CHAPTER 9

Selepas mereka pergi, aku kembali lagi ke dalam rumah dan mencari tante Nona untuk menawarkan bantuanku melakukan pekerjaan membersihkan rumah. Aku menemukan tante Nona di bagian belakang sedang mencuci pakaian dan segera menawarkan bantuanku untuk menyapu dan mengepel ruangan tapi ditolak olehnya yang malah menyuruhku untuk pergi tidur siang.

Aku yang memang saat itu sudah mulai mengantuk dengan senang hati menuruti perkataan tante Nona. Meski ada rasa bersalah dan perasaan tidak enak untuk tidur karena jam masih menunjukkan pukul 10 pagi (dari kecil aku selalu dilarang untuk tidur di pagi hari karena menurut ibu orang yang tidur jam segitu adalah seorang pemalas) namun ketika kepalaku menyentuh bantal rasa kantuk langsung mengalahkanku dan aku pun tertidur pulas.

Sayup-sayup terdengar suara pintu kamarku berdecit dan langkah kaki anak-anak terdengar melompat-lompat masuk ke dalam kamarku. Aku begitu mengantuk, sangat susah sekali untuk membuka mataku.

Mataku terbuka sedikit dan aku melihat seorang anak perempuan berbaju merah melompat-lompat di depan tempat tidurku. Aku pikir itu mungkin Nining yang sudah kembali dan berusaha untuk membangunkanku. Karena rasa kantukku yang begitu hebat aku tertidur lagi dan kali ini suara tawa anak-anak terdengar nyaring di telingaku.

Aku kembali berusaha membuka mataku; pandanganku masih kabur karena tertidur dan aku melihat lagi anak yang tadi berlarian di depan mataku, kadang dia akan berhenti seperti bisa melihat mataku yang sedikit terbuka dan memandangku, melambaikan tangannya seperti ingin membangunkanku. Aku bisa melihat tangan anak itu yang berwarna kebiruan tapi wajahnya selalu tersembunyi oleh titik kabur di mata mengantukku.

Aku benar-benar berpikir anak itu adalah Nining yang berusaha membangunkanku. Rasa kantuk sungguh mengalahkanku dan aku pun kembali tertidur.

Aku akhirnya bangun dengan perasaan yang tidak enak dan pikiran yang masih kocar-kacir karena tidur siang. Aku segera keluar kamar dan mencari Nining tapi, rumah terasa kosong dan sunyi. Aku naik ke lantai 2 berharap melihat Nining, Adit dan Rosa sedang tidur siang tapi kamar mereka kosong.

Sayup-sayup terdengar suara orang menyanyi dari bawah, kuikuti suara itu sampai ke belakang rumah dan menemukan tante Nona sedang menjemur pakaian sambil menyanyi lagu-lagu gereja.

Ternyata memang Adit sekeluarga belum pulang dari jalan-jalan mereka bahkan jam masih menunjukkan pukul 10.45 ketika aku terbangun padahal aku merasa aku sudah begitu lama tertidur!

Aku berpikir mungkin inilah kenapa tidur pagi itu dilarang; hal-hal aneh yang terasa nyata akan mengganggu tidur dan membuatku merasa tidak enak hati ketika terbangun.

Karena tante Nona bersikeras tidak ingin dibantu aku pun memutuskan untuk duduk-duduk di gazebo sambil membaca buku pengetahuan dunia yang Adit hadiakan untukku ketika aku berulang tahun paskah kemarin.

Suasana disekitarku begitu tenang;  terdengar suara deru ombak seperti mengelilingiku meskipun dengan jelas bisa kubedakan suara ombak yang mendayu dari depan dan suara ombak bergemuruh dari balik dinding. Sesekali bunyi gesekan rumput yang tertiup angin dari hutan Kehu Marange menemani gemuruh ombak - kadang bunyinya terdengar seperti suara langkah kaki orang.

Beberapa menit berlalu ketika mataku menangkap sebuah pergerakan di rumput depan gazebo; sekor ular hitam! Aku tidak tahu pasti apakah itu ular yang sama dengan yang kulihat di sungai kemarin yang jelas aku sama ketakutannya ketika melihat binatang itu perlahan melata melewati depan gazebo tempatku duduk.

Aku menahan nafasku, takut kalau aku terlalu nyaring bernafas, ular itu akan menyadari keberadaanku dan melata ke arahku. Untunglah, meski dengan perlahan ular itu mulai menjauhi gazebo. Kulitnya terlihat licin dan berwarna hitam pekat berkilau di bawah sinar matahari yang terik. Aku berdiri terpaku, sangat takut dan terus memandangi ular itu sampai akhirnya tidak bisa lagi kulihat dia yang melata menuruni batas villa sampai ke pinggir pantai.

Setelah melihat ke rumput di sekelilingku dan yakin bahwa tidak ada lagi ular di dekatku, aku segera berlari mencari tante Nona dan menceritakan padanya tentang ular yang aku lihat.

"Oh iya, tidak apa-apa," kata tante Nona dengan santai. "Dia pasti turun dari situ," katanya lagi sambil menunjuk ke arah tebing tinggi yang di penuhi pepohonan dan rumput tinggi di samping villa.

Tante Nona kembali meneruskan pekerjaannya menyapu. "Tidak apa-apa, mbak Ran, ular di sini tidak berbisa."

"Bukan masalah bisanya sih tante tapi, bahaya kan kalau ada ular dekat rumah," bantahku karena memang yang kupermasalahkan adalah ularnya, tidak peduli apakah hewan itu berbisa atau tidak.

