CHAPTER 17

14 DESEMBER 1989

Tidak terasa 1 minggu sudah kami tinggal di villa ini, berbaur dengan mudahnya bersama warga kampung di sini. Aku pun akhirnya bisa dengan pasti mengatakan bahwa aku sekarang adalah orang yang percaya pada hal gaib!

Begitu banyak yang sudah terjadi dalam waktu 1 minggu yang membuat keyakinanku kuat, ketakutanku besar dan rasa depresi juga sakit hati mendalam yang selalu menyerangku saat malam tiba. Anehnya, setiap kali matahari terbit dan hari masih siang, hati ini terasa ringan, bahagia, tidak ada kekhawatiran dan rasa takut yang mengganggu, meski harus kuakui, rasa sakit hati selalu kurasakan sejak Yohanes memalingkan perhatiannya dariku.

Beratnya tekanan, depresi dan ketakutan juga rasa sakit hati terasa lebih menusuk dan menguasaiku ketika matahari mulai terbenam dan malam tiba. Kadang aku tidak bisa tidur, terlalu takut untuk bermimpi tapi takut juga untuk bangun - takut melihat sosok aneh dan seram yang selalu berjalan mengitari rumah setiap malam. Aku bisa mendengar mereka: tangisan pilu, teriakan dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti, suara langkah kaki, suara tawa melengking, suara tangis bayi dan yang paling membuatku takut adalah suara nafas berat yang seakan berhembus di samping telingaku.

Beberapa kali aku melihat sekilas bayangan, sosok wanita, sosok anak-anak dan ular yang hilang seketika. Aku tidak pernah yakin bahwa aku benar-benar melihat mereka tapi aku bisa merasakan perasaan sesak bahwa dalam ruangan dimana aku berada, aku tidaklah pernah sendirian.

Satu hal yang membuatku sangat takut adalah keberadaan sosok petani berdarah yang setiap malam menampakan dirinya padaku, yang membuatku takut setengah mati sampai aku selalu tidak sadarkan diri ketika melihatnya; selalu setiap malam, selalu di kamarku. Penampakannya adalah satu-satunya hal pasti yang kuyakini benar terjadi, keberadaannya terasa begitu nyata, tanpa keraguan.

Aku sangat yakin sosok itulah yang selalu disebut warga, opo nedaha. Beberapa kali aku bertanya pada teman-teman yang biasanya mengobrol denganku, meminta mereka untuk menggambarkan rupa opo nedaha tapi, mereka terlalu takut - takut bahwa pembahasan mereka akan mengundang sosok yang paling ditakuti di desa ini. Kebanyakan mereka akan saling pandang dan kemudian mengalihkan pembicaraan.

Aku ingat ibu Vanda pernah berjanji sewaktu kami dalam perjalanan pulang dari rumah oma Oce dulu bahwa dia akan menceritakan padaku tentang opo nedaha. Aku menunggunya tapi dia tidak kunjung muncul, rupanya sejak pulang dari rumah oma Oce ibu Vanda sakit; meriang dan demam tinggi selama seminggu.

Tante Marice dan tante Nona juga selalu menepis pertanyaanku, meyakinkanku bahwa opo nedaha itu tidak nyata.

Kadang aku berpikir, apakah rasa bahagia mempunyai kawan mengobrol di desa ini, menikmati pemandangan laut nan indah dan lezatnya makanan kami sepadan dengan rasa takut, kengerian dan rasa putus asa yang kerap kali kurasakan ketika malam tiba. Namun, ketika aku melihat Adit, Rosa dan Nining, aku merasa bodoh dan pastinya aku akan merasa bersalah bila waktu liburan keluarga Adit terpotong karena rasa takutku akan sosok gaib yang jelas tidak pernah menampakan diri pada Adit, Rosa, dan mungkin Nining karena mereka tampak sangat menikmati rutinitas baru di desa ini.

Adit yang terlihat lelah dan tua di Jakarta, terlihat lebih mudah, segar dan kembali bersemangat di desa ini. Setiap hari dia bangun dengan dengan senyum lebar, semangat untuk pergi berpetualang, belajar berkebun dan menjalankan bisnis pertanian dari pak Yusuf. Aku melihat semangat baru dalam diri Adit, seakan api kehidupannya terbaharui lagi. Aku sangat gembira melihatnya.

