CHAPTER 13

"Weyy! Ada anak tenggelam! Yohanes! Yoh..tolong! Anak tenggelam!" teriak tante Marice dengan panik.

Yohanes yang kaget mendengar teriakan itu langsung mengikuti telunjuk oma Marice yang mengarah ke tengah laut dimana riukan air dan kepala kecil yang timbul tenggelam perlahan menjauh terbawa arus air pasang. Tanpa basa-basi lagi Yohanes segera berenang ke arah anak yang tenggelam itu. Beberapa detik berenang dan Yohanes sudah memeluk anak laki-laki itu, mengangkatnya dari dalam air dan berenang kembali ke pinggir pantai. Yohanes benar-benar adalah seorang perenang ulung; arus pantai yang kuat, dan ombak seperti tidak mempengaruhinya.

Bocah laki-laki itu batuk-batuk keras dan mengeluarkan air ketika tubuhnya menyentuh pasir pantai. Yohanes menepuk-nepuk pundak anak itu sampai batuknya mereda dan dia bisa berdiri. Seorang wanita yang ternyata adalah ibu anak yang bernama Ateng itu segera berlari dan memeluk anaknya sambil tidak henti-hentinya berterima kasih pada Yohanes.

Selama proses anak itu terbatuk-batuk tanpa kusadari sudah banyak orang yang mengerumuni pantai karena heboh mendengar teriakan tante Marice bertepatan juga dengan pak Yusuf, Adit dan Rosa ternyata sudah kembali dari tambak dan ikut berkerumun, mencari tahu apa yang sedang terjadi.

"Duh, makanya kalau main di pantai itu harus hati-hati! Banyak sekali orang tenggelam di sini bukan hanya anak-anak saja orang dewasa juga tiap tahun ada saja yang mati di pantai ini," bisik-bisik seorang ibu.

"Opo nedaha yang tarik dia itu," sambung seorang ibu lagi.

Ateng yang sudah merasa baikkan kemudian di bawa ibunya pulang, orang-orang yang berkerumun pun perlahan mulai membubarkan diri, para orang tua juga satu per satu memanggil anak-anaknya pulang.

"Yoh, tolong sekalian bawa ini ke rumah ibu Vanda, ya. Kamu kan sudah basah kuyup," kata pak Yusuf pada Yohanes sambil menyerahkan sekantong plastik besar ikan mujair yang masih hidup. "Ayah mau pergi mengantarkan pak Adit sekeluarga pulang."

Yohanes mengambil kantong plastik berisi ikan itu, menoleh dan tersenyum padaku sebelum dia pergi. Rasa bangga dan senang mengembang di hatiku melihat seorang lelaki gagah, perkasa dan baik hati bisa jatuh hati padaku seorang perawan tua!

"Mbak Rani, nanti saya jemput sebentar lagi, ya!" seru tante Marice sebelum dia juga kembali ke rumahnya untuk bersiap-siap ke ibadah kaum ibu.

Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, aku mengkhayalkan hal-hal bahagia yang akan terjadi padaku bersama Yohanes dan kurang memperhatikan pembicaraan Adit dan keluarganya.

"Mbak Rani, kalau mau kembali ke kampung bareng saya aja, nanti saya tungguin kalau mau," kata pak Yusuf ketika kami turun dari perahu.

"Gak apa-apa, pak Yusuf, tante Marice tadi bilang mau jemput."

Pak Yusuf mengangguk dan tersenyum sambil mendorong perahunya untuk kembali pulang. Benar kata Adit, meski pak Yusuf adalah orang kaya tapi, gaya hidupnya dan sifatnya begitu membumi dan tanpa pamrih tidak seperti orang kaya di Jakarta yang selalu membeda-bedakan cara mereka memperlakukan sesamanya berdasarkan harta material. Aku sungguh mengagumi sosok pak Yusuf.

Tepat pukul setengah 5 sore terdengar suara tante Marice dari pintu depan. Kami pun segera berangkat sementara Adit, Rosa dan Nining bersantai di rumah. Rosa beralasan terlalu capek untuk kembali keluar rumah dan lebih memilih untuk tinggal.

Ibadah kaum ibu di mulai tepat waktu dan berakhir dengan cepat. Ketika tuan rumah menyajikan kue-kue basah, pengurus kaum ibu mulai membagikan hadiah natal dan uang tabungan yang sudah dikumpulkan setahun penuh pada anggotanya. Tentu saja aku tidak di bagi hadiahnya tapi Moren, wanita hamil yang pernah kulihat di gereja yang adalah tuan rumahnya memberiku sekantong plastik kue yang disebut kue panada dan lalampa untuk dibawa pulang.

