CHAPTER 12

Hari ini terasa begitu berwarna warni dan aneh.

Selepas Adit dan Rosa pergi bersama pak Yusuf, aku dan Nining kembali ke rumah, berganti baju renang dan pergi bermain-main di pinggir pantai. Nining sangat senang membangun istana pasir dan menghabiskan waktunya mengisi pasir pantai di ember untuk mencetak istananya sambil mengobrol dengan teman khayalannya, si David.

Aku hanya bisa cekikikan mendengar Nining yang berbicara layaknya seorang guru yang sudah tua pada muridnya yang nakal ketika dia mengajarkan pada David cara membangun istana pasir. Aku rasa Nining sudah perlu seorang adik agar dia punya teman bermain yang nyata bukannya teman khayalan seperti David.

Setelah berjam-jam bermain di pantai, aku merasa hari sudah semakin panas dan mengajak Nining untuk kembali ke dalam rumah. Tidak lama kemudian kami makan siang dan setelahnya aku menemani Nining untuk tidur siang di kamarnya.

Kembali ke kamar Nining aku bisa merasakan bulu kudukku meremang ketika aku mengingat kembali apa yang kualami semalam. Perasaan seperti diawasi terus kurasakan selama berada di dalam kamar. Aku dan Nining mengobrol selama beberapa menit sampai akhirnya gadis kecil itu tertidur.

Aku berinisiatif untuk tidur siang di samping Nining tapi entah kenapa aku tidak bisa tertidur dan memutuskan untuk melanjutkan membaca bukuku sambil menemani Nining tidur.

Beberapa jam berlalu dan aku terkejut ketika Nining yang kelihatannya sedang tidur nyenyak tiba-tiba duduk di tempat tidurnya, menoleh kearahku dan berkata:

"Bi, Nining takut sama pak petani berdarah. Nining takut dibunuh dan di beri makan ke ularnya," kata Nining dengan suara berbisik, penuh ketakutan tapi ekspresi wajahnya datar seperti sedang bermimpi.

Aku langsung mendekati Nining dan memeluknya. "Nining mimpi?"

"Gak, bi, petani berdarah itu mau membunuh Nining. Dia sedang mencari tumbal dan dia suka sama Nining," pelukan Nining semakin erat.

"Ning, dengar bibi ya, gak ada yang bisa menyakiti Nining kalau bibi, mama sama papa masih ada. Bibi pasti jaga Nining, percaya deh," aku membelai kepala Nining dan menciumnya.

Entah bagaimana Nining tahu dengan sosok petani berdarah yang nampak semalam, atau bagaimana dia bisa berpikir bahwa sosok itu menginginkan dia sebagai tumbalnya. Apakah semua ini nyata atau hanya imajinasi anak-anak saja?

Aku benar-benar tidak tahu!

Sore itu aku mengajak Nining untuk bermain di kampung agar dia bisa punya banyak teman main. Jam masih menunjukkan pukul 3 sore dan air laut belum pasang sehingga aku dan Nining masih bisa berjalan kaki menyebrang sungai kecil tanpa harus menggunakan perahu.

Banyak sekali anak-anak yang sedang bermain di pinggir pantai ketika kami tiba; ada yang sedang bermain layang-layang, sepak bola dan beberapa anak perempuan sedang bermain masak-masak di bawah pohon mangga.

Ketika melihat Nining anak-anak perempuan tadi langsung mendekatinya dan mengajaknya ikut bermain bersama mereka. Nining terlihat senang dan sangat bersemangat. Aku duduk di pasir sambil mengawasi Nining yang sesekali pergi ke bibir pantai untuk mengambil air laut.

"Hei Ran, ketemu disini ternyata. Aku baru saja mau ke villa," sapa Yohanes sembari duduk bersila di sampingku. Di tangannya ada kantong plastik hitam.

"Oh ya? Adit sama Rosa kan pergi sama pak Yusuf ke tambak ikan."

"Aku mencarimu, Ran," Yohanes menatapku sambil tersenyum. Aku bisa merasakan pipiku yang memerah karena malu.

"Tadi aku habis panen pepaya dan teringat kamu. Aku pikir kamu pasti suka ini," kata Yohanes lagi sambil mengeluarkan sebuah pepaya besar yang berwarna kuning dari kantong plastik.

"Terima kasih, ya," hati ini benar-benar melayang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata manis Yohanes!

"Sebentar," kata Yohanes kemudian pergi ke salah satu rumah di dekat pantai, aku rasa itu rumah ibu Wati - tidak lama kemudian dia kembali dengan sebilah pisau dan sendok makan.

Perlahan Yohanes membelah buah pepaya itu dan menampilkan bagian dalamnya yang berwarna merah terang, ditengahnya berserakan biji-biji hitam. Dengan cekatan Yohanes membagi buahnya, membersihkan bijinya dan menghidangkannya padaku dengan sebuah sendok.

