CHAPTER 18

"Waktu membangun villa itu suami saya cerita dia beberapa kali pernah dengar suara perempuan menangis di dekat telinganya, pas menoleh, eh malah tidak ada apa-apa. Sejak hari pertama para tukang di situ mulai menaruh kopi hitam sama sebatang rokok di samping rumah biar katanya tidak ada gangguan tapi, sama saja sejak mulai membangun malah banyak yang merasa ada orang berdiri di belakang mereka. Kalau suami saya sering merasa ada yang memperhatikan, terus selalu saja kedengaran suara perempuan menangis. Pernah juga waktu rumahnya sudah tahap plester dinding, ada suara anak-anak menangis sambil lari-lari keluar masuk ruangan kamar. Kalau yang begitu-begituan sih suami saya tidak takut tapi, ada satu kejadian yang membuat dia lari terbirit-birit dan takut untuk kembali bekerja. Besoknya sih, dia bekerja lagi, habisnya kerja sama pak Lukas bayarannya besar!" bu Vanda cekikikan.

"Jadi waktu itu sudah tahap mengecat kusen jendela dan pintu, sudah hampir selesai, tinggal kusen jendela bagian belakang yang sedang dikerjakan suami saya. Kerjaannya sudah tanggung, tinggal satu kusen lagi, makanya suami saya lanjut saja padahal kebanyakan tukang yang lain sudah pada pulang. Kata suami saya, sore itu yang tersisa tinggal Yohanes, si Edi - pacarnya Lusye - sama suami saya. Nah, Yohanes sama si Edi terdengar lagi ngobrol di ruang tengah, kayaknya lagi beres-beres. Suami saya terus saja bekerja, suara obrolan Yohanes dan Edi terdengar di latar belakangnya, tiba-tiba suami saya merasa ada orang di dekatnya! Suasana sekelilingnya mulai gelap karena sudah mau malam, bulu kuduknya merinding, tapi yang membuat dia takut dan memutuskan untuk segera pulang adalah ketika dia baru sadar suara Yohanes dan Edi sudah tidak terdengar lagi. Suami saya teriak-teriak memanggil mereka tapi tidak dijawab. Suami saya sudah benar-benar takut sekarang, apalagi di sekelilingnya mulai gelap. Dia langsung jalan cepat untuk pulang eh, di bagian ruang tamu dia hampir jatuh, kakinya nyangkut. Awalnya dia pikir nyangkut di sak semen yang ditumpuk, tapi pas dilihat lagi dia merasa aneh kok, sak semenya warna putih dan ada bulatan warna merah kehitaman di belakangnya. Suami saya perhatikan baik-baik saknya, akhirnya dia sadar bahwa daritadi sak itu gemetaran kayak orang lagi nangis. Sayup-sayup suara tangisan terdengar lagi, suami saya juga mulai gemetaran karena takut pas dia sadar di depan sak itu ada bulatan model kepala orang dan rambutnya hitam panjang sekali. Jadi ternyata, sak itu modelnya kayak orang lagi bersujud mencium lantai gitu; orang pakai baju putih dan lubang di tengah badannya dan berdarah. Suami saya hanya terdiam, takut sampai tidak bisa jalan, mbak Ran. Dia akhirnya bisa lari habis menghafal doa Bapa Kami. Dia lari sambil teriak ketika kepala sosok itu mulai bergerak mau menoleh ke arah suami saya. Kata dia; dia tidak bisa bayangkan bagaimana wujud mukanya sosok itu, dan dia gak mau tahu juga. Waktu dia keluar rumah eh, tahu-tahu perahunya Yohanes sudah tidak ada! Tidak ada lagi perahu teman-temannya, ternyata dia memang hanya sendiri waktu kerja itu. Suami saya langsung berenang cepat-cepat ke kampung. Hampir saja dia tobat, tidak mau lagi balik kerja. Akhirnya habis dia mandi kita naik sepeda ke kampung sebelah pergi sama Opo Lao. Dikasih-lah jimat penangkal, baru deh suami saya berani masuk kerja lagi." 

"Serem amat sih, bu Van! Tapi kalau kata Yohanes dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh di rumah itu," kataku setelah ibu Vanda selesai bercerita. 

"Ah, Yohanes memang begitu orangnya, logisnya keterlaluan! Dia mana percaya hal-hal gaib begituan!"

Aku merasa keyakinanku makin menguat setelah mendengar cerita ibu Vanda. Memang ada sesuatu yang sudah lebih dahulu tinggal di villa itu, dan sesuatu itu sudah tidak bernyawa.