Perubahan juga terlihat jelas pada Rosa yang dulunya berwajah pucat dengan kantong mata hitam karena banyak pikiran dan hatinya yang gondok, tidak senang selalu di kritik dan dijatuhkan oleh mertuanya, bahkan ibu dan saudari-saudarinya sendiri. Apalagi ketika Adit memutuskan untuk berhenti berpolitik, semua menyalahkan Rosa karena mendukung keputusan Adit bahkan menekan dan mengomeli gadis itu tanpa ampun ketika Adit menolak untuk mengikuti kemauan mereka.

Rosa begitu kemayu dan loyo seakan tidak punya tulang belakang. Dia juga selalu di tekan untuk tampil sempurna oleh ibundanya karena takut Adit di ambil orang lain - sungguh pemikiran yang dangkal dan bodoh! Aku bahkan tidak pernah melihat Rosa menghabiskan makanannya apalagi terlihat girang ketika melihat makanan kesukaannya, dia malah terlihat takut dan tidak yakin saat makan, terutama ketika makan malam besar bersama keluarganya dan keluarga Adit. Dia selalu bercerita bahwa dia lebih memilih untuk kelaparan dari pada harus makan bersama mereka.

Lihat Rosa sekarang! Wajahnya yang memang cantik sekarang makin berseri, pipinya kemerahan karena sinar matahari membuatnya tampak segar dan bahagia. Sikap dan pembawaan Rosa pun terlihat lebih lepas dan santai, tidak ada tanda-tanda rasa cemas, ketegangan maupun rasa takut dalam dirinya. Bahkan sekarang aku melihat Rosa makan dengan lahap!

Perubahan Rosa rupanya mempengaruhi Nining karena anak itu pun yang dulunya sering terlihat melankolis dan malas makan sekarang menjadi periang, tidak bisa diam dan suka makan, bahkan sayur pun yang adalah makanan yang paling dibenci sekarang dengan lahap dimakannya. Setiap hari Nining kegirangan bermain dengan anak-anak kampung, kalau hari hujan dan kami tidak bisa keluar, Nining akan lari-lari di dalam rumah, berkata dia sedang bermain bersama David.

Oh, betapa bahagianya melihat keluargaku bahagia di sini dan aku tidak mau mengganggu hal itu hanya karena hal-hal gaib yang terdengar konyol apalagi di telinga orang perkotaan yang logis seperti Adit dan Rosa. Jadi, semua perasaanku kusimpan sendiri.

Sampai beberapa hari yang lalu aku masih mengingkari pengalaman menakutkan yang kerap terjadi padaku. Aku terus meyakinkan diriku bahwa aku mengkhayalkan semuanya namun, setelah hari itu, aku tidak sanggup lagi menyimpannya sendiri.

Waktu itu hari Kamis yang panas. Adit dan Rosa sedang bersantai di ruang keluarga sambil menikmati tiupan angin sejuk dari jendela yang terbuka ditemani lagu-lagu hits yang diputar di radio. Nining sedang bermain boneka di kamarnya, tante Nona sedang membersihkan lantai atas sedangkan aku sedang duduk membaca di gazebo. Aku ingat waktu itu aku merasa sangat gerah karena meski angin bertiup kencang dari laut tapi udaranya begitu panas, terasa perih di kulit sehingga aku berpikir untuk menyudahi kegiatanku di gazebo dan segera masuk ke dalam rumah untuk berteduh.

Beberapa menit membaca di dalam kamar, aku merasa aneh karena suara Nining tidak terdengar lagi. Biasanya dia sering berteriak dan cekikikan dengan senang ketika bermain bonekanya. Aku pun keluar kamar untuk pergi mengecek Nining.

Nining tidak ada di kamarnya. Aku berpikir dia mungkin sedang bermain di ruang keluarga bersama Adit dan Rosa. Aku baru saja mau menutup pintu kamar Nining ketika aku mendengar ketukan dari dalam kamar Nining. Aku mencoba mendengarkan bunyi itu dengan lebih saksama. Sepertinya asal ketukan itu dari dalam lemari.

Keringat dingin mengucur di pelipisku. Tidak, ini bukan imajinasiku semata! Aku sungguh mendengar ketukan yang arahnya berasal dari dalam lemari. Apakah aku harus mengeceknya?

Aku ragu-ragu tapi, memang rasa ingin tahuku mengalahkan rasa takut. Perlahan-lahan aku melangkah, mendekati lemari, menekan kupingku ke permukaannya yang halus; bau kayu jati yang harum tercium. Bunyi ketukan yang kudengar memang berasal dari dalamnya. Sayup-sayup, tapi nyata.