Buahnya begitu manis; benar-benar manis seluruhnya, berair dan sangat menyegarkan! Kami pun menikmati buah pepaya bersama sambil duduk selonjoran di pasir pantai, memandang indahnya pemandangan laut di depan kami.

Awalnya kami hanya terdiam sambil memakan pepaya, tidak tahu harus mengobrol apa. Sesekali aku menyadari bahwa Yohanes mencuri-curi pandang padaku; pipiku pun memerah lagi.

"Kamu betah di sini, Ran?" tanya Yohanes setelah kami selesai makan.

"Aku senang berkunjung di sini tapi, ada sesuatu yang mengganjal pikiranku."

"Apa itu?"

"Kamu tahu gak siapa pemilik tanah ini sebelum di beli Lukas?" tanyaku, perlahan mencari jalan untuk mengungkit topik makhluk gaib.

Aku sangat ingin menjaga kesan baik Yohanes padaku, tidak ingin dipikirnya aku perawan tua yang kurang waras.

"Menurut ayah sih, pemiliknya dulu bernama kakek Beni tapi dia sudah lama meninggal, 50 tahun yang lalu kejadiannya. Kakek Beni hilang saat melaut, sejak saat itu tanahnya tidak ada penghuninya lagi. Pas mau di beli Lukas barulah ketahuan kalau kakek Beni sudah tidak punya sanak keluarga lagi jadi tanah itu diambil alih oleh pemerintah yang kemudian di jual ke Lukas. Ketika mau di bangun bangunan rumahnya sudah tidak ada sama sekali, hanya ada fondasi saja, jadi Lukas membangun mengikuti fondasi yang sudah ada untuk menghemat waktu dan anggaran," terang Yohanes.

"Oh ya? Kamu kok tahu banyak?"

"Iya, kan aku juga yang ikut membangun rumahnya. Ayah malahan jadi kepala mandornya. Teman Lukas yang arsitek - siapa namanya aku lupa - pokoknya dia yang design terus ayah yang mengawasi sementara aku dan beberapa tukang yang bekerja membangun. Setahun penuh kami membangunnya."

"Waktu di bangun apa kamu menemukan semacam kuburan atau apa gitu?"

Yohanes tiba-tiba tertawa cekikikan mendengar pertanyaanku. "Kenapa sih, Ran? Pertanyaanmu aneh sekali. Tidak ada kuburan, tidak ada hal-hal yang aneh."

"Oh..." jawabku singkat tidak puas dengan cerita Yohanes yang ternyata tidak bisa menjelaskan pengalamanku.

"Memangnya ada apa, Ran? Kamu kelihatan tidak senang," tanya Yohanes lagi sambil melihatku dengan tatapan yang meyakinkan bahwa dia benar-benar peduli dan ingin tahu isi pikiranku.

Awalnya aku ragu-ragu untuk bercerita tentang pengalaman seramku; malu di anggap terlalu berimajinasi yang aneh-aneh dan sangat yakin bahwa Yohanes dengan gaya pemikirannya yang logis pasti tidak akan percaya pada ceritaku, tapi entah kenapa topik itulah yang keluar dari mulutku. Mungkin karena aku sangat ingin mengeluarkan unek-unekku dan Yohanes terlihat sangat baik dan pengertian sehingga cerita itu pun keluar.

"Kamu percaya hal-hal gaib, gak?" tanyaku.

"Maksudnya?"

Aku pun menceritakan pengalamanku sejak kami tiba di desa ini. Mulai dari mimpi burukku, penglihatanku akan sosok petani berdarah yang membuatku sangat takut dan gemetaran juga kejadian aneh yang kualami malam sebelumnya dan pengetahuan Nining tentang petani berdarah yang entah darimana datangnya. Aku belum pernah bercerita pada siapapun tentang kemunculan sosok petani berdarah di gazebo taman kami malam kemarin, bagaimana Nining bisa tahu?

"Kamu mungkin capek, Ran," Yohanes menanggapi dengan logis.

"Mungkin," kataku menyetujui meski aku sangat yakin kecapekan bukanlah jawaban yang kucari.

"Apa yang kulihat itu adalah opo nedaha?" tiba-tiba aku terpikir apakah sosok petani berdarah mengerikan yang aku lihat semalam itu sebenarnya adalah opo nedaha, sosok yang paling ditakuti di desa ini?

"Bagaimana, sih rupanya opo nedaha itu?" tanyaku lagi semakin mengejar Yohanes untuk sebuah jawaban.

"Tidak Ran, yang kamu lihat itu hanya imajinasi saja atau bayangan pohon. Jangan terlalu dipikirkan," kata Yohanes dengan penuh keyakinan.

