CHAPTER 14

Setelah lebih dari 5 kali mencuci tangan di bawah keran air dan merasa irama detak jantungku mulai teratur, aku segera kembali ke dalam rumah karena kegelapan di area tempat cuci piring mulai membuatku merasa tidak nyaman.

Beberapa kali aku kaget ketika mendengar suara orang melangkah di atas ranting di belakang rumah. Terakhir kali, aku merasa melihat sesuatu, entah apa itu berjalan dari satu pohon ke pohon lainnya! Aku merasakan hawa buruk ketika melihatnya meski hanya sekilas tapi perasaan itu bertahan lama. Aku pun segera kembali ke dalam rumah, tidak ingin sendirian lebih lama lagi.

Perasaan tenang dan lega menyeruak dalam diriku ketika aku kembali dan melihat rombonganku sudah berkumpul di depan pintu, bersiap untuk pulang. Segera aku bergabung dan kami pun memulai perjalanan pulang bermodalkan cahaya lampu senter.

Malam ini begitu gelap, bulan yang hampir bulat penuh, meski bersinar terang tapi tertutup awan tebal dan gelap. Awalnya rombongan kami berjalan dalam diam, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing sampai ketika kami mulai memasuki area dimana beberapa rumah penduduk tersebar di pinggir jalan dan lampu teras mereka - meski kecil wattnya - memberikan sedikit cahaya bagi perjalanan kami, barulah kami berbasa basi membahas cuaca, pasar, dan lain-lain.

"Sampai rumah harus mandi terus banyak berdoa Bapa Kami biar gak ketempelan setannya oma Oce," bisik ibu Vanda yang berjalan di sampingku.

"Ah, bu Vanda, nih!" kataku.

"Mbak Rani gak tahu sih, dia itu kan punya peliharaan makanya dia gak bisa mati. Mbak gak lihat rupanya tadi? Kayak mayat hidup; serem ah!" bu Vanda bergidik.

"Semua orang juga tahu..." ibu Vanda mendekatkan mulutnya ke telingaku untuk berbisik. "Opo nedaha itu kan peliharaannya dia."

Jantungku berdetak kencang ketika nama itu dibisikkan padaku. Rasanya kaki ini melemah karena takut. Ingin aku hentikan cerita ibu Vanda tapi di saat yang bersamaan aku juga sangat ingin tahu tentang sosok opo nedaha yang selalu kudengar.

Ibu Vanda pun melanjutkan,

"Banyak orang hilang dijadikan tumbal sama dia. Setiap tahun pasti ada saja orang hilang atau orang mati; salah-salah jatuh di juranglah, tenggelamlah - macem-macem bentuknya, intinya jiwa orang mati itu dia beri makan untuk peliharaannya itu biar dia umur panjang. Dia umurnya berapa? Udah berpuluh-puluh tahun loh dia gak pernah bangun dari tempat tidur. Sudah siksa hidupnya itu, kalau itu tante saya sih sudah saya buka aja genteng diatas tempat tidurnya biar dia bisa mati dengan tenang dan peliharaannya itu biar ikut mati juga sama dia."

"Kenapa di buka gentengnya?" tanyaku penasaran meski dalam hati ini sudah sangat takut dan bulu kudukku meremang sepanjang perjalanan.

"Ya, itu syaratnya kalau mau orang yang punya ilmu begitu mati. Katanya biar jiwanya bisa gampang keluar. Kalau orangnya mati, otomatis peliharaannya juga ikut mati."

"Bu Vanda, kita tidak bisa asal menuduh orang punya ilmu hitam atau sihir. Karena hal seperti itu tidak bisa dibuktikan. Kita banyak berdoa saja agar oma Oce cepat sembuh. Oma Oce itu patut kita kasihani; kita tadi bisa melihat kan keadaannya oma Oce yang sangat memprihatinkan. Kita harus mengasihi dia dan prihatin padanya." sambung pak Pendeta Roki yang ternyata dari tadi mendengarkan pembicaraan kami.

Ibu Vanda pun terdiam dan kami melanjutkan perjalanan tanpa mengobrol namun, aku masih ingin bertanya banyak tentang opo nedaha pada ibu Vanda yang sepertinya tidak sungkan untuk buka-bukaan dengan orang baru.

Aku hanya ingin memastikan kalau sosok yang kulihat semalam bukanlah sosok opo nedaha. Aku harap bukan...

"Bu Van, rupanya opo nedaha itu gimana, sih?" tanyaku sambil berbisik, takut pertanyaanku di dengar pak Pendeta.

Ibu Vanda melihatku dengan mata melotot, seakan tidak percaya aku menanyakan hal itu padanya.

"Dia itu..." mulai bu Vanda tapi tiba-tiba terhenti, matanya melihat ke kiri dan ke kanan. "Nanti aja mbak Ran, saya ceritanya kalau kita ketemu siang aja, saya agak takut."

Bu Vanda kemudian berjalan meninggalkanku dan langsung berbelok, memasuki sebuah rumah dengan halaman yang apik di samping kiri jalan.

"Mari semuanya!" seru ibu Vanda dan tanpa basa-basi segera masuk ke dalam rumahnya.

