CHAPTER 6

...*Awal dari catatan harian Rani Saraswati 1989-1990*...

4 DESEMBER 1989

Beberapa hari ini begitu melelahkan aku sampai tidak bisa menulis di penghujung hari. Tidak terkecuali hari ini yang benar-benar menguras tenaga. Aku akan berusaha menulis semua yang aku ingat sebelum kantuk mengalahkanku.

Sejak kemarin kami berangkat dari Jakarta menuju Manado; menghabiskan setengah hari di bandara karena waktu transit yang panjang di Ujung Pandang, kemudian duduk di dalam pesawat selama total 3 jam! Pesawat kami berguncang begitu hebat, aku pikir kami semua akan jatuh. Sampai di Manado kami di sambut oleh hujan lebat, angin kencang dan petir yang menggelegar hebat.

John, yang adalah teman Lukas - dia adalah seorang pemandu wisata yang pertama kali mengajak Lukas pergi ke desa Kumel, yang ternyata adalah kampung halamannya - menjemput kami dari bandara Sam Ratulangi dan membawa kami ke sebuah hotel di pusat kota untuk menginap sebelum kami melanjutkan perjalanan ke pulau Sangihe menggunakan kapal laut yang berangkat saat petang keesokkan harinya.

Sampai di hari keberangkatan kami ke pulau Sangihe, Manado masih di guyur hujan lebat. Sepanjang mata memandang hanya ada langit berwarna kelabu dan ombak besar yang menggulung.

John berkata bahwa kami harus bersiap untuk menghadapi pelayaran yang sulit. Kapal yang kami tumpangi seperti berada di sebuah roller coaster! Kadang aku merasa kapal ini akan di telan ombak dan kami semua akan mati tenggelam. 'Sulit' tidak cukup untuk menggambarkan pelayaran malam itu. Aku tidak bisa tidur memikirkan nasib kapal ini - memikirkan Adit, Rosa dan terlebih Nining yang tidur di kabin sebelah. Sepanjang malam aku berdoa meminta perlindungan kepada Tuhan agar kami bisa tiba dengan selamat.

Aku pasti tertidur entah jam berapa itu, ketika aku terbangun suasana sudah tenang, ayunan ombak pun sudah tidak terasa lagi meski aku masih bisa merasakan kapalnya bergerak. Beberapa menit kemudian aku mendengar John mengetuk pintu kabin Adit, tidak lama setelah itu pintu kabinku di ketuk juga. John menyuruh kami untuk bersiap-siap karena kami hampir tiba. Tidak lama berselang, tiupan peluit kapal berbunyi nyaring menandakan kapal sudah berlabuh. Jam sudah menunjukkan pukul 6.30.

Aku sempat mengintip di luar kamarku dan melihat cahaya matahari dan langit biru yang cerah, seakan badai semalam hanyalah mimpi belaka.

Beberapa menit kedepan benar-benar kacau! Orang-orang; penumpang, porter dan pedagang asongan berjubel memenuhi kapal. Kami hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu kabin kami menyaksikan para penumpang yang lain saling dorong untuk turun sementara para porter dan pedagan berlomba-lomba untuk naik ke kapal dan menjajakan barang dan jasa mereka.

John membawa 3 orang porter kenalannya untuk membawa barang-barang kami keluar dari kapal sementara dia menuntun kami untuk ikut keluar bersama para porter.

Entah apa yang terlintas di pikiranku saat itu, tapi ketika aku melangkah keluar dari pintu kapal, mataku tertuju pada sosok seorang pria yang berdiri membelakangi kerumunan, nampaknya sedang berbicara dengan seseorang. Pria itu bertubuh tinggi dan tegap, dia memakai kaos putih dan celana berwarna kheki. Kulitnya gelap karena terbakar matahari. Aku tidak tahu kenapa tapi aku terus memandangi orang itu sampai aku tidak sadar bahwa kami memang di tuntun John untuk mendekati pria itu.

Pria itu ternyata masih muda, seumuran Adit kelihatannya dan bernama Yohanes. Dia datang membawa mobil Jeep milik Lukas untuk menjemput kami dan membawa kami ke desa Kumel. Aku merasa heran, baru kali ini hal seperti ini terjadi padaku; orang asing yang terus kupandangi ternyata adalah orang yang akan berkenalan dengan kami.