Sesuai rencana, beberapa ibu-ibu anggota kaum ibu mengikuti tante Marice dan ibu Wati untuk pergi mengunjungi wanita tua yang mereka sebut oma Oce.

"Ah, aku tidak mau ikut! Takut nanti ketempelan setan lagi!" seru seorang wanita paruh baya ketika diajak oleh ibu Wati.

"Bu Wati, tolong titip kue ini ya untuk oma Oce. Saya gak bisa ikut," kata Moren sambil menyerahkan sekantong plastik kue.

Akhirnya rombongan kami yang berjumlah 5 orang berangkat ke rumah oma Oce: bu Vanda, tante Marice, bu Wati, tante Nona dan aku. Di tengah jalan rombongan kami bertambah oleh pak Yusuf dan pak pendeta Roki yang memang bertugas untuk mengunjungi orang sakit sebagai bentuk pelayanan gereja.

Oma Oce tinggal agak jauh dari kawasan rumah penduduk. Rumahnya berdiri di tengah-tengah sebuah kebun liar, di tepi hutan Kehu Marange, di mana jalan masuk ke rumahnya adalah melalui jalan setapak yang pernah kami lewati ketika pertama kali kami tiba di desa Kumel. 

Teringat John yang waktu itu dengan khusyuk berdoa Bapa Kami ketika kami melewati jalan setapak ini. Apakah aku juga harus berdoa seperti John? Apakah benar oma Oce yang akan kami kunjungi ini adalah seseorang yang memelihara iblis? Oh, semuanya terdengar konyol di pikiran logisku!

Rumah oma Oce kecil dan terbuat dari kayu yang mulai lapuk. Sekeliling rumahnya terlihat gelap karena listrik sama sekali belum menjangkau ke sini, ditambah lagi dengan ketiadaan tetangga di sekitar area menambah perasaan sunyi yang kurasakan sejak kami mulai menapaki jalan setapak tadi.

Di depan gubuk kecil itu tumbuh banyak rumput-rumput ilalang yang lebat, menambah kesan gelap area sekelilingnya. Kegelapan seperti menyelubungi sekeliling rumah oma Oce; kegelapan dan kesunyian. Hanya deru dahsyat ombak yang menerjang dari balik hutan Kehu Marange yang memecah kesunyian. Dari dalam rumah oma Oce terlihat cahaya kuning remang-remang dari lampu botol yang mengeluarkan asap hitam pekat. Sayup-sayup suara lagu-lagu lawas yang di putar di radio menemani deru suara ombak.

Tidak peduli seberapa pemberaninya kami, atau seberapa logisnya pikiran kami biasanya namun, ketika melihat gubuk kecil oma Oce dan kegelapan yang menyelimutinya, aku merasa aura dan suasana di sekeliling kami berubah drastis.

Ibu-ibu yang sedari tadi mengobrol ringan sambil bergosip dan bercanda tiba-tiba terdiam, bapak Pendeta dan pak Yusuf pun ikut terdiam dan mulai mematikan rokok yang sedari tadi mereka hisap. Pemandangan hutan Kehu Marange yang senang memakan korban jiwa menjadi latar belakang gubuk oma Oce; menambah rasa takut dan tertekan yang kental di udara sekitar kami.

Ketika kami tiba, seorang wanita paruh baya bernama Mine menyambut kami dengan senang dan mempersilahkan kami semua masuk. Mine ternyata adalah keponakan oma Oce yang sudah lama merawat nenek tua itu sejak dia jatuh sakit 10 tahun silam.

"Ini siapa?" tanya bu Mine sambil memperhatikanku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.

"Ini mbak Rani, dia pengasuhnya Lukas dulu. Dia ke sini bareng pak Adit, adiknya Lukas," terang tante Marice.

"Oh, orang Jakarta, ya. Beh! Gayanya mantap! Saya juga dulu mau cari kerja di Jakarta tapi yah, oma Oce sudah sakit duluan!" seru ibu Mine sambil tertawa.

Setelahnya ibu Mine mendekati ibu Wati dan meminta hadiah natal kaum ibu milik oma Oce dan uang bantuan yang dia tahu akan di berikan malam ini. Ibu Wati segera menyerahkan hadiah dan selembar amplop putih berisi uang dan sekantong plastik kue. Akhirnya basa-basi nya pun berakhir dan kami di bawa ke kamar tempat oma Oce berada.

Oh Tuhan! Aku tidak menyangka apa yang kulihat ketika pintu kamar oma Oce di buka; bau busuk feses dan kencing yang sudah kering langsung menghantam indera penciumanku! Ibu-ibu yang lain pun secara otomatis langsung menutup hidung mereka karena bau busuk yang menyengat namun, segera sadar dengan sikap tidak sopan mereka, beberapa memberanikan diri untuk menghirup bau itu dan berpura-pura tidak terganggu dengan kebusukannya.