Rombongan kami pun melanjutkan perjalanan; satu per satu tiba di rumah mereka menyisahkan tante Nona, tante Marice dan pak Yusuf sebagai teman seperjalananku. Tante Nona akhirnya pamit pulang duluan sementara tante Marice dan pak Yusuf mengantarkanku pulang.

Bulan akhirnya bersinar dengan terang ketika kami menaiki perahu kecil menuju ke villa; beberapa hari lagi akan bulan purnama rupanya, laut pun ikut tenang. Tante Marice dan pak Yusuf mendayung perahu sambil mengobrol tentang oma Oce.

"Mine itu memang pemalas!" seru tante Marice.

"Begitulah tante Marice, tapi hanya dia yang mau mengurus oma Oce. Tadi dia minta duit sama saya, saya kasih tiga ribu dengan syarat besok dia harus mandikan oma Oce dan mengganti seprei, eh dia malah minta tambah, lima ribu katanya," kata pak Yusuf dengan tenang.

"Terus kau berikan?"

"Iya, biarlah, siapa tahu jadi berkat buat dia. Besok saya mau panggil Uci aja untuk memandikan oma Oce sama bersih-bersih rumah, kalau berharap si Mine sampai tahun depan juga tidak akan dikerjakan."

"Memangnya oma Oce gak ada keluarga lagi ya, pak?" tanyaku cukup penasaran dengan kehidupan nenek tua itu.

"Ada sih ponakan-ponakannya tapi mereka semua tidak mengakui lagi dia sebagai saudara. Dulu dia memang galak dan pelit orangnya, gak ada yang suka sama dia."

"Oma Oce gak ada anak sama suami gitu?"

"Bah! Suaminya sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu lari dengan perempuan lain ke Manado," jawab tante Marice. "Kalau anaknya sudah lama meninggal, tiga puluh tahun yang lalu kalau tidak salah ingat. Kalau masih hidup dia seumuran sama Yohanes, ya pak Yusuf?"

"Iya," jawab pak Yusuf singkat.

"Meninggal sakit?"

"Hilang di hutan Kehu Marange. Tidak tahu juga sih, dia bilang katanya opo nedaha yang culik anaknya, tapi orang-orang sini curiga kalau dia yang membunuh anaknya untuk tumbal ke opo nedaha. Kita tidak tahulah kebenarannya," terang tante Marice.

"Sejak kejadian itu juga oma Oce pikirannya jadi aneh-aneh, tambah lagi kecurigaan orang-orang tentang dia membunuh anaknya, semua jadinya menjauh dari dia," lanjut tante Marice sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Tante Marice dengar gak apa yang di katakan oma Oce sama saya tadi?" tanyaku.

"Aduh, saya tidak dengar mbak Ran, tidak jelas kalau dia bicara apa," jawab tante Marice.

"Sudah lama dia begitu mbak Ran, jangan di ambil serius. Tidak ada juga yang mengerti dia ngomong apa," tambah pak Yusuf.

Kami pun terdiam, seakan mencerna cerita yang baru saja disebut tante Marice, beberapa detik kemudian perahu kami sampai di villa. Adit keluar dari rumah untuk menyapa pak Yusuf dan tante Marice.

"Besok ada pasar segar, Dit, di pinggir pantai. Saya habis ini mau pergi melaut sama Yohanes buat pasar besok," kata pak Yusuf pada Adit.

"Wah! Nanti kalau mau melaut lagi ajak saya juga, pak! Besok jam berapa pasarnya?" tanya Adit penuh semangat.

"Biasanya sih jam enam pagi sudah mulai rame. Tiap hari rabu soalnya pasar besarnya, seminggu sekali saja," jawab tante Marice.

"Besok kita pergi ke pasar deh, mbak Ran," kata Adit sebelum kami semua saling pamit dan pak Yusuf dan tante Marice kembali mendayung untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

Sampai di dalam rumah, bertepatan dengan Rosa yang baru saja selesai menidurkan Nining. Kami bertiga mengobrol sebentar di dapur; aku menceritakan tentang oma Oce sementara Adit dan Rosa dengan lahapnya memakan kue yang kubawa sambil mendengarkan ceritaku.

"Kasian sekali omanya, mbak Ran! Itu namanya penyiksaan orang tua, masa gak ada yang menegur si Mine itu sih?" seru Rosa diakhir ceritaku.

"Kalau menurut aku sih, baiknya oma Oce di bawa ke panti jompo aja kalau gak ada yang mau rawat. Kasian juga sampai mengenaskan begitu," sambung Adit.

"Mereka semua gak suka dan takut sama dia karena dipikir dia penganut ilmu hitam," terangku.

"Ah, tapi tidak harus begitulah caranya!" sanggah Adit.

"Kalian percaya sama hal-hal begitu, gak?" tanyaku ingin tahu apakah aku harus melanjutkan ceritaku atau kupendam sendiri dulu.

"Apa sih mbak Ran! Nakut-nakutin aja ah!" seru Rosa. "Aku gak mau pikirin hal-hal begituan mbak."

Aku pun memilih diam dan memendam ketakutanku setidaknya sampai aku yakin dengan apa yang terjadi di villa ini.

Terpopuler

Comments

Milla Milla

Milla Milla

wiiihh

2021-04-15

1

Richa Rostika

Richa Rostika

like trus thor..

2021-01-27

1

Dewi Yuniar

Dewi Yuniar

lanjuut thor

2020-12-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!