CHAPTER 4

Aku duduk terpaku memandang kakek tua busuk itu dan berpikir: siapakah dia? Sejak awal makhluk mengerikan itu menunjukkan dirinya padaku, aku selalu merasa bahwa dia ada hubungannya dengan rahasia tentang ayahku. Wujud-wujud seram yang sering dipakainya pasti adalah manusia di kehidupan mereka sebelum maut menjemput. Kalau benar begitu, siapakah orang-orang yang sering dimunculkannya? Siapakah kakek tua ini? Siapakah petani berdarah itu? Siapakah orang-orang yang sering menjadi perwujudan bayangan ini? Pemikiran itu memenuhi otakku sementara aku terus mengadu tatap dengan kakek tua itu.

Entah berapa lama aku terpaku, memandangi setiap jengkal kulit kakek tua yang berwarna abu-abu kebiruan dan urat-urat nadinya yang berwarna ungu. Merasa mulai jengkel dengan kakek tua ini, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan tempat dudukku dan segera memulai bersih-bersih yang sudah kurencanakan sejak tiba.

Sosok kakek itu pun menghilang.

Aku mulai membongkar tas yang dibawa dulu saat mama masih di rumah sakit, yang belum sempat aku cuci. Tercium bau pesing dan apek menjadi satu saat kubuka tasnya, baju-baju di dalamnya terasa dingin dan lembab. Aku menaruh baju kotor mama di mesin cuci dan mulai memutar tombolnya. Lalu aku lanjut membersihkan rumah: menyapu dan mengepel dari belakang sampai ke teras rumah.

"Eh, lagi bersih-bersih ya, Ra? Kapan dateng?" sapa mbok Sum, tetangga kami saat dia lewat di depan rumah.

"Barusan mbok," jawabku masih terus mengepel lantai teras.

"Yowes, kalau laper nanti ke wartegku, ya. Ajak juga pacarmu tuh," kata mbok Sum setengah menggoda, pandangannya tertuju ke arah dalam rumah.

Aku tidak mengerti maksud mbok Sum, sampai aku menengok ke arah dalam rumah dan melihat sosok seorang lelaki berbadan tegap yang berdiri membelakangi pintu. Aku terkesiap meski tahu itu adalah salah satu wujud bayangan hitam itu; wujud seorang lelaki, kulitnya hitam karena terbakar matahari. Dia memakai celana panjang berwarna kheki dan kaos putih dan selalu berdiri membelakangiku, tidak pernah terlihat wajahnya.

"Iya, mbok, ntar aku mampir," jawabku singkat sambil tersenyum.

Ketika mbok Sum pergi, sosok pria itu pun menghilang.

Terbukti benar kata-kata mama dulu: kalau sedang gundah, bersih-bersih rumah saja, pasti jadi tenang pikiran. Kegiatan bersih-bersih ini membuatku lupa sebentar dengan kesedihan dan kekhawatiran dalam hatiku. Baju yang ku cuci sudah dijemur, rumah sudah bersih ku sapu dan pel,  sekarang aku akan mulai memilih-milih baju mama yang masih layak untuk disumbangkan.

Perlahan aku menaiki tangga ke lantai 2 menuju kamar mama. Sayup-sayup terdengar bunyi grasak-grusuk di dapur persis seperti bunyi ketika mama memasak. Terdengar jauh lantunan lagu kesukaan mama: Senja di Batas Kota oleh Ernie Djohan. Ingin rasanya aku berbalik, memastikan apakah benar itu mama, tapi dalam hatiku meyakinkan bahwa itu bukan mama. Aku pun mengacuhkan bunyi itu dan melanjutkan aktifitasku, menganggap mama masih hidup dan sedang memasak di dapur agar tidak ada rasa takut yang menguasaiku.

Lemari mama adalah lemari kayu jati yang besar, penuh ukiran yang cantik dan terlihat mewah meski sudah kelihatan tua. Pahatan di bagian atas lemari ini menambah kesan mewah dan ditengahnya terdapat ukiran tulisan Retno Ayu dengan tulisan bersambung. Sudah lama mama memiliki lemari ini.

Aku membuka lemari mama; bau teh melati tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan. Baunya persis seperti baju mama yang baru saja disetrika. Mama selalu menyimpan kantung kasa berisi teh melati di dalam lemari bajunya agar tidak berbau apek. Ini pertama kalinya aku bebas membongkar lemari baju mama. Sewaktu mama masih hidup, lemari ini tidak pernah kusentuh, entah kenapa, mama juga tidak pernah melarang tapi aku tidak pernah berpikir untuk membongkar-bongkar lemari ini.

