Masih teringat hari itu,
"Aku akan membawa rahasia itu sampai aku mati."
Bisikan mama masih membakar panas di telingaku ketika pandanganku mulai kabur, tertutup oleh air mata; tubuhku menegang namun nafasku memburu saat kusaksikan nafas mama perlahan memendek seraya lilin kehidupannya perlahan mulai meredup.
Dinginnya kematian menjalar mulai dari jari kaki, perlahan membuat kaku seluruh tubuhnya sampai akhirnya malaikat kematian menggenggam jantung mama dan meniup lilin kehidupannya.
Aku menangis, meraung memanggil mama untuk kembali padaku! Apakah aku akan kehilangan mamaku hari ini? Kenapa mama tidak bergerak dan menjawabku? Pikiran buruk berkecamuk dan menghempaskanku dalam lubang gelap depresi. Bila mama meninggal, dia akan membawa serta sebuah rahasia yang sangat penting untuk kuketahui, sebuah rahasia yang sudah dia simpan sepanjang hidupnya; rahasia tentang identitas ayahku.
Aku terus memanggil-manggil mamaku tapi dia tidak bergerak. Tanpa sadar tanganku mulai merapikan bantal di kepala mama, entah apa yang kupikirkan.
Tidak lama kemudian dokter dan para suster masuk ke kamar tempat mama di rawat. Aku terpaku menatap mereka yang mengerumuni mama, mencoba untuk membangkitkan lagi jantungnya, memompa, berusaha memasukan oksigen ke dalam paru-parunya.
Seorang suster menarikku dan membawaku keluar sementara paramedis bekerja. Detik berlalu dan semakin nampak jelas bahwa usaha mereka untuk membantu mama adalah sia-sia dan aku pun semakin putus asa.
Mama meninggal hari itu.
Pikiranku kosong, entah apa yang dokter dan suster bicarakan denganku, mungkin mereka sedang menghiburku, entahlah. Aku hanya terdiam, tatapanku tidak pernah ku alihkan dari mayat mama yang terbujur kaku di tempat tidur, perlahan mulai membiru; seorang suster menutup wajah mamaku dengan kain putih.
Satu hal yang benar-benar memberatkan hatiku dan menambah duka penyesalan adalah pemikiran akan bagaimanakah aku bisa hidup setelah semua ini; mengetahui bahwa satu-satunya orang yang bisa membuka rahasia penting dalam hidupku itu sudah mati.
Perlahan-lahan mama di pindah dari tempat tidur ke troli mayat untuk di bawa ke kamar jenazah. Aku mengikuti seorang suster yang sedang mendorong trolinya menyusuri lorong rumah sakit yang remang-remang. Aku ingat betul kesunyian di tengah malam ketika mama di bawa ke kamar jenazah. Tidak ada suara apapun, hanya bunyi roda troli yang berdecit terdengar di sepanjang perjalanan dan sesekali suara gesekan dedaunan yang ditiup angin.
"Kamu tunggu disini, ya," kata suster itu sebelum dia membuka pintu kamar jenazah dan mendorong mama masuk ke dalam untuk dimandikan dan diformalin.
Aku menghela napas panjang dan menutupi wajahku dengan tangan dan kembali menangis. Aku tinggal sebatang kara sekarang, tidak ada lagi mama yang akan menjagaku, menenangkanku ketika aku gelap mata karena amarah, dan terlebih tidak ada lagi harapan untukku mengetahui siapa sebenarnya ayahku. Bagaimana hidupku kedepannya?
Oh, mama dan kakek aku sangat berharap kalian kembali hidup untukku...
Ketika aku membuka mataku, seorang nenek tua sedang duduk di depanku dan tersenyum. Senyumannya begitu manis dan begitu menenangkan, aku bertanya dalam hati, siapakah yang meninggal di keluarga nenek ini? Dan kenapa dia bisa tersenyum begitu tulus padaku sementara seseorang yang mungkin sangat dia kasihi tengah terbujur kaku di dalam sana, dimandikan oleh petugas jenazah - mungkin bersebelahan dengan mama.
Melihat senyum berseri nenek itu, hatiku perlahan mulai tenang, denyut-denyut duka perlahan mulai diam dan aku pun ingin tersenyum membalas nenek itu ketika tiba-tiba tercium bau menyengat yang sangat kukenal; bau daging terbakar yang bercampur anyir darah dan busuknya bangkai yang selalu menyertai dia, teman lamaku.
Di ujung mata aku bisa melihat dia berjalan perlahan-lahan mendekatiku. Aku tahu dia tidak akan terlalu dekat denganku - dia selalu ada, selalu mengawasiku tapi tidak pernah berada kurang dari 2 meter dariku - dia selalu menjaga jarak. Aku yakin sebentar lagi dia akan menghilang; selalu seperti itu selama 24 tahun dia membayangiku.
Namun perlahan keyakinanku mulai luluh sembari tubuhku menegang ketika dia terus berjalan, tidak pernah berhenti, perlahan mendekatiku dan akhirnya duduk disampingku. Dari ujung mataku, aku bisa melihat kain tipis berwarna merah yang selalu dia kenakan dan siluet wajah terbelah 2 bermandikan darah hitam dibaliknya.