Perlahan aku membuka pintu lemari dan tidak menemukan apa-apa atau siapapun di dalamnya. Ketukan itu terus terdengar, asalnya dari bawah lemari, di dalam laci tersembunyi yang menjadi ciri khasnya Rento Ayu (itulah sebabnya lemari Retno Ayu digemari oleh kenalan-kenalan keluarga Subroto. Laci rahasia di bawah lemari yang tidak bisa terlihat oleh orang awam membuat mereka bisa menyembunyikan harta benda mereka dengan aman dari pencurian).

Dengan tangan yang gemetaran aku memasukkan jari telunjukku di dalam lubang kecil di sudut dasar lemari dan menarik sepotong papan penutup yang menjadi pengunci seluruh laci. Perlahan aku menarik papan berikutnya; nafasku memburu, air mata mengalir dengan derasnya, aku berteriak dengan kencang.

"Adit! Rosa! Tolong!" teriakku melengking. Panik tidak terkendali.

Dengan cepat aku menarik satu per satu papan penutupnya. Aku ingin segera mengeluarkan Nining dari dalam lemari. Anak itu tidak bergerak, matanya tertutup, aku tidak bisa melihat apakah dia masih bernafas! Tidak ada yang tahu sudah berapa lama dia berada di bawah sini!

"Nining!" Teriak Rosa dengan cepat mendekatiku dan membantu menarik satu per satu papan penutup alas lemari.

"Ada apa ini mbak?" seru Adit ketakutan. Ketika lubang dasar lemari sudah agak besar, Adit dengan cepat mengangkat Nining, memeluknya dan mengecek nafasnya.

"Ning," bisik Adit sambil mencium pipi gadis kecil itu. "Ning, bangun sayang, ini papa."

"Nining," air mata berlinang ketika Rosa mencium tangan anak kesayangannya. "Badannya masih hangat! Dia masih bernafas! Puji Tuhan!" Rosa mengambil Nining dari pelukan Adit dan menghujani pipi tembemnya dengan ciuman.

"Ma," bisik Nining tiba-tiba. "Jangan berisik, Nining lagi sembunyi," bisiknya lagi sambil perlahan membuka matanya.

Kami semua bernapas lega mendengar Nining. Aku tadi mengira dia sudah meninggal karena kehabisan nafas! Puji Tuhan dia rupanya hanya tertidur!

"Kamu kok masuk ke dalam lemari ?" tanya Rosa sambil terus memeluk Nining.

"Tadi Nining disuruh sembunyi di situ sama David. Nining ketiduran ya, Ma?" Nining melepaskan pelukan Rosa dan segera berdiri kemudian mengusap matanya. "David mana, ya?" tanyanya dengan santai kemudian berlari menuruni tangga.

"Hey, Ning!" seru Adit berlari mengikuti Nining.

Sayup-sayup terdengar suara Adit menegur dan menasehati Nining agar tidak bersembunyi di dalam lemari lagi, disusul dengan permintaan maaf dari gadis kecil itu.

"Bahaya sekali tadi, Ros," kataku.

"Iya mbak, nanti Rosa tegur David-nya juga," balas Rosa sambil berjalan ke arah ruang keluarga.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sama sekali tidak setuju dengan sikap Rosa yang memperbolehkan Nining mempunyai teman khayalan, dia bahkan ikut ke dalam imajinasi anak itu, seakan dia bisa melihat David!

Sorenya, aku mengajak Nining untuk pergi bermain di kampung. Ketika kami menyebrangi sungai kecil terlihat banyak anak-anak bermain di pantai, suasana begitu ramai. Yohanes terlihat sedang duduk mengobrol dengan beberapa pemuda kampung tapi ketika melihatku dan Nining mendekat, dia langsung pergi.

Hatiku terasa perih lagi tapi, kekecewaanku kutahan sambil terus mengumpat pada diriku bahwa aku adalah wanita bodoh!

Teman-teman Nining segera mengajaknya bermain ketika mereka melihat kami datang.

"Ning, jangan bermain dekat dengan pantai, ya," pesanku sebelum kulepas Nining bermain dengan teman-temannya.

Aku pun bergabung bersama ibu Wati, Lusye dan ibu Linda - istri pak Marten - yang sedang menikmati sepoci teh hangat dan sepiring pisang goreng yang katanya baru di angkat dari penggorengan oleh Lusye.