Ketika kami masuk, suasana kamar terasa sangat pengap, lembab dan panas. Ditambah lagi dengan bau busuk yang menyengat membuatku terpana memikirkan ada orang yang bisa tidur di kamar seperti ini! Melihat oma Oce, aku sadar dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Pertama kali melihat oma Oce, aku seperti ingin muntah! Rasa takut dan kasihan bercampur dalam diriku dan membuat tubuhku gemetaran meski aku berusaha kuat dan menyembunyikan apa yang kurasa. Wanita tua itu terbaring loyo dengan mata melotot; aku pikir dia sudah meninggal tapi bola matanya masih bisa bergerak dan entah apakah ini sugesti tapi aku merasa tatapannya terfokus padaku.

Wajah tua oma Oce begitu tirus seperti mayat yang sudah mengering, tubuhnya sangat kurus dan keriput - begitu kurus bahkan sampai terlihat hanya kulit membungkus tulang - kulit yang keriput itu juga dipenuhi bopeng-bopeng bernanah. Rambutnya putih semua, kusut dan menggumpal seperti tidak pernah disisir selama bertahun-tahun. Aku dapat melihat bahwa dia terbaring di atas air seni dan fesesnya juga di baju nenek itu banyak noda-noda kecoklatan seperti tumpahan makanan dan muntah yang tidak dibersihkan entah sudah berapa lama. 

"Mine, kapan kamu mengganti seprei ini?" tanya tante Marice yang terlihat sangat prihatin dengan keadaan oma Oce.

"Baru diganti itu, tante Marice," jawab Mine dengan santai.

Tante Marice tidak mempedulikan Mine lagi dan langsung mengambil baju bersih dari dalam lemari. Ibu-ibu yang lain pun ikut membantu menggantikan baju oma Oce. Aku hanya bisa berdiri terpaku memperhatikan mereka; malu karena aku tidak membantu, tapi disaat yang bersamaan terlalu takut dan jijik untuk mendekat.

"Ini ada bekas kencing dan tai di seprei ini. Apa tidak kamu bersihkan?" sambung bu Wati lagi sambil menunjuk kearah noda air seni yang besar dan feses yang berceceran disekitarnya.

"Besok biasanya, bu Wati. Ini kan sudah malam," jawab Mine lagi dengan nada tidak peduli seakan-akan keadaan oma Oce yang akan melewatkan malam tidur di atas air kencing dan feses bukanlah masalah besar.

Tante Marice berinisiatif untuk mengganti seprei oma Oce tapi sayangnya, tidak ada lagi seprei bersih karena belum di cuci oleh Mine. Akhirnya oma Oce dibiarkan tidur di atas feses dan air seninya yang sudah mengering.

Pak pendeta Roki pun segera memulai doa nya; setelah selesai berdoa ibu-ibu yang lain berusaha mengajak oma Oce untuk mengobrol dan membangkitkan semangatnya agar segera sembuh. Aku hanya bisa diam dan memperhatikan oma Oce yang terlihat tidak responsif. Kalau bola mata oma Oce tidak bergerak-gerak orang yang baru pertama kali melihatnya pasti akan berpikir dia sudah meninggal.

Tiba-tiba aku merasakan tangan dingin yang lengket menggenggam pergelangan tanganku; itu tangan oma Oce! Dia menarikku dengan lemah kearahnya. Aku begitu takut dan jijik! Rasanya ingin berteriak dan lari keluar rumah tapi aku tahu itu akan menyinggung perasaan Mine dan juga ibu-ibu lain. Aku pura-pura tersenyum dan mendekatkan diriku pada nenek tua itu. Bau anyir korengan di kulit oma Oce begitu menyengat dan terlihat semakin menjijikan dari jarak dekat. Aku berusaha untuk tidak terlalu dekat, takut bersentuhan dengannya.

"Ka...e... kau, inang!" bisik oma Oce dengan lemah.

"Hah?" tanyaku tidak mengerti.

"Ka--pu..." katanya lagi semakin lama semakin membingungkan dan tidak jelas.

"Ka? Ka apa?" kataku mengulang kembali perkataan oma Oce, berusaha mencari tahu maksud nenek tua itu.

"Ka...pu..e..i..nang," bisik oma Oce sekali lagi kali ini nada suaranya terdengar familiar. Tiba-tiba aku tersadar! Itulah kata-kata yang diucapkan para wanita hamil dan anak-anak seram yang ada di mimpiku!