Tubuhku terasa kebas, hilang semua perasaan tenang yang tadi kurasakan kini berganti kesedihan yang mendalam dan amarah, tapi yang terbesar adalah ketakutan apalagi ketika aku melihat wajah nenek yang tadinya tersenyum padaku berubah; berkerut tak karuan, matanya terbelalak memandangi dia yang sedang duduk disampingku.
Raut wajah nenek itu menampakan rasa sakit dan takut yang mendalam; tubuhnya bergetar hebat ketika dia perlahan berdiri, seakan tidak ingin makhluk ini tahu dia hendak pergi. Perlahan nenek itu berjalan mundur, matanya terus memandangi sosok petani berdarah dengan kain merah yang menutupi wajahnya - satu langkah, dua langkah, berbalik dan segera berlari ke arah kamar jenazah dan menghilang, menembus pintu yang bahkan tidak terbuka sedikitpun.
Aku hanya bisa menangis, membeku di tempat duduk dengan dia yang menemaniku.
Entah berapa lama aku duduk dan menangis di depan kamar jenazah, ketika aku tersadar matahari mulai terbit, menyinari sekelilingku dengan cahaya keemasannya. Mataku bengkak tidak karuan dan tubuhku amat sakit dan lelah.
"Mbak, ibunya sudah siap dibawa pulang," kata suster yang sama dengan tatapan ibanya yang membuatku tambah ingin menangis. "Mbak sudah booking mobil jenazah, belum?"
"Harus di booking dulu, ya, sus?" tanyaku dengan suara serak.
"Gak apa-apa, coba nanti saya bantu," suster berbaju biru itu menepuk pundakku dengan lembut. Yanti, nama yang tertulis di papan nama yang di peniti di dada sebelah kanan seragamnya.
Aku mengikuti suster Yanti ke lobi depan kamar jenazah dan menunggunya disitu sementara dia mengusahakan mobil jenazah untuk mama. Aku duduk di sebuah bangku kayu, di sampingku seorang anak perempuan duduk, tersedak tangis sambil memeluk foto seorang nenek. Aku memperhatikan lagi wajah tersenyum nenek di foto itu dan aku pun ikut tersenyum.
Itu foto nenek semalam yang tersenyum penuh damai padaku. Aku harap dia tidak terlalu takut dengan petani berdarah yang datang mengganggu tadi malam.
Suster Yanti benar-benar membantuku mendapatkan mobil jenazah untuk mengantarkan mama pulang ke rumah untuk yang terakhir kalinya. Aku pun duduk di belakang mobil bersama peti jenazah. Dalam perjalanan kembali ke Tangerang, tempat mama tinggal, aku baru teringat bahwa aku tidak mengabari siapa-siapa tentang kematian mama.
Aku mulai menelepon orang-orang yang aku tahu sangat dekat dengan mama: bapak Pendeta di gereja kami yang kemudian memberitakan pada seluruh jemaat dan tante Erlina Haryono yang langsung menangis ketika aku mengabarinya sambil bilang bahwa pagi ini dia sedang bersiap untuk menjenguk mama di rumah sakit. Erlina Haryono adalah pemilik perusahaan tempat mama dulu bekerja sebelum pensiun yang adalah juga sahabat karibnya.
Aku sempat berpikir kami akan tiba di rumah yang kosong dan sepi karena aku lupa mengabari orang-orang, tapi ternyata memang mamaku banyak di sayang, sehingga ketika kami tiba sudah banyak jemaat gereja, teman-teman kantor mama dan tetangga yang menunggu kepulangan sahabat mereka.
"Kamu yang sabar ya, Ra," aku ingat kata-kata tante Erlina untuk menghiburku dengan suara yang bergetar karena menahan tangis yang akhirnya pecah juga ketika matanya melihat lagi mayat mama yang terbaring membiru di dalam peti.
"Hidup mama kamu banyak rintangannya, Ra. Tidak muda membesarkan seorang anak sendiri, tapi dia begitu kuat dan bertekad. Mama kamu mulai bekerja sama tante di usia yang tidak muda. Dulu dia mulai sebagai pramusaji di cafe kecil tante, lama-lama akhirnya tante punya perusahaan dan mama kamu tante ajarin pembukuan sampai akhirnya dia jadi manajer accounting ketika perusahaan tante mulai sukses. Kami bisa di bilang bertumbuh bersama, Ra. Mama kamu orang paling jujur, tante percaya banget sama dia. Tante bangga bisa berteman dengan mama kamu," katanya lagi di sela-sela tangisannya.
Detil kecil kehidupan masa lalu mama yang tidak pernah aku ketahui. Aku tahu mama melahirkanku di usia yang tidak muda lagi, 40 tahun, tapi aku baru tahu kalau dia juga baru bekerja sama tante Erlina di usia yang sama. Apa mungkin tante Erlina tahu kebenaran tentang ayahku?
"Mama pernah cerita sama tante tentang ayahku, gak?" tanyaku mencoba peruntungan meski aku sangsi dia tahu rahasia itu, namun sedikit harapan dalam hatiku membuatku tetap mencoba.
Tante Erlina memandangku, tersenyum lalu memalingkan wajahnya menatap mayat mama.
