CHAPTER 7

Jantungku masih berdetak kencang dan tanganku masih gemetaran ketika tante Marice menolongku untuk menyebrangi sungai kecil. Ular hitam tadi begitu menakutkan karena aku juga belum pernah melihat langsung seekor ular dan tiba-tiba hewan menakutkan itu berada sangat dekat denganku! Tapi, tante Marice meyakinkanku bahwa ular itu tidak berbahaya dan akan pergi kalau di usir.

Setelah melewati batu melengkung yang adalah akses masuk ke villa, aku begitu takjub dan seketika ketakutanku hilang berganti dengan kebahagiaan! Di pantai dekat perkampungan warga, hamparan pasir pantainya berwarna hitam namun, di balik batu ini - di area villa - hamparan pasir putih yang berkilauan membentang luas sepanjang beberapa meter yang berujung pada sebuah tebing tinggi. Villa Lukas berada di sebuah tanjung - di sisi kanan dan kirinya adalah tebing tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon rimbun. Pantas saja kami tidak bisa melihatnya dari kampung. Tempat ini begitu tersembunyi, seperti sebuah villa rahasia yang berada di dunia lain.

Tante Marice menunjukkan pada kami sebuah perahu kecil yang terikat pada sebuah palang besi di depan villa. Perahu itu adalah milik Lukas untuk di pakai kalau air laut sudah pasang dan air di sungai kecil yang tadi sudah terlalu dalam untuk di lewati. Rupanya, air pasang terjadi pada jam 4 sore dan akan berlangsung sepanjang malam dan menyusut di jam 9 pagi. Bila air laut sudah pasang maka akses jalan dari desa akan terputus dan satu-satunya cara untuk bisa keluar adalah dengan menggunakan perahu.

Rombongan kami kemudian menuju ke bangunan villa yang terletak tepat di tengah; di himpit oleh 2 area taman bunga yang cantik. Tanah tempat bangunan villa dibangun dibuat 1 atau 2 meter lebih tinggi dari pantai agar ketika air sudah pasang, taman di depan rumah tidak akan terendam.

Bangunan villanya terlihat begitu mewah dan berlantai 2, di penuhi dengan jendela dan pintu-pintu kaca, bahkan Lukas tidak berpikir untuk menyediakan tirai untuk menutupi jendela - semuanya begitu terbuka. Pintu depan villanya dihiasi kaca berwarna yang bercorak bunga lily, berpadu padan dengan cat dinding yang berwarna putih dengan aksen hitam di palang jendela dan pintu.

Seorang ibu tua, berkulit gelap dan bertubuh kurus membukakan pintu untuk kami ketika kami tiba. Ibu tua itu di panggil tante Nona dan sudah bekerja menjaga villa ini semenjak bangunan ini selesai didirikan. Tante Nona tidak tinggal di rumah ini, setiap sore dia akan kembali ke rumahnya yang ternyata tepat bersebelahan dengan rumah tante Marice dan akan kembali keesokkan harinya di jam 6 pagi.

Tante Nona adalah seorang wanita yang sangat rajin dan itu terlihat dari bersihnya rumah ini padahal tidak pernah di tinggali sejak selesai dibangun 3 bulan sebelumnya. Pada saat kami tiba, dia sudah menyediakan teh dan kue-kue tradisional untuk kami makan sementara dia masih sementara memasak makan siang.

Adit dan tante Marice mengajak bapak-bapak yang membantu membawakan barang kami untuk ikut masuk ke dalam rumah untuk meminum teh dan kopi bersama-sama tapi, mereka tidak mau dan lebih memilih untuk tinggal di luar. Pada akhirnya tante Nona menyuguhkan kue dan minuman di gazebo samping rumah untuk mereka sementara, Yohanes, John dan seorang bapak tua yang ternyata adalah ayahnya Yohanes membantu membawa barang-barang kami ke dalam rumah.

Aku, Adit dan Rosa pun di ajak tante Marice untuk berkeliling villa ini sembari dia akan menunjukkan kamar yang di instruksikan Lukas untuk di bersihkan dan akan menjadi kamar kami masing-masing.