Setelah ibu Vanda menyelesaikan ceritanya, Lusye dan ibu Linda akhirnya ikut menceritakan pengalaman suami dan pacar mereka saat membangun villa itu.

Lusye menceritakan pengalaman Edi, pacarnya yang beberapa kali melihat perempuan yang bergaun merah duduk selonjoran di tengah ruangan kamar yang masih belum selesai di bangun. Rambut perempuan itu panjang dan berwarna hitam seperti sapu ijuk. Edi langsung tahu bahwa wanita yang dilihatnya bukanlah manusia! Satu hal yang membuat Edi gemetar ketakutan adalah ketika dia sadar bahwa gaun yang dipakai perempuan itu bukanlah aslinya berwarna merah melainkan putih yang berubah menjadi merah karena darah!

Ibu Linda bercerita tentang pak Marten yang sering melihat ada anak-anak kecil yang lari masuk keluar kamar sambil menangis seperti ketakutan. Awalnya dia pikir itu adalah anak-anak kampung yang menyelinap, dia pun mengejar salah satu anak laki-laki yang dia lihat masuk ke dalam kamar yang sekarang menjadi kamar Nining. Ketika dia masuk anak itu sedang berdiri membelakanginya di sudut ruangan, tiba-tiba suasana menjadi hening seketika sewaktu pak Marten perlahan-lahan mendekati anak itu - terdengar jelas nafas memburu anak lelaki itu seperti orang yang mengidap penyakit asma.

Pak Marten menyentuh pundak anak itu dan dia pun berbalik menampakan wajahnya yang rusak dan busuk! Matanya bergelantungan dari soketnya, rahangnya sobek mengeluarkan darah hitam dan bau busuk yang menyengat. Sontak pak Marten kaget dan langsung berlari keluar sambil berteriak minta tolong. Beberapa menit kemudian teman-teman pak Marten kembali dan menemukan 3 ekor ular hitam di mana anak itu tadi berdiri.

Menurut cerita yang di dengar ibu Vanda, masih banyak lagi pengalaman seram yang terjadi pada tukang bangunan yang pernah bekerja di villa itu. Satu hal yang mereka yakini bahwa hantu di villa ini terdiri dari perempuan-perempuan hamil berdarah dan anak-anak kecil berwajah rusak, meski alasan hantu-hantu itu menempati tempat ini masih menjadi misteri. Ada yang bilang kalau mungkin rumah ini di bangun di atas kuburan jaman dulu - ada juga yang bilang mungkin itu adalah hantu-hantu orang yang hilang atau jatuh dan meninggal di jurang belakang rumah - ada juga yang bilang jangan-jangan itu hantu keluarga kakek Beni pemilik tanah sebelumnya.

Entahlah. Satu hal yang pasti adalah penampakan yang dilihat para tukang bangunan dan yang dilihat olehku adalah sama; perempuan-perempuan hamil dan anak-anak kecil. Karena itulah sewaktu kami pertama kali tiba di villa, tidak ada orang yang berani masuk ke dalam untuk membantu kami membawa barang-barang.

"Eh, mbak Ran," bu Vanda membuyarkan lamunanku. "Rumah itu belum di doakan, loh. Saya pikir dulu mau ada acara doa-doa untuk rumah baru tapi, ternyata hanya kumpul-kumpul biasa. Bagusnya di doakan villa nya, mbak. Biar pun mbak Rani sekeluarga tidak pernah diganggu tapi kan, tidak ada salahnya diadakan ibadah doa di villa itu."

"Aku juga lagi mempertimbangkannya, bu Van," jawabku singkat.

Aku pun ber-inisiatif untuk bertanya pada mereka apakah Lukas tahu dengan cerita-cerita seram itu? Apa tanggapannya kalau dia tahu? Jawaban ibu-ibu membuatku tidak heran. Menurut mereka Lukas tahu dengan cerita-cerita itu namun tidak mempercayainya karena menurut dia, dia sendiri yang adalah pemilik rumah itu tidak pernah mengalami hal-hal aneh selama berada di sini. Menurut Lukas hal-hal yang dialami tukang bangunan itu bisa dijelaskan secara ilmiah dan logis.

Percakapan kami terputus ketika Moren menyapa kami.

"Selamat sore!" seru Moren.

"Eh, Ren, mau kemana?" tanya bu Wati.

"Mau ke warung, bu Wati. Beli gula."

"Kamu jadi pindah ke Manado? Sudah ada kabar dari Agus?" tanya bu Vanda.

