Kembang Buangi dan Hujabayat menghentikan langkahnya saat mereka melihat beberapa lelaki membawa sesosok perempuan yang tubuhnya dililit jaring sinar biru. Orang yang membawa tubuh perempuan itu adalah Pendekar Kucing Demang yang bernama asli Sujibak Lugang. Ia dikawal oleh enam anak buahnya. Adapun wanita yang dipanggul Sujibak Lugang tak lain adalah Mega Kencani yang mereka temukan dalam keadaan masih terikat oleh ilmu Pendekar Tikus Langit.
“Bukankah mereka anak buah Demang Rubagaya?” tanya Hujabayat kepada gadis di sisinya kurang yakin.
“Benar,” jawab Kembang Buangi. “Jika tidak salah, gadis itu adalah Mega Kencani, murid murtad Ki Ranggasewa.”
“Apakah kita perlu berbuat sesuatu?” tanya Hujabayat.
Kembang Buangi tidak menjawab. Ia justru langsung berkelebat di udara. Dari samping kanan ia datang menghadang rombongan Sujibak Lugang. Kemunculan Kembang Buangi yang dikenalnya, membuat Sujibak Lugang terkejut.
“Mau kau bawa ke mana tubuh Mega Kencani, Kucing Demang?” tanya Kembang Buangi datar.
“Kembang, tolong lepaskan aku dari orang-orang mesum ini! Dia mau memperkosaku!” teriak Mega Kencani cepat saat tahu siapa orang yang menghadang.
“Diam kau!” bentak Sujibak Lugang sambil menepuk kepala Mega Kencani. Lalu katanya kepada Kembang Buangi, “Mega Kencani adalah salah satu orang yang harus dibawa ke hadapan Ki Demang. Harap kau tidak mengganggu.”
“Serahkan saja dia kepadaku. Kau cukup melaporkan bahwa buruanmu itu dibawa olehku,” kata Kembang Buangi tenang.
Di saat Kembang Buangi tampil sendiri, Hujabayat mengendap diam-diam bergerak ke sisi belakang dari rombongan Sujibak Lugang. Hanya Kembang Buangi yang tahu pergerakan Hujabayat.
“Hahaha! Itu terlalu berisiko bagi kami. Meski kau pernah menjadi anak pungut Ki Demang, tapi jika kau mengganggu kerjaku, aku pun tidak akan segan bertindak kasar!” kata Sujibak Lugang.
“Aku tetap akan merebut Mega Kencani darimu!” tandas Kembang Buangi pula.
“Baik. Anak-anak, serang!” seru Sujibak Lugang memberi komando.
“Heaat!” teriak keenam anak buah Sujibak Lugang serentak sambil berlari maju menyerbu Kembang Buangi. Keenam lelaki itu masing-masing berbekal pisau di tangan kanan dan kiri.
Kembang Buangi langsung melompat mundur menjauh, tapi kemudian merangsek maju menyambut para pengeroyoknya.
Tak tak tak...!
Kembang Buangi bergerak lincah mengelaki setiap tusukan dan sabetan pisau yang datang sili berganti. Pedang yang masih berwarangka membantu untuk menangkis dan menyerang balik.
Tingkat seni beladiri dan kesaktian Kembang Buangi lebih unggul dari anak-anak buah Sujibak Lugang. Bahkan, pengeroyokan itu tidak cukup untuk membuat pertarungan jadi imbang.
Bak bak dak!
Ujung sarung pedang Kembang Buangi berhasil menusuk dada dua pengeroyoknya dan menampar satu wajah.
“Hentikan!”
Tiba-tiba terdengar seruan keras. Seketika pertarungan itu berhenti dan semuanya memandang ke arah Sujibak Lugang berdiri. Namun, bukan Sujibak Lugang yang berseru, melainkan Hujabayat. Pemuda sahabat Kembang Buangi itu kini berdiri di belakang Sujibak Lugang. Pedang pendeknya menempel di leher Pendekar Kucing Demang, membuat anak buah Ki Demang Rubagaya itu ketar-ketir.
Melihat pimpinannya disandera, keenam pengeroyok Kembang Buangi tidak berani bertindak lebih lanjut, mereka menahan diri.
“Minggir!” sentak Kembang Buangi sambil mendorong kepala lelaki di depannya sampai terjatuh.
Bersama senyumnya, Kembang Buangi melangkah mendatangi Sujibak Lugang.
“Jangan harap kalian bisa hidup tenang setelah ulah kalian ini!” ancam Sujibak Lugang dalam ketidakberdayaan.
Tuk tuk!
Kembang Buangi menotok titik di sekitar leher dan dada Sujibak Lugang. Setelah itu, Hujabayat membebaskan leher Sujibak Lugang dari ancaman pedang.
“Jadi kau mau menjadi setan gentayangan, Kucing Demang?” tanya Kembang Buangi sambil cabut pedangnya keluar dari sarungnya.