"Tante gak tahu, Laura. Tapi kalau mama kamu gak pernah mau cerita mungkin sebaiknya kamu relakan saja. Ada rahasia yang lebih baik di bawa ke liang lahat," katanya setengah berbisik dan tanpa menunggu lagi segera menutup pembicaraan kami dan pergi mendekati bapak Pendeta yang akan memulai ibadah pemakaman.
Sore itu, pukul 4 ketika sinar matahari mulai melembut, kami semua mengantarkan mama ke tempat perisitirahatannya yang terakhir. Mama begitu beruntung mempunyai banyak teman yang sangat menyayanginya, yang menangisinya ketika peti jenazahnya perlahan-lahan diturunkan ke liang lahat.
Aku menaburkan tanah ke atas peti mama, merasa begitu kesepian dan kehilangan.
"Laura, kalau perlu apa-apa telepon tante ya," kata tante Erlina sebelum pergi.
Tubuh ringkih tante Erlina di tuntun oleh mas Aryo, anaknya yang paling tua. Melihat mas Aryo lagi membangkitkan perasaan benci dan dendam yang sangat besar di hatiku.
Aku memalingkan pandanganku kembali ke liang kuburan mama dan berdiri terpaku memandangi peti jenazah yang perlahan-lahan mulai hilang dari pandangan, tertutup tanah.
Inilah akhirnya; mama pergi membawa cerita tentang ayahku bersamanya, persis seperti yang selalu mama janjikan: aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati, mama terus berkata ketika aku memintanya untuk bercerita tentang ayah.
Aku tidak pernah mengenal ayahku. Mama selalu memaharahiku dan mendiamiku apabila aku bertanya tentang dia. Kakek juga tidak mau memberitahuku tentang ayah meski aku tidak pernah dihukum kalau bertanya pada kakek, dia hanya tidak pernah mau bercerita.
Sejak dulu aku selalu iri pada teman-temanku yang memiliki seorang ayah; yang selalu menyombongkan pekerjaan ayahnya dan selalu pamer kalau diajak ayahnya jalan-jalan.
Awalnya aku diam saja dan tidak terlalu memusingkan kerahasiaan identitas ayah, apalagi sewaktu kakek masih hidup. Aku mempunyai seorang kakek yang sangat penyayang, aku tidak butuh ayah.
Namun, rasa penasaran yang besar muncul dalam diriku ketika kakek meninggal saat aku berusia 6 tahun. Di dalam pikiran anak-anakku, aku berpikir kalau kakek tidak ada lagi, siapa yang akan mengajakku bermain kalau mama sedang di kantor? Terpikirlah dalam benakku kalau aku tahu siapa ayahku, mungkin aku bisa datang ke rumahnya dan memintanya untuk bermain denganku - pikiran yang bodoh, aku tahu.
Tiga hari setelah penguburan kakek, aku kembali bertanya pada mama tentang ayah. Saat itu aku ingat mama sedang duduk di meja makan di dapur sambil membaca surat kabar. Mama kelihatan sedang bersedih, mungkin masih merindukan kakek. Melihat kebelakang saat itu mungkin bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya tentang topik yang sangat dilarang di rumah kami tapi, aku masih berusia 6 tahun, masih bodoh.
Mama begitu marah, apalagi setelah beberapa kali mama menyuruhku untuk diam dan tidak bertanya lagi, tapi aku tetap kukuh mengulang-ngulang pertanyaan itu. Mama memukulku dengan surat kabar yang sedang dia baca - tidak sakit secara fisik memang tapi, saat itu hatiku luluh lantah, kecewa dengan mama. Setelah itu, mama mengurungku di dalam kamar. Itulah pertama kalinya dia menampakkan diri padaku.
Dia adalah sosok petani berdarah, memakai topi segitiga khas petani tradisional dengan kain merah tipis yang menutupi wajahnya mulai dari ujung topi sampai bagian dada. Meski ada kain yang menutupi wajahnya, tapi aku tetap bisa melihat muka di baliknya; wajahnya berwarna merah, kepalanya hampir terbelah 2 dari ubun-ubun sampai ke atas mulutnya oleh sebuah parang. Tubuhnya kurus bagaikan ranting pohon kering yang bersimbah darah.
Dia berdiri di sudut kamarku kala itu. Bau busuk yang sangat menyengat tercium di seluruh ruangan kamar membuatku muntah-muntah. Aku berteriak dan memanggil mama dengan ketakutan sambil terus muntah di sela-selanya.
Mama datang dan sangat kaget melihat ceceran muntahanku di lantai kamar dan tempat tidur. Aku tidak bisa berkata-kata lagi tentang apa yang kulihat, aku hanya bisa menunjuk sudut kamarku tempat bayangan itu berdiri, sama sekali tidak bergerak. Mama bingung apa yang aku tunjuk, akhirnya setelah beberapa menit aku terus menunjuk dan mama terus bertanya, aku bisa mengeluarkan suara,
"Petani berdarah!" teriakku sambil berlari memeluk mama.
Tubuh mama menjadi kaku dan tegang ketika kupeluk. Aku tahu dia tidak bisa melihat apa yang kulihat karena matanya masih terus mencari bayangan yang jelas-jelas masih belum berpindah dari tempat awalnya, tapi wajahnya menjadi pucat ketakutan. Aku tahu dia percaya padaku.