"Jadi, bu Van. Nanti mungkin setelah tahun baru kita sudah berangkat. Satu atau dua minggu ini Agus mau kembali kesini dulu nanti kita berangkat sama-sama di awal Januari," jawab Moren. Terlihat wanita yang sedang hamil tua itu sangat bersemangat dengan rencana kepindahannya.

"Mari ibu-ibu, saya duluan!" kata Moren sambil lalu.

"Katanya gangguannya makin parah,"bisik bu Vanda ketika Moren sudah pergi.

"Gangguan apa?" tanya bu Wati.

"Ih, masa bu Wati tidak tahu? Dia itu mau pindah ke Manado karena gangguan dari opo nedaha makin menjadi-jadi!"

Mendengar nama opo nedaha disebut membuat jantungku berdetak dengan kencang. Inilah kesempatanku untuk bertanya pada ibu Vanda.

"Ah, bu Vanda, sembarangan aja! Dia mau pindah ke Manado karena si Agus dapat kerjaan tukang bangunan di sana," terang bu Wati.

"Sembarangan apa, bu Wati? Saya diceritakan sama Embo Syul sendiri. Katanya, tiap malam si Moren tidurnya di kamar besok pagi eh, tahu-tahunya dia sudah tidur di tanah, di depan rumah! Menurut Moren dia sering bermimpi didatangi opo nedaha. Pernah katanya lagi makan malam si Moren sampe pingsan, ketika sudah sadar katanya dia lihat opo nedaha di jendela dapur. Pernah juga..."

Aku tidak tahan lagi, aku harus bertanya pada ibu Vanda. Aku pun memotong pembicaraannya:

"Rupanya opo nedaha itu gimana, bu Van?" tanyaku dengan mantap.

Aku melihat ibu-ibu yang lain terpana melihatku; mata mereka membelalak kaget, mereka ragu-ragu dan tidak mau membuka mulut, hanya bisa saling pandang antara mereka.

"Mbak Rani belum tahu, ya?" tanya bu Vanda.

"Eh, bu Van, janganlah! Kamu tidak takut?" seru Lusye dengan suara gemetaran.

"Saya tidak takut," kata bu Vanda sembari mengeluarkan sebuah kantong kain kecil yang di pakai melingkari lehernya. "Saya dikasih jimat ini sama Opo Lao."

"Tolong kasih tahu saya, bu Van," pintaku.

"Saya tidak berani," kata Lusye yang dengan cepat langsung pulang.

Sepeninggal Lusye, ibu Wati dan ibu Linda juga ikut pulang; tidak berani mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ibu Vanda.

"Mbak Rani, habis dengar cerita saya ini hafalkan doa Bapa Kami biar tidak ketempelan," kata bu Vanda memperingatkan.

"Opo Nedaha itu adalah legenda di desa ini, sudah diceritakan turun temurun. Dia itu sosok pencari tumbal. Badannya kurus seperti ranting, sekujur tubuhnya bersimbah darah, dia memakai topi petani dengan kain warna merah menutupi dari ujung topi sampai bagian dada. Nama Opo Nedaha dalam bahasa Indonesia berarti, laki-laki yang berdarah."

Seketika itu juga nafasku terasa sesak, jantungku berdetak kencang dan ketakutan memenuhiku. Sekujur tubuhku gemetaran bahkan untuk memakai kembali sandal jepitku sungguh susah!

"Kenapa mbak Rani? Wajahmu pucat sekali!" seru ibu Vanda dengan penuh ketakutan.

Aku tidak membalasnya, mengeluarkan suara saja aku tidak mampu. Aku begitu ketakutan sehingga aku langsung berlari ke arah Nining, memeluk anak itu tanpa memperhatikan apapun di sekitar kami dan terus berlari menyebrangi batu melengkung yang sekarang mulai digenangi air pasang.

Sosok petani berdarah seakan berputar-putar di dalam pikiranku. Benar juga firasatku bahwa sosok petani berdarah yang selalu kulihat adalah Opo Nedaha!

"Bibi Rani! Nining masih mau main!" seru Nining sambil menangis di pelukanku.

Aku mengacuhkannya dan terus berkonsentrasi menyebrangi sungai yang sekarang tinggi airnya sudah selutut orang dewasa.

"Ada apa, mbak? Kok, sudah pulang?" tanya Rosa ketika aku dan Nining baru saja menaiki tangga dari pantai.

"Kita baru saja mau gabung ke kampung," lanjutnya lagi sambil mengambil Nining dari gendonganku.

