CHAPTER 3

Aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati.

Kata-kata mama bergema dalam mimpiku sementara tubuh ringkih mama yang duduk membungkuk di kursi membelakangi jendela perlahan tertelan kegelapan; matahari yang tenggelam membawa sosok gelap yang mulai menelan mama, membuat kulit mama membiru dan membusuk.

Aku kaget terbangun, membuka mataku dan menemukan wajah rusak petani berdarah tepat di depanku, memandangku dengan mata melotot. Kepalanya hampir putus terbelah dua dari ubun-ubun dan darah hitam menetes perlahan menuju mulutnya yang membusuk. Kain merah yang selalu menutupi wajahnya kini membungkus wajahku; bau busuk pakaian apek dan anyir menyeruak, menusuk hidung. Selama beberapa detik aku tidak mampu bereaksi; kami saling menatap dan tidak melepaskan kontak mata sampai getaran ponsel di meja samping tempat tidurku membuat mataku berkedip dan dia pun menghilang.

Aku segera bangun dan mengecek ponselku. Sebuah pesan singkat berisi pengumuman pengumpulan sumbangan untuk yayasan tunawisma milik gereja kami terpampang di layar. Teringat lagi pesan mama: kalau mau berbuat baik jangan di tunda-tunda. Aku segera bergerak untuk bersiap, hendak kembali ke rumah mama untuk membereskan baju dan barang-barang mama yang bisa kusumbangkan. Persis yang selalu kami lakukan setiap tahunnya.

Perih tanganku masih terasa ketika kulitku tersentuh sabun saat mandi. Masih terngiang panasnya kuah bakso bang Rohim yang tumpah di tanganku. Sejak mama meninggal aku begitu depresi dan merasa betul-betul sendiri, amarahku juga tidak bisa kutahan dan yang paling buruk adalah tidak ada yang bisa menyadarkanku ketika aku gelap mata.

Itulah yang terjadi ketika tanganku terluka. Aku bahkan sudah lupa apa yang membuatku sangat marah pada abang penjual bakso langgananku itu, yang aku tahu saat itu aku begitu marah dan kegelapan mulai menarikku ke lubangnya yang gelap dimana petani berdarah perlahan menaungiku dan membuat napasku sesak. Di dunia nyata, aku menghancurkan gerobak bakso bang Rohim. Aku baru tersadar ketika kuah bakso yang mendidih tumpah ke pergelangan tanganku membuat kulit melepuh. 

Sejak saat itu aku tidak lagi keluar kamar kos. Apa gunanya? Beberapa kali aku berpikir untuk bunuh diri tapi kuurungkan niatku, entah kenapa. Mungkin aku memang penakut.

Perjalanan menuju rumah mama memakan waktu setengah hari karena macetnya jalanan di Jakarta dan aku harus beberapa kali berganti bus dan angkot untuk sampai ke rumah.

Rumah mama terletak di sebuah perumahan tua di Tangerang Selatan. Rumah itu kecil dan mempunyai 2 lantai, bercat putih dan ubinnya berwarna krem. Letaknya agak tinggi dari jalan; dari teras depan kami memiliki pemandangan indah seluruh daerah perumahan dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Tepat di depan rumah adalah ruangan kecil yang menghadap jalan, yang dulunya kakek pergunakan untuk membuka warung tapi, sejak kakek meninggal ruangan itu tidak pernah di pakai lagi dan dijadikan gudang oleh mama.

Aku melihat sekelilingku dan terasa betul rumah ini kehilangan mama. Rumah yang dulunya bersih dan mengkilap karena selalu dibersihkan sekarang berdebu, teras depan di penuhi daun-daun kering yang tertiup dari pohon mangga yang berada di sampingnya. Aku bertekad akan membersihkan rumah hari ini sebelum aku mengumpulkan sumbangan dan kembali ke Bandung. Aku sangat tidak ingin tinggal berlama-lama di rumah ini; tidak ingin tinggal dengan kenangan mama yang menghantui rumah ini.

Karena itulah aku tidak pernah kembali sejak pemakaman mama.

Aku membuka pintu rumah dan tercium bau khas rumah ini yang selalu ku ingat. Bau ini tidak bisa kugambarkan; setiap rumah pasti punya bau khasnya masing-masing  yang dapat membawa kenangan pada penghuninya yang sudah lama tidak pulang.

Bau rumah ini membuatku teringat lagi masa kecilku bersama kakek yang membuatku ingin menangis. Perlahan rasa penyesalan menyisip dalam hatiku tatkala aku menyadari betapa sendirinya aku di dunia ini. Meski hubunganku dengan mama tidaklah begitu dekat bahkan bisa dibilang ada jarak dan kebencian di antara kami tapi, dia tetaplah mamaku dan aku tahu dia sangat menyayangiku meski dia selalu bersikap dingin dan sering marah-marah. Sewaktu kakek meninggal yang tersisa dari keluargaku hanyalah mama; hanya aku dan mama.

Menyusuri rumah ini, meski kecil tapi terasa seperti menyusuri kenangan masa lalu yang panjang. Ketika aku sampai di dapur, teringat lagi wajah mama sewaktu dia duduk di sini dan berkata: aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati.

