CHAPTER 2

Aku tidak pernah mengenal ayahku. Mama selalu memaharahiku dan mendiamiku apabila aku bertanya tentang dia. Kakek juga tidak mau memberitahuku tentang ayah meski aku tidak pernah dihukum kalau bertanya pada kakek, dia  hanya tidak pernah mau bercerita.

Sejak dulu aku selalu iri pada teman-temanku yang memiliki seorang ayah; yang selalu menyombongkan pekerjaan ayahnya dan selalu pamer kalau diajak ayahnya jalan-jalan.

Awalnya aku diam saja dan tidak terlalu memusingkan kerahasiaan identitas ayah, apalagi sewaktu kakek masih hidup. Aku mempunyai seorang kakek yang sangat penyayang, aku tidak butuh ayah. 

Namun, rasa penasaran yang besar muncul dalam diriku ketika kakek meninggal saat aku berusia 6 tahun. Di dalam pikiran anak-anakku, aku berpikir kalau kakek tidak ada lagi, siapa yang akan mengajakku bermain kalau mama sedang di kantor? Terpikirlah dalam benakku kalau aku tahu siapa ayahku, mungkin aku bisa datang ke rumahnya dan memintanya untuk bermain denganku - pikiran yang bodoh, aku tahu.

Tiga hari setelah penguburan kakek, aku kembali bertanya pada mama tentang ayah. Saat itu aku ingat mama sedang duduk di meja makan di dapur sambil membaca surat kabar. Mama kelihatan sedang bersedih, mungkin masih merindukan kakek. Melihat kebelakang saat itu mungkin bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya tentang topik yang sangat dilarang di rumah kami tapi, aku masih berusia 6 tahun, masih bodoh.

Mama begitu marah, apalagi setelah beberapa kali mama menyuruhku untuk diam dan tidak bertanya lagi, tapi aku tetap kukuh mengulang-ngulang pertanyaan itu. Mama memukulku dengan surat kabar yang sedang dia baca - tidak sakit secara fisik memang tapi, saat itu hatiku luluh lantah, kecewa dengan mama. Setelah itu, mama mengurungku di dalam kamar. Itulah pertama kalinya dia menampakkan diri padaku.

Dia adalah sosok petani berdarah, memakai topi segitiga khas petani tradisional dengan kain merah tipis yang menutupi wajahnya mulai dari ujung topi sampai bagian dada. Meski ada kain yang menutupi wajahnya, tapi aku tetap bisa melihat muka di baliknya; wajahnya berwarna merah, kepalanya hampir terbelah 2 dari ubun-ubun sampai ke atas mulutnya oleh sebuah parang. Tubuhnya kurus bagaikan ranting pohon kering yang bersimbah darah.

Dia berdiri di sudut kamarku kala itu. Bau busuk yang sangat menyengat tercium di seluruh ruangan kamar membuatku muntah-muntah. Aku berteriak dan memanggil mama dengan ketakutan sambil terus muntah di sela-selanya.

Mama datang dan sangat kaget melihat ceceran muntahanku di lantai kamar dan tempat tidur. Aku tidak bisa berkata-kata lagi tentang apa yang kulihat, aku hanya bisa menunjuk sudut kamarku tempat bayangan itu berdiri, sama sekali tidak bergerak. Mama bingung apa yang aku tunjuk, akhirnya setelah beberapa menit aku terus menunjuk dan mama terus bertanya, aku bisa mengeluarkan suara,

"Petani berdarah!" teriakku sambil berlari memeluk mama.

Tubuh mama menjadi kaku dan tegang ketika kupeluk. Aku tahu dia tidak bisa melihat apa yang kulihat karena matanya masih terus mencari bayangan yang jelas-jelas masih belum berpindah dari tempat awalnya, tapi wajahnya menjadi pucat ketakutan. Aku tahu dia percaya padaku.

