CHAPTER 10

Jam sudah menunjukkan pukul 4.45 sore ketika aku, Adit, Rosa, Nining dan tante Nona menaiki perahu kecil kami untuk pergi ke ibadah pra-natal di gereja. Tante Nona menyuruh kami untuk pergi duluan bersama tante Marice yang sudah menunggu di pinggir pantai sementara dia kembali ke rumahnya untuk mandi dan berganti baju.

Jarak dari pinggir pantai ke gereja sangat dekat, hanya beberapa meter saja. Di perjalanan kami melewati rumah oma Maria dan dengan takut aku menoleh kearah rumahnya dan melihat nenek tua itu sedang duduk di kursi goyang di teras depan sambil mengguman sendiri, matanya menengadah ke plafon, menerawang entah sedang melihat apa. Lingkaran obat nyamuk di bakar di samping kursi goyangnya.

"Sore, oma Maria!" sapa tante Marice.

Nenek tua itu tidak bergerak dari kursi goyangnya meski mata yang tadinya seperti sedang menerawang seketika tersadar dan melihat kearah kami, menyadari keberadaan kami. Jantungku berdetak kencang takut dia akan berlari kearah Adit dan membuat keributan seperti hari kemarin, tapi beberapa detik berlalu dan matanya kembali menerawang dan dia kembali berguman pada dirinya sendiri sementara kami melanjutkan perjalanan ke gereja.

Di undangannya tercetak bahwa ibadah akan di mulai pukul 5 sore tapi, kenyataannya jam sudah mulai menunjukkan pukul 6 dan belum ada tanda-tanda dimulainya acara. Bangku-bangku di gereja sudah mulai penuh dan orang-orang yang duduk di belakangku terdengar mulai gusar.

Kami sekeluarga duduk sebaris bersama tante Marice yang duduk di samping kiriku dan anak bungsu oma Maria yang bernama Lusye di samping kanan dekat jalan. Namun, tidak lama duduk di sampingku, Yohanes tiba-tiba datang dan berbicara sesuatu pada gadis itu yang kemudian meninggalkan tempat duduknya dan berpindah ke belakang, tempat teman-temannya duduk.

"Sudah lama sampenya, Ran?" kata Yohanes memulai pembicaraan sembari duduk di sampingku.

"Iya, nih, kok belum di mulai, ya ibadahnya?" kataku mencoba untuk tetap tenang padahal jantungku berdetak begitu kencang berada sangat dekat dengan Yohanes.

"Pendeta Roki lagi memperbaiki wig-nya kali," jawab Yohanes sambil cekikikan.

"Wig apa sih?"

"Nanti deh kamu lihat sendiri,"

"Kenapa wawu? Cepat sekali pulangnya," pergerakan badan tante Marice yang menghadap kebelakang menarik perhatianku.

Tante Marice sedang berbicara dengan seorang wanita hamil yang selalu dia panggil dengan sebutan wawu. Wanita itu terlihat hendak pulang dan merelakan tidak ikut ibadah pra-natal karena ada sesuatu yang membuatnya kesal.

"Itu kenapa, tante Marice?" tanyaku ketika wanita hamil yang tadi sudah pergi bersama seorang pria yang kuduga adalah suaminya.

"Oh itu Moren, dia mau cepat pulang," terang tante Marice

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Biasalah ibu hamil, tidak suka keluar malam," jawab tante Marice lagi dengan santai.

"Dia takut diculik opo nedaha!" sambung seorang gadis.

"Hus! Kamu nih, jangan aneh-aneh, ah," hentak tante Marice.

"Apa itu opo nedaha?" tanyaku bingung.

"Itu..." mulai gadis yang tadi. Terlihat dia ragu-ragu untuk melanjutkan, entah apa dia takut atau tidak tahu cara menjelaskannya?

Gadis itu terus menatapku sambil menggerakan jarinya, membuat gestur agar aku mendekat.

"Pencari tumbal," bisik gadis itu di telingaku.

Jantungku seakan mau copot dan bulu kudukku meremang ketika kata-kata itu menyentuh telingaku. Seketika itu juga perasaanku menjadi sangat tidak enak, rasanya ingin segera kembali ke Jakarta.

"Dasar anak-anak!" seru Yohanes santai. "Jangan dengarkan, Ran, itu hanya cerita konyol anak-anak."

Aku tersenyum simpul pada Yohanes sambil mencoba menenangkan hatiku. Kenapa kata-kata sesederhana itu bisa membuat perasaanku jadi berkecamuk ketakutan?