Villa ini memiliki 10 ruang kamar dengan kamar mandi di masing-masing ruangan; sungguh terlalu berlebihan tapi itulah ciri khasnya Lukas. Seluruh perabotan di dalam villa ini berasal dari Retno Ayu, termasuk lemari jati besar di setiap kamarnya yang biasa di pakai di rumah Subroto. Mengisi villa ini pasti harganya sangat mahal; lemari Retno Ayu saja harganya jutaan rupiah! Belum lagi biaya pengiriman 10 buah lemari jati yang besar-besar, tempat tidur dan barang-barang yang lain dari Jakarta! Tapi begitulah Lukas, orangnya suka berfoya-foya dan tidak takut mengeluarkan uang.

Seluruh kamar - kecuali kamar pembantu - berada di lantai 2. Kami pun  di pandu tante Marice untuk berjalan menyusuri lorong yang panjang dimana pintu-pintu kamar saling berhadapan menuju ke bagian paling ujung tempat kamar utama berada. Ketika berjalan melewati sebuah kamar di bagian tengah, mataku menangkap sosok seorang wanita berambut panjang yang sedang duduk di tempat tidur membelakangi pintu. Langkahku tercekat, aku kembali ke kamar itu untuk mengeceknya tapi, kamarnya kosong.

"Kenapa mbak Ran?" tanya tante Marice ketika melihatku berdiri keheranan di depan kamar kosong.

"Kayaknya tadi lihat ada orang di dalam sini," jelasku.

"Ah, mbak Rani, nih, jangan nakut-nakutin dong!" seru Rosa.

"Salah lihat kali mbak," tante Marice membuka lebar-lebar pintu kamar tersebut dan di dalamnya memang kosong.

Aku tertawa untuk membuat suasana jadi ringan karena aku melihat raut gugup di wajah Rosa. "Aduh mata ini! Maklumlah sudah tua."

"Mbak Rani sih ogah-ogahan pake kacamata," sambung Adit sambil tertawa.

Kejadian itu pun dengan cepat terlupakan dan kami kembali melanjutkan tour.

Kamar utamanya sangat besar dan mempunyai banyak sekali jendela-jendela yang besar. Kamar ini, menurut tante Marice adalah satu-satunya kamar yang mempunyai pemandangan 180 derajat mulai dari pemandangan pantai di depan sampai ke bagian taman dan gazebo di samping kiri rumah.

Kamar Nining berada tepat di samping kiri kamar utama, tidak terlalu luas tapi tetap sama dari segi design dan banyaknya jendela. Dari kamar Nining, pemandangan taman dan gazebo terlihat jelas. Lukas yang begitu menyayangi keponakannya sepertinya sudah mengatur agar Nining betah di kamar barunya; dia menyediakan banyak boneka di atas tempat tidurnya, menyediakan seprei berwarna merah jambu bercorak beruang teddy dan sebuah lampu tidur berbentuk bintang untuk menemani gadis kecil itu tidur di malam hari.

Nining terlihat begitu senang dengan kamar dan mainan barunya. Dia sangat bersemangat untuk mulai bermain.

Selanjutnya, tante Marice mengantarku ke kamarku yang berada di dekat dapur di lantai dasar. Kamar itu begitu luas dan indah dan memiliki jendela besar menghadap ke taman bunga dan  gazebo di samping rumah. Aku sangat menyukai kamar ini, ditambah aku tidak harus naik turun tangga untuk pergi ke kamarku.

Tante Marice menjelaskan bahwa listrik belum sepenuhnya masuk ke desa Kumel dan hanya tersedia dari jam 6 sore sampai jam 5 pagi. Jaringan telepon juga belum ada, apabila kami ingin menggunakan telepon, kami harus berkendara selama 3 jam ke Tahuna. Namun, pos surat tidak ada kendala, bahkan mereka memiliki kantor pos di kampung sebelah yang hanya berjarak 15 menit dengan berjalan kaki.