Itulah terakhir kalinya aku jujur pada mama ketika aku melihat sosok mengerikan itu. Mamaku orang yang sangat relijius, terlalu relijius bahkan sehingga ketika kejadian penampakan itu, mama membawaku ke rumah bapak pendeta dan kami tinggal di situ selama beberapa hari; aku tidak pergi ke sekolah dan mama pun tidak pergi bekerja, yang kami lakukan hanyalah berdoa, membaca alkitab, berdoa lagi, persis seperti ibadah pengusiran setan.
Aku benar-benar tersiksa dengan teriakan-teriakan doa pak Pendeta, tangannya memegang kepalaku untuk mengusir setannya tapi tumpangan tangannya di ubun-ubunku hanya membuatku sakit kepala dan oh, betapa haus dan laparnya! Aku begitu tersisksa! Yang membuatku takjub adalah: makhluk itu tidak pernah pergi, bergerak pun tidak. Doa pak pendeta sama sekali tidak mempan padanya.
Pada akhirnya aku berbohong dan bilang pada mama bahwa makhluk itu sudah terbakar api surga dan kami pun akhirnya diizinkan pulang. Aku tidak kuat menjalani satu hari lagi berada dalam ibadah pengusiran setan yang jelas-jelas tidak ada hasilnya.
Makhluk itu tetap mengikutiku, sehingga aku pun terbiasa dengan kehadirannya. Dia selalu merubah-rubah wujudnya. Kadang dia menjadi seorang kakek tua dengan kulit yang membusuk dan masker oksigen yang menutupi hidungnya; kadang menjadi sesosok lelaki berbadan tegap dengan kulit hitam karena terbakar matahari. Dia memakai kaos putih dan celana panjang kheki. Sosok lelaki itu selalu muncul di pojok kamarku, berdiri tegak membelakangiku, aku tidak pernah melihat wajahnya. Kadang makhluk itu lebih suka menjadi sosok aslinya yaitu petani berdarah. Wujud inilah yang entah mengapa membuatku sangat takut lebih dari wujud yang lain.
Beberapa kali aku mencoba berkomunikasi dengannya tapi makhluk itu diam saja, begitu misterius.
Setelah hari itu, topik tentang ayah pun terdiam dan tidak di ungkit lagi. Bukan berarti aku sudah tidak memikirkannya, malahan rasa penasaranku semakin menjadi-jadi apalagi setelah makhluk itu tidak pernah berhenti mengikutiku. Apa bayangan ini ayahku? kadang aku berpikir.
Kadang pikiran buruk menyisip dalam otakku dan aku menjadi yakin kalau aku adalah anak hasil pemerkosaan atau yang paling buruk adalah aku akan berpikir kalau mama dulu adalah seorang psk dan memang benar dia tidak tahu siapa ayahku karena terlalu banyak lelaki yang membayar tubuhnya sebagai pemuas nafsu.
Masa lalu mama yang begitu misterius, yang sama tertutupnya dengan rahasia identitas ayah benar-benar menambah kecurigaanku dan pikiran burukku.
Pikiran buruk itu selalu menghantuiku. Sejak saat itu aku mulai dikuasai amarah yang besar sehingga aku dikenal oleh orang-orang disekitarku sebagai anak yang pemarah dan bengis.
Mereka tidak tahu, ketika aku marah, aku akan jatuh di dalam kegelapan dan di kelilingi oleh petani berdarah yang membuatku lumpuh dan tidak berdaya. Namun di dunia nyata, aku akan memukul dan mengeroyok dengan bengis orang yang membuatku marah. Teriakkan orang-orang lain tidak akan mempan untuk menyadarkanku.
Hanya suara mama yang mampu menembus kegelapan pikiranku, mengusir makhluk itu dan menarikku kembali ke dunia nyata. Aku akan tersadar dan melihat teman bermainku dengan hidung atau mata yang berdarah karena kupukul atau seikat rambut mereka yang berada di dalam genggaman tanganku karena kujambak.
Karena melihat amarahku yang memburuk, alih-alih membawaku ke psikiater atau memberi jawaban terhadap pertanyaanku, mama malah sering mengurungku di kamar dan memaksaku untuk berdoa, membaca Alkitab dan mendengarkan lagu rohani dan memohon pada Tuhan untuk mengampuni dosaku. Semua itu baik yang dia lakukan, tapi kupikir seandainya dia jujur dan bercerita tentang ayah, maka aku akan baik-baik saja.
Entahlah.
Seiring waktu berlalu rasa penasaranku muncul lagi karena kejadian memalukan dan mengesalkan yang terjadi ketika aku duduk di bangku SMP. Teman sekelasku, Nia namanya, perempuan ****** itu katanya tidak sengaja melihat akte kelahiranku di meja kepala sekolah - sungguh tidak masuk akal - dan menemukan bahwa tidak ada keterangan nama ayah tertulis di situ. Nia merasa seperti menemukan sebuah skandal besar dan menyebarkannya di sekolahku.
Aku begitu malu ketika berita itu menyebar. Teman-teman seangkatanku mulai memanggilku Jadah yang berarti anak haram.
Aku kembali meminta mama untuk bercerita tentang ayah, mengeluhkan padanya tentang nama panggilanku yang berarti anak haram. Aku pikir mama akan luluh hatinya, merasa kasihan padaku, tapi perkiraanku salah.