"Tahu nih, bibi Rani! Nining lagi main tiba-tiba langsung dipeluk terus dibawa pulang," protes Nining dengan manja pada mamanya.

"Maafkan bibi ya, sayang," kataku sambil membelai rambut Nining, mencoba menenangkan diriku karena aku tidak ingin menakuti Rosa.

"Aku tadi lihat airnya sudah mau pasang jadi, aku pikir harus segera pulang biar tidak repot minta diantar orang kampung untuk pulang," jelasku pada Rosa. "Oh ya, Adit mana?"

"Lagi ngopi, tuh di gazebo," kata Rosa kemudian pergi membawa Nining ke dalam rumah untuk mandi sore.

Aku pun segera mendekati Adit untuk menceritakan padanya tentang apa yang terjadi di rumah ini. Mungkin dia akan menertawakanku tapi, aku tidak perduli lagi!  

"Aku sama Rosa baru rencana mau ikut ke kampung," kata Adit ketika melihatku berjalan mendekati gazebo.

"Dit, ada yang mau mbak bicarakan," kataku sembari duduk disamping Adit.

"Apa, mbak? Bajunya basah tuh, airnya udah pasang, ya?"

"Iya," jawabku singkat ingin segera berbicara tapi tidak tahu bagaimana memulai. "Gini Dit, jadi sejak pindah kesini mbak selalu merasa kayak ada yang tidak beres dengan rumah ini."

Dahi Adit berkerut. "Maksudnya, tidak beres gimana, mbak?"

Tidak ada cara lain lagi selain berterus terang. Aku pun mulai bercerita pada Adit tentang pengalaman aneh yang kualami sejak datang di rumah ini, begitu juga dengan desas desus dan cerita warga kampung tentang penampakan seram yang terjadi pada tukang bangunan yang membangun rumah ini dulu.

"Mbak, kamu serius percaya dengan hal begituan?" tanya Adit sambil menahan tawa. "Sejak datang kesini, aku juga sudah diceritain sama bapak-bapak tentang pengalaman mereka sewaktu lagi membangun."

"Kamu kok gak cerita?"

"Aku memang gak percaya sih, mbak. Lagipula aku tidak pernah mengalami hal-hal aneh di sini. Apa mungkin mbak hanya tersugesti dengan cerita orang?"

"Kalau mbak yakini sih, enggak, Dit. Karena mbak juga baru denger ceritanya tadi dari ibu Vanda dan beberapa ibu-ibu. Apa yang mbak alami sepenuhnya mbak simpan sendiri karena memang awalnya mbak tidak mengerti. Mbak juga kan, gak pernah mengalami hal kayak begini sebelumnya, Dit," kataku mulai frustrasi karena Adit tidak langsung mempercayaiku meski aku tahu, itu adalah reaksi normal dari orang dengan pemikiran logis seperti Adit.

"Hmm..." Adit mendesau panjang. Terlihat dia bingung dengan apa yang harus dia katakan maupun lakukan setelah mendengarkan ceritaku.

"Kita harus gimana, mbak?" tanya Adit lagi setelah beberapa saat terdiam.

"Kalau kata ibu Vanda, rumah ini harus diberkati dulu. Apa kita hubungi dulu pendeta Roki? Mungkin sekalian ajak tante Marice biar dia bisa membantu kita?"

"Iya, gitu aja deh, mbak. Biar pak pendeta Roki dan tante Marice yang mengatur."

"Oh ya, Dit, bagaimana dengan Rosa? Mbak takut kalau cerita sama Rosa dia bakalan jadi takut dan gak nyaman lagi tinggal di sini tapi, kalau gak cerita, gimana akan kita jelaskan tentang ibadah pemberkatan rumahnya nanti?"

"Mbak Rani terlalu meremehkan Rosa. Tidak perlu khawatir, dia jauh lebih kuat dari yang mbak kira," kata Adit dengan sedikit kesal kemudian segera pergi meninggalkanku yang hanya terdiam, marah pada diriku sendiri.

Aku terpaku, terus menatap ke arah lautan luas di depanku; matahari perlahan mulai terbenam. Langit yang tadinya biru berubah menjadi oranye kemerahan, kegelapan perlahan mulai merambat seraya rasa takut, kesedihan dan depresi mulai menyesap ke dalam hatiku.

Malam telah tiba.

Terpopuler

Comments

Naylul Rain

Naylul Rain

knp crita ny bertele tele ya,hadeeeh

2021-04-19

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!