Satu per satu ku angkat baju mama yang tergantung di lemari dan kuletakan di atas tempat tidur. Aku rasa akan kusumbangkan semua baju-baju mama karena sekarang aku berpikir mungkin rumah ini harus kujual. Aku tidak mau tinggal di rumah ini.

Setelah baju mama yang digantung terangkat semua aku mulai membereskan bagian bawah lemari tempat mama menyimpan seprei, taplak meja dan selimut. Ketika lemari mama kosong aku baru menyadari sesuatu.

Ada lubang kecil di dasar lemari. Lubang itu seukuran jari telunjuk orang dewasa. Entahlah, mungkin ini lubang rayap meski terlalu rapi untuk itu. Perlahan aku memasukan jariku ke dalam lubang itu, kenapa aku juga tidak tahu, tapi ketika jariku masuk aku baru sadar ternyata kayu alas lemari mama bisa diangkat.

Kulepaskan alas lemarinya satu per satu dan tertegun ketika melihat banyak buku catatan tersimpan di dalamnya. Aku menghitungnya dan total ada 33 buah buku. Di setiap sampul bukunya tertulis angka yang aku yakin menunjukkan tahun. Angkanya berurut mulai dari tahun 1957 sampai 1990.

Inilah mimpi buruk yang mama cari itu. Dia ingin membakarnya tapi pikirannya yang sudah sakit tidak bisa mengingat dimana dia menyimpannya.

Aku duduk bersila di lantai, memegang erat buku bersampul 1990. Terlihat bekas terbakar di ujung buku. Mungkin dulu mama ingin membakarnya tapi berubah pikiran. Di buku ini juga terdapat tempelan-tempelan kliping surat kabar dan surat yang di tulis dengan tangan oleh seseorang untuk mama.

Aku masih tidak percaya jawaban rahasia ayah sudah berada di depan mata!

Senja di batas kota

S'lalu teringat padamu

Saat kita kan berpisah

Entah untuk b'rapa lama

Jantungku berdetak kencang karena kaget ketika tiba-tiba suara lagu yang sedari tadi sayup-sayup menjadi keras dan alunan lagu lawas Senja di Batas Kota bergema memenuhi seluruh sudut rumah.

Mungkin mama marah aku menemukan rahasia yang selama ini dia simpan. Aku hanya bisa menangis dan memeluk buku yang sedari tadi kupegang. 1990 adalah tahun kelahiranku. Di buku inilah kunci kehidupanku akan terkuak!

Mama tidak bisa lagi mencegahku untuk mengetahuinya.

Di sela-sela alunan lagu mendawai Erni Djohan, terdengar bunyi langkah kaki mendekat ke kamar mama. Perlahan-lahan tapi pasti dia melangkah, bunyinya terdengar seperti sendal basah. Seiring bunyi langkah kaki itu terciumlah bau busuk darah yang menyengat.

Aku menoleh ke arah pintu dan menemukan petani berdarah berdiri di ambang pintu.

Aku mengacuhkannya. Ada sesuatu yang lebih penting daripada beradu pandang dengan sosok menjijikan di depan pintu ini. Inilah saatnya rahasia besar mama terbongkar, saat yang kutunggu-tunggu!

Tidak sabar rasanya ingin segera membaca apa yang terjadi di tahun 1990, tapi aku mengurungkan niatku dan mencoba bersabar. Aku punya banyak waktu, kupikir aku harus membaca dari awal, tahun 1957, untuk bisa mengerti apa yang terjadi di tahun 1990.

Aku meraih buku dengan sampul 1957 dan mulai membaca bersamaan dengan itu lagu Senja di Batas Kota yang sedari tadi mengalun berulang-ulang mulai kehilangan kejernihan suaranya, terdistorsi dan melambat sampai akhirnya mati.

Petani berdarah itu perlahan mendekat dan duduk disampingku, seakan dia ingin ikut membaca jurnal mama.

Aku bisa melihat dengan jelas setiap detil kain tipis berwarna merah dan bercorak bunga-bunga yang dia pakai untuk menutupi wajah rusaknya yang terbelah dua. Kulitnya tertutup darah yang menghitam namun aku bisa melihat kalau tubuhnya mulai membusuk.

Aku memalingkan pandanganku kembali ke buku yang kupegang dan mulai membaca.

Aku akan tahu siapa dia di akhir cerita, aku yakin!

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

Walau bosen baca krn g ada obrolan tp penasaran qu lbh dominan...jadi lanjuuuutkan

2022-02-24

1

graver el mubarak

graver el mubarak

Nice

2021-11-13

0

Elina💞

Elina💞

itu pasti ayah nyah

2021-04-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!