Dia menepati janjinya. Bahkan di saat-saat terakhir hidupnya, ketika pikirannya sudah mulai lemah dan pijakannya pada kenyataan sudah goyang, dia tetap bersikukuh mengacuhkan pertanyaanku tentang rahasia besar yang dia simpan.

Hari-hari terakhir hidup mama terasa begitu mencekam, entah bagaimana aku bisa melewatinya. Ketika mama menerima diagnosa tumor otak itu, aku pindah lagi ke rumah ini untuk menjaganya. Ku urungkan niatku untuk melamar pekerjaan agar aku fokus merawat mama.

Minggu-minggu pertama keadaan mama masih baik meski sakit kepala dan demamnya begitu hebat tapi, mama masih bisa berpikir dan sadar dengan dunianya. Namun seiring waktu berjalan, mama mulai kehilangan akal sehatnya. Aku akan menemukan dia tengah malam buta duduk di anak tangga dan mengobrol dengan dinding; memanggil-manggil seseorang bernama Opo. Ketika aku bertanya apa Opo itu adalah ayahku, mama akan diam seperti membeku. Ketika aku mengajaknya untuk kembali tidur, mama akan tersenyum sinis padaku.

Suasana rumah mulai terasa sesak dan penuh tekanan ketika mama sama sekali kehilangan akal sehat dan tidak sadar lagi dengan kenyataan disekitarnya. Di siang hari tidak begitu terasa karena tante Erlina sering mampir dan membawakan makanan kesukaan mama meski dia tidak ingat lagi siapa sahabat karibnya itu. Kadang tetangga kami juga datang menjenguk dan jemaat di gereja kami sering datang serombongan untuk menemani mama walau hanya beberapa jam saja.

Namun, saat malam tiba, saat itulah terasa seperti aura kegelapan menaungi rumah ini, begitu tertekan rasanya dan amat menakutkan karena aku tidak tahu akan menemukan mama seperti apa. Kadang kutemukan dia menangis meronta-ronta di dapur, memarahi sudut gelap di samping tempat cuci piring. Ketika kutanya siapa yang sedang dia marahi, mama menjawab:

"Dia seharusnya sudah mati," kata mama memandangku dengan wajah serius. "Kamu seharusnya sudah mati! Dia sudah lama membunuhmu!" teriaknya lagi kali ini mengarahkan pandangannya pada sudut gelap itu lagi.

"Siapa yang sudah mati, ma? Apa ayah sudah mati?" tanyaku, siapa tahu mama mau bercerita.

Mama hanya menatapku tanpa berkata-kata dan berjalan kembali ke kamarnya.

Mungkin aku sudah terbiasa melihat makhluk mengerikan yang selalu mengikutiku tapi, bukan berarti aku tidak takut dengan apa yang mama lihat, karena aku tidak bisa melihatnya.

Aku ingat di suatu malam, aku terbangun dengan keringat dingin bercucuran dari pelipisku karena mimpi buruk. Ketika aku sedang mengatur nafasku untuk menenangkan jantungku, aku mendengar sayup-sayup suara isak tangis dari bawah. Perlahan aku berjingkat ke arah kamar mama dan mendengus kesal ketika melihat tempat tidur mama kosong.

Sekarang isak tangis yang tadinya sayup-sayup mulai terdengar lebih kencang dan nyata. Aku pun mengikuti suara itu sampai ke pintu depan; mama sedang berdiri di depan jendela sambil memandangi kegelapan diluar sana.

"Ma, ayo kembali tidur," bisikku pelan sambil berjalan ke arah mama.

"Apa kamu pernah berpikir tentang anak kucing dan anak anjing yang dulu senang kamu mutilasi?" kata mama tanpa memalingkan pandangannya dari jendela.

"Mereka mulai marah, Ra! Mereka ingin balas dendam!" seru mama tiba-tiba tertawa dengan lantang.

Jantungku mulai berdetak dengan kencang ketika tawa mama melengking, memecah kesunyian malam. Tiba-tiba suara tawa mama ditelan oleh suara tangis kucing liar dan lolongan anjing yang berasal dari luar. Suasana malam yang tenang berubah menjadi ribut dengan suara tawa mama, tangisan kucing yang terdengar seperti tangisan bayi dan lolongan anjing yang terdengar begitu dekat aku pun menutup telingaku karena tidak tahan dengan keributan ini.

Aku bisa merasakan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku, aku benar-benar takut! Seperti mendengar paduan suara mengerikan dari neraka! Tiba-tiba terdengar bunyi seperti ada benda berat yang terjatuh dari langit dan menimpa genteng rumah. Bunyinya kencang dan mendiamkan keributan yang sedari tadi menggangguku.

Keheningan malampun kembali lagi. Aku melihat mama menyeringai menatapku, tiba-tiba dia berlari dengan sangat kencang ke arahku, melewatiku, menaiki tangga lalu terdengar bunyi pintu yang di banting. Aku sungguh tidak habis pikir dan tidak percaya dengan apa yang baru saja kualami. Ketika aku menyusul mama beberapa saat kemudian, aku melihat mama sudah tertidur pulas seperti tidak terjadi apa-apa.