Yohanes langsung menoleh ke arah kami ketika John memanggil namanya. Sekilas melihat Yohanes dan orang pasti akan segan dan takut karena wajahnya yang terlihat garang dan pemarah tapi, ketika dia tersenyum wajahnya berubah menjadi lembut dan berseri menampilkan barisan giginya yang putih dan teratur. Dia juga baik dan sopan, tidak seperti bayanganku ketika aku pertama kali melihatnya.

Yohanes menuntun kami ke tempat dia memarkir mobil. Hal pertama yang dia lakukan ketika kami tiba adalah mengeluarkan sekantong plastik kue dan termos air panas berisikan teh manis dan membagikannya pada kami. Katanya, makanan dan teh itu adalah bekal yang diberikan oleh ibunda John yang akrab dipanggil tante Marice karena dia berpikir kami pasti akan lapar dalam perjalanan. Sungguh perhatiannya!

"Oma-nya tidak jadi ikut?" tanya Yohanes sembari membantu Adit dan John menaikkan barang kami ke dalam mobil.

"Oma siapa, ya?" tanya Adit tidak mengerti.

"Kata Lukas mbak pengasuhnya dulu mau ikut."

Mendengar Yohanes aku langsung tertawa lepas. Oma yang dia maksudkan itu adalah aku! Mereka mungkin berpikir karena Lukas dan Adit sudah dewasa maka pengasuh mereka pastilah sudah tua. Dasar Lukas dia harus memperjelas ceritanya.

"Itu saya! Saya pengasuhnya Adit sama Lukas sedari mereka masih kecil," jawabku di sela-sela tawa.

"Aduh, maaf mbak! Kami semua pikir mbak udah nenek-nenek. Ini..." Yohanes menunjukkan selembar selimut tebal yang terlipat rapi di kursi penumpang. "Tante Marice sampai menyuruh saya untuk membawa blanket ini supaya oma pengasuhnya Lukas tetap hangat di perjalanan."

Kami semua hanya bisa tertawa dengan kesalah pahaman kecil ini. Semua orang memang sering terheran-heran denganku yang kata mereka masih kelihatan muda (apa usia 40 tahun masih bisa dikatakan muda?) adalah pengasuh Lukas dan Adit - 2 pria dewasa! 

Tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan ke desa Kumel. Perjalanan kami memakan waktu 3 jam, berkendara menuruni gunung, melewati hutan yang lebat, jalan yang berkerikil, berlumpur, dan yang paling menakutkan adalah arah jalan yang berkelok-kelok dengan jurang di sisi kanan dan kiri.

Namun, pemandangan yang kunikmati sepanjang perjalanan tiada tandingannya! Hutan dan pantai terlihat melebur menjadi satu. Apalagi ketika kami mulai memasuki desa Kumel, deretan rumah penduduk berbaris memanjang beurujung pada sebuah garis pantai yang membentang luas dengan air yang berwarna biru dan ombak kecil-kecil yang membuai; begitu tenang dan damai. Pantas saja Lukas jatuh hati pada desa ini.

Aku menghabiskan waktuku di mobil menikmati pemandangan hutan dan laut yang jarang kulihat di Jakarta. Sesuatu yang aneh terjadi ketika mataku beberapa kali menangkap kaca spion di dalam mobil dan melihat Yohanes yang sepertinya sedang memperhatikanku. Ketika aku memandangi kaca spion dia cepat-cepat memalingkan pandangannya. Apa benar Yohanes memang sedang memperhatikanku? Ataukah aku hanya terlalu sensitif? Pikirku sepanjang sisa perjalanan.

Tidak lama kemudian mobil kami mulai berbelok dan perlahan-lahan menuruni turunan yang curam yang di kelilingi hutan lebat dan gelap. Beberapa meter di depannya akhirnya terlihat sebuah gapura sederhana dari bambu yang bertuliskan 'Selamat Datang di Desa Kumel'. Dari gapura tersebut mulai terlihat 1 atau 2 rumah warga di sela-sela lingkupan hutan yang lebat. Mobil kami terus melaju pelan, melewati pohon-pohon besar - dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara ombak.

Ketika kami melewati sebuah jalan setapak kecil yang mengarah ke dalam hutan, aku melihat John mulai melafalkan doa Bapa Kami sementara Yohanes tertawa geli melihat temannya itu.