“Ampun ampun ampun! Jangan bunuh, aku mohon, aku masih mau hidup!” teriak Sujibak Lugang memelas dengan ekspresi panik.
“Dasar Kucing Demang penakut!” maki Mega Kencani yang masih berada di bahu Sujibak Lugang.
“Biar Kakang yang membawa tubuh Mega,” kata Kembang Buangi sambil kembali menyarungkan kembali pedangnya, membuat Sujibak Lugang bernapas lega.
“Sekalian lepaskan tali pengikatku ini!” kata Mega Kencani.
Hujabayat mengerahkan tenaga dalamnya lalu mencoba menarik putus tali sinar biru yang melilit ikat tubuh Mega Kencani. Namun, upaya Hujabayat tidak membuahkan hasil. Tali sinar itu begitu kuat.
“Tali ini begitu kuat. Terima saja takdirmu, Nisanak,” kata Hujabayat lalu mengambil alih tubuh Mega Kencani. Gadis itu dipanggulnya.
“Kita pergi, Kakang,” kata Kembang Buangi lalu berkelebat pergi.
Hujabayat segera menyusul pergi.
Keenam anak buah Sujibak Lugang hanya terdiam melihat kepergian kedua orang itu.
“Hei! Jangan diam saja, lepaskan totokanku!” teriak Sujibak Lugang.
Salah satu anak buah Sujibak Lugang yang mengerti seni totok-menotok, segera membebaskan Sujibak.
“Kita kejar mereka. Pasti pergi ke desa selatan!” kata Sujibak Lugang.
Benarlah Sujibak Lugang, Hujabayat dan Kembang Buangi kini telah sampai di pinggiran desa di arah selatan.
“Apa untungnya aku diselamatkan jika masih harus tetap terikat seperti ini? Jika seperti ini terus, lebih baik mati. Apa-apa aku tidak bisa. Bahkan aku sejak tadi harus menahan agar tidak kencing di celana. Hei! Apa benar kalian yang berilmu hebat tidak bisa melenyapkan tali sinar ini?”
Sejak tadi Mega Kencani berbicara, mengeluh ini dan itu.
“Bisakah kau diam, Mega Kencani?!” bentak Kembang Buangi kesal. “Beruntung kau kami selamatkan.”
“Beruntung memang beruntung, tapi mana untungnya kalau tetap terikat seperti ini?” gerutuh Mega Kencani.
“Bagaimana dengan wanita ini, Kakang?” tanya Kembang Buangi kepada Hujabayat.
“Apakah perlu kita bawa kepada Ki Ranggasewa?” Hujabayat justru balik bertanya.
“Aku tidak mau!” teriak Mega Kencani cepat. “Guru pasti akan membunuhku jika aku dibawa kepadanya.”
“Bukankah kau memang seharusnya mendapat hukuman?” kata Kembang Buangi.
“Daripada kalian membawaku jauh-jauh ke sana, lebih baik kalian membuangku ke dalam hutan saja daripada ke tempat guruku!” kata Mega Kencani berkeras.
“Bila itu memang keinginannya, lebih baik kita buang saja ke tempat yang jauh. Lalu kita kembali ke desa ini untuk istirahat sebentar. Setelah itu, kita pergi temui Demang Rubagaya,” kata Hujabayat.
“Hei, ada urusan apa kalian dengan Demang Rubagaya?” tanya Mega Kencani cepat, seolah menemukan celah harapan agar bernasib lebih baik.
“Kau tidak perlu ikut campur!” sentak Kembang Buangi.
“Aku banyak tahu tentang Ki Demang. Mungkin aku bisa membantu kalian sebagai balas pertolongan kalian terhadapku,” kata Mega Kencani.
“Kau lebih baik kami buang ke tempat yang cukup aman dari kejaran budak-budak Demang itu daripada kau mengganggu urusan kami. Serahkan tubuhnya kepadaku, Kakang!” kata Kembang Buangi.
Hujabayat lalu memindahkan tubuh Mega Kencani ke bahu kanan Kembang Buangi.
“Kau pasti banyak dosa sehingga tubuhmu seberat ini,” keluh Kembang Buangi setelah memanggul penuh tubuh Mega Kencani.
“Biar aku saja, Kembang,” kata Hujabayat.
“Tidak usah. Kakang lebih baik menungguku di dalam desa. Setelah membuang wanita ini, aku akan langsung menemui Kakang,” ujar Kembang Buangi.
“Tapi jangan coba-coba membuangku ke jurang, Kembang!” ancam Mega.
“Diamlah!” sergah Kembang Buangi. Ia lalu berkelebat pergi meninggalkan Hujabayat. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 413 Episodes
Comments
Budi Efendi
mantap
2023-01-08
2
rajes salam lubis
mantap
2022-06-01
1
akp
wanitanya sadis-sadis 😂
2021-07-26
4