Itulah terakhir kalinya aku jujur pada mama ketika aku melihat sosok mengerikan itu. Mamaku orang yang sangat relijius, terlalu relijius bahkan sehingga ketika kejadian penampakan itu, mama membawaku ke rumah bapak pendeta dan kami tinggal di situ selama beberapa hari; aku tidak pergi ke sekolah dan mama pun tidak pergi bekerja, yang kami lakukan hanyalah berdoa, membaca alkitab, berdoa lagi, persis seperti ibadah pengusiran setan.

Aku benar-benar tersiksa dengan teriakan-teriakan doa pak Pendeta, tangannya memegang kepalaku untuk mengusir setannya tapi tumpangan tangannya di ubun-ubunku hanya membuatku sakit kepala dan oh, betapa haus dan laparnya! Aku begitu tersisksa! Yang membuatku takjub adalah: makhluk itu tidak pernah pergi, bergerak pun tidak. Doa pak pendeta sama sekali tidak mempan padanya.

Pada akhirnya aku berbohong dan bilang pada mama bahwa makhluk itu sudah terbakar api surga dan kami pun akhirnya diizinkan pulang. Aku tidak kuat menjalani satu hari lagi berada dalam ibadah pengusiran setan yang jelas-jelas tidak ada hasilnya.

Makhluk itu tetap mengikutiku, sehingga aku pun terbiasa dengan kehadirannya. Dia selalu merubah-rubah wujudnya. Kadang dia menjadi seorang kakek tua dengan kulit yang membusuk dan masker oksigen yang menutupi hidungnya; kadang menjadi sesosok lelaki berbadan tegap dengan kulit hitam karena terbakar matahari. Dia memakai kaos putih dan celana panjang kheki. Sosok lelaki itu selalu muncul di pojok kamarku, berdiri tegak membelakangiku, aku tidak pernah melihat wajahnya. Kadang makhluk itu lebih suka menjadi sosok aslinya yaitu petani berdarah. Wujud inilah yang entah mengapa membuatku sangat takut lebih dari wujud yang lain.

Beberapa kali aku mencoba berkomunikasi dengannya tapi makhluk itu diam saja, begitu misterius.

Setelah hari itu, topik tentang ayah pun terdiam dan tidak di ungkit lagi. Bukan berarti aku sudah tidak memikirkannya, malahan rasa penasaranku semakin menjadi-jadi apalagi setelah makhluk itu tidak pernah berhenti mengikutiku. Apa bayangan ini ayahku? kadang aku berpikir.

Kadang pikiran buruk menyisip dalam otakku dan aku menjadi yakin kalau aku adalah anak hasil pemerkosaan atau yang paling buruk adalah aku akan berpikir kalau mama dulu adalah seorang psk dan memang benar dia tidak tahu siapa ayahku karena terlalu banyak lelaki yang membayar tubuhnya sebagai pemuas nafsu.

Masa lalu mama yang begitu misterius, yang sama tertutupnya dengan rahasia identitas ayah benar-benar menambah kecurigaanku dan pikiran burukku.

Pikiran buruk itu selalu menghantuiku. Sejak saat itu aku mulai dikuasai amarah yang besar sehingga aku dikenal oleh orang-orang disekitarku sebagai anak yang pemarah dan bengis.

Mereka tidak tahu, ketika aku marah, aku akan jatuh di dalam kegelapan dan di kelilingi oleh petani berdarah yang membuatku lumpuh dan tidak berdaya. Namun di dunia nyata, aku akan memukul dan mengeroyok dengan bengis orang yang membuatku marah. Teriakkan orang-orang lain tidak akan mempan untuk menyadarkanku.

Hanya suara mama yang mampu menembus kegelapan pikiranku, mengusir makhluk itu dan menarikku kembali ke dunia nyata. Aku akan tersadar dan melihat teman bermainku dengan hidung atau mata yang berdarah karena kupukul atau seikat rambut mereka yang berada di dalam genggaman tanganku karena kujambak.