Untunglah tidak lama kemudian pak Pendeta akhirnya berdiri di depan mimbar dan ibadah pun dimulai. Gema lagu rohani, terlebih lagu natal yang ceria dan penuh harapan membuat hatiku tenang dan damai. Kata-kata mengerikan itu pun hilang dari pikiranku.

Aku akhirnya tahu maksud Yohanes dengan wig pak pendeta dan memang tampilannya sangat lucu. Rambut wignya terlihat plastik dan sangat tebal, tidak terlihat natural. Menurut cerita Yohanes pernah ketika pak pendeta sedang berkhotbah angin kencang bertiup dan wignya terangkat. Jemaat sampai sakit perut menahan tawa. Sangat lucu!

Aku dan Yohanes banyak mengobrol dan bercerita hari itu. Aneh juga, karena semakin kami mengobrol, semakin tenang hatiku dan perasaan grogi dan malu yang kurasakan perlahan hilang diganti dengan keinginan untuk terus mengobrol dan bersama dengannya. Apakah aku salah punya perasaan seperti ini pada seorang pria yang lebih muda 10 tahun dariku?

Setelah beribadah acara dilanjutkan dengan makan-makan di pastori gereja. Banyak sekali makanan yang digelar diatas meja dengan 2 ekor **** guling sebagai menu utama di tengah meja.

Layaknya ketika di kapal, aku, Adit, Rosa dan Nining hanya bisa berdiri melihat ke arah kerumunan orang yang memadati meja makan, bingung bagaimana caranya kami mengambil makanan.

Tante Marice kemudian mendekati kami setelah piringnya terisi dan mengambil piring Adit dan Rosa kemudian hilang ditelan kerumunan orang. Yohanes juga datang mendekatiku tidak lama setelah tante Marice dan mengambil piringku yang masih kosong yang sedari tadi kupegang dan seperti tante Marice dia juga hilang ditelan kerumunan orang. Tidak berapa lama Yohanes dan tante Marice muncul kembali dengan piring yang berisi nasi, bermacam-macam lauk pauk dan sebuah piring kecil berisi puding coklat yang dibawa Yohanes untukku.

Kami pun mencari tempat duduk kosong dan mulai menyantap makanan pesta yang benar-benar enak dan pedas! Sangat berbeda dengan apa yang kebanyakan disajikan di Jakarta. Makanan yang enak dan ditemani dengan orang-orang yang asik untuk diajak mengobrol membuatku merasa senang.

Jujur saja hatiku seperti berbunga-bunga ketika aku banyak mengobrol dengan Yohanes. Aku berusaha tenang dan menutupi perasaan senangku. Yohanes adalah lelaki pertama yang benar-benar perhatian padaku dan berusaha untuk mendekatiku.

Di Jakarta, boro-boro di dekati, di lirik saja aku tidak pernah, mungkin karena aku jarang keluar dan bergaul karena terlalu sibuk bekerja dan mungkin lelaki merasa tidak tertarik melihatku yang selalu berjalan bersama 2 orang anak kecil.

Hanya saja perasaan tidak enak masih mengganjal di hatiku. Apakah tidak apa-apa aku menerima perhatian dari Yohanes? Pantaskah aku?

Tidak lama setelah makan Yohanes diajak mengobrol oleh teman-temannya. Karena jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 malam dan Nining juga sudah tertidur, Adit dan Rosa pun mengajak pulang. Tante Marice dan beberapa ibu-ibu juga ikut berjalan pulang bersama kami. Aku tidak sempat pamit pada Yohanes karena malu memanggilnya yang sedang asik mengobrol dengan teman-temannya.

Jalanan di luar tidak begitu gelap karena ada cahaya bulan yang begitu terang menerangi jalan kami. Bahkan, lampu senter yang di bawa oleh tante Marice dan tante Nona tidak di pergunakan.

"Eh, tante Marice, besok kan ulang tahun oma Oce, ya?" tanya seorang ibu yang kemudian kuketahui bernama ibu Wati, dia adalah ketua kaum ibu gereja disini.

"Oh iya, bu Wati, kita kunjungan besok, ya?" jawab oma Marice.

"Sip, sip, besok habis ibadah kaum ibu, ya."

"Mbak Ran, besok ikut ibadah kaum ibu ya? Sama mbak Rosa juga, ya? Soalnya besok ibadah terakhir sebelum natal. Nanti putaran kaum ibunya mulai lagi awal tahun," ajak tante Marice.