"Dunia ini kejam, Laura. Diluar sana akan lebih banyak orang yang berusaha untuk menjatuhkanmu, memfitnahmu, menipumu. Kalau kata-kata anak smp saja sudah membuatmu sedih, nanti bagaimana kamu bisa menghadapi dunia nyata?" kata mama sebelum memaksaku keluar rumah untuk pergi ke gereja seperti tidak terjadi apa-apa, seakan-akan masalah dan rasa maluku tidak ada artinya di mata dia.
Ketika aku kembali masuk sekolah, amarahku mulai tidak bisa terbendung lagi apalagi sejak teman-teman mulai rutin memanggilku jadah, bahkan di depan guru sekalipun dan tidak ada guru yang turun tangan membelaku.
Aku begitu marah, hatiku terasa seperti akan meledak. Aku ingat meninju Nia dan menjatuhkannya ke lantai, duduk di dadanya dan memukulinya lagi sebelum kemudian aku terjatuh di dalam lubang gelap amarahku dengan petani berdarah yang sudah menungguku, tidak sabar untuk menyiksaku.
Entah berapa lama aku tersiksa di dalam lubang gelap itu sebelum suara mama memanggilku; aku seperti melayang keluar dari lubang itu sembari kurasakan hangatnya tangan mama di keningku. Aku tersadar dan tidak ingat apa yang terjadi, tahu-tahu aku sudah tertidur di ruang UKS sementara mama berdiri disamping tempat tidurku.
Keesokkan harinya mama menghadap kepala sekolan dan om Irfan, ayahnya Nia untuk meminta maaf atas kelakukanku. Sungguh tidak adil! Aku yang di hina tapi aku yang harus minta maaf? Di luar dugaan, yang terjadi kemudian adalah om Irfan langsung meminta maaf kepada mama dan bilang bahwa semua salah Nia. Dia juga memperingatkan dengan keras pada pak kepala sekolah dan guru-guru untuk tidak mentoleransi bullying di sekolah apalagi yang menyangkut hal-hal sensitif seperti ini.
Begitulah mama, dia seperti punya sesuatu yang membuat orang selalu bersimpati padanya. Semua orang mencintai mamaku.
Tahun berlalu dan topik ayah tidak pernah kutanyakan lagi. Aku capek selalu jatuh ke dalam lubang gelap tempat petani berdarah itu menungguku setiap kali aku marah atau sakit hati karena rahasia ayah.
Sampai akhirnya aku lulus kuliah dan tante Erlina mengajakku untuk bekerja di perusahaannya sebagai staf keuagan. Kala itu mama sudah berpikir untuk pensiun apalagi dengan usia mama yang sudah bisa di bilang senja, 65 tahun dan juga kesehatannya yang mulai menurun; sakit kepala yang hebat yang selalu menyerangnya mulai panjang durasinya.
Tapi aku lebih baik memulung di jalanan daripada bekerja di perusahaan tante Erlina dan harus bertemu mas Aryo setiap hari. Setelah yang dilakukan laki-laki bejat itu padaku, aku tidak sudi berkerja untuknya! Aku tidak ingin membahas perbuatan mas Aryo padaku, tapi satu hal yang kuingat: di hari mas Aryo merengut setengah jiwaku, di hari itu juga pertama kalinya aku melihat ekpresi di wajah rusak petani berdarah itu; dia tersenyum puas! Seakan dia merasa senang melihatku dijahati dan dibuat seperti sampah oleh orang lain.
Aku menunggu untuk jatuh di dalam lubang gelapku agar aku tidak merasakan setiap detik perbuatan laknat mas Aryo tapi, makhluk itu seperti tidak mau melepaskanku dari penderitaan dan membuatku merasakan setiap inchi perihnya penyiksaan mas Aryo terhadapku.
Ya, aku tidak sudi harus mencari nafkah bekerja di perusahaan terkutuk itu. Aku punya rencanaku sendiri: aku mau melamar menjadi PNS. Memang susah dan tidak selalu bisa lulus, kalau lulus pun gajinya mungkin tidak seberapa tapi yang membuatku tertarik adalah tunjangan seumur hidupnya yang sangat menggiurkan. Di usiaku yang ke 60, aku sudah harus pensiun dan tetap bisa mendapatkan gaji per bulan. Aku tidak ingin seperti mama yang harus terus bekerja meski usianya sudah lewat usia pensiun hanya karena tante Erlina tidak bisa mempercayai orang lain selain mama.
Satu hal yang menahanku untuk segera melamar adalah akte kelahiranku. Sejak kejadian di SMP dulu, aku jadi begitu malu dengan selembar surat itu dan berusaha sedapat mungkin untuk tidak menggunakannya.
Kembali lagi aku ke rumah mama - saat itu aku sedang tinggal nge-kos di Bandung - dan kali ini bertekad untuk bicara baik-baik, membujuk mama untuk bercerita tentang ayah; namanya saja agar bisa ku cantumkan di akte kelahiranku.
Lagi-lagi topik pembicaraan tentang ayah tidak berujung baik. Aku dan mama terlibat pertengkaran hebat dan mama menamparku dengan keras karena aku memanggilnya perempuan ******. Setelah menamparku, keheningan muncul di sekitar kami. Mama seperti sudah ringkih dan kecapean berjalan perlahan ke arah dapur dan duduk di meja makan, membelakangi jendela.