"Tidak ada salahnya, kan berdoa," kata John dengan ketus.

"Kalau mau berdoa kenapa tidak daritadi?" sanggah Yohanes dengan nada bercanda.

"Ah, kalau kamu memang tidak percayaan, sih!"

"Ada apa, ya?" tanya Adit tidak mengerti.

"Jalan setapak tadi itu tempat tinggalnya nenek pendoti. Kalau lewat situ harus banyak berdoa," terang John

"Pendoti itu apa, ya?" tanyaku.

"Dukun tukang santet!" jawab John.

"Hush! Sembarangan aja! Oma Oce yang tinggal di situ. Beliau sudah lama sakit, makanya orang-orang kampung suka bergosip tentang dia," kata Yohanes menenangkan.

"Dia soalnya tidak percaya. Kalau saya dari dulu selalu berdoa kalau lewat situ, takut di culik peliharaannya oma Oce," kata John sambil bergidik.

"Udah tua kamu John! Masa masih percaya takhayul, sih?" seru Yohanes dan kami pun ikut tertawa.

Beberapa menit kemudian mobil kami mulai melewati jalan utama yang di padati rumah-rumah penduduk. Suara ombak makin nyaring terdengar dan suasana makin ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan anak-anak yang bermain-main di pinggir jalan. Kami melewati sebuah rumah yang di depannya berdiri tenda hitam, berhiaskan bunga-bunga dari kertas. Meski tendanya di penuhi karangan bunga, namun tidak ada kesan ceria ataupun pesta meriah dari rumah itu, bahkan aku pun yang bukan warga asli kampung ini bisa langsung menebak bahwa rumah ini habis mengadakan ibadah kedukaan - ibadah pemakaman, terang Yohanes.

Rupanya kemarin ibadah pemakamannya di selenggarakan. Seorang wanita hamil dan bayi yang dikandungnya meninggal karena terseret ombak ketika sedang menambatkan perahunya; entah kenapa seorang wanita hamil mengurusi perahu, tapi itulah yang terjadi. Sebuah kecelakaan menyedihkan merenggut ibu dan jabang bayinya. Aku pun jadi ikut sedih memikirkannya.

Akhirnya setelah perjalanan yang panjang, mobil kami mulai berjalan pelan ketika kami mulai mendekati ujung jalan yang berbatasan dengan pasir pantai; Yohanes memarkir mobilnya.

Dari dalam mobil, aku bisa melihat banyak sekali orang yang berkerumun di sebuah rumah yang terletak tepat di tepi pantai. Kami semua menyadarinya dan saling bertanya ada apa gerangan. Terdengar suara tangisan wanita yang histeris dari dalam rumah. Tangisan wanita itu melengking, bergema, membuat bulu kudukku bergemang.

Seorang ibu tua mendekati rombongan kami dan langsung memeluk John. Setelah itu dia langsung memperkenalkan dirinya yang ternyata adalah ibundanya John, tante Marice yang sangat perhatian sampai menyuruh Yohanes untuk membawakan bekal untuk kami dan selimut untukku.

Tante Marice mengajak kami menjauhi keributan itu dan membawa kami ke arah pantai sambil mengajak mengobrol dan bertanya tentang Lukas. Dia bertanya kenapa Lukas tidak ikut dan aku memberitahunya kalau Lukas berencana untuk datang beberapa hari sebelum Natal.

Ternyata, selama kunjungan Lukas ke desa ini, dia selalu tinggal di rumah tante Marice dan sudah di anggap seperti anak oleh ibu ini apalagi ketika villanya sedang di bangun, Lukas kadang tinggal sampai berminggu-minggu di rumahnya.

Sementara kami mengobrol, John dan Yohanes mulai mengatur orang-orang yang akan membantu kami membawa barang-barang kami dan memuatnya di 2 buah gerobak berukuran besar. Tiba-tiba seorang nenek tua berlari melewatiku dan langsung memeluk Adit dengan erat sambil menangis dan berbicara dalam bahasa daerah yang tidak kumengerti.

Semua orang terperangah melihat nenek itu yang terus menangis histeris, memeluk Adit dan seperti sedang memohon sesuatu padanya. Seorang pria tua mendekati nenek itu dan mencoba membujuk tapi di tepis olehnya. Seorang gadis muda kemudian berjalan dengan tergesa-gesa mendekati nenek itu dan mulai membujuknya sampai akhirnya dia mau melepaskan pelukannya dan mau di bawa masuk ke rumah.