Malam itu aku tidak bisa tidur.

Beberapa malam kemudian, aku terbangun lagi karena mendengar bunyi orang sedang mengacak-acak barang. Aku segera bangun untuk mengecek mama dan mendengus kesal lagi ketika menemukan dia sudah tidak ada di kamar. Aku menemukan mama sedang berkeliling rumah seperti sedang mencari sesuatu, entah apa itu.

"Dimana itu?" guman mama pada dirinya sendiri sambil terus meraba-raba di tengah kegelapan rumah.

Ketika kunyalakan lampu, mama berteriak dan menyuruhku mematikan lampunya. Ketika kutanyakan apa yang sedang mama cari dia menjawab:

"Mimpi buruk itu. Seharusnya sudah lama kubakar mimpi buruk itu," kata mama lagi sambil memukul-mukul kepalanya.

Aku membopong mama kembali ke kamarnya dan berjaga semalaman agar dia tidak berkeliaran di tengah kegelapan lagi. Rasa takutku tidak kunjung hilang apalagi ditambah dengan dia yang sepanjang malam berdiri di depan pintu mama, memakai wujud lelaki berkaos putih dan celana kheki yang berdiri membelakangi kami.

Setiap malam akan kutemukan mama melakukan hal-hal yang aneh. Suatu malam aku terbangun dan melihat mama berdiri di kaki tempat tidurku.

"Seharusnya kau kugugurkan," bisiknya berkali-kali sambil matanya menatapku dengan kosong. Menit berlalu dan aku hanya bisa terdiam, masih terlalu kaget untuk bertindak. Tidak lama kemudian mama keluar dari kamarku dan tidur kembali seperti tidak terjadi apa-apa.

Minggu-minggu terakhir sebelum dia dilarikan di rumah sakit, mama mulai bisa melihat petani berdarah yang selalu mengikutiku.

"Kau iblis," bisik mama padaku ketika kutemukan dia berdiri di depan tempat cuci piring di tengah malam yang gelap. "Kau diikuti makhluk itu, kau penyembah iblis! Kamu tidak ber-Tuhan!" teriaknya sambil melemparkan gelas yang dia pegang ke arah petani berdarah yang berdiri di belakangku. Gelas itu mengenai dinding dan pecah berkeping-keping.

Terakhir kalinya petani berdarah itu berdiri di depan tempat tidur mama. Mama menjerit-jerit seperti kesakitan ketika dia melihat sosok itu dari dekat.

"Kamu sudah mati! Kamu sudah mati! Terkutuklah kamu!" teriak mama. "Oh, Adit, Rosa, maafkan aku! Maafkan aku!" mama memanggil-manggil kedua nama yang asing itu.

"Siapa Adit, ma? Apa nama ayahku adalah Adit? Adit siapa, ma? Rosa itu siapa?" nada bicaraku mulai meninggi karena merasa mungkin mama sudah mau bercerita.

"Bukan urusanmu anak haram!" hardik mamaku.

Seketika itu juga duniaku menjadi gelap dan aku merasa sedang terjatuh dalam lubang gelap amarah, tempat makhluk itu menyiksaku saat aku sedang marah.

Aku merasa waktu berlalu begitu lama di dalam lubang gelap itu ketika sayup-sayup suara mama memanggil namaku dan aku tersadar, kembali ke dunia nyata.

Aku sedang memegang dengan erat kedua pundak mama dan menggoncangkan tubuhnya dengan keras. Aku gelap mata dan tidak sadar dengan apa yang sedang aku lakukan.

Ketika aku sadar mama sudah mulai kehilangan kesadaran dan darah mengalir keluar dari hidungnya. Aku sangat takut dan segera melarikan mama ke rumah sakit. Mama sempat sadar setelah di rawat namun tidak kuat lagi untuk berbicara terlalu lama dan hanya mampu berbisik. Meski begitu beberapa kali aku terus mencoba untuk membuat mama bercerita, membuka rahasia tentang ayahku.

Di hari terakhir hidupnya, dia hanya mampu berbisik sambil terbata-bata,

"A--ku...a--kan," mama menarik nafas panjang. "Mem--bawa...ra--ha--sia ini...sam--pai a--ku...mati."

***

Entah berapa lama waktu kuhabiskan duduk di kursi dapur, memandang keluar jendela dan mengenang hari-hari terakhir mama. Aku menutup mata untuk menyadarkan pikiranku dan mengakhiri khayalanku ketika aku sadar di depanku duduk dia dengan wujud seorang kakek tua renta; kulitnya membusuk seperti mayat yang sudah sebulan dikubur, hidungnya tertutup oleh masker oksigen dan bunyi napas berat terdengar memenuhi seluruh ruang dapur.

Terpopuler

Comments

graver el mubarak

graver el mubarak

Cakep

2021-11-13

0

Deanna Anne

Deanna Anne

Aku mampir Thor. Masih lagi penasaran ...

2021-09-30

1

wini nurwulan

wini nurwulan

aku akan menyimpan rahasia ini sampai cerita ini beres

2021-07-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!