Selanjutnya tante Marice mengajak kami ke bagian belakang rumah yang dijadikan tempat untuk mencuci dan menjemur pakaian. Sisa lahannya dibuat untuk area menanam sayur-sayuran dan bumbu masakan seperti: kemangi, serai, kunyit dan lain-lain. Area belakang ini sudah dibangun dinding pembatas yang tidak begitu tinggi - pohon-pohon dan tumbuhan yang rindang di balik dinding masih bisa terlihat - panjangnya membentang dari ujung ke ujung. Di bagian atas dinding di beri kawat tajam.

Dari balik dinding ini terdengar jelas bunyi gemuruh ombak yang memecah, terdengar nyaring seakan-akan di bagian belakang rumah ini ada badai besar yang tengah mengaum. Bahkan, bila aku berdiri sambil menutup mata dan mendengarkannya, aku benar-benar merasa seakan aku masih berada di atas kapal yang terombang ambing oleh badai.

Tante Marice memberitahu kalau di balik dinding ini adalah hutan lebat yang gelap yang biasa di sebut 'Kehu Marange' oleh penduduk setempat. Namun, tidak ada orang yang berani pergi kesitu karena medannya yang curam, licin dan gelap sehingga banyak orang yang celaka dan terjatuh ke lautan yang dipenuhi batu karang tajam dan arus yang kencang dibawahnya.

Itulah kenapa bunyi deru ombak terdengar begitu ganas, karena arus dan angin di bagian laut itu begitu dahsyatnya sehingga menurut tante Marice, mayat kita tidak akan pernah di temukan bila jatuh di tempat itu.

Kepala desa bahkan sudah mengeluarkan larangan untuk warga agar jangan pergi menjelajahi hutan itu karena tahun-tahun sebelumnya banyak warga yang tidak pernah keluar hidup-hidup dari dalam hutan tersebut. Beberapa korbannya adalah anak-anak yang mayatnya tidak pernah diketemukan lagi.

Mendengar cerita tante Marice membuat bulu kudukku berdiri. Ada sedikit rasa takut dalam hatiku. Seketika itu juga suasana di sekelilingku terasa berat dan menekan. Mungkin perasaanku dirasakan oleh kami semua yang berdiri terpaku menatap dinding dan kawat duri yang meski pendek tetapi terlihat kokoh.

Apakah itu cukup untuk melindungi kami? Entah darimana pikiran itu datang.

"Untunglah Lukas membuat dinding ini," kata Adit sambil mengajak Rosa untuk kembali ke dalam rumah.

"Ya, tenang saja dari rumah ini tidak mungkin akan ada yang tersesat masuk ke dalam hutan. Kalau warga kampung malahan hanya menggunakan bambu untuk membuat pagar. Yang penting kita tahu saja untuk jangan masuk ke situ," kata tante Marice dengan santai.

Setelah mengobrol sebentar dengan tante Marice, aku menemani Nining tidur siang sementara Adit dan Rosa bersosialisasi dengan orang-orang kampung yang datang satu per satu membawakan makanan atau bahan makanan. Sore harinya semakin banyak orang yang datang dan di buatlah api unggun di taman samping dan kami semua memasak dan makan bersama, saling mengobrol dan berkenalan. Bahkan, Nining pun dengan cepat mendapatkan teman yang banyak dan bermain dengan gembira sepanjang sore.

Aku merasa sangat diterima, diajak masuk dalam obrolan orang-orang kampung; mereka menggunakan bahasa baku agar kami bisa mengerti perkataan mereka bahkan bila ada yang menggunakan bahasa daerah, ada saja orang yang dengan baiknya mau menerjemahkan artinya untuk kami. Mungkin itulah kuncinya kenapa aku merasa diterima - karena mereka melibatakanku kedalam obrolan mereka.

Kupikir inilah salah satu alasan Lukas jatuh hati pada kampung ini - orang-orangnya sangat ramah.