"Eh, tuh bu Vanda," bisik ibu Linda sambil menyikut ibu Wati.

Ibu Vanda mengenakan jaket dan celana panjang, berjalan sambil mengeratkan jaketnya untuk menghalangi angin yang bertiup dari laut. Wajah bu Vanda masih sedikit pucat mungkin karena dia baru sembuh dari sakitnya.

"Udah baikan, bu Van?" tanyaku saat ibu bertubuh tambun itu duduk di sampingku.

"Lumayan mbak Ran," jawabnya sembari mencari posisi enak untuk duduk. "Eh bagi tehnya, dong!"

"Kemarin berobat sama dokter Ekel di puskesmas?" tanya Lusye sembari menuangkan teh hangat untuk ibu Vanda.

"Iya tapi yah, obat yang di kasih dokter Ekel tidak mempan! Kemarin sumpah deh aku kayak orang kesurupan! Dinginnya sampe menggigil tapi kata si Ito badan aku panas banget. Dokter Ekel kasih obat penurun panas, eh, tidak mempan! Akhirnya beberapa hari yang lalu Opo Lao datang, di kasih obat sama dia langsung sembuh! Sama dia di kasih empat kantong jimat untuk di tanam keliling rumah biar gak di ganggu lagi sama piaraannya oma Oce," bu Vanda bergidik.

"Mending kemarin tidak usah ikut menjenguk kalau tahu bakal diikutin," lanjut bu Vanda setelah meneguk teh hangatnya.

"Memangnya situ yakin sakitnya karena piaraan oma Oce? Bukannya bu Vanda memang sukanya mandi malam? Pasti waktu pulang dari kunjungan ke oma Oce, bu Vanda mandi, kan?" sanggah bu Wati.

"Ya, kalau hal-hal begitu sih memang kita tidak bisa yakin sepenuhnya," kata bu Linda dengan santai.

"Kalau saya sih percaya banget! Bukan sekali dua kali saya pernah lihat yang begituan," bersikukuh bu Vanda. "Bener kan, mbak Ran? Mbak Rani pasti pernah lihat juga, kan? Orang mbak Rani tinggal di villa itu, kok!"

"Hush!" seru bu Wati.

"Maksudnya apa, bu Van?" tanyaku.

"Lah? Memang mbak Rani tidak tahu cerita tentang villa itu?"

"Cerita apa?"

"Memang kalian, ya! Kawannya bukannya dikasih tahu biar bisa jaga diri malahan di diamkan. Suami-suami mereka nih, mbak Ran, punya cerita tentang villa itu," kata bu Vanda dengan berapi-api sambil menunjuk ibu-ibu lain. "Suami mereka tukang yang membangun villa itu sama pacarnya Lusye juga salah satunya, termasuk suami saya, Ito. Suami saya, punya ceritanya sendiri waktu membangun villa itu. Saya pikir mbak Rani sudah tahu."

"Saya tidak pernah dengar cerita itu, bu Van," jantungku berdetak kencang, mengantisipasi cerita seram yang akan kudengar yang mungkin akan akhirnya meyakinkanku tentang apa yang selama ini kualami di villa itu.

"Mbak Rani sendiri memang tidak pernah melihat hal yang aneh di villa?" tanya Lusye ragu-ragu.

"Saya tidak ada pengalaman dengan hal-hal gaib begitu, Lus. Dengar cerita seram saja saya jarang malahan tidak pernah."

Aku menahan diriku untuk menceritakan pengalamanku. Aku ingin mendengar cerita mereka dulu, aku tidak ingin ceritaku mempengaruhi cerita mereka.

"Saya gak mau menakuti mbak Rani loh, ya," bu Vanda terdiam sebentar sebelum melanjutkan.

Terpopuler

Comments

Evan Dirga

Evan Dirga

jangan jangan Rosa memang bisa melihat David, tapi dalam rupa anak kecil pada umumnya, bukan hantu. jadi Rosa mengira David adalah anak kampung yang sesekali main ke Villa.

2024-01-21

0

Evan Dirga

Evan Dirga

kalau memang laci tersembunyi di lemari punya akses sesulit itu untuk dibuka tutup, bagaimana anak seusia Nining bisa masuk kesitu dalam posisi kayu penutupnya tertutup rapat ?

2024-01-21

0

Dian Hank

Dian Hank

Pusing bacanya gak mudeng alur ceritanya

2022-03-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!