"Kenapa mama tidak pernah cukup untukmu, Laura? Kenapa kamu terus mengejar seseorang yang tidak kamu kenal?" kata mama, pilu.
Aku ingat betul cahaya kemerahan mentari sore menerangi setengah wajah mama yang sudah berkeriput. Dia tampak capek namun bertekad, matanya memandangku dengan mantap sembari berkata:
"Aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati," kemudian tiba-tiba mama jatuh terbanting dari kursinya dan tidak sadarkan diri.
Di hari itulah awal diagnosa mama menderita tumor otak yang tidak bisa di operasi.
Aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati.
Kata-kata mama bergema dalam mimpiku sementara tubuh ringkih mama yang duduk membungkuk di kursi membelakangi jendela perlahan tertelan kegelapan; matahari yang tenggelam membawa sosok gelap yang mulai menelan mama, membuat kulit mama membiru dan membusuk.
Aku kaget terbangun, membuka mataku dan menemukan wajah rusak petani berdarah tepat di depanku, memandangku dengan mata melotot. Kepalanya hampir putus terbelah dua dari ubun-ubun dan darah hitam menetes perlahan menuju mulutnya yang membusuk. Kain merah yang selalu menutupi wajahnya kini membungkus wajahku; bau busuk pakaian apek dan anyir menyeruak, menusuk hidung. Selama beberapa detik aku tidak mampu bereaksi; kami saling menatap dan tidak melepaskan kontak mata sampai getaran ponsel di meja samping tempat tidurku membuat mataku berkedip dan dia pun menghilang.
Aku segera bangun dan mengecek ponselku. Sebuah pesan singkat berisi pengumuman pengumpulan sumbangan untuk yayasan tunawisma milik gereja kami terpampang di layar. Teringat lagi pesan mama: kalau mau berbuat baik jangan di tunda-tunda. Aku segera bergerak untuk bersiap, hendak kembali ke rumah mama untuk membereskan baju dan barang-barang mama yang bisa kusumbangkan. Persis yang selalu kami lakukan setiap tahunnya.
Perih tanganku masih terasa ketika kulitku tersentuh sabun saat mandi. Masih terngiang panasnya kuah bakso bang Rohim yang tumpah di tanganku. Sejak mama meninggal aku begitu depresi dan merasa betul-betul sendiri, amarahku juga tidak bisa kutahan dan yang paling buruk adalah tidak ada yang bisa menyadarkanku ketika aku gelap mata.
Itulah yang terjadi ketika tanganku terluka. Aku bahkan sudah lupa apa yang membuatku sangat marah pada abang penjual bakso langgananku itu, yang aku tahu saat itu aku begitu marah dan kegelapan mulai menarikku ke lubangnya yang gelap dimana petani berdarah perlahan menaungiku dan membuat napasku sesak. Di dunia nyata, aku menghancurkan gerobak bakso bang Rohim. Aku baru tersadar ketika kuah bakso yang mendidih tumpah ke pergelangan tanganku membuat kulit melepuh.
Sejak saat itu aku tidak lagi keluar kamar kos. Apa gunanya? Beberapa kali aku berpikir untuk bunuh diri tapi kuurungkan niatku, entah kenapa. Mungkin aku memang penakut.
Perjalanan menuju rumah mama memakan waktu setengah hari karena macetnya jalanan di Jakarta dan aku harus beberapa kali berganti bus dan angkot untuk sampai ke rumah.
Rumah mama terletak di sebuah perumahan tua di Tangerang Selatan. Rumah itu kecil dan mempunyai 2 lantai, bercat putih dan ubinnya berwarna krem. Letaknya agak tinggi dari jalan; dari teras depan kami memiliki pemandangan indah seluruh daerah perumahan dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Tepat di depan rumah adalah ruangan kecil yang menghadap jalan, yang dulunya kakek pergunakan untuk membuka warung tapi, sejak kakek meninggal ruangan itu tidak pernah di pakai lagi dan dijadikan gudang oleh mama.
Aku melihat sekelilingku dan terasa betul rumah ini kehilangan mama. Rumah yang dulunya bersih dan mengkilap karena selalu dibersihkan sekarang berdebu, teras depan di penuhi daun-daun kering yang tertiup dari pohon mangga yang berada di sampingnya. Aku bertekad akan membersihkan rumah hari ini sebelum aku mengumpulkan sumbangan dan kembali ke Bandung. Aku sangat tidak ingin tinggal berlama-lama di rumah ini; tidak ingin tinggal dengan kenangan mama yang menghantui rumah ini.
Karena itulah aku tidak pernah kembali sejak pemakaman mama.
Aku membuka pintu rumah dan tercium bau khas rumah ini yang selalu ku ingat. Bau ini tidak bisa kugambarkan; setiap rumah pasti punya bau khasnya masing-masing yang dapat membawa kenangan pada penghuninya yang sudah lama tidak pulang.