"Maaf, pak," guman gadis itu pada Adit sebelum dia dan nenek tua itu kembali ke rumah, masih merintih menahan tangis.

Sepeninggal nenek tadi, Yohanes memberitahukan bahwa barang kami semua sudah di muat di gerobak dan kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Rombongan kami yang sekarang sudah bertambah banyak dengan orang-orang yang membantu membawakan barang mulai berjalan menyusuri pantai. Pasir pantainya begitu lembut dan berwarna hitam, membuatku ingin melepaskan sepatu.

Di perjalanan Adit bertanya pada tante Marice perihal nenek yang tadi dan apa yang sebenarnya dia katakan padanya.

"Itu oma Maria namanya. Kasian, dia lagi stres. Anaknya yang paling tua hilang sampai sekarang belum pulang," jelas tante Marice. "Tadi itu dia meminta Adit untuk bantu mencarikan anaknya."

"Hilang? Di culik?" tanya Adit terdengar kaget.

"Entahlah. Ada gosip yang beredar katanya si Rita - nama anak oma maria yang hilang itu - katanya si Rita itu lari dengan mantan pacarnya. Soalnya dihari dia hilang, ya, itu dihari mantannya itu kembali ke kapal. Kejadiannya kalau tidak salah sekitar 6 bulan yang lalu. Padahal Rita itu lagi hamil 5 bulan, loh. Tapi yah, mantannya itu memang lebih baik daripada suaminya sekarang, orangnya galak, suka main tangan," pandangan tante Marice tertuju pada seorang pria yang sedang menyebrang jalan sambil memikul cangkul di pundaknya. Terlihat betul maksud tante Marice kalau pria itulah suami Rita yang dia maksudkan. Pria itu seakan tahu kami sedang membicarakannya. Tatapan matanya begitu tajam ke arah kami.

"Apa sudah pernah lapor polisi, tante?" tanya Adit lagi.

"Setahu saya, sih, sudah, cuma yah kita kan orang kecil, mana mau polisi bantu. Apalagi mantannya Rita itu kan ABK, jadi kalau sudah di atas kapal, siapa yang bisa hubungi? Sampai sekarang saja belum ada petugas yang datang ke sini, surat pun tidak ada tuh dari kantor polisi. Seperti tidak di anggap serius."

Saking seriusnya mendengar cerita tante Marice aku tidak sadar rombongan kami sudah berhenti di depan sebuah sungai kecil yang tidak dalam. Ujung sungai itu berakhir di laut, di seberangnya ada 2 buah batu besar yang melengkung, membuat bentuk seperti sebuah gerbang.

Tante Marice menjelaskan bahwa untuk sampai ke villa kami harus menyebrangi sungai itu dan masuk melalui batu melengkung dan yang paling menakjubkan adalah; tidak ada jalan lain untuk sampai ke villa. Antara kami menyebrangi sungai atau harus menggunakan perahu untuk memutari gerbang batu melengkung. Benar-benar Lukas; serahkan padanya untuk menemukan tempat-tempat unik seperti ini!

Karena air sungai yang tidak dalam, tidak sulit bagi orang-orang yang mendorong gerobak barang untuk menyebranginya. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di seberang sungai sementara kami masih mencari-cari pijakan agar tidak terpeleset.

Aku begitu fokus untuk mencari batu pijakan dan mencoba untuk menyeimbangkan badanku, aku terus melihat ke dalam air dan tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang tenggelam di dasar air; bentuknya seperti piringan dan berwarna hitam. Aku mendekat dan menyadari itu adalah seekor ular hitam, sisiknya terlihat berwarna pelangi karena pantulan air.

Kaget! Aku langsung berteriak dan hampir saja terjatuh tapi untung ada tante Marice yang menahanku dan segera mengusir ular itu; dengan santainya ular hitam itu berenang ke arah pantai dan menghilang di dasar laut.

Terpopuler

Comments

Rani nay

Rani nay

wah sikap Yohanes sangat mencurigakan

2022-07-30

1

graver el mubarak

graver el mubarak

Lanjutkan

2021-11-13

0

Hanny Swann Angel

Hanny Swann Angel

mm bagong kcn ceritu nyo 🤔🤔🤔

2021-05-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!