"Iya boleh, tante Marice."

"Aduh, maaf kalau saya kayaknya gak bisa, besok saya sama Adit diajak pak Yusuf ke tambak ikannya," kata Rosa.

"Oh, besok pak Yusuf mau ke tambak, ya. Saya mau titip ikan. Ikan mujair di tambak pak Yusuf besar-besar," kata seorang ibu bertumbuh tambun yang bernama Vanda.

Sisa perjalanan kami pun diisi dengan percakapan tentang ikan-ikan di tambak pak Yusuf dan buah-buahan di kebunnya. Satu per satu ibu-ibu yang tadinya mengukuti kami sudah sampai di rumah masing-masing.

"Sepertinya mau hujan," kata tante Marice sambil menengadah ke langit.

Aku pun ikut menengadah dan melihat langit yang cerah dengan jutaan bintang yang berkelip dan bulan yang hampir penuh dan bercahaya kuning di ujung lautan. Tidak mungkin hujan ketika langit begitu cerah seperti ini, pikirku.

"Nanti tengah malam kelihatannya," jawab tante Nona.

Kami pun terus berjalan dengan diam; Adit memeluk Nining yang sedang tertidur dan Rosa berjalan di sampingnya, menggandeng lengan sang suami. Sedangkan aku, tante Nona dan tante Marice berjalan di belakang mereka.

"Tante Marice, apa benar kata gadis yang tadi tentang pencari tumbal?" tanyaku tiba-tiba. Entah apa yang kupikirkan menguak kembali sesuatu yang benci kuingat.

"Ah, itu hanya cerita untuk menakut-nakuti anak-anak saja!" seru tante Marice sambil tertawa kaku. Aku memperhatikan tante Marice yang terus menatap tante Nona selama dia tertawa seakan mencari bantuan dari ibu tua pendiam itu.

"Saya pulang duluan, ya," kata tante Nona yang langsung menyalakan senternya dan berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke rumahnya.

"Iya, duluan saja, saya mau mengantarkan mereka dulu!" kata tante Marice pada tante Nona.

"Tante Marice gak percaya hal-hal gaib begitu, ya?" tanyaku lagi.

"Saya percaya, mbak Ran. Saya percaya Tuhan, makanya saya juga percaya dengan hal-hal di luar nalar manusia," jawab tante Marice dengan mantap.

"Jadi, tante Marice juga percaya dengan pencari tumbal?"

"Opo nedaha namanya, dan tidak, mbak Ran, kalau yang itu saya tidak percaya. Seperti yang saya bilang tadi, itu hanya cerita bohong-bohongan untuk menakut-nakuti anak-anak biar tidak bermain ketika hari sudah petang. Saya juga dulu sering ditakut-takuti sama orang tua saya."

Aku tertawa geli. " Tante Marice bikin bingung deh!"

Tante Marice ikut tertawa. " Kalau saya sih percayanya gini mbak Ran; memang ada yang disebut orang hantu. Saya percaya kalau ada yang bilang mereka melihat hantu: melihat kakaknya, ibunya atau bapaknya yang sudah meninggal. Menurut saya yang mereka lihat itu adalah bayang-bayang kenangan. Manusia hidup berpuluh-puluh tahun di suatu rumah, di suatu kota, pastilah menyisakan bekas, menyisakan kenangan. Jadi, ya, saya percaya kalau ada yang mengaku melihat bayangan orang yang sudah mati tapi saya tidak percaya kalau ada yang bilang hantu atau bayangan itu bisa menyakiti manusia bahkan sampai mencabut nyawa, seperti opo nedaha."

"Manusialah yang lebih bisa menyakiti bahkan membunuh sesamanya," kata tante Marice setelah beberapa saat terdiam.

Akhirnya kami tiba di pinggir pantai. Air laut sudah pasang tinggi dan perahu kami yang tadinya kami tambatkan di atas pasir diikat di pohon kelapa sekarang sudah mengambang, terombang ambing oleh ombak.

Di bawah sebuah pohon mangga dekat pantai, ada beberapa lelaki yang sedang berkumpul diterangi lampu petromax. Ketika kami tiba di pinggir pantai tempat mereka berkumpul, bisa dengan jelas terlihat kalau mereka sedang meminum minuman keras yang disebut minuman cap tikus (kenapa di sebut cap tikus aku juga tidak tahu karena kata tante Marice minuman itu tidak dibuat dari tikus). Ada 5-6 orang lelaki yang berkumpul dan rata-rata terlihat sudah mabuk.