Ketika matahari mulai terbenam dan air pasang semakin tinggi, para warga mulai pulang satu per satu. Katanya mereka masih harus menghadiri ibadah peringatan 40 hari kematian seorang nenek. Tante Marice mengajakku untuk ikut beribadah tapi harus kutolak karena aku masih merasa sangat capek dan ingin segera beristirahat.

Kami pun memutuskan untuk mengakhiri malam ini dan pergi tidur, namun sebelum tidur, Adit berbicara denganku:

"Mbak Ran, aku udah minta tante Nona untuk tetap datang seperti biasa. Nanti biar aja tante Nona yang kerja ya, mbak. Mbak istirahat aja, nikmatin liburan, udah lama juga kan mbak Rani gak ambil cuti."

"Aduh, Dit, terus kalau gak kerja mbak mau ngapain?" tanyaku bingung. Aku membayangkan diriku menganggur, apa yang harus aku lakukan kalau tidak bekerja?

"Liburan-lah mbak! Berenang di pantai, baca buku, tuh, buku yang Adit belikan paskah kemarin udah selesai di baca belum? Tidur siang kek mbak," Adit tertawa cekikikan.

"Ah, kamu nih!" kataku sebelum kami berpisah untuk tidur.

Tempat ini memang adalah tempat yang sempurna untuk menghindari masalah di Jakarta. Adit yang menghindari ke dua orang tuanya, dan aku yang menghindari untuk memikirkan bapak yang membuatku pusing dan stres dengan kelakuannya.

Apakah aneh kalau aku merasa bukan seperti seorang pendatang melainkan seperti seseorang yang baru saja pulang kembali ke kampung halamannya?

****

Aku bermimpi yang sangat aneh barusan. Aku tiba-tiba terbangun; kamarku sangat gelap dan pengap dan terdengar suara tangisan bayi yang jauh mulai mendekat. Perlahan bau anti nyamuk bakar yang memenuhi kamarku berganti menjadi bau busuk anyir dan bangkai; menusuk hidung dan membuatku mual.

Ketika mataku mulai terbiasa dengan kegelapan aku baru menyadari ternyata aku dikelilingi oleh banyak sekali sosok wanita dan anak-anak yang berwajah bengkak dan pucat. Mereka seperti sedang berbicara padaku tapi aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, terdengar seperti bahasa daerah.

Lama kelamaan mulut mereka membentuk huruf 'O' yang perlahan mulai membesar, semakin membesar sampai merobek pipi mereka. Darah hitam mengucur deras dan tangisan bayi yang sedari tadi kudengar semakin nyaring. Dari perut wanita-wanita yang mengelilingiku tangan-tangan kecil keluar merobek gaun putih yang mereka pakai dan lengkingan tangis bayi menusuk telingaku. Aku sendiri hanya bisa melihat apa yang terjadi di sekelilingku, tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tubuhku kaku, terpaku di tempat tidur.

Anak-anak kecil yang mengelilingiku terus berteriak dan menangis, mengeluarkan sebuah kata yang tidak bisa kupahami. Tiba-tiba sosok seorang anak lelaki mengangkat tangannya yang pucat dan menyentuh kakiku, sontak sensasi dingin terasa di pergelangan kaki yang disentuhnya dan aku kaget terbangun.

Disekelilingku gelap gulita tapi, tidak ada lagi rasa pengap dan panas. Bau busuk bangkai tadi perlahan hilang berganti dengan bau asap anti nyamuk bakar. Tubuhku gemetaran mengingat mimpi buruk yang kualami tadi. Entah kenapa aku bisa bermimpi seburuk itu.

Aku mungkin lupa berdoa sebelum tidur tadi.

Terpopuler

Comments

Evan Dirga

Evan Dirga

berlibur ke villa terpencil untuk istirahat sejenak dari tekanan masalah, jangan sampai mengundang masalah baru yang lebih pelik mengingat lokasi villa yang sangat rawan bahaya.

2024-01-19

0

graver el mubarak

graver el mubarak

👍👍

2021-11-13

0

Irena Marsha

Irena Marsha

mknya mb ran,sblm tidur berdoa dulu...

2021-09-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!