"Ular itu akan selalu ada tidak peduli berapa kali kepalanya di potong. Tidak apa-apa, mbak, dia tidak akan gigit, kok," tante Nona mengakhiri percakapan kami dan segera pergi ke ruang keluarga untuk melanjutkan pekerjaannya membereskan rumah.

Aku bergidik mendengar perkataan tante Nona. Apa maksudnya itu? Apakah maksudnya ular itu abadi dan tidak bisa mati? Ataukah karena banyak ular yang tinggal di daerah ini maka tidak akan habis jumlahnya meski mereka dibunuh satu per satu? Pilihan pertama terlalu konyol memang, jadi aku lebih memilih untuk berpikir kalau maksud tante Nona adalah jumlah ularnya terlalu banyak untuk di bunuh.

Awalnya aku ingin mengajak tante Nona untuk mencari ular itu, siapa tahu dia melata ke sarangnya. Aku berencana untuk meminta Adit memindahkan sarang ular itu jauh-jauh dari villa agar Nining aman ketika bermain di taman. Namun, tanggapan tante Nona yang cuek dan malah menakutkan membuatku mengurungkan niatku dan lebih memilih untuk langsung mengajak Adit mencari sarang ular itu nanti.

Sepanjang sisa hariku, kuhabiskan dengan membaca buku di ruang keluarga sementara tante Nona sibuk bekerja mengurusi rumah. Aku merasa sangat tidak enak dan beberapa kali menawarkan bantuanku tapi selalu ditolak dan terakhir kalinya tante Nona malah marah dan menolak dengan keras karena menurutnya Lukas dan Adit berpesan padanya untuk tidak membiarkanku bekerja di hari liburku.

Betapa perhatiannya mereka padaku. Inilah yang kadang membuat nyonya Subroto iri padaku karena menurutnya rasa sayang anak-anaknya sudah kuambil semua. Di satu sisi aku turut prihatin pada nyonya Subroto tapi di sisi lain aku sangat bahagia karena aku tahu aku membesarkan anak-anak yang sukses dan baik hati dan mereka begitu menyayangiku; hanya mereka yang secara tulus menyayangiku.

Lamunan tanpa kusadari menghanyutkanku, mataku menatap lautan luas dari jendela besar di belakang sofa tempatku duduk; indahnya pemandangan ini seperti melihatnya dari balik televisi tapi yang ini aku bisa langsung berjalan keluar rumah dan benar-benar menikmatinya.

Dari jauh aku melihat perahu dayung yang semakin lama semakin nampak jelas. Beberapa menit berlalu dan perahu itu semakin terlihat mendekat, didalamnya duduk Adit, Rosa, Nining, pak Yusuf dan Yohanes yang sedang mendayung. Aku berpikir untuk pergi ke pinggir pantai dan menyambut mereka tapi malu dengan Yohanes.

Setelah beberapa menit tarik ulur dengan perasaanku yang konyol, aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke pinggir pantai dan menyambut mereka. Ketika aku keluar dari pintu depan, perahu yang membawa Adit sekeluarga baru saja ditambatkan; Yohanes dan pak Yusuf membantu Rosa dan Nining untuk turun.

Nining memeluk pak Yusuf dengan hangat layaknya seorang cucu memeluk kakek kandungnya sebelum berlari dengan senangnya kearahku. Hilang sudah ketakutannya terhadap teman hitam pak Yusuf yang sedari pagi dia rasakan. Aku memeluk Nining dan hendak masuk ke dalam rumah berpikir Adit dan Rosa mengikutiku dari belakang ternyata mereka berdua masih mengobrol di pinggir pantai dengan pak Yusuf sementara Yohanes berlari kecil kearahku dan memanggil namaku.

"Ran, habis ini kamu ke ibadah pra-natal di gereja, kan?" tanya Yohanes ketika dia sudah berhadapan denganku.

"Oh iya, mas," kataku malu-malu. Aku merasa pasti pipiku sudah memerah saat itu.

"Jangan panggil mas dong, panggil aja Yohanes," senyumnya begitu lebar dan ceria.

"Iya," kataku singkat lalu terdiam terlalu malu untuk berbicara lagi dan sejujurnya lidah ini masih keluh untuk menyebut namanya.

Aku dan Yohanes hanya berdiri terdiam, kadang saling pandang, kadang berpura-pura melihat rumput di kaki kami, tidak ada lagi yang kata yang keluar dari mulut kami. Tidak lama kemudian pak Yusuf memanggil Yohanes untuk pulang.

"Sampai jumpa di gereja, ya," kata Yohanes dengan senyum cerianya sebelum dia pergi.

Dia meninggalkanku dengan sebuah senyuman yang entah kenapa kuyakini adalah senyuman tulus dan bukanlah senyuman menggoda atau lucu-lucuan orang iseng. Apakah dia menyimpan perasaan padaku?

Tentu tidak mungkin!

Malu jadinya aku kalau ada orang yang membaca buku harian ini. Apalagi ketika aku menyadari di lubuk hatiku yang paling dalam aku senang menerima perhatian dari Yohanes.

Terpopuler

Comments

Evan Dirga

Evan Dirga

benih benih cinta mulai tumbuh.

aku rasa Yohannes adalah ayah Laura. tapi apa yang membuat Rani merahasiakannya dari Laura ?

2024-01-19

0

Richa Rostika

Richa Rostika

mulai bucin tuh...

2021-01-27

1

Isnaaja

Isnaaja

prikitiwww,,,😁

2021-01-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!