Karena melihat amarahku yang memburuk, alih-alih membawaku ke psikiater atau memberi jawaban terhadap pertanyaanku, mama malah sering mengurungku di kamar dan memaksaku untuk berdoa, membaca Alkitab dan mendengarkan lagu rohani dan memohon pada Tuhan untuk mengampuni dosaku. Semua itu baik yang dia lakukan, tapi kupikir seandainya dia jujur dan bercerita tentang ayah, maka aku akan baik-baik saja.

Entahlah.

Seiring waktu berlalu rasa penasaranku muncul lagi karena kejadian memalukan dan mengesalkan yang terjadi ketika aku duduk di bangku SMP. Teman sekelasku, Nia namanya, perempuan ****** itu katanya tidak sengaja melihat akte kelahiranku di meja kepala sekolah - sungguh tidak masuk akal - dan menemukan bahwa tidak ada keterangan nama ayah tertulis di situ. Nia merasa seperti menemukan sebuah skandal besar dan menyebarkannya di sekolahku.

Aku begitu malu ketika berita itu menyebar. Teman-teman seangkatanku mulai memanggilku Jadah yang berarti anak haram.

Aku kembali meminta mama untuk bercerita tentang ayah, mengeluhkan padanya tentang nama panggilanku yang berarti anak haram. Aku pikir mama akan luluh hatinya, merasa kasihan padaku, tapi perkiraanku salah.

"Dunia ini kejam, Laura. Diluar sana akan lebih banyak orang yang berusaha untuk menjatuhkanmu, memfitnahmu, menipumu. Kalau kata-kata anak smp saja sudah membuatmu sedih, nanti bagaimana kamu bisa menghadapi dunia nyata?" kata mama sebelum memaksaku keluar rumah untuk pergi ke gereja seperti tidak terjadi apa-apa, seakan-akan masalah dan rasa maluku tidak ada artinya di mata dia.

Ketika aku kembali masuk sekolah, amarahku mulai tidak bisa terbendung lagi apalagi sejak teman-teman mulai rutin memanggilku jadah, bahkan di depan guru sekalipun dan tidak ada guru yang turun tangan membelaku.

Aku begitu marah, hatiku terasa seperti akan meledak. Aku ingat meninju Nia dan menjatuhkannya ke lantai, duduk di dadanya dan memukulinya lagi sebelum kemudian aku terjatuh di dalam lubang gelap amarahku dengan petani berdarah yang sudah menungguku, tidak sabar untuk menyiksaku.

Entah berapa lama aku tersiksa di dalam lubang gelap itu sebelum suara mama memanggilku; aku seperti melayang keluar dari lubang itu sembari kurasakan hangatnya tangan mama di keningku. Aku tersadar dan tidak ingat apa yang terjadi, tahu-tahu aku sudah tertidur di ruang UKS sementara mama berdiri disamping tempat tidurku.

Keesokkan harinya mama menghadap kepala sekolan dan om Irfan, ayahnya Nia untuk meminta maaf atas kelakukanku. Sungguh tidak adil! Aku yang di hina tapi aku yang harus minta maaf? Di luar dugaan, yang terjadi kemudian adalah om Irfan langsung meminta maaf kepada mama dan bilang bahwa semua salah Nia. Dia juga memperingatkan dengan keras pada pak kepala sekolah dan guru-guru untuk tidak mentoleransi bullying di sekolah apalagi yang menyangkut hal-hal sensitif seperti ini.

Begitulah mama, dia seperti punya sesuatu yang membuat orang selalu bersimpati padanya. Semua orang mencintai mamaku.

Tahun berlalu dan topik ayah tidak pernah kutanyakan lagi. Aku capek selalu jatuh ke dalam lubang gelap tempat petani berdarah itu menungguku setiap kali aku marah atau sakit hati karena rahasia ayah.

