami bisa datang lagi, pak? Saya dengar dari tante Marice pak pendeta biasanya tidak ada di rumah sampai jam makan siang."

"Saya hari ini mau kunjungan ke kampung sebelah. Saya saja datang ke villa setelah selesai kunjungan," pak pendeta melihat jam bulat yang di gantung di dinding di samping gambar Yesus yang sedang berdoa. "Kira-kira jam sebelas saya nanti singgah ke villa."

"Baik, pak!" kataku dengan penuh semangat.

"Kalau boleh tahu masalah apa ya, mbak Ran? Singkat saja, biar saya bisa ada persiapan."

Aku ragu-ragu, takut pendeta Roki berubah pikiran dan tidak mau datang karena mengira aku hanya mempermainkannya.

"Dia mau konsultasi tentang ibadah pemberkatan rumah," terang tante Marice. "Mbak Rani merasa ada sesuatu yang aneh di rumahnya dan mau pak pendeta mengusirnya."

"Hmm...jujur saja, mbak Ran, saya belum pernah menghadapi masalah seperti ini. Ibadah pemberkatan rumah memang biasanya diselenggarakan pada saat sebuah rumah selesai dibangun dan penghuninya mau menempati rumah itu. Ibadah itu semacam pencegahanlah agar roh-roh jahat tidak masuk dan menempati rumah tersebut tapi, untuk pengusiran saya belum punya pengalaman."

"Terus terang, mbak Ran, warga sini kebiasaan kalau sudah terlanjur diganggu," pendeta Roki membuat gestur seperti sedang mengutip ketika mengucapkan kata 'diganggu'

"Mereka kebiasaannya langsung minta tolong ke Opo Lao di kampung sebelah. Saya selalu mengingatkan mereka untuk tidak melawan roh jahat dengan roh jahat juga, melainkan kita harus mengundang Roh Kudus untuk masuk ke dalam hati dan rumah kita tapi, memang susah kalau menegur mereka. Saya salut dengan mbak sekeluarga karena lebih dahulu mencari Tuhan bukannya dukun."

Pak pendeta Roki berdiri hendak menghantarkan kami ke pintu depan. "Mbak Rani, saya berjanji akan membantu mbak sekeluarga semampu saya. Tuhan pasti menolong kita. Dia tidak akan menelantarkan anak-anakNya, saya pegang teguh janji-Nya itu," pendeta Roki menjabat tanganku dengan kuat sebelum membukakan pintu.

Tante Marice pun berjanji akan ikut konsultasi dengan pendeta Roki jam 11 nanti. Perasaan lega seperti sedang melihat secercah cahaya di ujung lorong yang gelap menyelimuti diriku. Akhirnya keselamatan datang menghampiriku. 

Terpopuler

Comments

Evan Dirga

Evan Dirga

tante Marice pasti tau sesuatu tentang Opo Nedaha. kenapa ditutupi ? akan berbahaya kalau ternyata ada kejahatan terselubung dibalik mitos Opo Nedaha.

2024-01-21

0

Momo R

Momo R

mungkin kah penulis beragama non islam. jdi bagi kami yg islam sama skli gk paham, tapi ckup menarik utk dibca

2022-12-03

0

Kustri

Kustri

Bener,, roh jahat hrs dilawan dgn yg baik

2022-02-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!