"Eh, pak Subroto!" seru seorang lelaki paruh baya yang langsung berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Adit. "Aduh, sudah tidur dedek nya, ya," sambung pria itu lagi ketika melihat Nining yang berada di pelukan Adit.

"Iya, pak Marten, kan?" jawab Adit sambil menjabat tangan. "Panggil Adit aja, pak Subroto nama bapak saya!" Adit dan pak Marten tertawa.

"Pak, bagi duit dong!" seru seorang pria yang terlihat masih muda.

"Heh! Sembarang aja! Emang ini bank pribadi kamu!? Pulang sana, sudah mabuk bikin malu saja!" hardik tante Marice dengan galak.

"Ampun tante Marice!" kata pemuda yang tadi.

"Gak apa-apa, ini buat kamu," kata Adit sambil merogoh dompet di saku celananya. Dia mengeluarkan uang seribu dari dompetnya dan memberinya pada pemuda tadi yang sudah tersenyum-tersenyum senang.

"Sudah di kasih uang bikin diri kamu berguna! Sana tarik perahu pak Adit bawa kesini," perintah pak Marten sementara teman-teman pemuda tadi mulai cekikikan menahan tawa.

Semua tertawa kecuali seorang pria yang aku ingat adalah suami Rita, anak oma Maria yang hilang. Matanya menatap tajam kearah Adit sambil sesekali meneguk minuman keras di depannya. Aku jadi agak takut melihatnya dan cepat-cepat memaligkan pandanganku darinya.

Pak Marten dan Adit mengobrol sebentar sementara Bili (aku baru ingat nama pemuda itu) dan seorang temannya menarik perahu kami mendekati bibir pantai.

"Terima kasih ya," kata Adit ketika mereka membantu kami naik perahu satu per satu.

"Bisa dayungnya, Dit?" seru tante Marice ketika kami semua sudah naik dan siap berangkat.

"Bisa! Tadi diajarin pak Yusuf," jawab Adit sambil tertawa.

Diiringi dengan lagu Bulan Pake Payung yang dinyanyikan pemabuk-pemabuk tadi, Adit dan Rosa pun mengambil dayung dan mulai mendayung kearah villa dan aku memeluk Nining dengan erat berusaha membuatnya hangat agar tidak masuk angin.

Di perjalanan hatiku tidak tenang dan merasa sedikit takut karena pembicaraanku dengan tante Marice tadi tapi ketika Adit mulai bercerita tentang Yohanes dan pak Yusuf yang ternyata adalah orang kaya, perhatianku teralihkan. Aku fokus mendengarkan cerita Adit tentang Rumah pak Yusuf yang begitu besar di pinggir pantai, yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah tante Nona.

Kekayaan pak Yusuf ternyata sudah turun temurun dari ayahnya yang adalah petani rempah-rempah dan buah-buahan. Hasil dari kebun mereka di beli oleh supermarket-supermarket besar di Manado dan Jakarta. Meski mereka adalah orang berada, tapi gaya pembawaan pak Yusuf dan Yohanes begitu sederhana dan merakyat membuat Adit sangat terkesan dan mengagumi sosok bapak dan anaknya itu.

Aku juga baru tahu ternyata selain seorang majelis jemaat, pak Yusuf juga adalah kepala desa disini.

Pengetahuan baruku ini tentang keluarga Yohanes membuatku semakin merasa minder dengan perhatian yang diberinya. Kenapa seorang pemuda tampan dan kaya seperti Yohanes ingin mendekati seorang perawan tua sepertiku?

Terpopuler

Comments

Evan Dirga

Evan Dirga

rumor tidak muncul begitu saja. pasti ada sebabnya rumor tentang opo nedaha bisa bergulir.

hati hati, kebanyakan rumor dihembuskan untuk menutupi tindak kejahatan.

2024-01-19

0

Evan Dirga

Evan Dirga

ya .. pasti laki laki akan berfikir bahwa rani adalah wanita bersuami dengan dua anak.

2024-01-19

0

Isnaaja

Isnaaja

ba ran,,cinta itu gak memandang usia.gak apa yohanes lebih muda juga kalau dia tulus mencintai ba ran.ehem ehem...aku dukung ba ran.😁

2021-01-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!