Bau rumah ini membuatku teringat lagi masa kecilku bersama kakek yang membuatku ingin menangis. Perlahan rasa penyesalan menyisip dalam hatiku tatkala aku menyadari betapa sendirinya aku di dunia ini. Meski hubunganku dengan mama tidaklah begitu dekat bahkan bisa dibilang ada jarak dan kebencian di antara kami tapi, dia tetaplah mamaku dan aku tahu dia sangat menyayangiku meski dia selalu bersikap dingin dan sering marah-marah. Sewaktu kakek meninggal yang tersisa dari keluargaku hanyalah mama; hanya aku dan mama.
Menyusuri rumah ini, meski kecil tapi terasa seperti menyusuri kenangan masa lalu yang panjang. Ketika aku sampai di dapur, teringat lagi wajah mama sewaktu dia duduk di sini dan berkata: aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati.
Dia menepati janjinya. Bahkan di saat-saat terakhir hidupnya, ketika pikirannya sudah mulai lemah dan pijakannya pada kenyataan sudah goyang, dia tetap bersikukuh mengacuhkan pertanyaanku tentang rahasia besar yang dia simpan.
Hari-hari terakhir hidup mama terasa begitu mencekam, entah bagaimana aku bisa melewatinya. Ketika mama menerima diagnosa tumor otak itu, aku pindah lagi ke rumah ini untuk menjaganya. Ku urungkan niatku untuk melamar pekerjaan agar aku fokus merawat mama.
Minggu-minggu pertama keadaan mama masih baik meski sakit kepala dan demamnya begitu hebat tapi, mama masih bisa berpikir dan sadar dengan dunianya. Namun seiring waktu berjalan, mama mulai kehilangan akal sehatnya. Aku akan menemukan dia tengah malam buta duduk di anak tangga dan mengobrol dengan dinding; memanggil-manggil seseorang bernama Opo. Ketika aku bertanya apa Opo itu adalah ayahku, mama akan diam seperti membeku. Ketika aku mengajaknya untuk kembali tidur, mama akan tersenyum sinis padaku.
Suasana rumah mulai terasa sesak dan penuh tekanan ketika mama sama sekali kehilangan akal sehat dan tidak sadar lagi dengan kenyataan disekitarnya. Di siang hari tidak begitu terasa karena tante Erlina sering mampir dan membawakan makanan kesukaan mama meski dia tidak ingat lagi siapa sahabat karibnya itu. Kadang tetangga kami juga datang menjenguk dan jemaat di gereja kami sering datang serombongan untuk menemani mama walau hanya beberapa jam saja.
Namun, saat malam tiba, saat itulah terasa seperti aura kegelapan menaungi rumah ini, begitu tertekan rasanya dan amat menakutkan karena aku tidak tahu akan menemukan mama seperti apa. Kadang kutemukan dia menangis meronta-ronta di dapur, memarahi sudut gelap di samping tempat cuci piring. Ketika kutanya siapa yang sedang dia marahi, mama menjawab:
"Dia seharusnya sudah mati," kata mama memandangku dengan wajah serius. "Kamu seharusnya sudah mati! Dia sudah lama membunuhmu!" teriaknya lagi kali ini mengarahkan pandangannya pada sudut gelap itu lagi.
"Siapa yang sudah mati, ma? Apa ayah sudah mati?" tanyaku, siapa tahu mama mau bercerita.
Mama hanya menatapku tanpa berkata-kata dan berjalan kembali ke kamarnya.
Mungkin aku sudah terbiasa melihat makhluk mengerikan yang selalu mengikutiku tapi, bukan berarti aku tidak takut dengan apa yang mama lihat, karena aku tidak bisa melihatnya.
Aku ingat di suatu malam, aku terbangun dengan keringat dingin bercucuran dari pelipisku karena mimpi buruk. Ketika aku sedang mengatur nafasku untuk menenangkan jantungku, aku mendengar sayup-sayup suara isak tangis dari bawah. Perlahan aku berjingkat ke arah kamar mama dan mendengus kesal ketika melihat tempat tidur mama kosong.
Sekarang isak tangis yang tadinya sayup-sayup mulai terdengar lebih kencang dan nyata. Aku pun mengikuti suara itu sampai ke pintu depan; mama sedang berdiri di depan jendela sambil memandangi kegelapan diluar sana.
"Ma, ayo kembali tidur," bisikku pelan sambil berjalan ke arah mama.
"Apa kamu pernah berpikir tentang anak kucing dan anak anjing yang dulu senang kamu mutilasi?" kata mama tanpa memalingkan pandangannya dari jendela.
"Mereka mulai marah, Ra! Mereka ingin balas dendam!" seru mama tiba-tiba tertawa dengan lantang.
Jantungku mulai berdetak dengan kencang ketika tawa mama melengking, memecah kesunyian malam. Tiba-tiba suara tawa mama ditelan oleh suara tangis kucing liar dan lolongan anjing yang berasal dari luar. Suasana malam yang tenang berubah menjadi ribut dengan suara tawa mama, tangisan kucing yang terdengar seperti tangisan bayi dan lolongan anjing yang terdengar begitu dekat aku pun menutup telingaku karena tidak tahan dengan keributan ini.
Aku bisa merasakan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku, aku benar-benar takut! Seperti mendengar paduan suara mengerikan dari neraka! Tiba-tiba terdengar bunyi seperti ada benda berat yang terjatuh dari langit dan menimpa genteng rumah. Bunyinya kencang dan mendiamkan keributan yang sedari tadi menggangguku.