Bunyinya, nadanya sama seperti yang diucapkan oma Oce tapi, aku benar-benar tidak bisa menangkap maksud kata-kata itu. Aku bahkan yakin kata-kata itu tidaklah diucapkan secara lengkap, entah kenapa aku tahu tapi aku sangat yakin!

Cengkraman tangan oma Oce mulai menguat. Aku tidak habis pikir wanita tua yang bahkan sudah tidak bisa berbicara seperti dia mampu menggenggam tanganku dengan kencang. Aku mulai panik dan ingin segera melepaskan cengkraman tangannya. Ibu-ibu yang lain seperti tidak sadar dengan ketakutanku dan mengira aku sedang mengobrol biasa dengan oma Oce. Dengan susah payah aku memberi kode pada tante Marice yang dengan cepat tanggap membantuku melepaskan genggaman oma Oce.

Aku berusaha menyembunyikan gemetarannya tanganku dan rasa panik yang menguasaiku. Dengan tenang aku bertanya dimana kamar mandinya; aku beralasan ingin buang air kecil. Mine membawaku ke belakang rumah, di sebuah bilik kecil di samping tempat cuci piring.

"Roknya sama kemeja mbak Rani bagus banget, pasti mahal, ya?" kata Mine dengan santai ketika dia mengantarku ke kamar mandi.

Tangannya menyentuh rok dan ujung lengan kemeja putih yang kupakai. Kain rokku yang lebar dan panjang di lambai-lambaikannya. Beberapa saat kemudian dia mendekat dan menghirup nafas panjang di dekatku; dia sedang menciumi bauku!

Aku merasa teriakan yang sedari tadi kutahan berontak untuk keluar! Semua ini terlalu aneh untuk ku mengerti. Rasa takut dan jijik menguasai diriku. Aku merasa air mata mulai membendung di pelupuk mataku, untunglah sekitarku gelap sehingga Mine tidak bisa melihat mataku yang sudah berkaca-kaca bahkan, nampaknya Mine sama sekali tidak tahu atau memang tidak peduli dengan keadaanku yang sedang gemetar ketakutan dan hampir saja mengalami serangan panik!

"Bau orang Jakarta wangi-wangi, ya," kata Mine lagi.

"Oh..." aku berusaha tenang, mengambil nafas panjang dan membuangnya perlahan. "Semua ini adalah pemberian majikan saya, mamanya Adit adalah pemilik majalah wanita di Jakarta," kataku lagi dengan suara bergetar yang kuharap tidak disadari Mine.

"Waduh! Beruntung sekali kamu, mbak. Saya dari dulu memimpi-mimpikan untuk tinggal dan bekerja di Jakarta. Jadi modis dan keren di ibu kota," Mine tertawa dengan lantang.

"Tapi rencana saya selalu gagal karena perempuan tua itu tidak mau mati-mati!" kata Mine lagi kali ini dengan nada marah. Dia mengeluarkan suara erangan bagaikan singa yang sedang kesal.

Aku tidak tahu harus menanggapi apa perkataan Mine dan lebih memilih diam.

"Ada lilin di dalam," katanya lagi setelah beberapa detik kami terdiam. Akhirnya dia meninggalkanku sendirian dalam kegelapan. 

Aku tidak masuk ke dalam kamar mandi. Aku hanya berputar-putar di sekitar tempat cuci piring dan mengatur napasku agar detak jantungku tenang lagi dan panik juga ketakutanku mereda. Air mataku terus menetes untuk melawan perasaan takut yang sedari tadi kutahan.

Di sela-sela rasa panik, aku tidak berhenti memikirkan perkataan oma Oce padaku. Ingatanku berusaha keras untuk mengulang kembali mimpi yang kualami ketika baru tiba di desa ini untuk mencari konfirmasi apakah benar nada dan perkataan oma Oce sama dengan yang kudengar dalam mimpiku ataukah aku hanya mengkhayalkannya?

Apakah mimpiku dan perkataan oma Oce ada artinya? Dan apakah itu penting?

Pemikiran itu memenuhi kepalaku dan membuatku mumet! Aku berusaha untuk tidak memikirkannya dulu dan berencana untuk bertanya pada tante Marice arti dari perkataan oma Oce.

Setelah beberapa menit menenangkan diriku, aku segera mencuci tanganku beberapa kali untuk menghilangkan sentuhan oma Oce dari kulitku!

Terpopuler

Comments

Richa Rostika

Richa Rostika

lanjut...

2021-01-27

0

Idah Herliah

Idah Herliah

lanjut ceritanya

2020-12-20

2

Reni Lestari

Reni Lestari

lanjut

2020-12-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!