"Beri tahu aku rupa opo nedaha!" pintaku dengan lebih mendesak.

"Tidak ada rupa opo nedaha, Rani!" bentak Yohanes. "Tidak ada yang pernah melihatnya. Sudah kubilang, opo nedaha itu tidak nyata, dia hanya cerita orang-orang sini untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain sampai malam."

"Maaf kalau aku menyinggung tapi, kamu jangan jadi seperti orang-orang sini yang langsung menyalahkan makhluk gaib kalau ada sesuatu malapetaka. Hantu dan makhluk gaib tidak bisa menyakiti manusia. Manusialah yang bisa menyakiti sesamanya, dan itulah yang harusnya kau takuti," Yohanes terlihat sayu ketika dia terdiam untuk beberapa saat, memandangi cakrawala yang mulai berwarna oranye kemerahan.

Aku hanya bisa terdiam memandangi Yohanes, mencerna apa yang baru saja terjadi di antara kami. Perkataan Yohanes yang terkesan logis walaupun diucapkan dengan nada keras membuatku merasa sedikit tenang meskipun hatiku ini menjadi gundah gulana karena mendapatkan omelan darinya. 

"Aku harap kamu betah tinggal di sini, Ran. Aku senang bisa berkenalan denganmu," kata Yohanes lagi, memandangiku dengan tatapan senang.

Entah berapa lama kami berdua hanya terdiam saling menatap satu sama lain ketika tiba-tiba suara tante Marice yang memanggil nama Yohanes memecah keheningan di antara kami.

Rupanya tante Marice ingin meminta buah nanas dari kebun Yohanes untuk dia jadikan selai isian kue nastar yang akan dia masak persiapan natal nanti.

Yohanes pun segera pergi mendekati tante Marice dan menjanjikan akan mengantarkan buah nanas besok pagi. Setelahnya aku berjalan mendekati tante Marice untuk mengobrol dengannya sementara Yohanes bermain-main dengan anak-anak lelaki yang sedang bermain sepak bola.

Tante Marice memperhatikan Yohanes sambil bercerita bahwa Yohanes adalah lelaki yang baik, pekerja keras dan sangat senang anak-anak, dia juga adalah idola para gadis di desa ini meski dia terlihat tidak tertarik dengan mereka dan malas pacaran. Orang-orang sudah berkali-kali menyuruh Yohanes untuk segera menikah tapi dia belum mau karena menurut Yohanes belum ada wanita yang cocok dengannya.

"Dulu dia dekat sekali dengan Ana, anaknya tante Nona. Mereka pacaran sejak SMA, dengar-dengar dulu katanya udah ada kesepakatan  agar mereka menikah ketika Ana selesai sekolah. Pak Yusuf, sama pak Jeki - almarhum suami tante Nona - udah ketemu, sepakat eh tau-taunya ketika Yohanes lulus SMA dia sama Ana putus. Beberapa tahun kemudian Ana menikah dengan orang lain," tante Marice menghembuskan nafas panjang seperti prihatin dengan Yohanes. Nampak dia sangat menyayangi pria itu seperti anaknya sendiri.

"Yah, sejak Ana, Yohanes tidak pernah lagi dekat dengan wanita manapun. Semoga dia cepat menikah supaya ada yang mengurusinya," tambah tante Marice.

"Ana yang mana, tante Marice? Kemarin ikut ibadah pra-natal, gak?"

"Oh, Ana sudah lama meninggal. Lima tahun yang lalu kalau tidak salah ingat. Meninggal waktu lagi hamil enam bulan."

"Oh...jadi tante Nona tinggal sendirian sekarang?"

"Ya," jawab tante Marice singkat. 

Aku merasa sedih mendengar cerita tentang tante Nona, berpikir betapa sunyi hidupnya tanpa sanak keluarga. 

Aku dan tante Marice pun mengalihkan pembicaraan kami yang sudah terlalu menyedihkan dan mulai mengobrol tentang kue dan perayaan natal. Kami masih mengobrol ketika mataku menangkap sesuatu yang timbul tenggelam beberapa meter dari pinggir pantai. Aku terus memperhatikan benda misterius itu, dan tanpa sadar melupakan tante Marice yang sedang berbicara.

Tante Marice sepertinya sadar denganku yang tidak fokus mendengarnya dan mengikuti pandanganku. Tiba-tiba tante Marice berteriak dengan kencang!

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

Byk yg mati pas hamil, benar ada dukun itu,,

Jgn" Nining yg tenggelam??

2022-02-25

0

Sisilia Nopita Sari

Sisilia Nopita Sari

Nining tengelam,,hadeehhh bii Rani🤦‍♀️🤦‍♀️

2021-08-07

0

Richa Rostika

Richa Rostika

semangat author lanjut..

2021-01-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!