Sampai akhirnya aku lulus kuliah dan tante Erlina mengajakku untuk bekerja di perusahaannya sebagai staf keuagan. Kala itu mama sudah berpikir untuk pensiun apalagi dengan usia mama yang sudah bisa di bilang senja, 65 tahun dan juga kesehatannya yang mulai menurun; sakit kepala yang hebat yang selalu menyerangnya mulai panjang durasinya.

Tapi aku lebih baik memulung di jalanan daripada bekerja di perusahaan tante Erlina dan harus bertemu mas Aryo setiap hari. Setelah yang dilakukan laki-laki bejat itu padaku, aku tidak sudi berkerja untuknya! Aku tidak ingin membahas perbuatan mas Aryo padaku, tapi satu hal yang kuingat: di hari mas Aryo merengut setengah jiwaku, di hari itu juga pertama kalinya aku melihat ekpresi di wajah rusak petani berdarah itu; dia tersenyum puas! Seakan dia merasa senang melihatku dijahati dan dibuat seperti sampah oleh orang lain.

Aku menunggu untuk jatuh di dalam lubang gelapku agar aku tidak merasakan setiap detik perbuatan laknat mas Aryo tapi, makhluk itu seperti tidak mau melepaskanku dari penderitaan dan membuatku merasakan setiap inchi perihnya penyiksaan mas Aryo terhadapku.

Ya, aku tidak sudi harus mencari nafkah bekerja di perusahaan terkutuk itu. Aku punya rencanaku sendiri: aku mau melamar menjadi PNS. Memang susah dan tidak selalu bisa lulus, kalau lulus pun gajinya mungkin tidak seberapa tapi yang membuatku tertarik adalah tunjangan seumur hidupnya yang sangat menggiurkan. Di usiaku yang ke 60, aku sudah harus pensiun dan tetap bisa mendapatkan gaji per bulan. Aku tidak ingin seperti mama yang harus terus bekerja meski usianya sudah lewat usia pensiun hanya karena tante Erlina tidak bisa mempercayai orang lain selain mama.

Satu hal yang menahanku untuk segera melamar adalah akte kelahiranku. Sejak kejadian di SMP dulu, aku jadi begitu malu dengan selembar surat itu dan berusaha sedapat mungkin untuk tidak menggunakannya.

Kembali lagi aku ke rumah mama - saat itu aku sedang tinggal nge-kos di Bandung - dan kali ini bertekad untuk bicara baik-baik, membujuk mama untuk bercerita tentang ayah; namanya saja agar bisa ku cantumkan di akte kelahiranku.

Lagi-lagi topik pembicaraan tentang ayah tidak berujung baik. Aku dan mama terlibat pertengkaran hebat dan mama menamparku dengan keras karena aku memanggilnya perempuan ******. Setelah menamparku, keheningan muncul di sekitar kami. Mama seperti sudah ringkih dan kecapean berjalan perlahan ke arah dapur dan duduk di meja makan, membelakangi jendela.

"Kenapa mama tidak pernah cukup untukmu, Laura? Kenapa kamu terus mengejar seseorang yang tidak kamu kenal?" kata mama, pilu.

Aku ingat betul cahaya kemerahan mentari sore menerangi setengah wajah mama yang sudah berkeriput. Dia tampak capek namun bertekad, matanya memandangku dengan mantap sembari berkata:

"Aku akan membawa rahasia ini sampai aku mati," kemudian tiba-tiba mama jatuh terbanting dari kursinya dan tidak sadarkan diri.

Di hari itulah awal diagnosa mama menderita tumor otak yang tidak bisa di operasi.

Terpopuler

Comments

aku rasa sosok petani berdarah itu hanyalah halusinansi Laura akibat tekanan mentalnya di usia dini.

2024-01-16

1

Hazizah Ghani

Hazizah Ghani

kasihan laura sungguh derita hidupnya

2022-07-02

0

Suminah

Suminah

lanjut

2022-06-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!