Keheningan malampun kembali lagi. Aku melihat mama menyeringai menatapku, tiba-tiba dia berlari dengan sangat kencang ke arahku, melewatiku, menaiki tangga lalu terdengar bunyi pintu yang di banting. Aku sungguh tidak habis pikir dan tidak percaya dengan apa yang baru saja kualami. Ketika aku menyusul mama beberapa saat kemudian, aku melihat mama sudah tertidur pulas seperti tidak terjadi apa-apa.
Malam itu aku tidak bisa tidur.
Beberapa malam kemudian, aku terbangun lagi karena mendengar bunyi orang sedang mengacak-acak barang. Aku segera bangun untuk mengecek mama dan mendengus kesal lagi ketika menemukan dia sudah tidak ada di kamar. Aku menemukan mama sedang berkeliling rumah seperti sedang mencari sesuatu, entah apa itu.
"Dimana itu?" guman mama pada dirinya sendiri sambil terus meraba-raba di tengah kegelapan rumah.
Ketika kunyalakan lampu, mama berteriak dan menyuruhku mematikan lampunya. Ketika kutanyakan apa yang sedang mama cari dia menjawab:
"Mimpi buruk itu. Seharusnya sudah lama kubakar mimpi buruk itu," kata mama lagi sambil memukul-mukul kepalanya.
Aku membopong mama kembali ke kamarnya dan berjaga semalaman agar dia tidak berkeliaran di tengah kegelapan lagi. Rasa takutku tidak kunjung hilang apalagi ditambah dengan dia yang sepanjang malam berdiri di depan pintu mama, memakai wujud lelaki berkaos putih dan celana kheki yang berdiri membelakangi kami.
Setiap malam akan kutemukan mama melakukan hal-hal yang aneh. Suatu malam aku terbangun dan melihat mama berdiri di kaki tempat tidurku.
"Seharusnya kau kugugurkan," bisiknya berkali-kali sambil matanya menatapku dengan kosong. Menit berlalu dan aku hanya bisa terdiam, masih terlalu kaget untuk bertindak. Tidak lama kemudian mama keluar dari kamarku dan tidur kembali seperti tidak terjadi apa-apa.
Minggu-minggu terakhir sebelum dia dilarikan di rumah sakit, mama mulai bisa melihat petani berdarah yang selalu mengikutiku.
"Kau iblis," bisik mama padaku ketika kutemukan dia berdiri di depan tempat cuci piring di tengah malam yang gelap. "Kau diikuti makhluk itu, kau penyembah iblis! Kamu tidak ber-Tuhan!" teriaknya sambil melemparkan gelas yang dia pegang ke arah petani berdarah yang berdiri di belakangku. Gelas itu mengenai dinding dan pecah berkeping-keping.
Terakhir kalinya petani berdarah itu berdiri di depan tempat tidur mama. Mama menjerit-jerit seperti kesakitan ketika dia melihat sosok itu dari dekat.
"Kamu sudah mati! Kamu sudah mati! Terkutuklah kamu!" teriak mama. "Oh, Adit, Rosa, maafkan aku! Maafkan aku!" mama memanggil-manggil kedua nama yang asing itu.
"Siapa Adit, ma? Apa nama ayahku adalah Adit? Adit siapa, ma? Rosa itu siapa?" nada bicaraku mulai meninggi karena merasa mungkin mama sudah mau bercerita.
"Bukan urusanmu anak haram!" hardik mamaku.
Seketika itu juga duniaku menjadi gelap dan aku merasa sedang terjatuh dalam lubang gelap amarah, tempat makhluk itu menyiksaku saat aku sedang marah.
Aku merasa waktu berlalu begitu lama di dalam lubang gelap itu ketika sayup-sayup suara mama memanggil namaku dan aku tersadar, kembali ke dunia nyata.
Aku sedang memegang dengan erat kedua pundak mama dan menggoncangkan tubuhnya dengan keras. Aku gelap mata dan tidak sadar dengan apa yang sedang aku lakukan.
Ketika aku sadar mama sudah mulai kehilangan kesadaran dan darah mengalir keluar dari hidungnya. Aku sangat takut dan segera melarikan mama ke rumah sakit. Mama sempat sadar setelah di rawat namun tidak kuat lagi untuk berbicara terlalu lama dan hanya mampu berbisik. Meski begitu beberapa kali aku terus mencoba untuk membuat mama bercerita, membuka rahasia tentang ayahku.
Di hari terakhir hidupnya, dia hanya mampu berbisik sambil terbata-bata,
"A--ku...a--kan," mama menarik nafas panjang. "Mem--bawa...ra--ha--sia ini...sam--pai a--ku...mati."
***
Entah berapa lama waktu kuhabiskan duduk di kursi dapur, memandang keluar jendela dan mengenang hari-hari terakhir mama. Aku menutup mata untuk menyadarkan pikiranku dan mengakhiri khayalanku ketika aku sadar di depanku duduk dia dengan wujud seorang kakek tua renta; kulitnya membusuk seperti mayat yang sudah sebulan dikubur, hidungnya tertutup oleh masker oksigen dan bunyi napas berat terdengar memenuhi seluruh ruang dapur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!